Print this page

HTI, LIPIA, ISIS hingga Filsafat Islam

Rate this item
(0 votes)
HTI, LIPIA, ISIS hingga Filsafat Islam

Oleh: Muhammad Maruf

Setidaknya jika diperhatikan akhir-akhir ini terdapat dua  isu berita yang menyedot emosi masa, lokal maupun internasioanal. Pertama kasus budaya penggal kepala oleh ISIS dan kompetisi presiden RI, Jokowi versus Prabowo. Dua isu ini menyedot banyak energi dan pada titik tertentu menggelisahkan nasib peradaban. Islam sebagai salah satu elemen pembangun peradaban, menjadi ajang bulan-bulanan kekuatan jahat, alih-alih mengarahkan dan mendorong gerak peradaban dunia makin beradab, Islam menjadi kelihatan ringkih, kurus, serba salah, dan kalah. Pertanyaan, apa yang menarik dari Islam? Jika yang terlihat dan terbaca di koran-koran oleh orang awam hanya yang buruk-buruk saja. Seolah display kemakmuran, kemajuanan sains, seni dan budaya maju hanya untuk etalase negara-negara pemenang perang dunia II.

Jika diperhatikan dengan jujur, emosi sebagian umat Islam yang tidak terbiasa berpikir rasional, tidak terlatih membaca media dengan baik, belum khatam memahami relasi agama dan politik dengan baik, bingung menghadapi perbedaan telah menjadi target kekuatan kekuatan jahat. Namun, di tengah pesimisme kondisi umat tersebut, ada saja cerita-cerita inspiratif yang layak dikonsumsi oleh umat. Berita ini dari rumah kontrakan belakang UIN Ciputat-Jakarta, untuk sampai kesana banyak jalan berliku yang menantang kesabaran. Penghuni kontrakan ini adalah Cipta Bakti.

Belum genap seminggu Cipta merampungkan gelar MA, studi Filsafat Islam di ICAS-Universitas Paramadina dengan nilai sangat memuaskan. Sebelumnya Cipta mengasah bahasa Arab, fiqh, dan ushul fiqhnya di LIPIA dan pernah sepuluh tahun aktif di Hizbut Tahrir Indonesia. Karena kemampuan bahasa Arab dan pemahaman agama yang baik, Cipta pernah ditawari menjadi jubir Hizbut Tahrir DPD Jakarta. Dikarenakan alasan tertentu, Cipta lebih memilih memperdalam bidang yang telah sejak lama membuatnya penasaran, Filsafat Islam, dan meninggalkan Hizbut Tahrir. Pilihan Cipta ini unik karena real sebagian kalangan muslim, Filsafat Islam masih menjadi studi yang tidak disarankan dan cenderung dianggap merusak iman. Cerita selanjutanya, mari kita ikuti hasil wawancara  berikut  23/8.

Irib: Umur anda belum genap 30, sudah beristri dan memiliki buah hati, apa yang anda rasakan setelah anda berhasil lulus S2 di bidang master Filsafat Islam?

Cipta: Saya merasa sangat bahagia bisa menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tinggi ini. Saya juga sangat berterima kasih pada keluarga saya, termasuk istri dan anak saya, yang telah memberikan dukungan yang tak ternilai, sehingga saya bisa mencapai kebahagiaan tersebut. Di atas itu semua tentu saja saya bersyukur kepada Allah al-Haqq al-Qayyum yang telah melimpahkan kebahagiaan ini kepada saya yang faqir, yang tak memiliki apapun ini. La hawla wa la quwwata illa bih.

Namun demikian, sebenarnya yang utama bukanlah selesainya jenjang pendidikan formal saya ini, melainkan pengetahuan yang saya dapatkan selama kuliah di ICAS-Paramadina ini. Saya benar-benar mendapat pencerahan. Pandangan saya tentang Filsafat Islam, Tasawwuf/Irfan, dan masa depan peradaban Islam yang sebelumnya dipengaruhi oleh aliran Ibn Taimiyyah versi LIPIA dan Taqiyuddin al-Nabhani versi Hizbut Tahrir benar-benar berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagi saya, ini baru awal perjalanan saya yang sesungguhnya dalam Filsafat Islam. Moga Allah selalu menuntun saya untuk memahami al-Kitab, hikmah, dan memerdekakan diri dari ego.

