کمالوندی

کمالوندی

Jane Bsaki, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengklaim, keputusan Amerika untuk menyerang Suriah tidak bertentangan dengan rencana konferensi Jenewa 2 untuk menyelesaikan krisis Damaskus.

Menurut laporan al-Alam Jumat (6/9), Jane Bsaki seraya mengisyaratkan kembali klaim penggunaan senjata kimia oleh Suriah menekankan, "Kami yakin mampu membatasi kemampuan militer Suriah dalam menggunakan senjata kimia, namun pasca serangan ini apakah Suriah akan berpartisipasi atau tidak dalam Konferensi Jenewa 2, kami tidak mampu berbicara mengenai hal tersebut."

Bsaki menambahkan bahwa Amerika tetap melanjutkan perundingannya dengan Rusia untuk menggelar Konferensi Jenewa 2 dan kemungkinan di perundingan ini kehadiran kedua pihak di perundingan tersebut akan dibahas.

Sementara itu, Rusia berulang kali menekankan bahwa pemerintah Suriah senantiasa siap menghadiri Konferensi Jenewa 2, namun sebaliknya tidak ada indikasi dari kubu oposisi Suriah serta kubu pro anasir bersenjata untuk hadir di pertemuan ini.

Seiring dengan perilisan berbagai bukti dan dokumen terkait penggunaan senjata kimia oleh kelompok teroris, negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat berserta sekutunya di kawasan masih tetap mengklaim bahwa pemerintah Suriah dalam hal ini yang melakukan serangan kimia ke berbagai wilayah pemukiman warga. Amerika beserta sekutunya pun menuntut intervensi militer di Suriah.

Bersamaan dengan kedatangan tim inspeksi PBB untuk menyelidiki penggunaan senjata kimia di Suriah, setelah beberapa bulan permintaan pemerintah Damaskus, kubu oposisi bersenjata dan pendukunganya di tingkat regional serta internasional mulai melakukan propaganda dan mengklaim bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia di dekat Damaskus.

Klaim dan represi propagada media pro kubu bersenjata anti Bashar al-Assad ini telah mengubah misi utama tim inspeksi PBB dan pemerintah Damaskus pun menyetujui penyidikan tim inspeksi ini ke kawasan yang diklaim kubu anti Suriah.

Kini ketika laporan tim inspeksi PBB terkait klaim penggunaan senjata kimia di dekat Damaskus belum dirilis, sejumlah negara Barat khususnya Amerika dan sekutu kawasannya mulai menggelar propaganda luas untuk memulai agresi militer ke Damaskus.

Tiga kapal perang Rusia melawati Selat Bosfor dan menuju bagian timur Mideterania.

Melintasnya tiga kapal cruiser Rusia berlansung di tengah-tengah ancaman Barat untuk melakukan intervensi militer terhadap pemerintah Suriah.

Kapal perang SSV-201 Priazovye yang datang dari Laut Hitam bersama kapal penjelajah Novocherkassk dan Moskva dilaporkan telah melewati Selat Bosfor yang berada di Istanbul, Turki.

Sebuah sumber militer kepada Interfax Rusia melaporkan, kapal perang SSV-201 Priazovye telah meninggalkan pelabuhan Sevastopol di Ukraina Ahad malam untuk melaksanakan misinya di timur Mideterania.

Rusia mempertahankan sejumlah kapal perangnya di timur Mideterania. Selama krisis Suriah berlangsung, kapal perang Rusia di kawasan ini melakukan patroli rutinnya.

Menyusul serangan senjata kimia pada 21 Agustus lalu yang diklaim Amerika dilakukan oleh pemerintah Bashar al-Assad, Presiden Barack Obama meminta Kongres untuk menyepakati serangan udara ke Damaskus.

Sementara itu, Moskow yang selama ini menjadi pendukung utama Damaskus menolak serangan tersebut.

