
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 101-106
Ayat ke 101
انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا تُغْنِي الْآَيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ (101)
Artinya:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (10: 101)
Pada ayat-ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa dalil mengenai kekufuran dan keingkaran yaitu tidak digunakannya akal dan ilmu dalam menyikapi ayat-ayat dan tanda-tanda kebenaran Allah. Karena itu ayat ini justru menekankan pada penggunaan akal, berfikir serta memandang secara jeli dan teliti, yang termasuk mukadimah untuk bisa beriman kepada Allah. Dari sisi lain, berdasarkan ayat-ayat sebelumnya, iman haruslah memiliki syarat ikhtiyar dan sekali-kali bukan terpaksa. Karena itu ayat-ayat tadi menekankan untuk berpikir, hingga seseorang melalui pemahaman dan pengetahuannya yang dalam dapat menerima jalan untuk beriman, kemudian memegang teguh dengan konsekuen.
Sudah barang tentu dengan mengkaji sesuatu yang ada di langit dan di bumi, manusia akan merasa takjub menyaksikan berbagai ciptaan Allah di alam raya ini. Hal ini akan membuat manusia tunduk dan berserah diri di hadapan sang Pencipta Yang Maha Esa. Sebagian orang meski telah menyaksikan semua tanda-tanda yang agung dan gamblang ini, namun mereka masih saja tidak mau beriman. Bahkan sebagian masih menuruti keraguan yang mereka bikin-bikin, sehingga mereka tetap terseret dalam keingkaran dan kufur.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menelaah dan merenungi ciptaan Allah di alam raya ini merupakan cara yang paling wajar dan sederhana untuk bisa mengenal Allah, Sang Pencipta.
2. Dengan menyaksikan ayat-ayat suci Allah, mendengar seruan kebenaran tidaklah cukup, namun kehendak dan hasrat manusia untuk menerima kebenaran itu yang perlu.
Ayat ke 102
فَهَلْ يَنْتَظِرُونَ إِلَّا مِثْلَ أَيَّامِ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِهِمْ قُلْ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ (102)
Artinya:
Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali (kejadian-kejadian) yang sama dengan kejadian-kejadian (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka. Katakanlah: "Maka tunggulah, sesungguhnya akupun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kamu". (10: 102)
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt justru mengajak orang-orang yang menentang agar memperhatikan dengan teliti tanda-tanda Allah di langit dan di bumi. Dalam ayat ini disebutkan, "Mereka yang tidak siap melihat kebenaran ayat-ayat Allah, maka mereka akan menunggu suatu saat azab Allah yang pedih. Karena menurut Sunnatullah lembaga masyarakat bagaikan individu masyarakat yang juga memiliki nasib, yang ditentukan oleh mayoritas masyarakat tersebut. Apabila mayoritas mereka itu saleh, maka nasib perjalanan mereka juga menuju ke jalan yang lurus dan saleh.
Akan tetapi sebaliknya, apabila mayoritas masyarakat itu jahat, jelek dan pendosa, maka nasib masyarakat itu juga akan menjadi buruk. Mereka pasti akan bergerak menuju kepada kejahatan, keburukan dan dosa. Pada akhirnya akan menghantarkan mereka kepada siksa dan balasan yang menyakitkan, sekalipun di dalam masyarakat itu terdapat beberapa orang yang baik dan shaleh. Sejarah kaum dan bangsa-bangsa terdahulu seperti kaumnya Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Hud as menunjukkan dengan jelas betapa sunnatullah itu pasti berjalan. Karena itu Nabi Muhammad Saw diperintah oleh Allah agar beliau berkata kepada kaum Musyrikin Mekah, "Apabila kalian tetap keras kepala dan bertahan di hadapan petunjuk Allah, maka kalian akan bernasib seperti nasib bangsa-bangsa terdahulu."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sunnatullah tetap berjalan sesuai dengan hukum Allah dan akan menimpa setiap umat manusia.
2. Sejarah bangsa-bangsa terdahulu menjadi cermin dan pelajaran bagi generasi mendatang.
Ayat ke 103
ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آَمَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ (103)
Artinya:
Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (10: 103)
Dalam lanjutan ayat sebelumnya mengenai turunnya azab dan siksaan Allah di dunia ini, ayat ini mengatakan, "Menurut keadilan Ilahi, hal ini tidak bisa dibenarkan bila orang-orang yang bedosa dan yang tidak berdosa keduanya mendapatkan siksa, sedang kelompok yang baik dan yang buruk keduanya dibakar dalam siksaan. Sementara kaum yang pantas mendapat siksaan adalah mereka yang telah melakukan kejahatan dan dosa, juga orang-orang yang berdiam diri tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi dosa yang mereka lakukan, sehingga mereka ikut dalam azab itu. Sementara orang-orang Mukmin yang lain diselamatkan dari azab. Dan ini adalah janji yang pasti dan Sunnatullah dimana Mukminin akan diselamatkan dan tidak terbakar dengan api yang dipersiapkan buat orang-orang yang jahat dan para pendosa.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang-orang Mukmin yang sebenarnya dijaga oleh Allah dari kemurkaan-Nya, sekalipun mereka berada di tengah-tengah masyarakat yang buruk.
