Print this page

Hujan di Taman Penyair

Rate this item
(0 votes)

"Dan Ayatullah Khomeini pun menulis puisi" Begitulah, sebaris kalimat yang tertulis di sebuah buku travelling terkemuka tentang Iran.

Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, maka bangsa Iran tumbuh bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran, menyimpan satu buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan baris-baris syair. Apalagi para dai dan presenter, tidak pernah ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi.

Sebuah keburuntungan bagi penyair-penyair Iran yang selalu mendapat sanjungan. Nama-nama mereka diabadikan menjadi jalan-jalan utama, layaknya pahlawan nasional. Bahkan setelah kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah, seperti yang kujumpai hari itu di kompleks pemakaman Hafiz.

Hafiziyeh, tanah yang membentang sekitar dua hektar di sebelah utara kota Shiraz. Saat kumasuki gerbang utama, pohon-pohon cemara kecil tampak rapi berjajar, seakan menyambut hangat para tamu yang datang. Dari kejauhan terlihat tangga-tangga menuju sebuah hall terbuka. Bangunan yang terdiri dari 20 tiang-tiang itu, membelah area Hafiziyeh dari gerbang menuju ke pusara. Dari atas hall inilah, dapat kulihat tempat makam Hafiz, sekaligus lalu lalang pengunjung dari arah gerbang.

Hujan di penghujung musim dingin baru saja mengguyur kota Shiraz saat aku tiba di Hafiziyah. Namun, pelataran kompleks tetap dipenuhi pengunjung yang akan menziarahi makam penyair kesayangan mereka. Tua muda berjalan dalam balutan baju hangat. Ada pasangan sejoli, keluarga, bahkan anak-anak.

Di antara penyair lainnya, Hafiz yang bernama kecil Syamsuddin Muhammad, memang mendapat tempat istimewa di tengah masyarakat Iran. Bahkan, syair-syairnya sering digunakan sebagai ‘petunjuk' atau faalnameh. Misalnya, ketika seseorang ragu terhadap sebuah keputusan, ia akan membuka buku Divan Hafiz secara acak. Di buku tersebut, terdapat penjelasan berupa anjuran atau larangan. Aku sendiri pernah mencobanya beberapa kali, kebanyakan hasilnya lebih bersifat motivasi dan nasihat positif. Melalui syair-syairnya, Hafiz seolah ingin memberikan semangat pada setiap pembaca. Itulah sebabnya, aku sangat mendamba bisa bertandang ke tempat peristirahatanya.

Dan kini bahagia rasanya. Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya aku bisa langsung melihat dari dekat pusara Hafiz dalam sebuah taman yang megah. Kompleks taman itu dilengkapi dengan perpustakaan, pusat riset, kedai teh, dan ruangan-ruangan lainnya yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Setiap tahunnya, para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di taman ini untuk mengenang hari kepergiannya. Mereka membacakan kembali syair-syair sang pujangga.

Tiba-tiba hati kecilku usil berceloteh "Sedang apa gerangan sang penyair? Apakah ia sekarang bahagia?" Jika menilik perjalanan hidupnya, Hafiz bukan termasuk orang yang begitu buruntung. Tidak seperti pendahulunya, Sa'adi yang banyak mengembara ke berbagai negara di Asia dan Eropa, Hafiz sepanjang hidupnya berada di kota kelahirannya. Dia juga tidak pernah menerbitkan antologi puisi, Naskah-naskahnya baru diterbitkan setelah kematiannya. Bahkan, semasa kecil, Hafiz yang yatim, harus meninggalkan bangku sekolah serta bekerja di tukang kain dan roti untuk menafkahi keluarga.

Namun, lihatlah hari ini! Tempat pemakaman Hafiz tak pernah sepi dari pengunjung, bahkan di musim dingin, di tengah guyuran hujan. Hawa yang menusuk inipun tak mampu mencegahku untuk segera bertemu sang penyair. Dalam balutan mantel cokelat tebal, kunaiki tangga-tangga menuju pavilion kecil terbuka, tempat pusara Hafiz berada.

Makam Hafiz dibangun satu meter lebih tinggi dari permukaan tanah, dinaungi kubah berbentuk topi darwis. Bagian dalam kubah dihiasi ubin keramik bercorak irfani. Biru turquois melambangkan langit, merah keunguan melambangkan anggur atau kemanisan abadi, sedangkan hitam putih, melambangkan malam dan siang, serta warna coklat melambangkan tanah. Sungguh perpaduan yang syahdu.