Pemerintah interim Mesir merilis surat pembubaran Ikhwanul Muslimin. Menurut laporan Kantor Berita Tasnim mengutip televisi al-Mayadeen, pemerintah interim Mesir yang dipimpin Adly Mansour telah merilis instruksi tersebut.

Ikhwanul Muslimin Mesir didirikan tahun 1928 di kota Ismailiyah Mesir dan dipimpin oleh Hasan al-Bana. Kemudian gerakan ini pun berkembang aktivitasnya hingga ke sejumlah negara Arab dan Islam.

Menurut sumber ini, di tahun 2011, menyusul tergulingnya rezim Hosni Mubarak di Mesir, gerakan ini meraih legalitas besar dan mulai mengembangkan aktivitas sosial serta politik. Sebelumnya, kelompok ini termasuk gerakan terlarang dan para anggotanya berhasil memasuki parlemen secara independen dan tidak mengusung atribut kelompoknya. Aktivitas kelompok ini pun sebelumnya terbatas pada masalah agama dan sosial.

Di pemilu pertama presiden Mesir yang digelar secara demokratis tahun 2012, Muhammad Mursi dari Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap Ikhwanul Muslimin berhasil unggul dari Ahmad Shafiq serta dikukuhkan menjadi presiden negara ini.

Masih menurut sumber ini, menyusul dilengserkannya Mursi oleh militer dalam sebuah kudeta bertepatan dengan aksi demo pada 30 Juni tahun ini, bentrokan antara Ikhwanul Muslimin beserta pendukungnya dan kubu anti Mursi terus berlanjut. Mayoritas pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap pihak penguasa.

Jumat, 06 September 2013 19:23

Inkonsistensi Vonis Djoko

Putusan terhadap Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo terlihat tidak konsisten. Bekas Kepala Korps Lalu Lintas ini terbukti melakukan dua kejahatan sekaligus-korupsi proyek simulator kemudi dan pencucian uang. Tapi hukuman yang diterimanya amat ringan: 10 tahun penjara.

Ganjaran itu tidak setimpal dengan perbuatannya. Dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, ia dituduh terlibat mark-up pengadaan simulator. Djoko juga menerima duit Rp 32 miliar dari pelaksana proyek. Di atas kertas, ancaman pidana maksimal kejahatan ini adalah hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.

Djoko pun didakwa melakukan pencucian uang selama periode 2003-2010 dan 2010-2012. Nilai buku semua harta yang disembunyikan mencapai Rp 120 miliar. Kini, harta yang bernilai pasar sekitar Rp 200 miliar ini disita oleh negara. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang, pelaku diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Hukum memang bukan matematika. Kita juga tidak menganut hukuman kumulatif. Tapi, karena Djoko dijerat dengan dua jenis kejahatan berat sekaligus, semestinya ia dituntut dengan hukuman maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara. Tuntutan jaksa di bawah hukuman maksimal itu, yakni hanya 18 tahun penjara. Celakanya, majelis hakim kemudian memberikan "diskon" besar sehingga vonis bagi terdakwa semakin jauh dari rasa keadilan.

Putusan itu timpang karena, di sisi lain, majelis hakim secara jelas menyatakan terdakwa terbukti melakukan dua jenis kejahatan tersebut. Tidak ada hal yang signifikan pula yang bisa meringankan terdakwa. Bersikap sopan selama sidang, juga penghargaan yang diterima dari pemerintah selama menjadi polisi, tak relevan sebagai pertimbangan hakim.

Djoko juga bukan justice collaborator yang pantas mendapat rabat hukuman. Ia tak mengungkap peran petinggi lain di kepolisian dalam skandal ini. Padahal beberapa jenderal diduga terlibat dalam patgulipat proyek simulator. Bungkamnya terdakwa seharusnya memberatkan hukuman. Begitu pula posisinya sebagai penegak hukum dan abdi negara, yang semestinya terdepan dalam menjunjung aturan dan bukan sebaliknya.

