Print this page

Ramadhan, Bulan Penuh Kesempatan (3)

Rate this item
(0 votes)
Ramadhan, Bulan Penuh Kesempatan (3)

 

Puasa bukan hanya diwajibkan di agama Islam. Agama samawi sebelum Islam seperti Kristen dan Yahudi juga mewajibkan puasa.

Bahkan di agama non-samawi juga dianjurkan untuk menghindari makanan di hari-hari tertentu.

14 abad lalu, ketika Hijaz tenggelam dalam kebodohan dan jahiliyah, Rasulullah Saw bersabda, "Berpuasalah supaya kamu sehat." Di berbagai agama juga senantiasa dianjurkan untuk berpuasa demi kesehatan mental manusia.

Di Yunani kuno, masyarakat meminta kesembuhan di kuil-kuil terkenal dan setelah mandi, mereka berpuasa dan kemudian meminta kesembuhan kepada Tuhan khusus tersebut.


Hindu salah satu agama non samawi yang marak di tengah masyarakat di daerah Timur kira-kira tiga hingga empat ribu tahun sebelum Masehi. Pengikut agama ini biasanya berpuasa di awal bulan dan saat perayaan keagamaan, mereka juga berpuasa. Tradisi puasa di agama Hindu mulai dari tidak makan makanan padat hingga tidak makan dan minum sepenuhnya dalam sehari semalam. Di agama ini, setiap orang dapat berpuasa melalui keinginannya sendiri. Tujuan dari puasa ini adalah meningkatkan fokus pikiran dan membersihkan jiwa.

Sementara di agama Budha biasanya pengikut agama ini berpuasa di hari ke-14 setiap bulan dan menghindari makanan padat.

Pengikut Maniisme di ajaran agamanya sangat mementingkan puasa. Maniisme memiliki dua bentuk puasa, salah satunya puasa hingga dua hari dan yang lain puasa dari pagi hingga malam. Kuil Maniisme disebut Manistan. Setiap kuil terdiri dari lima ruang, dan salah satunya untuk mereka yang berpuasa dan berdoa. Pengikut Maniisme menentukan bulan puasa berdasarkan bintang, dan di akhir bulan tersebut mereka merayakan hari raya. Di hari raya tersebut, masyarakat membawa gambar Mani dan mengakui dosa-dosanya. Bahkan sejumlah dokumen sejarah menunjukkan para penyembah berhala juga berpuasa. Dikatakan bahwa mereka berpuasa untuk memuaskan berhala.

Di setiap sejarah dan di antara kaum serta peradaban, dapat ditemukan budaya berpuasa. Pertanyaan di sini adalah mengapa tradisi puasa memiliki sejarah yang panjang ? Mungkin hal ini dapat ditelusuri di sejumlah riwayat. Berdasarkan riwayat ini, orang pertama yang berpuasa adalah Nabi Adam as. Ketika Nabi Adam as makan buah terlarang, buah tersebut bertahan di perut beliau selama 30 hari. Untuk selanjutnya, Allah Swt mewajibkan Nabi Adam dan keturunannya untuk menahan lapar dan haus selama 30 hari.

Para ahli tafsir dan hadis mengisyaratkan poin penting, apakah Bulan Ramadhan di umat-umat terdahulu juga memiliki nama yang sama. Sebagian mengatakan Ramadhan adalah nama bulan yang telah ditetapkan sejak zaman jahiliyah, dan sebagian lain meyakini Islam yang menamakan bulan Ramadhan.

Sebagian pakar sejarah mengatakan, Ketika mereka ingin mengganti nama bulan dari bahasa kuno, mereka menamai bulan-bulan itu setelah waktu bulan itu terjadi, misalnya, bulan Ramadhan bertepatan dengan panas yang ekstrem dengan nama yang sama (artinya "Ramadhan").

Secara umum, setiap umat ketika putus asa atau mengalami musibah, mereka bernazar dengan puasa supaya musibah tersebut dihapus dan mereka sukses. Mereka juga beribadah kepada Tuhan dan menunjukkan kelemahan mereka serta mengakui dosa-dosanya dengan harapan meraih keridhaan Tuhan.


Salah satu agama samawi tertua yang mewajibkan pengikutnya untuk berpuasa adalah agama Yahudi. Sejak kemunculannya yang pertama agama ini, Yahudi sangat mementingkan puasa dengan mengikuti Nabi Muas as.

