Print this page

Gaza yang Tak Pernah Menyerah

Rate this item
(0 votes)
Gaza yang Tak Pernah Menyerah

 

Rezim Zionis Israel pada 27 Desember 2008 menyerang Jalur Gaza, dan melakukan pembantaian mengerikan yang dikenal dengan "Gaza Massacre" dalam sebuah operasi bersandi "Operation Cast Lead".

Para pejabat tinggi Israel mengira dalam waktu kurang dari 7-10 hari mereka bisa memusnahkan kelompok perlawanan Palestina, atau begitu melemahkannya sehingga tidak punya kemampuan lagi untuk menolak proyek-proyek Israel-Amerika Serikat. Dalam perang ini, Israel mengerahkan seluruh kemampuan dan pasukannya dengan dukungan AS, dengan maksud untuk melenyapkan total Hamas, akan tetapi kelompok perlawanan Palestina ini membuktikan kemampuan bertahan dan melawan serangan Zionis. 
 
Israel setelah 22 hari melancarkan serangan luas ke Gaza, tepatnya pada 18 Januari 2009 terpaksa mundur dari Jalur Gaza. Oleh karena itu, tanggal 18 Januari setiap tahun diperingati Republik Islam Iran sebagai Hari Gaza untuk mengenang perjuangan dan keberanian Hamas serta rakyat Gaza. Urgensi Hari Gaza terletak pada perannya dalam mengingatkan masyarakat dunia bahwa dengan solidaritas, kubu arogan tidak akan bisa menjerumuskan dunia pada kehinaan. Hari Gaza sebagaimana Hari Quds, merupakan peluang untuk meneriakan ketertindasan dan tuntutan rakya tertindas Gaza meski media-media Barat melakukan sensor ketat terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan Israel.
 
Jalur Gaza wilayah dengan panjang 41 kilometer, lebar lebih 6-12 kilometer dan luas total 365 kilometer persegi, terletak di dekat Laut Mediterania, yang berbatasan dengan Mesir dan wilayah pendudukan. Gaza yang merupakan daerah kecil tapi penting dan strategis, memiliki garis perbatasan dengan Mesir sepanjang 11 kilometer, 51 kilometer dengan wilayah pendudukan, dan 40 kilometer dengan pesisir pantai Mediterania. Posisi terpenting di Jalur Gaza adalah kota Gaza yang memiliki penduduk sekitar 500.000 jiwa termasuk salah satu kota terpadat di dunia.
 
Gaza karena merupakan garda terdepan umat Islam dalam melawan Israel, dan merupakan lokasi terdekat untuk menghantam tubuh Zionis, menjadi tempat yang strategis. Di sisi lain, Jalur Gaza bagi Israel juga dianggap sangat penting, karena dekat dengan Mesir, dan dekat jalur utama pasokan energi serta keamanan Israel. Dengan menduduki Gaza, Israel dapat menduduki seluruh wilayah Palestina, dan bisa menyingkirkan seluruh kekhawatiran soal ancaman keamanan bagi dirinya.  
 
Jalur Gaza dalam Perang Enam Hari di tahun 1967 berhasil diduduki Israel, akan tetapi akhirnya pada Desember 2005 kembali ke tangan rakyat Palestina setelah pasukan Israel berhasil dipukul mundur dari wilayah itu. Sejak tahun 2007, Israel dengan maksud menekan pemerintah Hamas di Gaza, menerapkan blokade laut dan darat di wilayah ini sehingga satu-satunya jalur penghubung dengan dunia luar yang masih terbuka hanyalah pintu perlintasan Raffah di perbatasan Mesir.
 
Tak berhenti di situ, Israel melanjutkan aksinya dengan melancarkan serangan mengerikan dan keji pada tahun 2008 ke Jalur Gaza. Pada perang yang berlangsung selama 22 hari itu, Gaza menjadi sasaran serangan luas jet-jet tempur Israel. Akibat serangan itu, rumah-rumah warga Palestina di Gaza, rumah sakit, sekolah, masjid, klinik kesehatan, infrastruktur dan fasilitas publik hancur, dan sejumlah banyak warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan gugur. 
 
