کمالوندی

کمالوندی

Jumat, 28 Februari 2025 17:16

Motivasi Mencari Agama

 

Definisi Agama

Sebelum saya menjelaskan tema diatas, perlu saya jelaskan tentang pengertian agama secara singkat dan kata-kata lain yang berhubungan dengannya. Hal itu saya anggap perlu untuk memberikan gambaran yang jelas agar tema di atas dapat dipahami dengan baik dan benar.

Agama dalam bahasa Arab disebut al-Din. Secara leksikal, kata din berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknikal, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-ladini (orang yang tak beragama) digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud pencipta alam secara mutlak, walaupun ia meyakini shudfah (kejadian yang tak bersebab-akibat) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya alam semesta ini akibat interaksi antar-materi semata. Adapun kata al-mutadayyin (orang yang beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud pencipta alam semesta ini, walaupun kepercayaan, perilaku dan ibadahnya bercampur dengan berbagai penyimpangan dan khurafat. Atas dasar inilah agama yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang hak dan agama yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dibangun di atas pondasi yang kokoh dan dapat dibuktikan kesahihannya.

Salah satu keistimewaan manusia di atas makhluk lainnya yaitu adanya motivasi fitriyah untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai realitas. Fitrah ini mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya, yang lebih dikenal juga sebagai rasa ingin tahu (kuriositas). Fitrah ini dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang bersangkutan, antara lain:

Apakah ada wujud lain yang bersifat nonmateri dan gaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam gaib dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud nonmateri itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, persoalan-persoalan duniawi apakah yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tata hidup yang benar, yaitu sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, berupa apakah sistem dan undang-undang tersebut?

Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan agama.

Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai kebutuhannya itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu. Oleh karena itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan materi duniawi itu baru akan dapat dicapai dengan cara mengerahkan pikiran dan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan empirik seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Jika agama itu dapat membantu pula untuk memenuhi segala kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentunya agama itu pun akan menjadi elemen utama di dalam kebutuhan hidupnya. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya, merupakan pendorong bawaan lainnya untuk mencari agama. Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak sekali, belum lagi syarat-syarat untuk mengetahui semua hakikat itu tidak mungkin dapat terpenuhi, maka sangat mungkin seseorang itu akan memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan, yang paling banyak keuntungan materinya. Untuk itu, ia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari usaha mencari kebenaran agama, yang ia yakini bahwa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau ia meyakini bahwa masalah-masalah agama itu tidak akan mebuahkan hasil yang berarti.

Atas dasar itu, kita dapat mengatakan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Lebih dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan memiliki nilai sebesar nilai yang dikandung oleh masalah-masalah agama. Kita perhatikan bahwa sebagian ahli Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitriyah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama. Mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri rasa ingin tahu (kuriositika), rasa ingin berbuat baik (etika) dan rasa ingin keindahan (estetika).

Selain mengandalkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologis, para pakar itu pun menemukan bahwa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahwa ihwal ber-agama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia. Keumuman naluri beragama ini tidak berarti bahwa hal itu senantiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang yang lalu mendorongnya secara sadar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, sangat mungkin fitrah itu tertimbun di kedalaman jiwanya lantaran faktor-faktor yang melingkupinya dan pendidikan yang tidak benar, atau ia menyimpang dari jalan yang lurus, sebagaimana hal-hal ini pun -sedikit atau banyak- bisa menimpa naluri dan kecenderungan bawaan lainnya. Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari agama merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan argumentasi. Tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, sangat mungkin seseorang akan mengingkari keberadaannya dalam dirinya pada saat ia melakukan perdebatan.

Pentingnya Mencari Agama

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka siap menanggung berbagai tantangan dan kesulitan, hingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu –dengan dorongan naluri tersebut– akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa argumentasi yang kuat untuk membela klaim tersebut? Terutama ketika ia mengetahui bahwa dakwah dan risalah para nabi itu memberikan janji kebahagiaan abadi, di samping peringatan akan adanya siksa yang abadi pula. Artinya, meyakini dakwah mereka itu mengandung kemungkinan diperolehnya kebahagiaan abadi. Begitu pula, menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, yaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tak acuh terhadap agama dan enggan mencari kebenarannya.

Ya, mungkin saja sebagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama karena merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena meyakini bahwa agama itu akan menuntut berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan. Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya itu. Lebih dari itu, mereka pun terancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit yang menolak diajak berobat ke dokter lantaran takut untuk minum obat yang pahit, sementara kematian telah mengancam dirinya. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesadaran yang dapat membedakan mana yang berguna dan mana yang berbahaya untuk dirinya. Selain itu, menolak anjuran dokter tidak akan berakibat apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia. Sedangkan orang-orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menimbang antara kenikmatan temporal dan azab yang abadi.