Irib: Sejauh ini adakah penentangan dari pihak keluarga atau komunitas anda, kenapa anda begitu bersemangat studi Filsafat Islam?

Cipta: Keluarga mempercayai saya. Jadi tak ada sedikit pertentangan pun dari mereka.

Teman-teman saya yang terpengaruh oleh Ibn Taimiyyah atau Taqiyuddin al-Nabhani banyak yang menyayangkan pilihan saya untuk mendalami secara serius Filsafat Islam. Sebagian mereka telah mewanti-wanti saya sejak awal. Wajar saja, mereka memandang Filsafat Islam itu sumber kemunduran umat, merusak agama, bidÔÇÖah, dan seterusnya. Bagi mereka para filosof itu seperti monster yang mendewakan rasionalitas dan anti agama.

Jujur saja, saya sendiri awalnya mempelajari Filsafat Islam termotivasi oleh semangat berpolemik membela keyakinan agama yang dipahami seperti oleh kawan-kawan saya itu. Namun makin dipelajari, justru saya makin tulus tertarik pada bidang ini. Saya juga semakin sadar bahwa persepsi saya (dan kawan-kawan saya) sebelumnya tentang Filsafat Islam itu tidak benar. Saya dan kawan saya itu tidak paham sama sekali Filsafat Islam, bahkan hal yang paling sederhana sekalipun tentangnya.

Kemudian saya memutuskan untuk mendalami Filsafat Islam secara serius, full time, dan sangat antusias. Awalnya bagi saya ini bukan keputusan yang mudah, karena cukup banyak hal yang harus saya korbankan untuk mengambil pilihan tersebut. Namun akhirnya saya sangat bersyukur telah memilihnya. Ini karena semakin jelas dalam benak saya bahwa Filsafat Islam itu sangat penting bagi masa depan peradaban Islam secara khusus dan peradaban kemanusiaan secara umum. Saya sangat optimis bahwa Filsafat Islam, terutama pasca Mulla Shadra, sebagai suatu tradisi filsafat yang berhasil berkoherensi dengan teks wahyu dan sufisme merupakan salah satu kunci kemajuan peradaban Islam kedepan. Ini bukan asal spekulasi atau sekedar wishful thinking, melainkan didasarkan pada fakta. Fakta menunjukan bahwa tradisi Filsafat Islam seperti ini telah berhasil melahirkan tokoh-tokoh berlimpah yang bukan sekedar layak disebut filosof, melainkan juga para ahli makrifat (ÔÇÿurafa) yang genuine, ahli agama, dan teladan yang salih. Bukankah masa depan peradaban Islam membutuhkantokoh-tokoh seperti ini? Ini di level individu. Di level masyarakat, saya memandang bahwa Republik Islam Iran sebagai produk dari kepemimpinan tokoh seperti ini bisa menjadi bukti kongkrit masyarakat berperadaban Islam yang maju. Tentu saja, negara lain tidak harus menjadi seperti Iran. Tapi tetap, Iran adalah contoh kongkrit yang baik dalam konteks sosialnya sendiri.

Irib: Anda sebelumnya pernah kuliah di LIPIA dan aktif di organisasi Hizbut Tahrir, tetapi kenapa anda tertarik dan menekuni Filsafat Islam, kenapa anda menganggap Filsafat Islam itu penting?

Cipta: Sekali lagi, saya memandang bahwa Filsafat Islam itu adalah salah satu kunci kemajuan peradaban Islam. Di samping itu, sebenarnya ada banyak alasan untuk memposisikan Filsafat Islam sebagai sesuatu yang penting, penjelasanya seperti ini.

