Pekan HAM AS: Dualisme HAM dan Dukungan terhadap Teroris, Strategi AS (2)

Rate this item
(0 votes)
Pekan HAM AS: Dualisme HAM dan Dukungan terhadap Teroris, Strategi AS (2)

Dualisme Hak Asasi Manusia (HAM) dan dukungan terhadap terorisme oleh Amerika Serika serta sejumlah pemerintah Eropa dan pemanfaatannya sebagai alat, merupakan dua strategi vital untuk memajukan tujuan Barat.

Pendekatan ini telah memberi pukulan telak terhadap prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan keamanan di dunia.

Kendala utama di bidang ini adalah politisasi institusi HAM dan pengaruh kekuatan opresif, standar ganda dan stereotip terhadap isu HAM. Ada contoh yang jelas dalam hal ini.

Sejumlah pemerintah seperti Kanada, Australia, Inggris, Denmark, Amerika Serikat, Jerman dan Prancis ketika berbicara mengenai HAM mendiktekan kepada dunia bahwa mereka adalah teladan HAM. Namun faktanya adalah isu HAM sangat dipengaruhi oleh sikap politik Barat dan berlanjutnya arus ini membuat institusi HAM semakin jauh dari dukungan sejatinya terhadap HAM.

Image Caption
Dengan kata lain harus dikatakan bahwa, pandangan utilitarian politik telah menghilangkan sifat dan fungsi organisasi dan institusi hak asasi manusia Barat yang diciptakan untuk membela hak asasi manusia dari status dan tanggung jawab mereka yang sebenarnya.

Serangkaian peristiwa dan kejadian terorisme dan kejahatan perang yang terjadi di tahun-tahun pertama kemenangan Revolusi Islam dan selanjutnya, tidak terkecuali dari dualisme ini. Padahal jika setiap peristiwa ini terjadi terhadap warga Amerika atau salah satu negara Eropa, maka akan dirilis puluhan resolusi dan statemen serta akan dijatuhkan beragam sanksi.

Sementara sanksi yang dijatuhkan Amerika dan mitra Eropanya melalui pendekatan sepihak dan ilegal Amerika telah mengancam kehidupan dan keselamatan fisik serta mental rakyat Iran.

Dunia Barat sejatinya menutup matanya terhadap kejahatan nyata ini dan menjadi pelanggar terbesar HAM, dan mereka merilis statemen terhadap negara lain demi meraih ambisi arogannya.

Ada satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam dikotomi hak asasi manusia dan terorisme di Barat, yaitu sifat politik dan tujuan bias yang tersembunyi di balik kedok klaim hak asasi manusia dan perang melawan terorisme. Tidak ada keraguan bahwa dukungan AS untuk terorisme dan penggunaan hak asasi manusia secara instrumental telah menjadi bagian dari strategi Washington untuk campur tangan di kawasan itu dan menyerang Iran yang Islami.

Dari sudut pandang ini, kejahatan mengerikan Amerika Serikat pada 3 Juli 1988 dalam menargetkan pesawat penumpang Iran di Teluk Persia harus dianggap sebagai salah satu bencana manusia paling menyakitkan di era kontemporer. Para pelaku kejahatan ini tidak hanya tidak ditegur, tetapi juga dianugerahi Medal of Courage oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, meskipun pengakuan Wakil Presiden saat itu bahwa serangan rudal terhadap pesawat penumpang itu disengaja.

Amerika Serikat membenarkan dukungannya terhadap terorisme dengan argumen demagogisnya dan pembagian terorisme menjadi baik dan buruk, dan alih-alih memerangi terorisme, ia menerbitkan daftar kelompok yang disebutnya teroris setiap tahun dan menuduh orang lain mendukung terorisme.

Seperti yang dijelaskan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei di statemennya saat bertemu dengan keluarga syuhada 7 Tir, perilaku dualisme ini sampai pada tahap mereka yang melakukan kejahatan teror di Iran kini aktif secara bebas di Eropa dan Amerika serta bertemu dengan para petinggi negara tersebut dan bahkan mereka diberi kesempatan untuk memberi pidato mengenai HAM di berbagai pertemuan.