Di ajaran Yahudi, anak perempuan berusia 12 tahun dan laki-laki berusia 13 tahun sudah wajib untuk melaksanakan seluruh kewajiban agama. Tapi bagi orang-orang yang akan menghadapi bahaya atau memiliki halangan berpuasa, wanita yang hamil atau menyusui, mereka dikecualikan dari kewajiban berpuasa. Puasa di ajaran Yahudi selain menahan makan dan minum juga memiliki tradisi lain. Di antaranya adalah membaca Kitab Taurat, membaca doa, mengakui dosa-dosa, ziarah kubur, tidur di atas tanah, menahan berbicara, dan tidak mendengarkan musik.

Orang Yahudi selama berpuasa bahkan tidak memberi makan anak-anak dan hewan ternak mereka. Seluruh puasa wajib dan sunah Yahudi dimulai dari fajar hingga malam hari, kecuali puasa Yom Kippur dan Tisha B'Av di mana puasanya dimulai dari terbenamnya matahari hingga terbenamnya matahari di hari berikutnya.

Puasa di agama Yahudi di bagi dua, wajib dan sunah. Puasa wajib seperti puasa yang ditetapkan di kitab suci atau puasa untuk memperingati kejadian yang disebutkan di kitab suci, seperti Yom Kippur, Tisha B'Av, 17 Tammuz (hari jatuhnya kota Yerusalem). Selain itu puasa yang ditetapkan oleh para Rabi seperti puasa di hari Senin setelah Hari Raya Paskah Yahudi (hari pembebasan kaum Yahudi dari perbudakan Firaun Mesir), dan hari akhir setiap bulan yang disebut Yom Kippur kecil.

Sementara puasa sunnah di agama Yahudi juga memiliki posisi istimewa di agama ini. Di puasa seperti ini, seseorang di hari-hari tertentu yang berhubungan dengan dirinya sendiri mulai berpuasa. Puasa seperti ini tidak memiliki waktu tertentu dan dilakukan ketika ada peristiwa khusus yang dialami seseorang. Misalnya, puasa saat orang tua seseorang meninggal atau penganting yang berpuasa di hari pernikahan mereka.

Filsafat puasa di agama Yahudi menurut ayat-ayat kitab suci mereka ada empat. Pertama mengejar turunnya siksaan dan malapetaka, selamat dari musuh, memperoleh kesiapan spiritual untuk menjalankan tugas ilahi, dan mengungkapkan penyesalan atas dosa-dosa masa lalu. Perjanjian Lama menekankan bahwa puasa bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi sarana untuk mengungkapkan pertobatan dan pertobatan dari dosa. Menurut ajaran Yahudi, manusia harus merendahkan dirinya di hadapan Tuhan melalui puasa, mengubah perilaku dan tindakannya, dan mencapai pertobatan sejati.

Di salah satu ayat Kitab Yesaya disebutkan suatu hari orang-orang Yahudi mengeluh bahwa mereka berpuasa tetapi Tuhan tidak memperhatikan mereka dan Tuhan menjawab mereka bahwa ketidakpedulian saya adalah karena; Puasa tidak membuatmu rendah hati, tapi membuatmu sombong dan menindas. Ketika Anda berpuasa, Anda menindas pekerja Anda, Anda bertengkar dan bermusuhan satu sama lain, dan Anda mengejar kebahagiaan dan keuntungan pribadi Anda sendiri, sedangkan puasa yang saya sukai adalah; Mengakhiri penindasan dan kejahatan dan ketidakadilan dan bebaskan yang tertindas, beri makan yang lapar dan beri pakaian kepada yang telanjang, dan buka rumah Anda bagi yang membutuhkan. Hanya dengan begitu aku akan menjawab doamu.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Tuhan tidak puas terhadap kaum Yahudi yang mengabaikan sisi batin dan maknawi puasa. Mengabaikan ibadah sejati, tamak dan zalim adalah perilaku yang saat ini terus berlanjut di kalangan kaum Yahudi.

Bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan meniti jalan ini di samping Alquran semakin mudah. Di bulan ini, terbuka iklim baru supaya manusia terbebas dari hiruk pikuk kehidupan dan unsur-unsur merusak sert tidak lalai. Serta supaya manusia meniti jalan untuk meraih kebahagiaan. Oleh karena itu, salah satu keutamaan bulan Ramadhan adalah membimbing manusia dan mengembangkan pribadi manusia.


