Print this page

Brexit Krisis Terbesar Inggris; Dimensi Internal dan Eksternal Baru

Rate this item
(0 votes)
Brexit Krisis Terbesar Inggris; Dimensi Internal dan Eksternal Baru

 

Masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) kini telah menjadi krisis terbesar negara itu sejak abad ke-17 hingga kini. Meskipun pada awalnya tidak sulit untuk diselesaikan, tetapi sekarang memiliki dimensi internal dan eksternal yang sedemikian rumit sehingga tidak hanya terwujudnya Brexit yang tampaknya terlalu mengada-ada, tetapi proyek ini adalah sumber dari perselisihan internal baru, perselisihan dengan Uni Eropa dan telah menjadi dalih untuk intervensi Amerika dalam urusan Inggris.

Kondisi ini mendorong Nigel Farage, pemimpin partai sayap kanan ekstrem Brexit yang oleh para pendukungnya dijuluki "Ayah Angkat Brexit", baru-baru ini memberi peringatan serius tentang friksi yang terjadi dalam masyarakat Inggris soal Brexit dan konsekuensi buruknya. Tentang perselisihan serius soal keluarnya negara ini dari Uni Eropa antara para politisi dan masyarakat biasa, Farage mengatakan, "Inggris telah terlibat dalam perselisihan terbesar sejak perang saudara abad ke-17."

Brexit
Farage merujuk pada perpecahan tajam antara partai yang berkuasa, Partai Konservatif dan partai-partai oposisi, terutama Partai Buruh dan Partai Demokrat Liberal, serta perpecahan antara warga Inggris menjadi dua kelompok terkait Brexit, sementara sejumlah besar anggota parlemen Konservatif memilih bersama wakil-wakil dari partai oposisi dalam voting Majelis Rendah Inggris.

Partai-partai oposisi, terutama Partai Buruh, sekarang menyerukan referendum atau pembatalan Brexit secara mendasar. Tuntutan mereka memicu kemarahan Perdana Menteri Inggris. Sementara itu, pengakuan Nigel Farage sebagai politisi sayap kanan ekstrem akan adanya perpecahan tajam dalam masyarakat Inggris menunjukkan seberapa dalam dan tidak dapat disatukannya perselisihan itu.

Perdana Menteri Konservatif Inggris Boris Johnson dan pendukung garis keras Brexit berpikir bahwa setelah berkuasa ia akan dapat membuka simpul Brexit dan seperti yang dijanjikan, Inggris hingga 31 Oktober 2019, akan meninggalkan Uni Eropa, dengan atau tanpa kesepakatan. Namun perlawanan oposisi dan Majelis Rendah atas keinginan ini, pada akhirnya, menyebabkan kegagalan Johnson untuk mewujudkan janji keluarga Inggris dari Uni Eropa pada 31 Oktober dan, akibatnya, batas waktu tiga bulan baru Uni Eropa untuk Brexit hingga 31 Januari 2020 dan, yang paling penting, Majelis Rendah akan menyelenggarakan pemilu awal pada 12 Desember 2019 itu yang menjadi pertaruhan besar bagi masa depan politik Johnson.

Johnson telah berseteru dengan Majelis Rendah selama beberapa sejak menjabat demi memuluskan keinginannya dan bahkan telah melangkah lebih jauh mendapat izin Ratu Elizabeth untuk meliburkan Majelis Rendah. Tetapi seperti pertandingan gulat, Majelis Rendah selalu dapat mengalahkan setiap teknik yang dilakukan Johnson, sehingga membatalkan semua rencana Perdana Menteri Inggris yang kontroversial untuk memenuhi janjinya meninggalkan Inggris pada 31 Oktober 2019.

Boris Johnson telah berjanji untuk menarik Inggris keluar dari Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober, dengan atau tanpa kesepakatan. Berbicara kepada oposisi di parlemen Inggris tentang pendekatan dalam proses pelaksanaan Brexit, Johnson mengatakan oposisi tidak ingin Brexit berhasil. Mereka terus-menerus menunda ini, yang telah menyebabkan banyak kerusakan pada keluarga dan perekonomian negara.

Tetapi dalam beberapa minggu terakhir, Johnson belum dapat mencapai konsensus bahwa Majelis Rendah akan setuju soal Brexit. Karena itu, di bawah tekanan dari parlemen, ia menyerukan perpanjangan tenggat waktu Brexit dari UE dan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengumumkan bahwa UE telah sepakat untuk memperpanjang tenggat waktu untuk pelaksanaan Brexit sampai 31 Januari. Johnson mengatakan dalam sepucuk surat kepada Presiden Dewan Eropa bahwa dia akan setuju untuk memperpanjang batas waktu selama tiga bulan, terlepas dari keinginannya. 