Sebuah Keraguan

Barangkali ada sebagian orang yang enggan untuk berfikir dan mencari agama dengan alasan sebagai berikut: bahwa sepatutnya energi dan waktu ini dikerahkan untuk mengatasi hal-hal yang mungkin dapat diatasi oleh seseorang dan hasilnya pun dapat diharapkan secara nyata. Harapan dan kemungkinan seperti ini tidak akan didapati dalam upaya mencari agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, alangkah baiknya jika tenaga dan wak-tu ini dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keberhasilan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah agama yang belum jelas hasilnya itu.

Jawaban atas kritik tersebut adalah

Pertama : Bahwa adanya kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah yang bersifat ilmiah. Kita telah mengetahui bahwa masalah-masalah ilmiah itu baru akan menuai hasil setelah puluhan tahun lamanya; setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka dalam mengatasi hal ini.

Kedua: Sesungguhnya nilai sebuah kemungkinan itu tidak diukur oleh satu indikasi saja, yaitu kuantitas kemungkinan (qordul ihtimal). Tetapi, ada indikasi kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimung-kinkan (qodrul muhtamal). Misalnya, jika kemungkinan adanya keuntungan dalam suatu usaha itu sebesar 5 %, sedang dalam usaha lainya sebesar 10 %, tetapi jumlah keuntungan yang dimungkinkan dan yang bisa diharapkan dari usaha pertama itu sebesar 1000 rupiah, sementara keuntungan dari usaha yang kedua hanya sebesar 100 rupiah saja, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat dibandingkan dengan usaha yang kedua tersebut, padahal tingkat kemungkinan usaha yang pertama itu hanya 5 % saja yaitu separuh dari tingkat kemungkinan yang terdapat pada usaha yang kedua. Hal ini disebabkan pentingnya derajat dan nilai objek yang dimungkinkan.

Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan yang dapat diperoleh dari mencari agama itu tidak terbatas besarnya, tetapi -meski tingkat kemungkinan untuk memperoleh hasilnya itu lebih kecil- besarnya nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan pengerahan tenaga dalam usaha ini jauh mengungguli nilai pencarian usaha-usaha apapun yang hasilnya sedikit dan terbatas.

Sesungguhnya seseorang itu baru akan menyadari tidak perlunya mencari agama manakala ia merasa yakin bahwa agama yang dicarinya itu adalah batil dan telah menyimpang, atau ia merasa yakin bahwa masalah-masalah agama itu tidak mungkin dapat diselesaikan. Persoalannya, dari mana keya-kinan terhadap batilnya sebuah agama itu dapat diperoleh jika tanpa penelitian dan pencarian?

Jumat, 28 Februari 2025 17:14

Doa Ulul Albab

 

Ulul Albab yaitu orang-orang yang ahli berpikir, merenung, berakal dan memiliki pandangan ke depan dan yang tidak melihat tujuan dari penciptaan dan eksistensi hanya sekedar tidur dan makan. Orang-orang seperti ini dalam segala kondisi senantiasa mengingat Allah swt dalam keadaan sibuk maupun istirahat dan menyebut-Nya dengan lisan serta berpikir dalam penciptaan langit dan bumi dan mereka berucap kepada Allah swt demikian:

رَبَّنا ما خَلَقْتَ هذا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ

رَبَّنا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَ ما لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصارٍ

رَبَّنا إِنَّنا سَمِعْنا مُنادِياً يُنادِي لِلْإِيمانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنا فَاغْفِرْ لَنا ذُنُوبَنا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئاتِنا وَ تَوَفَّنا مَعَ الْأَبْرارِ

رَبَّنا وَ آتِنا ما وَعَدْتَنا عَلى‏ رُسُلِكَ وَ لا تُخْزِنا يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعادَ.

"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang lalim seorang penolong pun.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.

Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."[1]

Sebagaimana yang dapat disaksikan bahwa doa ini adalah umum dan tidak dikhususkan untuk seseorang tertentu. Ketika doa ini dibaca dengan sepenuh hati maka keterkabulannya adalah pasti.

[1] QS. Ali ‘Imran (3): 191 – 194.

Jumat, 28 Februari 2025 17:12

Sekilas Biografi Ustadz Husein Ansariyan

 

Ayatullah Husein Ansariyan adalah seorang ulama dan pemikir Islam kontemporer Iran yang masih hidup hingga kini. Ia merupakan salah satu tokoh ulama populer Iran saat ini. Selain aktif mengisi kajian dan ceramah Islam di berbagai media elektronik dan cetak Iran, beliau juga aktif melakukan dakwah di luar Iran. Ia akrab dengan panggilan Ustadz Husein Ansariyan.