2. Masa depan orang-orang Mukmin tetap terjaga. Karena orang-orang yang jahat dan pendosa akan disiksa dan dihancurkan, sedang orang-orang Mukmin dijaga dan diselamatkan.
Ayat ke 104
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلَا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَعْبُدُ اللَّهَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (104)
Artinya:
Katakanlah: "Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman". (10: 104)
Dalam lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara kepada orang-orang Musyrik serta menjelaskan nasib mereka, ayat ini mengatakan, "Apabila mereka menyangka bahwa kalian dalam menempuh jalan mengalami kelemahan dan keragu-raguan, namun kalian bisa mengatakan dengan tegas kepada mereka bahwa aku tidak akan pernah menyembah selain kepada Allah. Sama sekali aku tidak akan menunduk hormat di hadapan patung berhala sesembahan kalian. Hal itu dapat kalian lakukan meski terkadang mereka dapat bersama kalian memasuki suasana tenang dan positif. Karena aku hanya menunduk dan menyembah kepada Allah Swt, yang matiku dan mati kalian di tangan-Nya dan samasekali kalian tidak akan bisa melarikan diri dari-Nya. Sementara patung berhala tersebut tidak akan mampu mematikan dan menyelamatkan kalian.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keragu-raguan orang lain, sekalipun jumlah mereka banyak, tidak boleh mengakibatkan keraguan dalam diri kita. Dalam keadaan seperti ini kita harus tetap kokoh di jalan yang lurus dan kebenaran ini.
2. Zat yang pantas disembah adalah Zat yang menentukan mati dan hidup kita.
Ayat ke 105-106
وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (105) وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106)
Artinya:
Dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. (10: 105)
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". (10: 106)
Nabi Muhammad Saw dalam melanjutkan pernyataannya yang diperintahkan oleh Allah untuk beliau sampaikan kepada orang-orang Musyrik dengan mengatakan, "Hendaknya kalian berpegang teguh secara langsung pada ajaran kebenaran, yang jauh dari segala bentuk penyelewengan dan penyimpangan. Sementara akidah dan keyakinan syirik kalian sedemikian jauhnya, sehingga telah menimbulkan penyelewengan yang luar biasa. Kalian telah menyembah berhala-berhala yang tidak memberikan keuntungan kepada kalian dan tidak juga kerugian. Karena sudah jelas hal tersebut tidak patut disembah, maka barangsiapa yang menuju ke arah sesembahan semacam ini berarti dia telah menzalimi dirinya sendiri juga merusak ajaran Ilahi yang suci.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ajaran yang bisa diterima adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah murni manusia.
2. Orang-orang yang berakal akan bekerja untuk memperoleh keuntungan, atau menjauhkan diri dari bahaya. Sementara berhala tidak ada manfaatnya dan tidak pula ada bahayanya. Karena itu perbuatan syirik adalah sejenis kebodohan.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 98-100
Ayat ke 98
فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آَمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آَمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ (98)
Artinya:
Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu. (10: 98)
Sebelumnya telah disebutkan bahwa menurut Sunatullah, Tuhan telah memberikan kesempatan dan tenggang waktu kepada manusia, hingga mereka menempuh jalan taubat dan menebus berbagai kesalahan dan kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka juga dapat menghentikan perbuatan masa lalunya, dan menggantinya dengan perbuatan yang baik dan mulia. Akan tetapi kesempatan dan tenggang waktu yang diberikan oleh Allah Swt hingga waktu kematian tiba, atau ketika azab Allah diturunkan, maka saat itu tidak ada lagi gunanya menyatakan beriman dan bertaubat. Karena iman dan taubat yang dilakukan di saat dirinya terancam ketakutan yang amat sangat, bukan menujukkan ikhtiar dan kebebasan. Sunnatullah seperti ini tidak hanya mengenai seseorang manusia, tetapi juga menimpa secara khusus terhadap bangsa-bangsa.