Individu manusia adalah individu yang rasional, sehingga mereka butuh penjelasan rasional terhadap berbagai hal yang mereka temui dalam hidup ini, terutama tentang hal-hal yang penting. Masalahnya adalah manusia itu seringkali sudah merasa telah berpikir dan bersikap rasional sekalipun kenyataannya adalah sebaliknya. Ini karena sebenarnya ia tidak pernah sungguh-sungguh mempelajari prinsip-prinsip berpikir rasional, seperti diajarkan ilmu logika. Sebagian mereka juga menolak untuk memikirkan hal-hal tertentu karena dianggap di luar jangkauan akal manusia, padahal sebenarnya mereka hanya membebek pada perkataan sebagian tokoh saja dan tidak pernah serius mempelajari berbagai prinsip, batasan, alat, dan hal lainnya yang berkaitan dengan pengetahuan manusia, seperti yang didiskusikan dalam epistemologi. Mereka juga sering menuduh para wali sebagai berkhayal, bahkan musyrik, padahal tuduhan mereka itu sebenarnya diakibatkan oleh kemiskinan cakrawala ontologi mereka. Jadi mereka butuh logika, epistemologi, dan ontologi; dengan kata lain, filsafat. Kenapa Filsafat Islam dan bukan filsafat secara umum? Menurut saya, ini karena Filsafat Islam lah yang terbaik.

Irib: Bagaimana anda memandang agama Islam, adakah perbedaan sebelum dan sesudah belajar Filsafat Islam?

Cipta: Saya akui, setelah mempelajari Filsafat Islam, pemahaman saya tentang agama Islam berubah cukup mendasar. Dulu saya sangat literalis. Sekarang saya mengerti bahwa di balik hal-hal literal itu ada realitas yang sangat luas, bahkan tanpa batas. Dulu saya memahami Islam sebagai himpunan doktrin yang harus diimani dan suatu set perintah-larangan yang harus ditaati agar urusan dunia rapi dan di akherat dapat istana megah berisi bidadari-bidadari sexy. Sekarang saya sadar bahwa Rasulullah Saw, para Imam as, dan para wali ra, mengajarkan kita agama ini untuk kembali ke al-Haqq. Dasar ini berimplikasi sangat besar pada persoalan-persoalan cabang dalam keberagamaan saya. Ini di satu sisi.

Di sisi lain, saya juga merasa setelah mempelajari Filsafat Islam saya lebih toleran terhadap perbedaan, khususnya perbedaan pilihan keberagamaan dan kemazhaban, karena saya jadi mengerti alasan epistemologis dan ontologis kenapa perbedaan itu ada. Sikap toleran ini sangat kita butuhkan saat ini.

Irib: Setelah anda belajar Filsafat Islam, apakah anda merasa iman anda makin merosot atau malah makin bertambah?

Cipta: Saya merasa keimanan saya terhadap kebenaran ajaran Islam makin bulat. Justru dulu saya sempat merasa jenuh dengan agama Islam yang hanya berorientasi fiqh dan syariah. Dengan mempelajari Filsafat Islam, terutama yang telah menggandeng ÔÇÿirfan, saya menemukan kesegaran kembali.

Irib: Sejauh ini apakah anda merasa dikucilkan dari komunitas anda?

Cipta: Komunitas saya secara umum ada tiga jenis: keluarga, masyarakat sekitar, dan kawan-kawan dekat. Untuk keluarga, sekali lagi, tidak ada persoalan, demikian pula masyarakat sekitar. Namun untuk yang ketiga, kawan-kawan dekat saya dahulu adalah teman satu almamater LIPIA dan kawan-kawan di Hizbut Tahrir. Setelah lulus kuliah, teman-teman satu almamater saya memang secara praktis berpencar dan jarang berinteraksi secara langsung. Namun, pilihan saya untuk menjadi pendukung Filsafat Islam, apalagi Neoshadrian school, menjauhkan saya secara pikiran dari rekan-rekan sealmamater saya yang berhaluan salafisme atau terpengaruh olehnya. Sebagian kawan saya sering menyerang sikap-sikap saya di media sosial, walau lama-lama juga mereka diam.