Ustadz Husein Ansariyan lahir di kota Khunsari, Iran, 68 tahun silam. Khunsari adalah Sebuah kota yang sejak berabad lalu banyak melahirkan sosok-sosok ilmuan Islam. Sosok terkemuka seperti Almarhum Ayatullah Aqa Khunsari, Almarhum Ayatullah  Jamal Khunsari, Almarhum Ayatullah Sayyid Muhammad Taqi Khunsari dan Almarhum Ayatullah Sayyid Ahmad Khunsari lahir di salah satu penjuru negeri Islam Iran ini.

Ustadz Husein Ansariyan berasal dari keluarga Haji Syaikh, sebuah keluarga ternama dari kota Khunsari yang banyak mencetak ilmuan dan pakar Islam. Keluarga ini juga dikenal sebagai keluarga yang banyak berjasa guna kepentingan Islam.

Berkenaan dengan salah satu tokoh ilmuan Islam dari keluarga tersebut yang merupakan kakek dari ustadz husein ansariyan, Imam Khomeini berkata, “Sebaik baik buku tentang shalat dalam fiqih Syiah adalah buku yang ditulis oleh Ayatullah Syaikh Musa Ansariyan dan Ia juga meninggalkan puluhan karya ilmiah dan buku.”

Ustadz Husein Ansariyan sangat menyukai ilmu-ilmu keislaman sejak usia remaja. Di usia tersebut beliau aktif di berbagai kajian keislaman dan mempunyai hubungan baik dengan banyak ulama islam. Selepas jenjang pendidikan sekolah menengah atas, ia memutuskan untuk melanjuti pendidikannya di Hauzah Ilmiah (pesantren) yang merupakan pusat pendidikan ilmu Islam.

Ia mengawali pendidikan hauzahnya di hauzah ilmiah Tehran. Di sana ia mengkaji ilmu-ilmu dasar hauzah seperti sastra arab, ilmu sharf dan nahwu. Selepas mengkaji ilmu dasar hauzah, ia melanjutkan pendidikannya di hauzah ilmiah Qom hingga sampai ke jenjang tingkat tinggi fiqih dan ushul.

Selain sibuk melakukan dakwah baik di dalam Iran maupun luar Iran, Ia juga aktif menuangkan pemikirannya melalui tulisan. Berbagai ceramah dan kajian beliau juga sangat banyak didokumentasikan.

Sebagian Karya Ustadz Husein Ansariyan berbahasa Persia :        

1-'Irfân Islâmi (syarah atau komentar atas buku Misbâh asy-Syariah) 12 jilid

2-Diyâr-e Âsyiqân (syarah atas kitab Sahifah Sajjadiyah) 7 jilid

3-Luqmân Hakim

4-Islâm wa Kâr wa Kusyesy

5-Islâm wa 'Ilm wa Dânesy

6-Imâm Husain bin 'Ali As Behtar Besynâsim

7-Maknawiyat, Asâsitarin niyâz Asr Mâ

8-Besyu-ye Qur'ân wa Islâm

9-Furugi az Tarbiyat Islâmi

10-Bâ Kâravân-e Nur

11-Taubah, Agusy-e Rahmat-e Haq

 Sebagian Karya yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing :

1-Bâ Kâravân-e Nur (bahasa Inggris)

2-Nizâm-e Khânewâde dar Islâm (bahasa Inggris)

3-Nizâm-e Khânewâde dar Islâm (bahasa Urdu)

4-Nizâm-e Khânewâde dar Islâm (bahasa Arab)

5-Nizâm-e Khânewâde dar Islâm (bahasa Rusia)

6-Nizâm-e Khânewâde dar Islâm (bahasa Turki, Istanbuli)

7-Syarh-e Du'a Kumail (bahasa Arab)

8-Taubah, Âgusy-e Rahmat (bahasa Arab)

9-Taubah, Âgusy-e Rahmat (bahasa Inggris)

Jumat, 28 Februari 2025 17:07

Hukum Khumus pada Tabungan Pendidikan

 

Menyiapkan tabungan pendidikan bagi anak merupakan langkah penting untuk memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang layak di masa depan. Dengan meningkatnya biaya pendidikan, memiliki dana khusus dapat membantu meringankan beban finansial saat anak memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pilihan Tabungan Pendidikan Anak

Terdapat beberapa cara yang dapat dipilih orang tua untuk menyiapkan dana pendidikan anak, antara lain:

1. Tabungan Pendidikan

2. Deposito Pendidikan

3. Asuransi Pendidikan

Namun dalam fikih Ahlulbait terdapat kewajiban khumus, yaitu menyisihkan seperlima dari keuntungan atau pendapatan bersih setiap tahun untuk disalurkan kepada hak-hak tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah tabungan pendidikan anak juga terkena kewajiban khumus?