Benar, tanah dan rumah Djoko yang berserakan di banyak kota telah disita negara. Putusan ini patut diapresiasi. Tapi dirampasnya harta tidak bisa mengurangi hukuman pidana. Ini hanyalah hukuman tambahan seperti halnya penggantian kerugian negara. Soalnya, kerugian moril dan materiil negara ini akibat korupsi dan pencucian uang jauh lebih besar dibanding harta yang disita.

Putusan hakim terasa menyepelekan dahsyatnya bahaya kejahatan korupsi. Vonis Djoko juga tak akan menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Karena itu, penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengajukan banding. Tak sepantasnya terdakwa dihukum ringan hanya karena banyak hartanya telah dirampas.

Ayatullah Ahmad Khatami, khatib shalat Jumat Tehran menilai transformasi yang tengah terjadi di Suriah sebagai hasil dari ideologi liberal demokrasi negara Barat khususnya Amerika Serikat.

Ayatullah Ahmad Khatami seraya mengutuk ancaman negara-negara arogan khususnya Amerika terhadap Suriah serta berlanjutnya pembunuhan massal di negara ini menandaskan, "Apa yang terjadi di Suriah merupakan dampak dari ideologi liberal demokrasi Barat."

Khatib shalat Jumat Tehran menambahkan, sekitar 30 bulan Suriah tenggelam dalam api dan serangan kelompok teroris dukungan Amerika, Israel, Arab Saudi, Turki dan Qatar serta ribuan warga tak berdosa baik wanita dan anak-anak dibantai secara sadis.

Ayatullah Ahmad Khatami menyebut statemen terbaru John Kerry, menteri luar negeri Amerika yang mengingkari keterlibatan negaranya dengan jaringan teroris al-Qaeda sebagai kebohongan besar. "Berdasarkan berbagai bukti dan data akurat, al-Qaeda mendapat dukungan finansial dan senjata dari Amerika dan negara kawasan dalam setiap operasi terornya," tegas Ayatullah Ahmad Khatami.

Seraya menjelaskan bahwa al-Qaeda pelaksana kebijakan Amerika di Suriah, Ayatullah Ahmad Khatami menekankan, "Amerika saat ini mendukung al-Qaeda untuk menggapai tujuannya di Suriah, padahal beberapa tahun lalu dengan dalih dan slogan memerangi al-Qaeda, Washington menduduki Afghanistan."

Ayatullah Ahmad Khatami juga menilai klaim petinggi Amerika bahwa Bashar al-Assad telah melampaui garis merah kemanusiaan sangat menggelikan. "Aksi penyiksaan dan kejahatan yang terjadi di penjara Guantanamo dan penjara rahasia lain Amerika di Irak serta Afghanistan menempatkan Washington sebagai pelanggar terbesar Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia," tegas Ayatullah Ahmad Khatami.

Terkait alasan keputusan Amerika melakukan intervensi militer ke Suriah, khatib shalat Jumat Tehran mengatakan, "Amerika setelah menyaksikan kekalahan konspirasinya untuk menggulingkan Bashar al-Assad, kini menyadari bahwa untuk menggapai ambisinya di Damaskus tidak ada jalan lain kecuali menyerang negara ini."

Ayatullah Khatami menilai dakwaan terhadap pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia tidak dapat diterima dan sekedar alasan untuk menyerang negara ini. Beliau menambahkan, "Pemerintah dan militer dalam beberapa hari terakhir menggapai kemenangan beruntun menghadapi musuh. Oleh karena itu mereka tidak membutuhkan senjata kimia."

Khatib shalat Jumat Tehran dalam pidatonya juga menyinggung bentrokan anak-anak korban aksi teror dengan kelompok teroris MKO di pangkalan Ashraf, provinsi Diyala Irak timur. "Kelompok teroris ini belepotan darah ribuan warga Irak dan Iran serta kejahatan mereka tidak akan pernah dilupakan oleh anak-anak yang menjadi korban aksi teror kelompok ini," tegas Ayatullah Ahmad Khatami.

