Print this page

Islam dan Gaya Hidup (33)

Rate this item
(0 votes)
Islam dan Gaya Hidup (33)

 

Kita sebelumnya telah menyinggung tentang etika individual dalam gaya hidup Islami. Etika itu mencakup perkara-perkara seperti, pentingnya perencanaan dan kedisiplinan dalam hidup, cara mengisi waktu luang, olahraga dan wisata yang sehat, pentingnya belajar, kesehatan dan kebugaran individu, perhatian terhadap penampilan, etika berkomunikasi dan tema-tema lain.

Sekarang kita akan berbicara tentang gaya hidup sosial yang baik dan ideal dan kajian ini menyentuh berbagai aspek kehidupan seperti, hubungan kekeluargaan, hubungan persaudaraan, pergaulan (mu’asyarah) dengan teman, dan cara berinteraksi dengan teman kerja di lingkungan kerja dan seluruh aktivitas sosial.

Hubungan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam memperbaiki masalah sosial. Manusia adalah makhluk sosial dan predikat ini menuntut mereka untuk mengenal bagaimana bentuk hubungannya dengan orang lain dan kemudian menatanya dengan benar. Sebagian besar aturan-aturan akal dan juga pendidikan moral berhubungan dengan perilaku sosial dan cara untuk menata hubungan tersebut.

Islam juga menaruh perhatian besar terhadap masalah ini dan menurutnya, kehidupan duniawi hanya akan tertata dengan iman dan amal saleh. Dalam perspektif Islam, manusia sempurna adalah mereka yang mendidik dirinya dengan ajaran-ajaran akal dan wahyu dan kemudian menunaikan tanggung jawabnya terhadap orang lain.

Melaksanakan tanggung jawab tersebut dalam masalah interaksi dengan orang lain, membutuhkan model pergaulan serta hubungan yang benar dan sehat dengan mereka. Di sinilah pentingnya menjelaskan kaidah-kaidah untuk pergaulan dan hubungan yang sehat. Mu’asyarah dalam bahasa Arab dibentuk berdasarkan sighah “musyarakah baina al-ikhsaini” yang berarti kebersamaan dua pihak. Kata mu’asyarah mengandung arti hubungan, pergaulan, persahabatan, silaturahim, hidup bersama, dan sehati. Oleh karena itu, mu’asyarah terjalin dalam waktu singkat atau waktu lama dan dalam batas yang akrab atau biasa-biasa saja serta tidak harus bersifat jangka panjang.

Berdasarkan hal itu, segala bentuk hubungan jangka pendek atau panjang antara para individu di tengah masyarakat menuntut sebuah kerangka aturan dan etika sehingga hubungan dan pergaulan tersebut bersifat positif dan sehat. Allah Swt dalam ayat 58 dan 59 surat an-Nur, menekankan pentingnya nilai-nilai pendidikan dan pengamalan terhadap etika bergaul. Ayat tersebut meminta para orang tua untuk mengajarkan tata cara mu’asyarah di bidang perilaku sosial kepada anak-anak mereka di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.

Aturan mu’asyarah sangat penting untuk diajarkan kepada semua individu dan dalam kasus tertentu, Allah Swt sendiri mengajarkan para nabi tentang tata cara mu’asyarah dalam kehidupan. Hal ini sebagai bentuk penekanan tentang pentingnya persoalan ini.

Di sepanjang sejarah, selalu ditemukan orang-orang yang menghindari mu’asyarah dan hubungan dengan pihak lain, mereka memilih hidup menyendiri di tempat-tempat sepi. Orang-orang tersebut juga punya alasan mengapa memilih hidup seperti itu. Misalnya saja, mereka menganggap kehidupan sosial dan pergaulan dengan orang lain sebagai wadah munculnya dosa dan penyimpangan.

Mereka menilai keramaian dan masyarakat sebagai jurang menuju ke lembah dosa. Menurut pandangan mereka, menyendiri dari keramaian akan membuat mereka hidup tanpa beban dan kemudian dapat menyibukkan diri dengan ibadah kepada Tuhan. Dengan begitu, mereka beranggapan dirinya akan terbebas dari tudingan, fitnah, dan prasangka buruk yang marak terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya, melakukan mu’asyarah dan membangun hubungan konstruktif dengan orang lain merupakan salah satu kebutuhan utama jiwa dan mental manusia. Sejumlah filosof percaya bahwa zat dan fitrah manusia dirancang untuk memiliki kehidupan sosial dan hidup bermasyarakat.

Ilustrasi anak-anak bergaul dengan membaca
Jelas bahwa tidak ada seorang pun dalam kondisi normal mampu bertahan hidup sendirian. Manusia dilahirkan di tengah masyarakat, mereka juga mampu eksis bersama masyarakat dan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka di tengah masyarakat.