 

Hukum Khumus pada Tabungan Pendidikan

Tabungan Pendidikan atas Nama Orang Tua
Jika tabungan pendidikan disimpan atas nama orang tua, maka dana tersebut masih dianggap sebagai bagian dari harta orang tua. Oleh karena itu:

Pada akhir tahun khumus, maka wajib dikeluarkan khumusnya.

Tabungan Pendidikan atas Nama Anak

Jika orang tua menabung atas nama anak dan secara hukum telah menyerahkan kepemilikan dana tersebut kepada anak, maka:

1. Tabungan tersebut tidak lagi termasuk dalam harta orang tua.

2. Oleh karena itu, orang tua tidak berkewajiban membayar khumus atas dana tersebut.

Kesimpulan

Menabung untuk pendidikan anak adalah bentuk investasi terbaik bagi masa depan mereka. Dengan perencanaan yang matang, orang tua dapat memastikan anak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa terbebani secara finansial.

Dengan memahami hukum khumus pada tabungan pendidikan, orang tua dapat mengelola keuangan mereka dengan lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

 

Kemuliaan dan martabat umat Islam merupakan salah satu prinsip utama yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Prinsip ini tidak hanya tercermin dalam kehidupan individu, tetapi juga dalam representasi sosial dan budaya umat Islam di mata dunia. Kisah Ayatullah Burujurdi dalam pembangunan masjid dan pusat kajian Islam di Hamburg, Jerman, menjadi contoh nyata bagaimana menjaga kehormatan umat Islam di lingkungan global.

Kisah Ayatullah Burujurdi

Pada masa Ayatullah Sayyid Husain Burujurdi, muncul rencana untuk membangun sebuah masjid dan pusat kajian Islam di kota Hamburg, Jerman. Untuk merealisasikan proyek ini, Ayatullah Burujurdi mengutus seseorang ke Hamburg untuk membeli sebidang tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan. Setelah melaksanakan tugasnya, utusan tersebut kembali dan melaporkan bahwa ia telah membeli tanah. Namun, beberapa orang memberi tahu Ayatullah Burujurdi bahwa lokasi tanah tersebut kurang strategis dan tidak sesuai untuk mendirikan masjid yang representatif.

Mendengar hal ini, Ayatullah Burujurdi memanggil utusan tersebut dan berkata,_ “Saya dengar bahwa letak tanah yang Anda beli kurang layak dan tidak sesuai bagi sebuah masyarakat yang cenderung menilai dari sisi lahiriah. Jangan sampai di mata mereka, kita terlihat rendah dan hina. Di sana terdapat berbagai agama lain dengan tempat ibadah yang megah dan mewah. Karena itu, tidak layak bagi kita untuk membangun masjid yang kualitasnya lebih rendah dari tempat ibadah mereka.”_

Utusan itu pun menjawab, “Wahai Tuan, apakah Anda menghendaki saya membeli tanah di kawasan atas kota Hamburg dan di tepi pantai? Tempat di sana sangat mahal.”

Ayatullah Burujurdi dengan tegas menjawab, “Ya, belilah tanah di tempat yang layak. Saya akan menjamin dananya. Apakah Anda mengira bahwa Anda membeli tanah ini untuk saya pribadi? Tidak, tempat itu adalah untuk Imam Zaman (Imam Mahdi a.f.s). Oleh karena itu, bangunan ini harus berdiri di kawasan yang terhormat agar martabat Muslimin tetap terjaga dan mereka tidak menjadi bahan hinaan dan pelecehan.”

Pesan Moral dan Relevansi

Kisah ini mengajarkan pentingnya menjaga citra dan martabat umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan tempat ibadah dan lembaga pendidikan. Ayatullah Burujurdi memahami bahwa representasi visual dan lokasi strategis memiliki dampak besar terhadap pandangan masyarakat dunia terhadap Islam. Oleh karena itu, beliau tidak hanya memperhatikan aspek fungsional sebuah masjid, tetapi juga memastikan bahwa bangunan tersebut mampu mencerminkan kemuliaan dan kebesaran ajaran Islam

Perhatian Ayatullah Burujurdi terhadap detail pembangunan masjid di Hamburg menunjukkan bahwa menjaga martabat umat Islam adalah bagian dari dakwah yang efektif. Dengan mendirikan tempat ibadah di lokasi yang terhormat dan desain yang megah, umat Islam dapat menunjukkan identitas mereka dengan penuh kebanggaan. Kisah ini menjadi inspirasi bagi umat Islam di seluruh dunia untuk selalu memperjuangkan kemuliaan dan kehormatan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka. 

Jumat, 28 Februari 2025 16:59

Musyawarah Sufi di Meja Makan

 

Salah satu frasa kunci orang-orang hebat di masa lalu, terutama ulama sufi, di dalam menjalani kehidupan ini adalah konsep “tidak pernah”. Contoh: Jakfar at-Thayyar tidak pernah mabuk di dalam hidupnya, baik sebelum masuk Islam, lebih-lebih setelah masuk Islam.