Dengan kawan-kawan di Hizbut Tahrir, setelah saya memutuskan keluar, tentu saja saya sudah tidak menjadi bagian dari mereka lagi. Otomatis, relasi keorganisasian saya dengan mereka menjadi nihil. Namun jelas juga, secara pemikiran dan keagamaan saya menjadi berseberangan dengan kawan-kawan di Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir itu memperjuangkan suatu paket pemikiran dan cita-cita politik. Salah satu pikiran yang mereka perjuangkan adalah pandangan bahwa filsafat dan tasawwuf adalah sebab kemunduran umat, dan cita-cita politik mereka adalah bahwa persoalan utama umat sekarang adalah kembali ke sistem khilafah (versi mereka). Sikap saya sekarang jelas menjadi oposisi bagi perjuangan pemikiran dan politik mereka. Sebagian kawan menganggap saya pengkhianat perjuangan, sebagian menganggap saya nyeleneh, sebagian menganggap saya keasyikan dengan pencarian kepuasan intelektual, sebagian menganggap saya melangit, dan seterusnya, intinya memang saya benar-benar berpisah dari mereka, baik secara struktur organisasi, pemikiran, ataupun perjuangan politik. Tentu saja, sebagian mereka masih menjaga relasi pertemanan dengan saya.

Irib: Kita tahu bahwa mahasiswa LIPIA dan orang yang aktif di Hizbut Tahrir adalah muslim yang wajib kita hormati, terlepas pengetahuan agama yang mereka yakini, akan tetapi dalam hal proses diskusi ilmiah seringkali tidak cair, apakah ada  hubunganya secara langsung mapun tidak langsung dengan Filsafat Islam?

Cipta: Tentu saja, orang yang belajar filsafat secara umum (bukan hanya filsafat Islam) akan terbiasa dengan diskusi rasional, tidak seperti para pengikut atau aktivis komunitas-komunitas teologis. Jadi diskusi dengan orang-orang terakhir ini akan tidak cair, diselimuti oleh debu-debu prejudis teologis yang tebal dan emosional.

Khusus berhubungan dengan Filsafat Islam, Salafisme LIPIA dan Nabhanisme Hizbut Tahrir memang memposisikannya sebagai musuh pemikiran dan keagamaan. Wajar saja, suasana panas dan sensitif itu lebih terasa ketika mendiskusikannya dengan mereka. Bagi mereka, dialog dengan pembela Filsafat Islam sama dengan perang melawan kebatilan. Ya, perang.

Irib: Kita tahu isu terpanas umat Islam sekarang adalah ISIS, apakah ada hubunganya ISIS dengan nasib Khilafah?

Cipta: Saya sepuluh tahun di Hizbut Tahrir dan mengambil S1 di bidang fiqh-ushul fiqh (Sunni) di LIPIA-Universitas Islam Imam Muhammad bin SuÔÇÖud (pusatnya di Riyadh). Saya cukup paham bahwa secara fiqh, mazhab-mazhab sunni yang pro khilafah memiliki konsep yang beragam tentang sistem pemerintahan ini. Saya tidak pernah berpikir bahwa salah satu model khilafah adalah seperti yang dipertontonkan oleh ISIS. Saya secara personal merasa sangat miris dengan adanya aliran seperti itu yang mengatasnamakan Islam.

Jika kita lihat, yang benar-benar memperjuangkan sistem khilafah di dunia sunni saat ini hanyalah kelompok jihadis seperti al-Qaida dan ISIS, dan Hizbut Tahrir yang non-jihadis. Khilafah yang dipertontonkan ISIS ini jelas akan merugikan kampanye khilafahnya al-Qaida dan Hizbut Tahrir, terlepas dari penolakan kedua kelompok terakhir ini atas khilafah ISIS.

Namun demikian, yang terpenting bagi saya adalah masyarakat muslim pada umumnya. Saya punya refleksi tersendiri dengan adanya kasus khilafah ISIS ini. Bagi saya ISIS adalah wujud┬á terekstrim dari pemahaman terhadap agama Islam yang tidak didasarkan pada rasionalitas dan ÔÇÿirfan. Khawarij barangkali merupakan contoh serupa mereka di awal sejarah Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Agama itu tidak bisa sekedar diserahkan pada orang-orang yang hapal al-Quran, hadits, fasih bahasa Arab, dan rajin ibadah, tanpa rasionalitas dan derajat kewalian. ISIS (dan ÔÇ£jihadis-jihadisÔÇØ lainnya) adalah produk tafsir agama dari orang-orang seperti itu. ISIS memang yang terkestrim, namun yang tidak seekstrim ISIS pun menunjukan kesuraman yang serupa. Di sinilah, kembali, mari kita tengok Filsafat Islam, mari kita tengok irfan!

