Print this page

Muhammad ibn Makki

Rate this item
(0 votes)
Muhammad ibn Makki

Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.

Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.

Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.

Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.

Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.

Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.

Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.

Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.

Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.

Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.

Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.


Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”

Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”

Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.

Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.

Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.

Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.


Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.

Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.

Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.

Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar. 

Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.

Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.

Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.

Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.

Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.

Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.

Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.

Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.

Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.

Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.

Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.


Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”

Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”

Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.

Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.

Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.

Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.


Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.

Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.

Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.

Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar. 

Read 547 times