Yusuf bin Asbath tidak pernah makan makanan yang tidak ia ketahui lebih dulu dari mana berasal. Tujuannya adalah untuk memastikan, apakah makanan tersebut mengandung unsur haram atau tidak. Begitulah, kehati-hatian mereka terhadap sesuatu, terutama makanan, sangat menakjubkan.

Sepintas, kegiatan makan adalah kegiatan kehewanan. Artinya, seekor sapi (sebagai hewan betulan) butuh makan. Manusia (sebagai hewan berpikir) juga makan. Bedanya, manusia punya niat yang tulus dan ikhlas, sembari berdoa. Manusia diwajibkan hanya memakan yang suci dan halal.

Karena itu, makanan yang sehat tidak saja cukup syarat, sebab sehat belum tentu dimasak secara suci. Kentang adalah suci dan halal, tapi tidak jika didapat dari hasil mencuri atau tidak dibersihkan dengan air yang suci-menyucikan. Panjang urusannya, bukan?

Makan adalah peristiwa besar di dalam hidup keseharian. Makan dapat menjadi ‘upacara’ paling berat setelah salat. Pada kenyataannya, makanan adalah aktivitas ragawi yang sifatnya duniawi dan seringkali disepelekan. Dalam Risalatul Muawanah, Imam Al-Haddad mewanti-wanti kita terkait kesucian dan kehalalan rezeki yang ujung-ujungnya akan dimakan.

Jadi, analoginya begini: Jika ada bagian yang haram di dalam pakaian, ia akan membuat salat kita tidak diterima. Lalu—beliau mengajukan pertanyaan retoris—jika untuk hal-hal yang bersifat ragawi saja sampai segitunya hukumnya, bagaimana jika yang tidak suci dan tidak halal itu sampai-sampai bercampur dengan yang kita makan? Ia akan mengalir dalam darah, menjadi daging, menjadi bagian tubuh yang akan digunakan untuk ibadah.

Nabi, melalui hadis-hadisnya, mengatur gaya dan pola makan dengan sangat rinci. Dalam kitab Al-Adzkar susunan Imam Nawawi, doa-doa terkait makan sangatlah banyak. Aturan-aturannya sangat detail, mulai dari anjuran menjilati jari-jemari setelah makan, juga keharusan duduk pada saat makan, hingga urusan minumnya: harus juga duduk dan dengan tiga kali tegukan disertai basmalah dan hamdalah.

Di atas itu, ada pula aturan lainnya, seperti larangan mencaci makanan dan kesunnahan memuji makanan, berbasa-basi untuk tamu agar menikmati makanan, dll.

Sebab itulah, pada tahapan berikutnya, makan bukan lagi aktivitas biasa. Makan menjadi sarana taqarrub yang dapat mendekatkan kehambaan manusia, yang memakan rezeki Allah Yang Maha Menumbuhkan (a antum tazra’unahu am nahnuz zaari’un).

Jika Descartes mengajukan statemen filosofis “Cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), maka Abun Nadjib as-Suhrawardi—sebagaimana dikutip Syaikh Ihsan Jampes dalam Sirajut Thalibin—menyatakan statemen transendental: “Ana akilun, wa ana ushalli” (saya makan, maka saya salat).

Namun demikian, sekarang, gaya hidup manusia terkadang menuntut kita macam-macam, berubah atau bertahan. Maka, aturan yang terbangun sejak dulu itu kadang harus berubah perlahan-lahan. Makan dan minum dianjurkan duduk, tapi bagaimana caranya jika tak ada kursi di standing party?

Habis makan sunnah menjilati jemari dan membersihkan piring sama sekali, tapi bagaimana jika makannya memakai sendok dan garpu? Makanlah hanya jika lapar dan berhenti sebelum kenyang, lalu mengapa kita harus makan tiga kali sehari?

Sejak kecil, kita diajari agar mencuci tangan sebelum makan, baca basmalah dan menutup dengan hamdalah, menyuap kecil dan mengunyah banyak, tidak boleh kekenyangan dan minumnya harus dalam posisi duduk. Tapi, begitu dewasa, mulailah kita lupa itu semua.

Kita baru sadar kembali begitu datang ilmuan atau peneliti yang mendukungnya. Muslim modern ada yang punya kecenderungan begitu. Jadi, setelah Masaru Emoto mengatakan bahwa air merespons terhadap bacaan yang baik, dan Hiromi Shinya menyatakan bahwa enzim melimpah di dalam mulut yang lama mengunyah, barulah kita manggut-manggut menyetujui.