Irib: Setelah anda belajar Filsafat Islam, bagaimana konsep khilafah menurut anda?

Cipta: Khilafah sebenarnya berhubungan dengan ontologi. Secara ontologis, realitas ini merupakan kumpulan dari beragam esensi yang hakikat terdalamnya adalah eksistensi yang tunggal nan bergradasi, dari wujud paling sempurna (Allah) hingga wujud yang mendekati ketiadaan (materi). Manusia itu adalah makhluk yang wujudnya ada di dunia materi namun bisa menggapai ÔÇ£pertemuanÔÇØ dengan Allah secara rohani. Namun kebanyakan manusia hanyalah makhluk material dengan jiwa yang tak jauh berbeda dari binatang ternak, bahkan bisa lebih buruk dari itu. Oleh karena itu lah perlu adanya perantara yang menghubungkan Allah sebagai puncak wujud dengan makhluk-makhluk material yang antara ada dan tiada ini. Perantara inilah yang disebut khalifah, wakil Allah. Mereka bisa ditugaskan menjadi rasul, nabi, imam, atau tidak. Yang pasti mereka semua adalah insan kamil (manusia sempurna), atau para wali yang kamil. Mereka ini ada untuk mengajak kita kembali ke Allah, ke wujud sempurna, menjadi insan kamil juga. Orang seperti ini juga yang bisa menjadi pemimpin masyarakat dengan Islam.

Ini bukan sekedar spekulasi filosofis, melainkan juga realitas yang disaksikan langsung oleh para wali (ÔÇÿurafa) dan menjadi kesepakatan mereka. Ini juga telah dijelaskan sejak dahulu oleh para penafsir al-Quran dan hadits yang ahli makrifat. Inilah khilafah.

Khilafah itu bukan asal ada kekuasaan, ada persatuan, ada pemimpin (orang Quraisy pula), dan dideklarasikan negara Islam, dengan penafsiran Islam yang didasarkan pada kalbu-kalbu yang buta. Tanpa khalifah insan kamil, khilafah itu jadi lebih seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw sebagai Dajjal!!!

Irib: Dalam kontek internasional, tegaknya khilafah yang diyakini sebagian umat Islam terus didorong oleh kekuatan media mainstream jahat dan menghasilkan adu domba antar umat Islam saling bunuh, pemberontak Suriah versus rezim Assad, dan sekarang adu domba terus digencarkan di Irak dengan modus lain, menurut anda apakah ide khilafah ini rawan dan menjadi jebakan bagi umat Islam?

Cipta: Bukan sekedar rawan dijadikan jebakan, buat saya ide khilafah tanpa insan kamil itu adalah jebakan itu sendiri. Jebakan yang akan menghalangi kita dari suluk menuju al-Haqq. Wa Allah al-MustaÔÇÖan.

Irib: Kita tahu sebagian umat Islam yang rasional sedang berjuang membangun peradaban dunia dengan ilmu pengetahuan termasuk dengan gigih mempopulerkan belajar Filsafat Islam, menurut anda apakah upaya ini signifikan, karena gerakan budaya pengetahuan selalu terasing dan hanya pelengkap berita di media?

Cipta: Menurut saya usaha ini signifikan. Terutama ketika telah didukung oleh negara, seperti yang terjadi di Iran. Alhamdulillah.

Namun demikian, di sisi lain, tentu saja perjuangan ini harus dilanjutkan dan disempurnakan. Kita terus saja berjuang. Kita yakin Islam yang benar itu cepat atau lambat akan menang, dengan turunnya al-Mahdi af, sebagaimana telah dikabarkan sejak dahulu oleh Rasulullah saw.

Irib: Anda meneliti relasi tubuh dan jiwa, membanding psikologi- filsafat Bunge dengan Neosadrian apa menariknya, toh penelitian neuroscience mutakhir makin menambah dan mempermudah kebutuhan manusia, apa yang anda tidak setuju?