Rahbar menyebut hal ini sebagai skandal besar bagi negara Eropa dan Amerika. Rahbat menambahkan, “Kelompok teroris ini adalah orang-orang yang dengan klaim membela rakyat dan bahkan Islam, tapi berperang melawan bangsa Iran. Lebih lanjut orang-orang ini melakukan kejahatan keji seperti di peristiwa 7 Tir dan meneror warga biasa. Mereka pada akhirnya seperti Saddam dan kini berada di bawah perlindungan Amerika Serikat.”

Oleh karena itu, peristiwa seperti ledakan teror 7 Tir dan serangkaian insiden teror setelahnya harus dicermati sebagai skenario kubu arogan global untuk merusak Revolusi dan pemerintah Republik Islam, dan tujuan busuk ini masih terus dikejar dengan berbagai metode.

HAM ala Amerika
Di aliran HAM arogan global, hak manusia bukan saja tidak memiliki tempat, bahkan eksistensi manusia tidak penting.

Harus diakui bahwa saat ini bukan hanya rakyat Palestina, Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, Afghanistan dan Iran yang menjadi korban kebijakan tak manusiawi Amerika Serikat, bahkan warga negara ini sendiri juga tidak aman dari pendekatan hegemoni dan diskriminasi pemimpin Gedung Putih. Dalam hal ini, warga kulit berwarna menjadi etnis yang menjadi sasaran diskriminasi sistematis negara ini ketimbang warga lainnya.

Berbagai peristiwa selama beberapa tahun terakhir di berbagai kota Amerika semakin menguak realita ini bahwa jika kepentingan minoritas yang berkuasa di negara ini mengharuskan, maka mereka akan memperlakukan warga Amerika seperti rakyat Irak, Afghanistan, Yaman dan Palestina.

Isu utama di kampanye “Represi Maksimum” Amerika terhadap bangsa Iran adalah hak bangsa Iran. Amerika dengan congkak berencana menghapus hak bangsa Iran termasuk menghapus hak teknologi dengan fokus pada teknologi nuklir, menghapus hak defensif  dengan fokus pada pertahanan rudal dan menghapus hak partisipasi regional dengan fokus pada perang melawan terorisme.

Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pembela HAM sampai saat ini telah keluar dari sejumlah perjanjian internasional seperti (Trans Pacific Partnership/TPP), kesepakan iklim Paris, Perjanjian Migrasi PBB, perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) serta sejumlah perjanjian internasional dan regional lainnya. AS karena memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB dengan mudah menginjak-injak hukum internasional. Di era Donald Trump, Amerika bahkan mengabaikan slogan HAM dan menyebut keluarnya AS dari Dewan HAM sebagai prestasi besar pemerintahannya.

Image Caption
Menyimak rapor AS di isu HAM di abad terakhir, menunjukkan bahwa Amerika di kasus HAM bukan sebagai pengklaim pembela, tapi harus ditetapkan sebagai terdakwa dan harus memberi jawaban kepada opini publik masyarakatnya dan dunia. Kinerja HAM AS merupakan tanda ketidakabsahan pejabat Gedung Putih dalam perlindungan HAM, dan faktanya banyak pejabat AS yang menjadi tersangka pertama dalam kasus ini dan harus diperkenalkan sebagai pusat dan poros kejahatan di dunia.

Republik Islam Iran, bagaimanapun, menganggap perlindungan hak-hak bangsa Iran sebagai tugasnya dan tidak menunjukkan toleransi ke arah ini. Republik Islam sesuai dengan instruksi konstitusi tidak mentolerir diskriminasi dalam membela hak asasi manusia dan berdasarkan prinsip serta ketentuan yang tertera di konstitusi menilai membela hak bangsa tertindas sebagai tugasnya. Iran Islami berdasarkan ideologi keadilan, tak ragu-ragu mendukung protes damai warga Amerika yang menyuarakan penentangan terhadap kebijakan diskriminasi para penguasa negara ini.

Read 518 times