Print this page

Mengapa Haji Qassim Soleimani Menolak Sorotan Kamera?

Rate this item
(0 votes)
Mengapa Haji Qassim Soleimani Menolak Sorotan Kamera?

Di medan perang, kamera sering lebih tajam dari peluru. Kamera tidak hanya membekukan momen, tetapi juga membangun ingatan kolektif tentang siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa yang layak diingat, dan siapa yang dibiarkan lenyap. Dalam dunia modern, kemenangan tanpa kamera kerap dianggap setengah sahih, seakan-akan kejayaan harus dibuktikan lewat sorotan lensa.

Namun Haji Qassim Soleimani memilih jalan yang lain. Saat artileri Iran berhasil membuka jalan kemenangan di Suriah, dia mengeluarkan perintah yang terdengar sederhana, tapi sesungguhnya sarat kebijaksanaan Haji Qassim mengatakan: “Tidak seorang pun warga Iran boleh tampil di depan kamera. Biarlah kemenangan ini dicatat atas nama tentara Suriah.”

Di balik larangan itu, tersimpan pemahaman mendalam tentang psikologi perang. Haji Qassim Soleimani mengerti, kamera bisa menjadi pedang bermata dua. Bila wajah-wajah Iran memenuhi layar berita, rakyat Suriah bisa merasa terpinggirkan di tanah air mereka sendiri. Kemenangan justru akan kehilangan makna, seolah datang dari luar, bukan lahir dari darah dan pengorbanan mereka sendiri. Dengan menyingkir dari sorotan, Haji Qassim Soleimani memberi ruang bagi Suriah untuk merayakan martabatnya sendiri.

Lebih dari semata persoalan strategi militer, ini adalah politik moral. Di era ketika para pemimpin dunia berlomba tampil di kamera, Haji Qassim Soleimani memilih sebaliknya: mundur dari sorotan agar bangsa lain berdiri tegak. Seakan dia ingin berkata, “Kami hadir bukan untuk merebut panggung, melainkan untuk memastikan kalian bisa berdiri di atasnya.”

Ada pula dimensi spiritual dalam sikap itu. Dididik dalam sekolah revolusi Imam Khomeini, Haji Qassim Soleimani meyakini bahwa kemenangan adalah milik Allah, bukan milik individu atau bangsa tertentu. Menolak kamera, dalam pandangan ini, bukan berarti menolak pengakuan, melainkan mengembalikan kemenangan kepada yang lebih berhak: rakyat Suriah, dan pada akhirnya, Tuhan.

Kini, ketika sosoknya telah syahid, keputusan itu tampak semakin monumental. Justru dengan menolak panggung, dia mencetak narasi abadi. Haji Qassim menjadi simbol bukan karena sering muncul di layar, melainkan karena keberaniannya menyingkir dari layar. Dalam dunia politik yang penuh haus pengakuan, sikap ini terasa asing, bahkan nyaris mustahil.

Dan di sinilah ironi sejarah: banyak pemimpin modern menumpuk wajahnya di baliho, iklan, dan siaran langsung demi meninggalkan jejak. Tetapi Haji Qassim Soleimani meninggalkan jejak yang lebih dalam justru karena wajahnya jarang ditampilkan. Dia memilih ketidakhadiran untuk memastikan orang lain hadir dengan penuh martabat.

Di era ketika pejabat sibuk menghitung jam tayang di televisi dan mengukur elektabilitas lewat jumlah kamera yang mengikuti, pesan Haji Qassim Soleimani menampar keras: kepemimpinan sejati bukan soal berapa kali wajahmu terpampang di baliho, melainkan seberapa besar engkau membuat rakyatmu merasa berdiri tegak dengan wajahnya sendiri.

Read 18 times