Menurut data resmi yang dirilis, dalam Perang 22 Hari, 1.455 orang gugur, 404 orang di antaranya anak-anak dan 115 orang lainnya perempuan. Jumlah korban luka dalam Perang 22 Hari mencapai 5.303 orang, 1.815 di antaranya anak-anak. Menurut laporan organisasi-organisasi Palestina, akibat Perang 22 Hari, 40 rumah sakit dan klinik kesehatan menjadi target langsung serangan dan pemboman Israel, sehingga menimbulkan kerugian finansial sebesar 10 juta dolar atas rumah sakit dan klinik kesehatan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan Palestina.
 
Sekalipun harus menderita kerugian yang besar, perlawanan 22 hari Hamas dan rakyat Gaza, berhasil memukul mundur Israel secara memalukan. Perang ini pada kenyataannya telah meruntuhkan mitos tak terkalahkannya Israel, dan mengungkap substansi kejahatan rezim penjajah ini di hadapan mata dunia. Dalam perang ini seperti juga ditemukan pada banyak kasus lain, organisasi internasional dan negara-negara Barat yang mengklaim pembela hak asasi manusia, serta beberapa negara kawasan yang memiliki rekam jejak HAM yang hitam, hanya diam menyaksikan kejahatan mengerikan Israel terhadap rakyat Gaza.
 
Pasalnya, mereka selalu menjustifikasi serangan-serangan Israel dengan mengatakan, "Israel berhak membela diri !", akan tetapi mereka tidak pernah menjawab pertanyaan dengan standar apa, dan apakah Piagam PBB membolehkan serangan ke rumah sakit, masjid dan sekolah ? Selama bertahun-tahun mereka hanya bisu menyaksikan blokade Jalur Gaza.
 
Hari Gaza realitasnya adalah jawaban atas seluruh gerakan normalisasi dengan Israel, dan "tidak" atas penipuan-penipuan Israel. Hari Gaza adalah simbol perlawanan dan perjuangan untuk menghidupkan hak-hak rakyat Palestina yang dirampas sebagai sebuah tuntutan serius dan menyeluruh. Hak terpenting rakyat Palestina adalah hak kembali ke rumah dan diakhirinya pendudukan di seluruh wilayah geografis Palestina, dan hak menentukan masa depan sendiri.
  
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya memperingati Hari Quds Sedunia, dengan menjelaskan hakikat tersebut, menyinggung terbukanya fase baru dalam perjuangan membebaskan Palestina, dan lahirnya front perlawanan serta perubahan perimbangan kekuatan yang menguntungkan pejuang Palestina. Ayatullah Khamenei menyampaikan analisa komprehensif terkait konstelasi kawasan dan mengatakan, "Sungguh disesalkan sebagian besar negara Arab setelah perlawanan-perlawanan pertama, secara perlahan menyerah, dan dengan melupakan kewajiban kemanusiaan serta keislaman, politik dan martabat bangsa Arab, membantu musuh mencapai tujuan-tujuannya."
 
Ayatullah Khamenei saat menjelaskan urgensi dan tujuan perlawanan dalam visi masa depan Palestina mengatakan, "Tujuan dari perjuangan ini adalah kebebasan seluruh wilayah Palestina 'dari laut hingga sungai', dan kembalinya seluruh warga Palestina ke tanah air mereka, oleh karena itu mereduksi perjuangan ini dengan membentuk sebuah pemerintahan di sudut wilayah Palestina, bukan tanda tuntutan kebenaran, dan bukan indikasi pandangan realistis, karena hari ini jutaan rakyat Palestina sudah sampai pada tingkat tertentu dari sisi pemikiran, pengalaman dan kepercayaan diri sehingga mampu menjalankan jihad besar ini, dan dengan bantuan Allah Swt yakin akan kemenangan akhir."
 