Cipta: Saya bukan menolak pengembangan neurosains. Motif saya meneliti topik tersebut justru karena saya mendukung riset-riset saintifik, termasuk neurosains, namun dengan menempatkannya pada posisi yang pas. Melalui penelitian tersebut saya mencoba melancarkan kritik filosofis kepada para materialis, khususnya Mario Bunge, yang mengklaim bahwa riset neurosains mengukuhkan kebenaran para materialis bahwa tidak ada entitas-entitas immaterial seperti jiwa, kalbu, dan roh. Menurut saya klaim semacam ini perlu dikritisi, diantaranya karena berimplikasi pada penolakan atas realitas pengalaman wahyu pada nabi dan kasyf para wali dengan dalil neurosains. Sebagaimana dikatakan banyak pakar, baik di dunia Islam ataupun di Barat, seringkali ada carut-marut antara klaim filosofis dengan klaim saintifik, termasuk dengan klaim teologis-dogmatis; salah satunya seringkali dianggap sejalan atau bertentangan dengan yang lainnya. Saya melihat filsafat Neosadrian bisa memberikan penjelasan yang mantap tentang persoalan tersebut dan solusinya.

Irib: Apa saja buku yang sudah anda baca untuk menunjang penelitian anda?

Cipta: Saya membaca karya-karya utama Mario Bunge, dari mulai karya sistem filsafatnya, yaitu Treatise on Basic Philosophy (8 jilid); karya-karyanya yang membahas subjek tertentu, seperti Matter and Mind, Medical Philosophy, Philosophy of Psychology, Causality in Modern Science, dan Philosophy of Science (2 jilid); juga karya-karyanya yang bersifat diskursif, seperti Philosophy in Crisis dan Scientific Materialism.

Untuk filsafat Mulla Shadra saya membaca al-Asfar jilid 1, 2, 3, 4, 5, dan 8, namun saya memberikan perhatian serius pada jilid 8 saja karena spesifik membahas jiwa; juga beberapa bagian dari Syawahid Rububiyyah.

Untuk filsafat Neoshadrian saya membaca serius karya Syekh Hasan Zadeh Amuli yang khusus membahas jiwa, yaitu ÔÇÿUyun MasaÔÇÖil al-Nafs dan Syarh-nya; al-Hujaj al-Balighah ÔÇÿala Tajarrud al-Nafs al-Nathiqah, al-Nur al-Mutajalli fi al-Zhuhur al-Zhilli, dan Ittehad-e ÔÇÿAqil be MaÔÇÖqul. Untuk memahami prinsip-prinsip ontologi dan epistemologi umum Neoshadrian saya juga membaca serius karya Sayyid ÔÇÿAllamah TabatabaÔÇÖi, Bidayah al-Hikmah dan syarh-nya oleh Sayyid Syekh Kamal al-Haidari dan Syekh ÔÇÿAbdul Jabbar al-RifaÔÇÖi. Juga karya Syekh Muhammad Taqi Mesbah Yazdi dalam terjemah Arab, al-Manhaj al-Jadid fi TaÔÇÖlim al-Falsafah. Mereka adalah orang-orang yang mengagumkan.

Itu yang utama.Tentu saja ada berbagai sumber lain yang saya rujuk sebagai pendukung penelitian tersebut.

Irib: Kajian anda adalah Filsafat Sains (neuroscience) dan neosadrian, tentu saja pemahaman anda tentang pikiran, ruh dan jiwa lebih baik,  akan tetapi berbagai peristiwa umat Islam terkadang kental dengan nuansa politik, dan reaksi umat Islam terkadang reaktif, apa ada hubungan antara pemahaman agama dengan kondisi ruh seseorang?