Meskipun ia berharap para pejabat Uni Eropa tidak akan setuju dengannya, persetujuan Dewan Eropa untuk perpanjangan tiga bulan pemilihannya mengubah jalannya, dan ia menyerahkan RUU kepada Majelis Rendah dan menuntut dilakukannya pemilu awal. Dengan alasan ini, Johnson terpaksa untuk memperpanjang batas waktu ketika upayanya untuk menarik diri dari Uni Eropa gagal pada 5 Oktober dan parlemen memaksanya untuk meminta Brussels memperpanjang batas waktu untuk mengimplementasikan Brexit.

Boris Johnson, Perdana Menteri Inggris
Johnson mengusulkan pemilu awal untuk menyingkirkan situasi sulit ini, yang pada awalnya ditentang oleh Majelis Rendah pada 28 Oktober, tetapi akhirnya, setelah banyak pertimbangan, dalam voting yang dilakukan pada 29 Oktober, Johson berhasil memenangkan persetujuan parlemen untuk mengadakan pemilihan awal. Sebenarnya, RUU penyelenggaraan pemilu awal hingga kini telah beberapa kali ditolak di Majelis Rendah, tetapi Perdana Menteri Inggris bersikeras perlunya pemilu awal dan konsultasi maraton akhirnya berhasil mendapatkan suara dari para anggota parlemen untuk dibahas dan RUU berhasil diratifikasi dengan 438 suara setuju dan 20 suara menolak. Kini, salah satu pemilu paling penting dan menentukan dalam sejarah Inggris akan diadakan pada 12 Desember 2019. Dengan demikian, Majelis Rendah Inggis akan dibubarkan setelah RUU ini disetujui di Majelis Tinggi dan hasil pemilu awal akan menentukan komposisi baru Majelis Rendah dan selanjutnya adalah masa depan Brexit.

Johnson menganggap solusi terbarunya adalah menyelenggarakan pemilu awal, sehingga partai Konservatif dapat memenangkan pemilu parlemen awal dengan kemenangan yang menentukan dan dengan terbenuknya parlemen yang sesuai dengan pandangannya, kesepakan Brexit dapat diimplementasikan dan merealisasikan pemisahan Inggris dari Uni Eropa.

Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn, dimana penolakan partai ini menyebabkan kegagalan pemerintah Inggris untuk mengadakan pemilu awal beberapa kali, mengatakan, "Kami telah sepakat untuk mengadakan pemilu awal setelah memastikan opsi pemisahan secara sepihak dari Uni Eropa dihilangkan."

Dengan demikian, pemilu awal akan diadakan di Inggris pada 12 Desember, dengan Johnson berharap untuk menang dan membentuk parlemen dengan mayoritas Konservatif demi meratifikasi apa saja yang dibutuhkan terkait Brexit dan mengimplementasikannya tanpa rintangan. Namun, pemilu awal merupakan risiko besar baginya karena jika ia gagal menang, ia akan kehilangan pertaruhan politik dan kehilangan status dan kekuasaan politiknya, seperti Theresa May, mantan Perdana Menteri Inggris.

Di sisi lain, Partai Buruh, yang sekarang memegang jumlah kursi terbesar di Parlemen Inggris setelah Partai Konservatif, berharap untuk memenangkan mayoritas mengingat kegagalan pemerintah dan Partai Konservatif terkait Brexit dan penolakan masyarakat dengan pendekatan Brexit dari partai ini. Kenyataan ini membuat Partai Buruh dapat meraih mayoritas kursi di Majelis Rendah dengan sendirinya dapat memiliki kekuatan politik. Untuk mengumpulkan lebih banyak suara, Partai Buruh telah mengumumkan bahwa salah satu pendekatannya jika partai itu berkuasa adalah menyerahkan nasib Brexit kepada rakyat dengan mengadakan referendum.

Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh Inggris
Selain Inggris, Uni Eropa memiliki pandangan dan kepentingannya sendiri. Brussels ingin mengklarifikasi seluruh hubungan London-UE, termasuk masa depan perdagangan dan hubungan ekonomi, terutama masalah dua perbatasan Irlandia. Terlepas dari keuletan awal Johnson, kesepakatan baru dicapai pada pertengahan Oktober 2019 dalam negosiasi yang kompleks dan terperinci antara kedua belah pihak. Meskipun Majelis Rendah Inggris akhirnya menyetujui kesepakatan itu, ia mengatakan perlu waktu untuk memeriksa detailnya dan Dewan Eropa pada dasarnya setuju untuk memperpanjang waktu keluarnya Inggris dari Uni Eropa hingga 31 Januari 2020.