Anasir Al-Qaeda yang beroperasi di Suriah menyerang sebuah desa Kristen di barat negara itu.

Serangan oleh para teroris Front Al-Nusra terjadi Rabu (4/9) di desa pegunungan Maaloula, di timur laut dari ibukota, Damaskus. Anasir Front Al-Nusra juga menjarah sebuah hotel selama serangan tersebut.

Setelah serangan itu, sekitar 80 warga desa berlindung di sebuah biara lokal.

Menurut keterangan pejabat pemerintah, desa ini masih di bawah kontrol tentara Suriah, yang terus berusaha menghalau serangan tersebut.

Kamis, 05 September 2013 10:03

Erdogan dan Mimpi Demokrasi

Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan mengklaim adanya demokrasi di tengah masyarakat negaranya. Perdana menteri Turki ini termasuk salah satu politikus kawasan negara ini yang terkenal aktif mendukung upaya penegakan sendi-sendi demokrasi di Ankara.

Lebih dari ini, Erdogan pun mengklaim bahwa Turki merupakan satu-satunya negara demokratis di Timur Tengah. Erdogan bahkan berani melangkah lebih dan di awal Juni lalu di depan demonstran mengatakan dirinya siap mengorbankan nyawanya demi demokrasi.

Di sisi lain, banyak kalangan yang menilai pidato Erdogan di depan demonstran anti pemerintah yang mengatakan "Kesabaran saya telah habis" sebagai indikasi kecenderungan fasisme sang perdana menteri Turki ini. Kubu anti Erdogan meyakini gerakan demokrasi yang digembargemborkan sang perdana menteri tidak memiliki dampak sama sekali, pada dasarnya demokrasi yang diklaim Erdogan berbau despotisme.

Mungkin masalah ini menjadi dalih utama aksi protes luas anti pemerintahan Erdogan. Aksi protes luas ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat dan aliran politik serta mengakibatkan tewasnya enam orang.

Meski demonstrasi ini pada mulanya sebagai reaksi atas perusakan taman Ghazi, namun sedikit yang tidak menilai bahwa aksi tersebut disebabkan oleh protes demonstran atas aksi penumpasan terhadap kubu oposisi serta upaya Erdogan untuk memaksakan ideologi partainya serta sikapnya yang mengabaikan tuntutan kubu oposisi. Etnis Kurdi anti pemerintah Turki sangat tidak puas atas diabaikannya tuntutan mereka oleh Ankara.

Kubu Nasional juga merasa tidak puas atas kebijakan Turki yang mengamini kekuatan transregional dan ketidakpuasan ini mereka realisasikan dalam berbagai aksi demo dan protes terhadap kebijakan intervensif Ankara di urusan internal negara tetangga serta kebijakan haus perang pemerintah.

Sejumlah elit politik sekulat Turki juga mendakwa Erdogan mengabaikan ideologi Ataturk serta tradisi sekularisme di Turki dan berusaha menggantikannya dengan prinsip-prinsip dasar partainya. Media massa Turki juga menderita dan tidak merasakan adanya prinsip keempat demokrasi. Bahkan petinggi HAM Barat menyebut Turki sebagai penjara terbesar bagi wartawan.

Mayoritas tahanan politik juga memprotes atas lambannya proses pengadilan bagi mereka dan pada dasarnya penangkapan mereka dinilai tidak benar. Sejumlah kalangan lainnya mengaku tidak mempercayaik laim Erdgogan terkait reformasi undang-undang dasar. Mereka pun menilai reformasi seperti perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial merupakan upaya Erdogan untuk menjadikan dirinya seorang diktator.