Dengan begitu, dalam Islam, makan bukanlah sekadar mengganjal perut. Ia adalah aktivitas yang sangat serius sehingga wajar apabila aturannya sangat banyak. Dalam hal doa-doa terkait makan saja begitu banyak, di antaranya; doa pada saat menghadapi makanan, doa ketika mulai menyuap makanan, doa ketika lupa tidak berdoa pada suapan pertama, doa untuk orang yang memberi makanan, doa ketika selesai makan, doa agar makanan menjadi berkah, doa setelah minum. Lengkap sekali, bukan?

Inilah sebagian bukti bahwa peristiwa makan itu, yang oleh kita dianggap sebagai kegaitan ragawi-duniawi, sebetulnya mengandung muatan spiritual-ukhrawi kalau kita meniatkannya begitu.

Tapi, ingatlah, setelah Anda, para sufi modern yang sudah mengamalkan doa-doa dan adab makan dari kanjeng Nabi, masih ada satu hal lagi yang harus dibereskan: pastikan Anda dapat menjalani kesufian bukan hanya di meja makan saja, melainkan juga sesudah meninggalkannya, yakni memastikan tidak menambah rusak bumi dengan beban sampah plastik.

Wallahu a’lam

 

Imam Mahdi afs juga berkata, “Jika seseorang mendirikan shalat dua rakaat di tempat ini (masjid Jamkaran), maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana mendirikan shalat dua rakaat di dalam Ka’bah”.

Kemudian Syeikh Hasan meninggalkan tempat tersebut, ketika berjalan beberapa langkah, Imam Mahdi afs kembali memanggilku seraya berkata, “Belilah satu ekor kambing yang digembalakan oleh Jakfar Kasyani, lantas bawalah kemari dan sembelihlah di tempat ini. Setelah itu, bagikanlah dagingnya kepada orang-orang yang sakit. Orang-orang sakit yang memakan daging kambing tersebut akan disembuhkan penyakitnya oleh Allah SWT.”

Syeikh Hasan pun kembali ke rumah dan terus berpikir sepanjang malam hingga tiba waktu subuh. Seusai melaksanakan shalat subuh, Syeikh Hasan pergi ke rumah Ali Mandzar dan menceritakan semua peristiwa yang telah kualami malam itu. Kemudian, mereka pun pergi ke tempat itu. Dengan dipenuhi rasa heran, kami dapati di atas tanah itu terdapat rantai-rantai yang menjadi pembatas bangunan Masjid Jamkaran.

Setelah itu, Syeikh Hasan pergi ke kota Qom untuk menemui Sayyid Abul Hasan Ridha. Sesampainya di depan pintu rumahnya, pelayan yang membukakan pintu berkata, “Apakah anda orang dari Jamkaran?” Syeikh Hasan mengiyakan. Pelayan itu kembali berkata, “Sejak waktu sahur Sayyid Abu Hasan Ridha telah menanti anda.”

Lalu Syeikh Hasan masuk ke dalam rumah itu, dan Sayyid Abu Hasan Ridha menyambutnya dengan hormat seraya berkata, “Wahai Hasan bin Muslih, aku bermimpi seseorang berkata kepadaku, “Akan datang seseorang kepadamu dari daerah Jamkaran yang bernama Hasan bin Muslih. Percayailah apapun yang dikatakannya, karena ucapannya adalah ucapanku, dan jangan engkau menolaknya.” Sejak bangun tidur hingga sekarang aku menunggu-nunggu kedatanganmu.”

Syeikh Hasan kemudian menceritakan peristiwa yang dialami malam itu. Tidak lama kemudian, Sayyid Abul Hasan Ridha menyiapkan kudanya dan kami pun pergi ke daerah Jamkaran. Sesampai di sekitar Jamkaran, kami melihat segerombolan kambing gembalaan Jakfar Kasyani. Tiba-tiba, dari arah belakang gerombolan kambing itu, datanglah seekor kambing dan berlari menuju ke arah kami. Jakfar Kasyani bersumpah, bahwa kambing itu bukan berasal dari gembalaannya, dan ia pun tidak pernah melihat kambing sebelumnya. Kemudian kami pun berdasarkan perintah Imam Mahdi afs membeli kambing tersebut. Lalu kami membawa kambing tersebut ke tanah yang telah ditunjuk oleh Imam Mahdi afs, dan menyembelihnya. Setelah itu kami membagikan daging kambing tersebut kepada orang-orang yang sakit. Dengan pertolongan Allah SWT dan wasilah Imam Mahdi afs, mereka pun mendapat kesembuhan.

