Print this page

Upaya AS Memperpanjang Embargo Senjata Iran

Rate this item
(0 votes)
Upaya AS Memperpanjang Embargo Senjata Iran

 

Embargo senjata terhadap Republik Islam Iran yang diberlakukan Dewan Keamanan PBB di bawah Resolusi Nomor 2231 akan berakhir pada 18 Oktober 2020. Namun Amerika Serikat berambisi untuk memperpanjang embargo senjata Iran tersebut.

AS tidak ingin kekuatan pertahanan Iran semakin meningkat jika embargo senjata tersebut berakhir. Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Donald Trump berusaha keras agar embargo senjata terhadap Iran diperpanjang.

Dalam konteks upaya tersebut, AS menyusun draf resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Namun, langkah Washington itu menuai kritik keras dari Rusia.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova pada hari Kamis, 2 Juli 2020 mengumumkan kembali penolakan Moskow terhadap draf resolusi yang diusulkan AS di Dewan Keamanan untuk memperpanjang embargo senjata Iran.

Dia menegaskan, draf ini berisi klausul-klausul yang tidak ada hubungannya dengan penyelesaian isu-isu terkait dengan program nuklir Iran.

Menurut Zakharova, draf resolusi yang diusulkan AS ke Dewan Keamanan untuk memperpanjang tanpa batas embargo senjata terhadap Iran mencakup langkah-langkah yang sejalan dengan kebijakan Washington untuk menerapkan tekanan maksimum terhadap Tehran. Draf ini juga membahas masalah yang tidak ada hubungannya dengan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan program nuklir Iran.

Rusia telah berulang kali menegaskan bahwa penerapan pembatasan baru terhadap Iran tidak dapat dibenarkan, dan langkah itu tidak konstruktif dalam upaya untuk mempertahankan perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) dan kesepakatan atas program nuklir Iran.

Salah satu isi penting dari JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2231 adalah pencabutan sanksi senjata Iran setelah lima tahun pelaksanaan perjanjian nuklir tersebut. Untuk itu, AS berusaha keras untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi.

Sejak pertengahan tahun 2019, AS melancarkan perang psikologis yang luas dan berlanjut hingga sekarang. Para pejabat senior Washington, terutama Menteri Luar Negeri Mike Pompeo melontarkan berbagai klaim dan tuduhan.

Pompeo mengklaim bahwa berakhirnya embargo senjata Iran akan menciptakan perlombaan senjata di kawasan dan memperkuat kekuatan regional Iran dan sekutunya, serta membahayakan keamanan Israel.

Langkah selanjutnya adalah pemerintahan Trump fokus pada upaya untuk meyakinkan anggota Dewan Keamanan agar mendukung keinginan AS. Draf resolusi usulan AS meminta Dewan Keamanan untuk melarang penjualan, penyediaan atau pemindahan senjata atau barang-barang terkait, oleh Iran.

Draf tersebut juga melarang negara-negara untuk menjual, menyediakan dan atau memindahkan senjata atau barang-barang terkait, ke Iran, kecuali setelah mendapat persetujuan dari sebuah komite di Dewan Keamanan.

Draf usulan Amerika meminta negara-negara untuk melakukan pemeriksaan jika mereka memiliki bukti kuat bahwa kargo mereka mungkin berisi barang-barang terlarang dari Iran. Draf resolusi ini juga  meminta negara-negara untuk memeriksa kapal-kapal di perairan terbuka dengan dalih serupa.

Selain itu, draf usulan Amerika di Dewan Keamanan PBB meminta negara-negara untuk melakukan penyitaan aset dan larangan bepergian terhadap mereka yang melanggar sanksi senjata.

Menlu AS pada hari Rabu mengatakan, pemerintah AS tidak sedang berusaha untuk memperpanjang embargo senjata Iran untuk waktu yang singkat, dan kami ingin melakukan semua langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan Resolusi 2231 tetap bertahan lama.

Sementara itu, dua kekuatan internasional yang merupakan rival Amerika: Rusia dan Cina, meyakini bahwa langkah Washington itu diambil hanya didasarkan pada tujuan dan keinginan ilegal Amerika untuk menerapkan tekanan maksimum terhadap Iran.

Menurut Moskow dan Beijing, upaya Washington ini tidak hanya bertentangan dengan isi Resolusi Dewan Keamaann PBB Nomor 2231 dan JCPOA, namun juga ditujukan untuk menghancurkan perjanjian nuklir tersebut dan menciptakan konfrontasi masyarakat internasional dengan Iran.

Satu hal penting adalah sebuah draf resolusi untuk bisa sah menjadi resolusi di Dewan Keamanan memerlukan persetujuan sedikitnya sembilan anggota tanpa ada veto dari salah satu lima anggota tetap dewan ini. Rusia dan Cina adalah dua anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto, dan kedua negara tersebut telah mengumumkan penolakan terhadap draf usulan Amerika.

Oleh karena itu, para pejabat AS memahami dengan baik bahwa mereka tidak memiliki keberuntungan untuk bisa meloloskan draf resolusi itu. Namun mereka tetap berusaha untuk menekan Dewan Keamanan dengan menggunakan sarana dan klaimnya, termasuk mengaktifkan "mekanisme pemicu".

Meski ada upaya maksimal dari AS untuk meloloskan draf resolusi usulannya, namun sekutu Washington di Eropa juga telah mengumumkan penolakan mereka terhadap upaya AS itu. Untuk itu, Presiden Republik Islam Iran Hassan Rouhani  menyebut dukungan tegas 14 anggota Dewan Keamanan  PBB kepada JCPOA dan Resolusi Nomor 2231 dalam sidang 30 Juni lalu sebagai pertunjukan kekalahan politik AS saat berhadapan dengan Republik Islam Iran. 

Read 585 times