Cipta: Sekali lagi, manusia itu adalah subjek yang memiliki beragam modus eksistensi, dari mulai insan kamil, hingga subjek yang lebih buruk dari binatang ternak. Demikian pula yang dijelaskan oleh Syekh Hasan Zadeh dalam Sarh al-ÔÇÿUyun. Ini semua tergantung dari gerak yang dijalani orang individu manusia. Beliau juga menjelaskan bahwa jiwa itu kan berawal dari potensialitas yang ada pada konstruk jasad. Konstruk jasad ini menyimpan potensi-potensi modus eksistensi subjek tadi. Orang yang terus bersikap kasar, reaktif, banyak mencaci maki, itu hakikatnya sedang mengaktualkan potensi-potensi hewan buas yang ada pada dirinya. Sebenarnya agama Islam kita ini kan mengajari kita untuk melawan hawa nafsu. Secara filosofis ini bisa dijelaskan sebagai ajakan untuk mengaktualkan potensi kita untuk mewujud dalam modus eksistensi yang sempurna, yaitu yang berada di atas materi, seperti akal dan roh.

Sederhananya, kembali, umat Islam itu butuh belajar bersikap rasional yang sebenarnya dan butuh belajar ÔÇÿirfan, agar dia bisa menjadi manusia sejati, bukan sekedar hewan yang struktur otaknya tak jauh dari simpanse. Ini perlu pembelajaran dan latihan (riyadhoh). Marilah kita sama-sama menjalaninya!

Irib: Kita ambil contoh, lepas dari kepentingan kekuatan jahat dan niat menegakkan khilafah, ISIS sering mempertontonkan budaya memotong kepala kemudian di upload di youtube, kira-kira apa analisa anda, tentang kondisi ruh mereka? Apa hubungan antara pemahaman agama dengan kondisi ruh seseorang?

Cipta: Itu bahkan tidak bisa disebut ruh. Sebagaimana dinyatakan di dalam al-Quran, ruh manusia itu ditiupkan oleh Allah. Jadi, langsung dari Allah. Sikap kejam itu adalah sikap binatang buas. La hawla wa la quwwata illa billah. Ngeri sekali saya menyaksikan perilaku seperti itu. Para ÔÇÿurafa (sufi) akan bilang bahwa sifat-sifat seperti itu adalah musuh kita. Musuh kita yang sebenarnya adalah berbagai sifat buruk yang ada di dalam diri kita sendiri.┬á Mereka itu barangkali merasa sedang berjihad melawan musuh, padahal jiwa mereka sendiri sedang dijajah oleh musuh yang sebenarnya, syaithan. Saya jadi ingat penjelasan Imam Khomeini qs dalam Syarh ÔÇÿArbaÔÇÖin Haditsan, ketika beliau menjelaskan hadits jihad melawan diri kita sendiri (nafs). Beliau menjelaskan bahwa sebenarnya di dalam diri kita itu banyak sekali penjajahnya, di dalam persepsi inderawi kita, di dalam khayal kita, di dalam wahm kita, banyak penjajahnya. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengusir penjajah-penjajah itu, bahkan memandangnya lebih akbar dari jihad melawan musuh-musuh eksternal. Ya, lihatlah ISIS!Itu ÔÇ£jihadÔÇØnya orang yang sebenarnya terjajah. Wal ÔÇÿiyadz billah.

Irib: Dalam kutipan tesis, anda menyimpulkan. Pertama, teori identitas mental dan otak tidak bisa diterima. Kedua, perkembangan studi saintifik yang menguatkan adanya relasi antara status otak dan status mental tidak menjustifikasi validitas teori identitas mental dan otak, juga tidak memfalsifikasi dualitas esensi keduanya. Ketiga, ontologi materialisme tidak bisa diterima. Keempat, ontologi sistemisme dan emergentisme bisa diterima dengan batasan pada entitas ragawi. Kelima, sekalipun terdapat banyak titik temu pada prinsip epistemologi realisme dan rasio-empirisisme, namun prinsip saintisme dan fallibilisme Bunge yang berhubungan dengannya tidak bisa diterima.

KiraÔÇôkira, dengan berbekal kesimpulan anda, apa penjelasanya, satu sisi orang merasa paling benar imanya, tentunya berimplikasi paling rajin ibadahnya, paling baik akhlaqnya, rasa kasih sayang┬á paling tinggi, keberanian di depan musuh paling tinggi, tetapi faktanya menunjukkan sebaliknya?

