Print this page

Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (1)

Rate this item
(0 votes)
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (1)

Mohon jelaskan secara singkat tentang kehidupan, pendidikan dan hasil karya Imam Khomeini!

Imam Khomeini lahir di tengah-tengah keluarga pejuang. Dalam usia lima bulan, ayahnya meninggal dunia. Dalam usia enam belas tahun, ibunya meninggal dunia. Beliau diasuh dan dididik oleh bibinya dan kakaknya yang lebih besar. Ketika beliau berusia sembilan belas tahun, beliau berkesimpulan bahwa bila mau mempelajari ilmu, maka harus berada di lingkungan ilmu tersebut. Itulah mengapa beliau kemudian pergi ke Isfahan, Arak, kemudian melanjutkan ke Qom. Imam Khomeini pergi ke Qom ketika usia dua puluh tahun dan dalam usia dua puluh tujuh tahun beliau berhasil menulis bukunya yang pertama Irfan-Akhlak, yakni beliau menulis syarah doa Sahar dan saat ini buku tersebut diajarkan di tingkat tinggi universitas. Dalam usia dua puluh delapan tahun, beliau menulis lebih luas hasil karya; Irfan-Akhlak nya mejadi Misbahul Hidayah Ilal Khilafah wal Wilayah. Kebanyakan buku-buku irfan Imam Khomeini, beliau tulis ketika sebelum berusia empat puluh tahun. Seperti; Chehel Hadis, Serrus Shalat wa Adabus Shalat. Imam Khomeini pada dasarnya mengikuti perintah ayat al-Quran, “Wa Yuzakkihim Wa Yallimuhumul Kitaba Wal Hikmata”. Yakni pertama; beliau membangun dirinya kemudian berkecimpung dalam urusan keilmuan. Beliau melaksanakan perintah Ilahi karena mengenal Allah dan mengenal dirinya dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Orang-orang yang mengenal Imam Khomeini dan buku-bukunya dari dekat, mengetahui bahwa antara tulisan, omongan dan perbuatan Imam Khomeini terdapat keselarasan. Dengan model inilah Imam Khomeini menjadi imam dan masyarakat mempercayainya. Buku-buku ushul dan fikih seperti Al-Bai’ dan Makasib Muharrameh dan lain-lainnya beliau tulis setelah berusia empat puluh tahun.

Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?

Imam Khomeini di tengah-tengah keluarga benar-benar menjaga semua hak-hak yang ada. Beliau tidak memberikan hak pada dirinya untuk mengeluarkan perintah kepada ibu kami, meski itu hanya sebuah perintah kecil. Di dalam rumah, ibu kami memiliki kebebasan penuh. Untuk keluar rumah juga memiliki kebebasan penuh. Kecuali bila Imam Khomeini memandang tempat yang akan dituju tidak tepat, maka beliau mengingatkannya. Tentunya ibu kami juga tidak tersinggung sama sekali bila mendapat teguran dari suaminya yang sekaligus sebagai partner dan orang yang menyayanginya. Bahkan mengamalkannya. Imam Khomeini di pekan pertama setelah pernikahannya, kepada ibu beliau berkata:

“Aku tidak meminta sesuatu darimu dan aku tidak akan memerintah dan melarangmu. Hanya jangan lakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan lakukan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Yakni aku hanya meminta kepadamu menjalankan hukum yang diperintahkan oleh Allah.”

Setelah berabad-abad hak-hak kaum wanita diinjak-injak dan mereka sebagai alat permainan para pelaku kezaliman, Imam Khomeini menampakkan kepada mereka keagungan jiwa, kepribadian dan kemuliaan hakiki mereka. Imam Khomeini senantiasa memerintahkan mereka untuk ikut berpartisipasi secara langsung terkait nasib mereka dan urusan politik-sosial. Beliau mempelajari hubungan yang sehat menurut Islam dengan keluarga dan istri baik dari sisi praktis maupun teori. Beliau telah mewujudkan contoh nyata tentang persamaan dan keadilan, kesepakatan hati dan kerjasama dalam rumah sebagaimana kakeknya Ali bin Abi Thalib as. Beliau benar-benar berpartisipasi dan bekerjasama dengan istrinya dalam menjaga anak-anak. Di waktu-waktu malam, beliau tidur selama dua jam, dan ibu yang menjaga kami, kemudian ibu tidur selama dua jam, dan beliau lantas yang menjaga kami.

Perilaku Imam Khomeini sangat berpengaruh pada kami. Kami di dalam keluarga Imam Khomeini merasakan adanya kekebasan penuh. Dan yang lelaki juga memiliki kebebasan penuh. Antara lelaki dan perempuan tidak saling berhadapan sehingga menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertikaian. Bahkan setiap orang menjadi penentu utama terkait urusannya masing-masing dan dia sendiri yang akan bertanggung jawab terkait perbuatannya. Hal ini saya ketahui karena pengaruh pendidikan Imam Khomeini. Karena beliau secara independen sebagai pengambil keputusan urusannya sendiri. Dan ibu kami juga sebagai pengambil keputusan semua urusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Nikmat kebebasan ini merupakan hutang budi kami atas pendidikan yang diberikan oleh Imam Khomeini. Setiap lelaki dan perempuan yang menjadi anggota keluarga kami, ia merasa memiliki kebebasan yang sah dan penuh. Masing-masing menghargai hal ini dan tidak berusaha mempersulit yang lainnya sehingga yang lain tidak akan membalas dengan hal yang sama yang membuatnya merasa kesulitan. Itulah mengapa setiap anggota keluarga hidup dengan penuh kepastian dan kebebasan.

Hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah, menjadi tanggung jawab ibu kami. Yang mengawasi masalah dana pengeluaran untuk kebutuhan rumah, sejak awal menjadi tanggung jawab ibu dan Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Padahal di zaman itu bapak-bapak sendirilah yang berbelanja untuk kebutuhan rumah. Bahkan ikut mengawasi pembuatan makanan. Namun Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Pada hakikatnya, terkadang di tengah-tengah masyarakat ada hal-hal yang dianggap sebagai sebuah undang-undang bagi masyarakat, sementara hal-hal tersebut tidak tertulis dalam undang-undang resmi negara. Di rumah kami juga ada undang-undang yang tidak tertulis dan Imam Khomeini menjaganya. Misalnya; bila Imam Khomeini sesekali mengatakan ingin duduk di tempat tertentu dan ibu kami mengatakan, “Tidak. Seseorang tidak harus duduk di tempat ini!” maka Imam Khomeini langsung mengamalkannya.

Saya tidak pernah melihat Imam Khomeini memerintah istrinya. Penghormatan yang dilakukan Imam Khomeini kepada ibu sangat besar. Selama enam puluh tahun hidup bersama, saya tidak pernah melihat beliau mengatakan pada ibu, “Kasih aku segelas teh!” Saya menyaksikan ibu membawa teh untuk disajikan buat Imam Khomeini, tapi mendapat protes dari Imam. Kepada Imam Khomeini ibu lantas mengatakan, “Saya membawa teh untuk diri saya sendiri.” Imam Khomeini mengatakan:

“Tidak. Saya yang seharusnya menyajikan teh.”

Yang menjadi kebiasaan selama ini, bekerja di dalam rumah merupakan kewajiban bagi istri. Bila seorang istri menginginkannya, maka ia bisa mengerjakannya. Tapi suami tidak berhak mengatakan lakukanlah pekerjaan ini, atau misalnya buatlah makanan untuk makan malam.

Suatu hari ibu saya menceritakan, bagaimana di awal kehidupan mereka berdua, Imam Khomeini mengajari caranya memasak nasi Kateh [nasi yang tanpa dibuang airnya, yakni semacam nasi liwet]. Imam Khomeini berkata:

“Ketika nasi sudah masak, maka cipratkan air ke bagian luar panci. Bila panci bersuara [suara yang timbul karena benturan tetesan air dengan benda panas], maka berarti tidak ada lagi air di dalam panci, dan nasi sudah matang.”

Suatu hari ibu saya ada tamu. Saya tidak tahu, tamunya datang begitu saja ataukah datang tidak tepat waktunya. Bagaimanapun juga tidak ada kesiapan untuk menjamunya. Saya masih ingat, ibu agak panik untuk menyiapkan kue dan buah. Kemudian ayah berkata:

“Sudahlah, pergi sana temui tamu-tamu itu!”

Setelah itu ayah menuju tempat bejana yang dipakai untuk membuat teh yang bahan bakarnya arang dan sangat sulit untuk menyalakannya. Ayah menggerak-gerakkan tempat itu sampai akhirnya menyala. Kemudian membuat teh dan menyiapkan hidangan. Ayah tidak mengizinkan ibu meninggalkan tamu-tamunya karena untuk mengerjakan sesuatu di ruangan lain.

Berkali-kali saya menyaksikan ibu masuk ke dalam ruangan dan duduk di samping ayah. Ayah juga tidak mengatakan, “Tutuplah pintunya!” tapi beliau sendiri bangkit dan menutup pintu tersebut. Bahkan ketika sudah bangkit tidak mengatakan kepada saya, “Tutuplah pintunya.” Suatu hari saya berkata kepada ayah, “Ketika ibu masuk ke ruangan, pada saat itu juga katakanlah kepadanya, tutuplah pintunya!” Ayah mengatakan:

“Saya tidak berhak untuk memerintahnya.”

Meski dalam bentuk permintaan, beliau tidak pernah meminta sesuatu pada ibu. Bila ibu ingin ke ruangan lainnya, beliau tidak akan mengatakan, “Ambilkan juga obatku dari ruangan itu!” Atau ketika mau mandi, beliau mengatakan:

“Saya ada baju?”

Tidak mengatakan, “Kasih aku baju!” sama sekali tidak memerintahkan dan tidak pernah menyerahkan sebuah pekerjaan kepada ibu. Sekali pembantu rumah cuti dan tidak bekerja, ibu membawa hidangan makanan di talam dan meletakkannya di taplak makan. Ayah mengatakan:

“Wah musibah! Farideh! Ibu sedang membawa talam!”

Tentunya masa ini kembali pada masa kanak-kanak saya. Saudara perempuan saya mengatakan, “Kami di rumah banyak bekerja. Tapi ayah sama sekali tidak mengizinkan ibu untuk bekerja.”

Imam Khomeini benar-benar memberikan kebebasan pada ibu sehingga ibu benar-benar nyaman saat makan atau tidur. Misalnya, bila suatu hari ibu lelah, meski Imam Khomeini begitu teratur dan tertib dalam pekerjaan-pekerjaannya, beliau tetap menjaga kondisi ibu dan mengatakan:

“Bila engkau mau, sekarang kita makan, lalu tidur.”

Bila kita; dua atau tiga orang mendatangi Imam Khomeini dan berbincang-bincang di sisi Imam Khomieni, beliau mengatakan:

“Mengapa kalian duduk di sini dan ibu kalian sendirian di halaman? Pergi dan berbincang-bincanglah di sisi ibu kalian!” (Emi Nur Hayati) 

Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.

Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh

Read 2385 times