Setelah itu, kemudian Sayyid Abu Hasan Ridha mendatangkan Hasan Muslim dan mengambil keuntungan-keuntungan tanah tersebut darinya. Melalui keuntungan tersebut dibangunlah Masjid Jamkaran. Sayyid Abul Hasan pun membawa semua rantai-rantai dan pasak yang menjadi pembatas bangunan masjid Jamkaran ke kota Qom untuk disimpan dirumahnya. Setiap orang sakit yang diusapkan ke rantai tersebut akan disembuhkan oleh Allah SWT dengan cepat. Namun, setelah sayyid Abul Hasan wafat, semua rantai tersebut lenyap, dan tidak ada seorangpun yang menemukannya.”

 Masjid Jamkaran bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol spiritual yang memiliki hubungan erat dengan keyakinan terhadap Imam Mahdi (afs). Setiap Muslim yang mengunjungi tempat ini dianjurkan untuk menjaga kesucian hati dan perbuatan, serta memperbanyak doa agar kemunculan Imam Mahdi (afs) segera terjadi. Keberadaannya yang penuh sejarah dan keajaiban menjadikan Masjid Jamkaran sebagai salah satu destinasi ziarah yang paling dihormati di dunia Islam.

Bagi mereka yang beriman, Masjid Jamkaran bukan hanya tempat suci, tetapi juga sebuah pengingat bahwa semua permasalahan dunia ini akan terselesaikan dengan hadirnya Imam Mahdi (afs), sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.

Keistimewaan Masjid Jamkaran 

Allah SWT berfirman:

 

“Sesungguhnya sesuatu yang telah disiapkan Allah SWT buatmu, adalah lebih baik bagimu jika kamu beriman…” (QS. Hud: 86)

Masjid Jamkaran merupakan salah satu tempat suci yang memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, khususnya dalam keyakinan tentang Imam Mahdi (afs). Imam Mahdi sendiri pernah bersabda:

“Katakanlah kepada orang-orang, cintailah tempat ini (Masjid Jamkaran) dan muliakanlah.”

Masjid ini terletak di daerah Jamkaran, sekitar enam kilometer dari kota suci Qom, Iran. Setiap tahunnya, ribuan peziarah dari berbagai penjuru dunia datang untuk mencari berkah dan merasakan kedekatan spiritual di tempat yang diyakini berada di bawah naungan khusus Imam Mahdi (afs). Dikatakan bahwa beliau akan bertemu dengan pengikutnya di masjid ini, menjadikannya lokasi yang sangat sakral bagi para pencari kebenaran.

Sejarah Pembangunan Masjid Jamkaran

Sejarah Masjid Jamkaran bermula pada tahun 373 H (982 M), ketika seorang lelaki saleh bernama Syeikh Hasan bin Muslih mendapat pengalaman luar biasa. Dalam mimpinya, ia melihat Imam Mahdi (afs) yang sedang duduk di atas dipan beralas permadani, bersandar pada bantal, ditemani oleh Nabi Khidir (as). Imam Mahdi (afs) lalu memberikan perintah kepadanya:

“Pergilah menemui Hasan Muslim dan katakan kepadanya bahwa tanah ini adalah tanah suci yang telah dipilih oleh Allah SWT. Ia tidak berhak lagi bercocok tanam di tempat ini.”

Ketika Syeikh Hasan meminta bukti agar masyarakat percaya, Imam Mahdi (afs) menenangkannya dan memerintahkannya untuk menyampaikan perintah tersebut kepada Sayyid Abul Hasan Ridha, seorang ulama terkemuka di Qom pada masa itu. Beliau juga memberikan tata cara shalat khusus yang dikenal sebagai shalat Masjid Jamkaran.

Setelah kejadian tersebut, masyarakat setempat menemukan rantai-rantai yang menandai batas tanah masjid. Hal ini semakin menguatkan keyakinan mereka bahwa tanah tersebut memang telah dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi tempat ibadah.

Tata Cara Shalat di Masjid Jamkaran

Imam Mahdi (afs) memberikan tuntunan shalat khusus bagi para peziarah yang datang ke masjid ini:

Shalat Tahiyatul Masjid (2 rakaat)
Setiap rakaat membaca Surat Al-Fatihah (1 kali) dan Surat Al-Ikhlas (7 kali).
Saat ruku’ membaca Subhana rabbiyal adzimi wa bihamdihi sebanyak 7 kali.
Saat sujud membaca Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi sebanyak 7 kali.
Shalat Imam Mahdi (2 rakaat)
Rakaat pertama: Membaca Surat Al-Fatihah, lalu mengulang ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in sebanyak 100 kali sebelum melanjutkan dengan Surat Al-Ikhlas (1 kali).
Rakaat kedua: Sama seperti rakaat pertama.
Setelah salam, membaca kalimat tauhid Laa ilaaha illallah satu kali.
Melanjutkan dengan Tasbih Zahra (Allahu Akbar 34 kali, Alhamdulillah 33 kali, Subhanallah 33 kali).
Sujud dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya sebanyak 100 kali.
 

Bersambung...

