Print this page

Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 77-82

Rate this item
(6 votes)

Ayat ke 77

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (3: 77)

Allah Swt memberi petunjuk dari dua jalan bagi kesejahteraan umat manusia. Pertama adalah jalan fitrah yang berpusat di dalam diri manusia dan menunjukkan kebaikan dan keburukan kepada manusia. Kedua adalah wahyu yang bermuara dari ilmu Allah yang tidak terbatas. Wahyu ini membimbing manusia menuju tujuanya menjadi lebih sempurna. Dalam wahyu ini adalah perintah dan larangan yang ditujukan kepada manusia untuk mengatur kehidupan mereka lebih baik.

Tuntunan fitrah dan agama adalah janji-janji ilahi yang telah diakui oleh akal dan mewajibkan manusia untuk melaksanakannya. Sayangnya, sekelompok manusia telah melanggar janji ini. Mereka lebih mengutamakan hawa nafsu daripada kehendak Tuhan. Perilaku yang semacam ini akan mendatangkan kemurkaan Allah dan kemurkaan itu akan sebanding dengan tingkat pengingkaran yang dilakukan manusia. Tapi yang lebih penting lagi, perilaku ini menjauhkan manusia dari kemurahan Tuhan. Padahal di Hari Kiamat semua manusia membutuhkan kemurahan Allah.

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Melanggar perjanjian dan sumpah menyebabkan keluar dari agama dan masuk ke dalam api neraka.

2. Menjaga amanah adalah perjanjian Tuhan. Dalam ayat-ayat sebelumnya, pembicaraan soal amanah rakyat, ayat ini melihat penjagaan amanah sebagai satu dari perjanjian Tuhan yang harus dipelihara.

 

Ayat ke 78

Artinya:

Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (3: 78)

Sebagaimana dalam ayat-ayat sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu sebab penyelewengan dan tersesatnya masyarakat di sepanjang sejarah adalah para ulama yang terkadang lebih mementingkan status sosialnya. Mereka juga terkadang memiliki sifat dengki dan keras kepala dan tidak bersedia memberitahukan masyarakat tentang hakikat yang benar, bahkan lebih dari itu, mereka menyembunyikannya. Mereka lebih mementingkan pemikirannya atas agama, tapi pada saat yang sama menyebutnya sebagai agama.

Al-Quran memperingatkan bahaya orang-orang seperti ini kepada kaum Muslimin, agar mereka tidak tertipu oleh lahiriyah orang-orang itu ataupun omongan menarik mereka. Hendaklah mereka tahu betapa banyak orang mengatakan kebohongan yang paling besar atas nama agama serta menisbatkannya kepada Tuhan.

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Janganlah kita dengarkan segala omongan. Betapa sering perkataan indah yang dikira oleh manusia sebagai al-Quran, ternyata kontra dengan al-Quran. Hendaknya kita waspada karena terdapat beberapa orang yang menghancurkan agama atas nama agama.

2. Janganlah kita lalai terhadap bahaya para cendekiawan yang tidak bertakwa. Mereka mencampakkan rakyat ke jurang kesalahan dan kesesatan, juga berbohong atas nama tuhan dan menisbatkan perkataannya kepada Tuhan.

 

Ayat ke 79-80

Artinya:

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (3: 79)

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?" (3: 80)

Melanjuti ayat sebelumnya yang menjelaskan soal bahaya para cendikiawan agama yang menyesatkan, dua ayat ini ditujukan kepada para nabi. Artinya, sekalipun mereka nabi yang diutus kepada kita oleh Allah Swt dan punya hak memerintah, tapi ia tidak punya hak untuk mengajak manusia menyembah dirinya. Karena semua keistimewaan yang dimilikinya berasal dari Allah. Pertanyaannya, bagaimana mereka yang hanya pengikut nabi dan kitab samawi merasa berhak mencampuri perintah Tuhan?

Diharapkan dari mereka yang lebih banyak tahu soal kitab-kitab samawi dan senantiasa mempelajarinya untuk mengajarkannya kepada orang lain, harusnya lebih konsekuen kepada perintah Allah. Selain itu, menerima setiap bentuk kekuasaan bagi manusia dan campur tangan dalam menetapkan hukum atau menukarnya identik dengan kekufuran. Sekaitan dengan hal ini, tidak seorangpun baik itu rasul maupun nabi, bahkan malaikat yang berhak untuk melakukan hal itu. Lalu bagaimana bisa para ulama mengklaim dirinya seperti Tuhan dan memaksakan ideologinya kepada rakyat dan mengubah perintah-perintah Allah dengan pikirannya sendiri, tapi mengatasnamakan agama?

Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Segala bentuk penyalahgunaan status, popularitas dan tanggung jawab adalah perbuatan terlarang. Bahkan para nabi pun tidak berhak menyalahgunakan status dan kedudukannya yang tinggi.

2. Hanya ulama rabbani yang berhak menafsirkan al-Quran, sebagaimana halnya jalan untuk menjadi rabbani adalah akrab dengan al-Quran, belajar dan mengajarkannya.

3. Segala bentuk berlebih-lebihan, memiliki ideologi yang ekstrim mengenai para nabi dan auliya adalah terlarang. Mereka adalah hamba-hamba Tuhan yang sampai pada derajat tinggi berkat ibadah, namun mereka tidak menganggap dirinya sebagai Tuhan.

4. Kufur bukan hanya mengingkari Tuhan. Menerima peran manusia dalam peletakan undang-undang yang bertentangan dengan aturan Tuhan juga berarti ingkar terhadap rubbubiyah Tuhan dan kufur kepada-Nya.

 

Ayat ke 81-82

Artinya:

"Dan ingatlah, ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." (3: 81)

Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu. Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (3: 82)

Dalam tafsir dan riwayat disebutkan bahwa Allah Swt telah mengambil janji dari nabi-nabi sebelumnya seperti Musa dan Isa as bahwa hendaknya mereka mengabarkan berita gembira akan kedatangan rasul terakhir, Muhammad Saw. Mereka juga hendaknya menjelaskan keistimewaan dan sifat-sifatnya. Bila hal itu dilakukan berarti mereka telah mewujudkan landasan keimanan masyarakat kepadanya. Karena semua nabi adalah dari satusumber dan merupakan utusan Tuhan dan kitab-kitab samawi mereka membenarkan antara satu dengan lainnya. Kedatangan nabi baru, mengharuskan para pengikut nabi sebelumnya untuk beriman kepadanya dan membantunya menghadapi musuh

Meskipun para nabi itu tidak ada di zaman Rasulullah Saw sehingga mengimaninya secara langsung, namun yang penting kesiapan mereka untuk menerima perkara ini. Sebagaimana halnya para mujahidin di jalan Allah yang menuju ke medan perang siap untuk menerima syahadah, meskipun ada kemungkinan mereka tidak syahid. Dengan ungkapan lain, pasrah diri dihadapan perintah Tuhan adalah penting, meski pun belum tersedia kondisi untuk menerapkan perintah tadi.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Perbedaan para nabi dalam menjalankan risalah, sebagaimana halnya perbedaan para guru satu sekolah dalam bidang pengajaran. Tujuan mereka semuanya satu dan setiap guru memperkenalkan guru selepasnya kepada para murid untuk melanjutkan pelajaran.

2. Iman dengan sendirinya tidaklah cukup. Dukungan dan pertolongan agama dan para pemimpin agama juga diperlukan.

3. Meskipun semua nabi menerima antara satu dengan lainnya, namun tidak ada alasan para pengikut agama ilahi menunjukkan fanatisme yang tidak berdasar.

Read 8384 times