Manusia tidak hanya membutuhkan kehadiran orang lain di permulaan hidupnya, tapi juga memerlukan mereka di semua fase kehidupannya. Dengan bergaul bersama orang lain, manusia mampu mengenal dirinya dengan baik, menemukan karakter dan kapasitasnya, serta memperoleh gambaran yang realistis tentang dirinya.

Sejujurnya, mengapa salah satu bentuk hukuman yang paling berat bagi para pelaku kriminal adalah kurungan di sel isolasi? Iya, sel isolasi akan membuat mereka tidak bisa berinteraksi dan bergaul dengan manusia lain. Penderitaan berupa terasing dari orang lain yang ditanggung oleh penghuni sel isolasi, bahkan jauh lebih berat dari larangan mengkonsumsi makanan atau memakai pakaian dan sejenisnya.

Poin lain yang mengindikasikan kedudukan penting interaksi sosial dan mu’asyarah antar-sesama adalah bahwa banyak dari sifat-sifat buruk akan tampak melalui interaksi sosial. Kehidupan sosial dan pergaulan dengan orang lain membuka ruang bagi munculnya berbagai keutamaan seperti, keadilan, persamaan, kebaikan, pengorbanan, infak, tawadhu, kejujuran, dan sejenisnya. Demikian juga dengan sifat-sifat tercela semisal, kezaliman, penistaan hak orang lain, egoisme, sombong, pengkhianatan, kebohongan, suap, ghibah, iri dengki dan lain-lain, semua juga akan tampak dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan orang lain.

Proses belajar dan mengajar tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan interaksi sosial dan hubungan komunikatif. Mengenal pengalaman orang lain dan belajar dari mereka, merupakan salah satu perkara lain yang tidak akan tercipta kecuali melalui interaksi dan mu’asyarah dengan masyarakat.

Dalam ajaran Islam, mu’asyarah dengan sendirinya tidak memiliki nilai, tapi baik-buruknya berkaitan dengan tujuan dari pergaulan itu sendiri dan pengaruhnya bagi kesempurnaan manusia. Salah satu tujuan utama bergaul dengan orang lain adalah memperoleh keutamaan-keutamaan moral dan meraih kemajuan untuk melatih diri.

Jika mu’asyarah dengan orang lain justru menyebabkan kita terperosok dalam dosa dan maksiat serta menyimpang dari jalur petunjuk dan kebahagiaan, maka pergaulan seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan dan kita harus menjauhinya. Sebaliknya, jika mu’asyarah dengan pihak lain akan mendekatkan kita kepada Allah Swt dan memperkuat keimanan, maka kita harus berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkannya.

Oleh sebab itu, Islam memberikan model khusus tentang mu’asyarah dan hubungan sosial. Agama ini tidak merekomendasikan semua model mu’asyarah, karena beberapa bentuk pergaulan justru bersifat negatif dan Islam menganjurkan kita untuk meninggalkannya. Rasulullah Saw dalam sebuah nasehat kepada Abu Dzar al-Ghifari bersabda, “Wahai Abu Dzar! Duduk bersama orang saleh itu lebih baik dari kesendirian dan kesendirian lebih baik dari berkumpul bersama orang-orang yang tidak taat.” (Bihar al-Anwar, juz 74, hal 84)

Dalam surat al-Furqan ayat 27-29, Allah Swt berfirman, “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata; "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Quran ketika al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”

Suatu hari Imam Ali as ditanya tentang siapakah teman terburuk? Beliau berkata, “Siapa saja yang memperlihatkan dosa itu indah di hadapan manusia.” (Bihar al-Anwar, juz 71, hal 190). Imam Ali as juga melarang manusia untuk berkumpul bersama para penjilat dan berkata, “Janganlah engkau bergaul dengan penjilat, karena ia mengesankan perbuatannya indah di matamu dan ia ingin agar engkau juga seperti dia.” (Ghurar al-Hikam, juz 2, hal 85)

Gaya Mu’asyarah manusia memiliki beragam bentuk. Kita kadang membangun hubungan dengan individu lain sebagai seorang manusia terlepas dari etnis, asal kota atau tempat tinggal. Mu’asyarah kemanusiaan adalah hubungan yang melihat orang lain sebagai makhluk sejenis. Model lain mu’asyarah adalah hubungan dengan sesama saudara seiman atau sepaham.

Interaksi seperti ini disebut sebagai mu’asyarah atas dasar agama. Kita sebagai seorang Muslim memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap saudara seiman, di mana tanggung jawab ini lebih besar dari tugas-tugas lain. Ajaran Islam sendiri juga menggambarkan dengan indah soal bentuk dan tata cara menjalin hubungan antar sesama Muslim.

Read 546 times