 

Diawal pidatonya, KH. Miqdad menukil perkataan Imam Ali a.s.: “Aku berpesan kepadamu, anak-anakku, keluargaku, dan siapa pun yang menerima pesanku, hendaknya kamu takut kepada Allah, aturlah urusanmu, dan perbaikilah hubungan di antara kamu.” (Imam Ali as)

Pesan Imam Ali as ini memuat tiga hal penting yang perlu diperhatikan:

1. Bertakwa kepada Allah
Takwa adalah kekuatan spiritual yang membentengi manusia dari dosa dan pelanggaran moral. Takwa menjadi pondasi utama bagi individu dan masyarakat untuk menjaga integritas dan moralitas.

2. Mengatur Urusan
Mengatur urusan berarti mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan melaksanakan tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Memperbaiki Hubungan
Hubungan sosial harus dibangun di atas hati yang bersih dari kedengkian, kebencian, dan prasangka buruk. Setiap individu perlu bersatu dan mencegah perpecahan.

Penguatan Sistem dan Budaya Berorganisasi

Pengertian Sistem
Sistem adalah seperangkat aturan yang saling berkaitan dan dibangun oleh suatu lembaga untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui sistem, pekerjaan dapat diselesaikan secara cepat, sistematis, dan efisien. Proses ini mencakup tahapan seperti identifikasi masalah, perencanaan, dan koordinasi.

Rasulullah SAW berkata: “Wahai Ibnu Masoud, jika kamu mengerjakan sesuatu, kerjakanlah dengan ilmu dan akal. Berhati-hatilah untuk tidak bertindak tanpa perencanaan dan ilmu. Allah berfirman: ‘Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali.’” (QS. An-Nahl: 92)

Imam Ali as berkata:
“Perencanaan sebelum bertindak menyelamatkan kamu dari penyesalan.”

Komitmen terhadap Sistem dalam Organisasi ABI

Organisasi ABI adalah wadah para pecinta Ahlul Bayt as yang memiliki visi dan misi yang sama: menanti kehadiran Imam Mahdi as.

Jumat, 28 Februari 2025 16:35

Syarat Dikabulkannya Doa

 

Dalam Islam, doa merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan. Namun, tidak semua doa langsung dikabulkan oleh Allah SWT. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar doa seseorang dapat diterima.

Imam Ja’far Shadiq a.s. pernah mengisahkan sebuah peristiwa yang sarat dengan hikmah:

“Ada seseorang yang selama tiga tahun terus-menerus berdoa agar Allah SWT mengaruniainya seorang anak. Namun, doanya tidak kunjung dikabulkan. Ketika ia mulai merasa putus asa, ia pun berkata, ‘Ya Allah! Apakah aku begitu jauh dari-Mu sehingga Engkau tidak mendengar suaraku, ataukah Engkau begitu dekat tetapi tidak menjawab permintaanku?’”

Suatu malam, ia bermimpi didatangi seseorang yang berkata kepadanya:

“Sesungguhnya engkau memohon kepada Allah dengan lisan yang sia-sia, hati yang kotor dan tidak bertakwa, serta niat yang tidak benar. Karena itu, tinggalkanlah perkataan yang tidak bermanfaat, sucikanlah hatimu, dan luruskan niatmu agar doamu dikabulkan.”

Mendengar nasihat tersebut, ia pun mulai memperbaiki dirinya. Ia meninggalkan perkataan yang tidak berguna, menyucikan hatinya dari segala keburukan, dan memperbaiki niatnya dalam berdoa. Setelah itu, ia kembali memanjatkan doa kepada Allah SWT, dan akhirnya doanya dikabulkan—Allah mengaruniainya seorang anak.

Hikmah dari Kisah Ini

Kisah ini mengajarkan bahwa dikabulkannya doa bukan hanya bergantung pada seberapa sering seseorang memanjatkannya, tetapi juga pada kondisi hati, lisan, dan niat yang menyertainya.

Berikut adalah beberapa syarat agar doa lebih mudah dikabulkan:

Hati yang bersih: Menjauhkan diri dari kebencian, iri hati, dan niat yang tidak tulus.
Lisan yang baik: Menghindari perkataan sia-sia, dusta, dan ucapan yang tidak bermanfaat.

Ketakwaan kepada Allah: Menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam dan menjauhi maksiat.
Niat yang lurus: Berdoa dengan niat yang benar, tidak semata-mata untuk kepentingan duniawi tetapi juga demi meraih ridha Allah.

Kisah ini juga mengajarkan bahwa doa yang belum terkabul bukan berarti Allah tidak mendengar atau tidak mengabulkannya, melainkan bisa jadi karena ada hal dalam diri kita yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, sebelum mengeluh bahwa doa belum dikabulkan, ada baiknya kita introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah serta keikhlasan dalam berdoa.