Dua perempuan muda berdiri di tepi makam sambil melantunkan syair-syair Hafiz. Mendengarkan puisi di area makam sang pujangga dan di tengah rintik hujan, memang terasa berbeda. Seakan jiwaku ikut terbang bersama laik-larik puisi.

"Apakah anda sekarang bahagia atau tidak, hanya Allah yang tahu. Tapi, apa yang membuat anda begitu dicinta dan puisi anda sangat dipuja?" Bisikku sesaat setelah menyentuhkan tangan ke pusara, mengikuti tradisi masyarakat Iran.

Sambil menerka-nerka jawaban, pandangannku beredar menyapu area di sekitar makam. Tanah yang basah, daun-daun yang menjuntai tertimpa air, langit yang mendung, serta puluhan pengunjung yang datang dan pergi. Dua pemuda bule terlihat sibuk mengambil gambar makam Hafiz dari berbagai sudut, seakan tidak ingin melewatkan moment yang begitu penting. Hafiz memang tidak hanya dicintai di Timur, namun namanya juga amat dikenal di belahan Barat sana.

Sejak pertengahan abad ke 18, Goethe, penyair legendaris Jerman amat menggandrungi puisi-puisi Hafiz. Karena begitu tergeraknya oleh sang pujangga, ia menempatkan Hafiz jauh lebih tinggi dari siapapun di dunia sastra. Bukunya yang berjudul West-Eastern Divan, sangat kental dengan nuansa Divan Hafiz, bahkan beberapa judulnya pun menggunakan bahasa Persia, seperti: Hafis Nameh (surat untuk Hafiz) dan Uschk Nameh (surat cinta).

Syair-syair Hafiz merembas dalam diri Goethe dan sedikit banyak mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia Timur dan Islam. Goethe pernah menulis puisi berjudul Hegire (Hijrah) dan prosa tentang Nabi Muhammad, juga sebuah sajak Mahomet's Gesang (Nyanyian Muhammad): Di bawah jejaknya, kembang-kembang dimunculkan dan nafasnya memberikan hayat atas padang-padang.

Sedang dalam puisi Hijrah, Goethe mengajak Barat untuk belajar spiritualitas dan kearifan Timur agar terlepas dari jeratan material. Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Banyak para pemuda Timur yang tercengang dan silau dengan budaya Barat, seolah dari sanalah segala sumber kemakmuran. Sehingga Timur hanya pantas menjiplak ilmu dan teknologi Barat. Lebih parah lagi, kondisi ini sudah mengakar dalam keseharian mereka dari cara bepakaian, gaya hidup sampai pola makan. Padahal Goethe yang besar dalam rahim Barat sangat ingin meniru Hafiz: "Aku ingin mencintai seperti Anda, minum seperti Anda. Ini akan menjadi kebanggaan hidupku"

"Ah…Siapa sangka, penyair yang sekarang terbaring itu, ternyata memiliki pengaruh luar biasa dan mendunia" Begitu gumanku saat akan meninggalkan sang pujangga.

Barangkali, karena kata-kata Hafiz juga terinspirasi dari Qur'an yang merupakan petunjuk setiap umat. Sejak kecil, Hafiz sudah mencintai kitab Qur'an. Bahkan, julukan ‘Hafiz' pun disandangnya, lantaran ia tidak hanya menghafal, tapi juga memahami ayat-ayat al-Qur'an. Dalam salah satu baitnya, Hafiz menulis:

Ah…jangan berduka! Tuhan telah mendengar

Jika derita datang dan dalam malam kau karam

Hafiz, ambil Quran dan bacalah

Lagu maha abadi, jangan berduka!

Hujan mulai mereda. Namun, di atas sana mendung masih bergelayut, siap menumpahkan kembali airnya. Air yang akan menggenangi kolam-kolam mungil di taman, menyirami cemara-cemara, pohon jeruk, dan terus merembas ke dalam tanah, menyegarkan kembali nafas kehidupan makhluk-makhluk di bawah sana. Seperti anugrah hujan yang tak pernah putus, langit pun selalu menebarkan berkahnya melalui lisan-lisan bijaksana. Sehingga pesan-pesanNya akan terus menggema di alam raya.

Dan, bisa jadi syair-syair Hafiz menjadi abadi karena bersandar pada firman-firman-Nya. Seperti pesan Ahmadinejad dalam pembukaan kongres penyair Iran dan Dunia tahun 2010: "Dengan menautkan bahasa kepada Tuhan, kata-kata jadi abadi."(IRIB Indonesia/majalah Ithrah, edisi Juni 2012/PH)

Read 3293 times