Dalam hal ini tidak diragukan tujuan final kubu imperialis dan Zionis adalah melunturkan isu Palestina di benak masyarakat Muslim dunia, dan berusaha supaya isu itu terlupakan. Dalam kerangka ini, kebijakan Israel dan AS adalah upaya pemindahan ke belakang front perlawanan, dan melancarkan perang saudara untuk menyibukan front perlawanan, serta memberi kesempatan kepada Israel. Seperti yang dilakukan di Suriah, Yaman dan Irak dengan membentuk ISIS. Proyek Kesepakatan Abraham yang dirilis pada masa mantan Presiden AS Donald Trump, diklaim untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina, namun sebenarnya merupakan instrumen lain AS.
 
Proyek Kesepakatan Abraham adalah kelanjutan dari konspirasi yang dirancang segitiga AS, Israel dan Arab Saudi untuk mengubah konstelasi keamanan kawasan, dan menduduki total Dunia Islam. Pengakuan secara resmi Al Quds sebagai ibu kota Israel, penyerahan 30 persen wilayah Tepi Barat ke Israel, menolak kembalinya pengungsi Palestina ke tanah air mereka, dan melucuti penuh senjata Palestina, merupakan isi Kesepakatan Abraham yang terpenting.
 
Berdasarkan rencana busuk itu, pemerintah Palestina dibentuk di Jalur Gaza, dan hanya di wilayah A, B serta sebagian wilayah C di Tepi Barat, dan kondisi terakhir Al Quds serta kembalinya para pengungsi Palestina, ditangguhkan untuk perundingan selanjutnya. Pada langkah terakhir, perundingan normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab di bawah pimpinan Saudi akan dimulai. Masalah pengungsi juga akan diselesaikan melalui formula "tanah air ketiga" di luar Palestina pendudukan, dan hak kembalinya pengungsi Palestina ke negara mereka akan dilupakan untuk selamanya.
 
Bangsa Palestina sampai sekarang dengan terus bersabar menanggung seluruh kesulitan, menolak tunduk pada Israel, dan membela sekuat tenaga tanah air mereka sampai kelak berhasil dibebaskan. Ayatullah Khamenei di salah satu pidatonya menyinggung realitas ini dan mengatakan, "Jangan dibayangkan bahwa melawan Israel tidak berguna, karena berkat izin dan karunia Allah Swt, perjuangan-perjuangan melawan Israel akan membuahkan hasil, sebagaimana kemajuan yang dicapai gerakan perlawanan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya."
 
Ayatullah Khamenei menjelaskan bahwa Israel pernah meneriakan slogan "dari Nil hingga Eufrat", tapi sekarang untuk melindungi diri sendiri saja harus membangun dinding pembatas. Ia menegaskan, "Tidak diragukan Palestina adalah sebuah kesatuan dan sejarah 'dari laut hingga sungai', dan Al Quds adalah ibu kotanya, yang sama sekali tidak ada keraguan atas kenyataan ini."
 
Wakil Hamas di Iran, Khaled Al Qaddumi mengatakan bahwa perlawanan rakyat Palestina adalah faktor penyebab gagalnya konspirasi-konspirasi Israel. Ia menuturkan, "Salah satu tujuan asasi proyek Kesepakatan Abraham adalah menghadapi senjata perlawanan. Zionis menyadari bahwa masyarakat dunia percaya rakyat Palestina adalah pengungsi yang harus mengabiskan sisa usianya tanpa memiliki tanah air, akan tetapi perlawanan dan gerakan spontan Intifada menyebabkan masalah Palestina tetap menjadi masalah utama dan asli dunia, dan mencegah cita-cita Palestina tersingkirkan lewat proyek-proyek normalisasi dengan Israel."
 
Penetapan tanggal 18 Januari sebagai Hari Gaza merupakan peluang untuk mengungkapkan kembali kejahatan-kejahatan Israel terhadap rakyat tertindas Gaza, dan mengapresiasi perjuangan warga wilayah itu yang dengan tangan kosong tapi bertekad baja, berhasil melawan sebuah rezim yang mendapat dukungan penuh dari Barat. 

Read 501 times