Print this page

Hadis Tsaqalain

Rate this item
(0 votes)
Hadis Tsaqalain

 

 

“Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”

Hadis Tsaqalain (حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”

Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut.

Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.

Matan Hadis

Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:

«...إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی‏...».


 “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.” [1]

Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah, meriwayatkan”

«... کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض...».


“Ajalku sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga al-Haudh.” [2]

Sumber  dan Sanad Hadis

Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.

Sumber dari Literatur Ahlusunnah

Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:

*Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.

*Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]

*Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.

*Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14].

*Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16].

*Imam Ali As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazāz [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]

*Abudzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]

*Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an  Zawaid al-Bazār. [20]

*Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]

*Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]

Dan sejumlah dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]

Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām  juga menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab Ahlusunnah.

Jadi sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]

Sumber dari Literatur Syiah

Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]

Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:

Kitab berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi, Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.

Kitab berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahuzi.

Waktu dan Tempat Keluarnya Hadis

Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.

Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]

Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:

*Pada hari Arafah, disaat menunggangi unta [28], pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]

*Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji terpisah satu sama lain. [30].

*Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]

*Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]

*Di atas mimbar. [34]

*Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]

*Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]

*Di ranjang, saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]

Sunnah atau Itrah?

Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam pembahasan ikhtilaf antar mazhab.

Siapakah yang Dimaksud Itrah?

Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’ [39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan pesannya. [41]

Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]

Keutamaan Hadis

Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.

Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:

Kewajiban Mengikuti Ahlulbait

Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.

Kemaksuman Ahlulbait

Ada dua poin yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:

*Menegaskan jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.

*Ketidakterpisahan Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya.

Sebagian dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]

Keharusan Adanya Imam

Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.

*Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini, al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.

*Nabi Saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.

*Nabi Saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya. 

Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44] menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi.” [45]

Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber

Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan.

Sayid Abdul -Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Sulaim Busyra –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]

Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab

Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Sulaim Busyra dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]

Sumber: http://id.wikishia.net

Catatan Kaki

[1] Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.

[2] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.

[3] Atsar Ahmad Mahauzi.

[4] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.

[5] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.

[6] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.

[7] Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.

[8] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.

[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.

[10] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.

[11] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.

[12] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.

[13] Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.

[14] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.

[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.

[16] Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.

[17] Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhār, hlm. 88, hadis 864.

[18] Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.

[19] Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.

[20] Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.

[21] Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.

[22] Al-Bani, Dzhalāl al-Jannah, hadis 1465.

[23] Teks lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1, hlm. 106-107 dan al-Ashābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.

[24] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.

[25] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.

[26] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.

[27] Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.

[28] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.

[29] Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.

[30] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.

[31] Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.

[32] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.

[33] Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.

[34] Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.

[35] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.

[36] Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.

[37] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.

[38] Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.

[39] Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.[40] Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.

[41] Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.

[42] Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.

[43] Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.

[44] Jilid 8, hlm. 7.

[45] Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.

[46] Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.

[47] Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.

Read 914 times