Mengingat berbagai kondisi ini, Erdogan masih tetap mengklaim adanya demokrasi di tengah masyarakat Turki. Tak diragukan lagi bahwa warisan demokrasi di Turki sejak beberapa dekade lalu masih tetap terlihat. Sejatinya dengan munculnya berbagai partai di dekade 40-an di percaturan politik Turki, terealisasinya demokrasi di negara ini menjadi prioritas utama dan di dekade 80-an, meski terjadi tiga kudeta oleh Turgut Özal, mantan presiden Turki, namun demokrasi masih tetap berjalan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan adalah warisan pemerintah sebelumnya untuk merealisasikan demokrasi di negara ini. Dan rakyat Turki sendiri berharap pemerintah saat ini menjaga dengan baik warisan tersebut.

Baik kubu pro dan anti Erdogan meyakini bahwa pandangan sang perdana menteri terkait demokrasi sekedar alat dan demokrasi bagi Erdogan menjadi penting ketika dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya kudeta.

Erdogan berulang kali menyebut kudeta sebagai musuh demokrasi dan dirinya menandaskan bahwa demokrasi adalah alat yang akan terus digunakan selama bermanfaat.

Rabu, 04 September 2013 17:27

Konsensus AS untuk Invasi ke Suriah

Setelah beberapa hari dilakukan berbagai upaya untuk mencapai kesepakatan menggelar perang di Suriah, anggota-anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerikat Serikat akhirnya menyetujui rencana serangan militer ke negara Arab tersebut. Keputusan itu telah memuluskan langkah Presiden AS Barack Obama untuk memperoleh persetujuan dari Senat AS untuk menginvasi Suriah.

Jika Kongres menyetujui permintaan Obama, maka Pentagon akan segera memulai perang baru di Timur Tengah dengan menyerang sebuah negara Islam yang selama bertahun-tahun ini menjadi poros Muqawama untuk menghadapi rezim Zionis Israel.

Selama satu dekade lalu, negara-negara Islam seperti Irak, Afghanistan, Yaman, Pakistan dan Somalia menjadi sasaran agresi dan serangan-serangan militer AS. Sekarang giliran Suriah yang akan dijadikan korban berikutnya setelah sekian lama Gedung Putih mengincar Damaskus mengingat pemerintah Suriah sangat gencar membela Muqawama dan bangsa Palestina.

Para pejabat AS sejak awal mengancam akan menyerang Suriah sebagai balasan atas apa yang mereka klaim dengan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus. Mereka juga mengusung isu-isu lainnya untuk memulai invasi tersebut. Selain menjadikan isu senjata kimia sebagai dalih utama untuk menggelar aksi militer ke Suriah, Obama juga mengubah isu tersebut ke masalah-masalah lainnya. Ia mengatakan, jika Washington tidak mengambil tindakan atas penggunaan senjata kimia maka sikap tersebut akan merusak reputasi AS dan presidennya.

Pernyataan Obama itu sangat ironis sekali. Pasalnya, tiga dekade lalu Donald Rumsfeld, Deputi Menteri Pertahanan AS di masa itu tetap mencium pipi Saddam, Diktator Irak, yang telah menggunakan ribuan senjata kimia terhadap warga sipil dan militer Iran. Bahkan tragedi mengerikan di Kota Halabche Iran tidak menyebabkan AS merasa khawatir atas penggunaan senjata pemusnah massal itu oleh rezim Saddam. Gedung Putih juga tidak mengusulkan sebuah resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk menindak keras Irak.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dalam pertemuan di Komite Hubungan Luar Negeri Senat menjustifikasi serangan militer ke Suriah sebagai upaya untuk menjamin keamanan Israel. Pada dasarnya, Kerry telah menekankan poin sensitif parlemen AS yaitu menjaga eksistensi Israel.

Banyak politisi AS yang menganggap bahwa menjamin kepentingan-kepentingan Tel Aviv itu lebih penting dari pada menjaga kepentingan-kepentingan Washington. Sehingga, jika darah para tentara AS mengalir dan ratusan miliar dolar uang pajak warga Amerika habis untuk melindungi Israel, maka hal itu tidak dianggap penting. Patut dicatat bahwa meskipun para politisi AS berselisih tentang berbagai masalah dari masalah ekonomi hingga masalah pernikahan para gay, namun mereka tidak pernah berselisih paham untuk melindungi Israel.