Sementara di agama Kristen juga ada kewajiban berpuasa dengan tradisinya sejak zaman dahulu. Keberadaan berbagai sekte Kristen membuat puasa di agama ini memiliki banyak perbedaan di antara mereka. Setiap mazhab dan sekte Kristen memiliki tata cara puasa tersendiri yang berbeda dari yang lain. Mayoritas pengikut Kristen berpuasa selama 40 hari sebelum Hari Raya Paskah atau Prapaskah. Sesuai tradisi, masa Prapaskah bergulir selama 40 hari, untuk memperingati 40 hari Yesus bertirakat dan dicobai Iblis di padang gurun sebelum berkarya secara terbuka, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Injil Matius, Injil Markus, dan Injil Lukas. Pekan terakhir masa Prapaskah adalah Pekan Suci, yang berawal pada hari Minggu Palma. Seturut riwayat Perjanjian Baru, peristiwa penyaliban diperingati pada hari Jumat Agung, sementara peristiwa kebangkitan Yesus dirayakan dengan meriah pada permulaan hari Minggu Paskah, hari pertama masa Paskah.

Monastisisme atau kerahiban secara harfiah berarti ketakutan dan kecemasan, dan secara tradisional digunakan untuk mengasingkan diri dari komunitas dan jauh dari orang-orang untuk menyembah Tuhan. Monastisisme awalnya diciptakan oleh beberapa anggota komunitas Kristen untuk mempercepat pencapaian Tuhan, tetapi kemudian berubah menjadi toleransi yang berlebihan terhadap penyembahan dan pertapaan yang keras. Sejarah menceritakan kisah-kisah aneh dari kehidupan beberapa biarawan. Misalnya, seorang biarawan bernama Macarius tidak makan daging selama tujuh tahun, tidak tidur selama dua puluh malam, dan selama enam bulan tubuhnya terkena gigitan serangga beracun.

Sebagian yang lain membawa beban berat atau merantai tangan dan kaki mereka kemanapun mereka pergi. Tentu saja, ada kecenderungan untuk menjadi ekstrem dalam monastisisme dan mengisolasi diri dari masyarakat di antara para pengikut agama lain, tetapi tentu saja Tuhan Yang Maha Penyayang tidak pernah menyukai ekses seperti itu, dan tindakan ini tidak memiliki peran bagi kita di dekatnya. Pada dasarnya kebahagiaan manusia adalah mencapai kedekatan dengan Tuhan selama hidup bermasyarakat.

Menjauhkan diri dari masyarakat dan terasing bukanlah suatu kesempurnaan moral atau manusiawi bagi manusia, tetapi kesempurnaan manusia adalah bahwa ketika seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga harus berusaha memperbaiki masyarakat dan urusan umat, mengurus masalah sosial. Memperbaiki urusan masyarakat adalah salah satu cara untuk mencapai Tuhan, yang tidak boleh diabaikan manusia. Selain itu, tubuh manusia adalah berkat yang diberikan Tuhan kepada manusia yang melaluinya ia dapat beribadah, dan kami telah mengatakan dalam program sebelumnya bahwa rasa syukur atas setiap nikmat adalah penggunaan yang benar dari nikmat tersebut. Membatasi fisik secara berlebihan merupakan contoh pemborosan nikmat Allah, yang tentunya bukan hanya murka tetapi juga tercela dan menjijikan.

Alquran menyebutkan bahwa kewajiban puasa dimaksudkan supaya manusia bertakwa. Manusia di bulan ini diundang menjadi tamu Allah dan berpuasa di bulan Ramadhan. Berpuasa di bulan Ramadhan dinilai dapat meniupkan ruh ketakwaan, yang menimbulkan pencerahan dan wawasan umat manusia.

Beginilah bulan Ramadhan merupakan peluang dan kesempatan untuk memoles batin dan memperbaiki zahir manusia serta memanfaatkan rahmat Tuhan terbuka bagi semua orang. Mendekatkan diri kepada Alquran akan meningkatkan pemikiran dan membuat manusia mendapat petunjuk. Tujuan Alquran adalah meningkatkan iman dan mengarahkan gerak manusia serta menghiasinya dengan sifat-sifat yang paling indah.

Sebagian besar berkah Ramadhan terkait dengan kemuliaan Alquran. Di bulan ini, orang-orang yang berpuasa menaburkan benih-benih cahaya ajaran Aquran di dalam hati mereka agar jiwa dan ruh mereka tumbuh dalam cahaya ayat-ayatnya. Suara bacaan Alquran di masjid-masjid, rumah-rumah dan di setiap asrama dan barak mengharumkan bulan Ramadhan dan melipatgandakan spiritualitas dan spiritualitasnya. Manfaat ini dicapai dalam bayang-bayang pengenalan sejati dengan Alquran dan perenungan di dalamnya.

 

Read 481 times