Cipta: Itu kan jelas sikap-sikap sombong. Sikap sombong itu walau hanya secuil akan menghijab kita dari bertemu Allah. Bagaimana bisa orang yang salih punya sikap/perasaan seperti itu?! Itu kontradiktif!

Secara filosofisÔÇöyang berhubungan dengan penelitian saya, begini. Sebagian kondisi psikis itu memang memiliki kausa material, sebutlah kondisi otak. Menurut temuan studi neurosaintifik, koneksi antara sel-sel otak itu bersifat plastik, maksudnya dinamik, mengikuti banyak faktor. Sifat plastik seperti ini diikuti kemampuan otak untuk ÔÇ£mempelajariÔÇØ sesuatu, dengan kata lain merespon suatu faktor (kausa) dengan suatu pola koneksi tertentu. Nah ini akan menjadi kausa bagi kondisi psikis seseorang, misalkan orang yang sombong. Artinya, secara filosofis dan saintifik, sifat sombong itu memang bisa terhubung dengan kondisi tertentu dari otak.

Di antara faktor penentu pola koneksi otak adalah genetik dan lingkungan. Dari sini wajar saja jika kita menyaksikan bahwa memang sebagian orang itu cenderung sombong atau sebaliknya. Namun Islam mengajari kita bahwa kita harus bisa melampaui faktor-faktor natural seperti genetik dan lingkungan. Kita harus bisa merdeka dari kungkungan alam. Kita itu harus bergerak untuk bisa jadi khalifah Allah di muka bumi, bukan tetap menjadi hewan di bumi.

Irib: Banyak filsuf muslim pada abad pertengahan berjasa bagi ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, akan tetapi banyak juga filsuf muslim sekaligus menjadi pemimpin umat, anda pilih yang mana?

Cipta: Menurut saya persoalannya bukan ÔÇ£memilih yang manaÔÇØ, melainkan bahwa kita sangat butuh filsuf yang ÔÇÿarif, yang insan kamil, yang mimpin umat. Makin sempurna kemampuan seseorang untuk memanifestasikan asma dan sifat fiÔÇÖliyah Allah, berarti dia makin sempurna.

Irib: Setelah wafatnya Caknur,anak-anak muda muslim banyak meninggalkan Filsafat Islam dan cenderung larut dalam politik dan tertarik mencoba-coba dan akhirnya tergelincir jadi koruptor, apa komentar anda?

Cipta: Ia, sayang sekali. Banyak faktor tentunya. Hanya saja, alhamdulillah tetap ada yang terus memperjuangkan hidupnya Filsafat Islam dengan tulus dan niat yang baik. Moga Allah selalu menolong usaha seperti ini.

Di sisi lain, saya berpikir begini, tampaknya sebagian orang meninggalkan Filsafat Islam karena bahasannya dirasa sulit, atau dianggap kurang relevan dengan berbagai persoalan yang mereka sering hadapi. Pada dasarnya, memang, seperti dijelaskan oleh Syekh al-Thusi tentang pernyataan Ibn Sina dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat di awal pembahasan TabiÔÇÖiyat (fisika filosofis), bahwa belajar Filsafat (Islam) yang serius itu menuntut kita menghindarkan diri dari persoalan-persoalan partikular yang terindera. Karena kita ditarik untuk masuk ke alam intelijibel (maÔÇÖqulat), ke universalia-universalia. Namun demikian, menurut saya salah satu jalan keluarnya adalah dengan mendialogkan Filsafat Islam ini dengan isu-isu yang lebih hangat, up to date, walau tidak berarti harus ÔÇ£sangat praktis dan partikularÔÇØ. Penelitian saya yang disinggung sebelumnya jugaÔÇödiantaranya, dimotivasi oleh hal seperti ini.

Irib: Apa rekomendasi anda agar peradaban Islam  khususnya di Indonesia bisa maju?

Cipta: Mari kita sebarkan Islam yang toleran, kita sebarkan Filsafat Islam, dan kita sebarkan ÔÇÿirfan!Juga mari kita awali dan iringi semua itu dengan jihad menaklukan penjajah-penjajah yang ada di dalam diri kita masing-masing!

Read 3157 times