Selain itu, pejabat-pejabat Gedung Putih menilai serangan ke Damaskus sebagai salah satu upaya untuk menjaga hubungan AS dengan sekutu regionalnya seperti Turki, Arab Saudi dan Qatar yang telah menghabiskan miliaran dolar untuk menggulingkan pemerintahan legal Presiden Suriah Bashar al-Assad. Menurut pandangan Washington, jika pihaknya tidak mengambil tindakan atas apa yang mereka klaim sebagai penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus, maka posisi AS di mata sekutu regionalnya akan hilang.

Dengan demikian, jika AS ingin sekutunya di kawasan tetap mempercayainya, maka Pentagon harus menyerang Suriah. Jika tidak, AS akan kehilangan pamornya sebagai negara superpower di mata sekutunya, sementara negara-negara independen dan penentang AS akan semakin kuat sehingga ketakutan hebat akan melanda sekutu AS di kawasan atas badai kebangkitan rakyat di Timur Tengah.

Rabu, 04 September 2013 17:17

Lobi Zionis Dorong Serangan AS ke Suriah

Tiga kelompok lobi pro-Rezim Zionis Israel di Amerika Serikat menekan Kongres pada hari Selasa (3/9) untuk mengotorisasi serangan terhadap Suriah.

Komisi Hubungan Publik Amerika-Israel (AIPAC), Liga Anti-Penistaan (ADL) dan Koalisi Yahudi Republik (RJC) mengeluarkan pernyataan bahwa mereka mendukung intervensi militer AS di Suriah, menurut laporan Reuters.

Kelompok tersebut juga telah mengadakan pertemuan 45 menit di Gedung Putih pada Selasa dengan pejabat pemerintah, menurut sumber-sumber pemerintah. Namun, mereka bersikap sangat hati-hati agar tidak dianggap sebagai pengobar perang Washington sehingga kepentingan Israel tidak terancam.

Kelompok lobi tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa serangan ke Suriah masih dalam kerangka keamanan nasional Amerika dan bukan untuk kepentingan Israel semata.

Lobi Zionis merupakan koalisi beragam individu dan kelompok yang berusaha untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri AS dalam mendukung Israel. Para analis politik di Amerika menegaskan bahwa lobi Zionis memiliki pengaruh luas terhadap kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.

Presiden Barack Obama dan beberapa anggota Kongres ingin menyerang Suriah atas tuduhan bahwa negara Arab itu menggunakan senjata kimia terhadap militan.

Para pejabat Suriah menolak tudingan tersebut dan menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak punya peran dalam serangan kimia.

Menteri Pertahanan Republik Islam Iran menilai kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan menyebabkan peningkatan instabilitas dan memperkuat kelompok teroris serta ekstremis.

Sebagaimana dilaporkan Mehr News (4/9), Jenderal Hossein Dehghan, Menhan Iran hari ini, Rabu (4/9) terkait kemungkinan serangan militer Amerika Serikat ke Suriah, kepada wartawan mengatakan, "Kehadiran militer Amerika di kawasan menyebabkan peningkatan instabilitas dan memperlebar krisis di seluruh wilayah ini."

Dehghan menilai Amerika menghadapi tantangan serius di Afghanistan juga Irak, dan sampai saat ini masih menanggung masalah-masalah akibat serangannya ke kedua negara tersebut. "Jika Amerika menyerang Suriah maka perang dimulai oleh Washington, namun akhir perang tidak ditentukan mereka," ujarnya.

Menjawab sejumlah klaim yang menyebutkan bahwa Iran akan memberikan perlengkapan dan persenjataan ke Suriah, Dehghan menjelaskan, "Suriah tidak butuh persenjataan, karena mereka memiliki perlengkapan defensif dan ofensif."