Meskipun Uni Eropa telah sepakat untuk memperpanjang batas waktu Brexit, hal itu telah menyebabkan peningkatan perselisihan di antara negara-negara anggota UE. Beberapa dari mereka, termasuk Perancis, menginginkan batas waktu dua minggu bagi Inggris untuk melaksanakan Brexit. Presiden Prancis Emmanuel Macron mendesak Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dalam waktu kurang dari dua minggu, tetapi beberapa negara, seperti Jerman dan Irlandia, menyetujui tenggat waktu tiga bulan untuk London, yang pada akhirnya membuat Jerman dan para mitranya yang menang.

Masalah besar lain dalam krisis Brexit adalah prospek hubungan Inggris dengan AS di era pasca-Brexit, yang kini telah menjadi pertanyaan utama dalam hubungan London-Washington. Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan pendekatan intervensionisnya ke Inggris dalam setahun terakhir dan, di samping dukungan langsung untuk Perdana Menteri Boris Johnson, Washington memberikan saran tentang bagaimana dan kapan harus memilih.

Dalam pidato intervensif baru-baru ini, Trump mengatakan bahwa pemilihan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn untuk posisi perdana menteri Inggris dalam pemilu mendatang adalah buruk. Trump menyebut Perdana Menteri Konservatif Boris Johnson saat ini sebagai "orang yang luar biasa" dan mengklaim bahwa Corbyn akan memimpin Inggris dengan cara yang sangat buruk. Presiden AS telah berulang kali campur tangan dalam urusan dalam negeri Inggris, termasuk masalah meninggalkan Uni Eropa, dan telah berulang kali memuji Johnson.

Trump juga mengkritik perjanjian pemerintahan Johnson dengan Uni Eropa tentang Brexit dan mengatakan, "Bagian dari kesepakatan itu menghambat perdagangan Washington dengan London."

Donald Trump dan Boris Johnson
Trump, seperti Johnson, mendukung penarikan penuh Inggris dari Uni Eropa. Presiden AS yang kontroversial berpendapat bahwa London tidak harus membayar biaya kepada Brussels untuk meninggalkan Uni Eropa.

Terlepas dari keinginan Konservatif Inggris untuk memperluas hubungan dengan Amerika Serikat, Partai Buruh tidak memiliki sikap yang sangat positif dalam hal ini. Jeremy Corbyn menekankan, "Kami tidak akan menjual layanan publik Inggris kepada Donald Trump atau investor Amerika lainnya." 

Corbyn mengutip harapan orang Amerika untuk mengendalikan ekonomi Inggris, sektor bisnis dan publik setelah negara itu meninggalkan Uni Eropa. Bagi pemimpin Partai Buruh, ini dipandang sebagai gangguan dalam urusan dalam negeri Inggris dan tanda pendekatan hegemonik Washington. Corbyn mengatakan, "Trump sedang berusaha untuk ikut campur dalam pemilu Inggris sehingga temannya Boris Johnson akan terpilih. Saya mengerti bahwa presiden AS tidak senang dengan prospek terpilihnya Partai Buruh di Inggris."

Trump beranggapan bahwa dengan menegaskan kembali Johnson sebagai perdana menteri baru Inggris setelah pemilu awal, ia akan sepenuhnya sejalan dengan mandatnya dan dapat berurusan dengan Uni Eropa dan melemahkan Eropa bersatu melalui dia.

Jika Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan, Inggris akan menghadapi masalah ekonomi, politik, dan keamanan yang sangat besar. Terutama jika masalah batas antara kedua negara Irlandia tetap belum terselesaikan, dapat diprediksi bahwa Irlandia Utara akan sekali lagi terganggu oleh ketidakstabilan politik dan kekerasan sektarian antara Katolik Republik dan Protestan Kerajaan setelah surut dengan kesepakatan Jumat Agung tahun 1998.

Di sisi ekonomi Brexit tanpa kesepakatan juga akan memiliki konsekuensi serius bagi Inggris. Business Europe, organisasi bisnis terbesar di Eropa, telah memperingatkan dalam laporan terbarunya bahwa Brexit tanpa kesepakatan itu adalah bencana.

Secara keseluruhan, terlepas dari semua perkembangan terakhir, dapat dikatakan bahwa prospek Brexit tetap ambigu, dan hasil pemilu awal tidak hanya akan membentuk situasi hari ini tetapi juga nasib generasi mendatang di Inggris.

Read 722 times