Di kalangan bangsa-bangsa terdahulu, hanya kaum Nabi Yunus as yang masyarakatnya telah menyaksikan tanda-tanda turunnya azab, sehingga mereka sempat menyatakan taubat dan berserah diri. Tuhan pun menerima taubat mereka dan sekali lagi Allah memberi kesempatan kepada mereka. Sebagaimana yang tersebut dalam sejarah, Nabi Yunus as setelah bertahun-tahun bertabligh, membimbing dan menyeru umatnya ke jalan yang lurus dan tauhid, hanya dua orang yang menyatakan beriman kepada beliau. Hingga akhir usia beliau Nabi Yunus as merasa putus asa dalam memberi petunjuk kepada masyarakat, beliau pun berlepas tangan dan mengutuk mereka, lalu meninggalkan masyarakat. Sebagaimana umumnya doa para nabi diterima oleh Allah Swt, sehingga mengakibatkan turunnya azab. Adapun dua orang yang telah menyatakan beriman kepada Nabi Yunus as, mereka menyaksikan betapa Nabi Yunus telah mengucapkan kutukan dan kemarahan kepada umatnya, segera pergi ke tengah-tengah masyarakat dan berkata kepada mereka :
"Wahai masyarakat ! Tunggulah kalian atas turunnya azab Tuhan! Dan jika kalian menginginkan rahmat Allah, bersegeralah kalian meninggalkan kota ini untuk bertaubat, berusahalah kalian berpisah dari anak-anak kecil kalian sehingga banyak terdengar suara-suara tangis dan jeritan dari ibu-ibu dan anak-anak kecil mereka. Semua kalian harus bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah Swt atas dosa dan kesalahan kalian, mungkin Allah akan mengampuni kalian. Masyarakat beramai-ramai melakukan taubat sehingga azab Allah tidak diturunkan kepada mereka, dan Nabi Yunus as pun akhirnya dikembalikan kepada umatnya."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di kalangan bangsa-bangsa terdahulu, hanya kaumnya NabiYunus as mereka bertaubat dan beriman kepada Allah sebelum diturunkannya azab Ilahi tersebut.
2. Nasib umat manusia memang di tangan mereka sendiri. Karena itu mereka dapat mencegah azab melalui doa dan munajat yang tulus untuk menarik rahmat Allah.
Ayat ke 99
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99)
Artinya:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (10: 99)
Salah satu perkara yang perlu bagi Allah adalah memberi petunjuk kepada manusia. Adapun Allah, Dia tidak ingin memaksa manusia untuk beriman kepada-Nya, bahkan Dia Swt memberi kebebasan dan ikhtiar kepada mereka mau menerima kebenaran atau tidak. Sudah barang tentu apa saja yang dipilih oleh manusia, maka ia harus menanggung konsekuensi dan akibatnya. Sekalipun Allah Swt telah menunjukkan jalan yang lurus kepada manusia, akan tetapi manusia itu bebas dan merdeka memilih jalannya sendiri. Dari sanalah Nabi Saw tidak perlu memaksa manusia untuk beriman, dan tidak pula harus sedih terhadap orang-orang kafir, lantaran mereka tidak mau beriman. Lalu Allah Swt berbicara kepada Nabi-Nya dengan mengatakan, "Kalian tidak perlu menunggu manusia beriman, apalagi memaksa mereka semua untuk beriman."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman kepada Allah berdasarkan pilihan memiliki nilai setelah sebelumnya mengadakan pengkajian dan perenungan, bukan semata-mata berdasarkan pemaksaan. Karena iman yang sedemikian ini bukanlah iman yang sebenarnya.
2. Nabi Muhammad Saw dalam rangka memberi petunjuk dan hidayah kepada manusia, atas dasar keprihatinan dan kecemasan beliau. Karena itu Allah Swt menenangkan Nabi-Nya tersebut.
Ayat ke 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (100)
Artinya:
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (10: 100)
Sudah jelas bahwa para nabi dan utusan Allah tidak akan pernah memaksa manusia untuk beriman kepada Allah. Apalagi pada dasarnya beriman dibawah tekanan dan paksaan tidak ada nilainya samasekali. Akan tetapi justru mereka beriman karena petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Dalam artian Dia telah menyiapkan sebab-sebab manusia itu mendapatkan hidayat atau petunjuk, sehingga kita memperoleh petunjuk. Karena itu janganlah kita menyangka bahwa kita beriman dan mendapatkan petunjuk karena kita sendiri, sehingga kita layak berbangga diri dan merasa tidak berhutang budi kepada Allah.
Namun justru yang benar Allah-lah yang memiliki andil terhadap kita dan Dia-lah yang telah menyiapkan jalan dan sebab-sebab kita mendapatkan petunjuk. Apabila seseorang tidak mau menerima logika yang terang dan gamblang dari para nabi dan ajaran-ajaran suci samawi, maka pastilah manusia itu tidak mau menggunakan akalnya untuk mencermati dan memikirkan ayat-ayat suci samawi. Pada waktu itu mereka akan jatuh ke dalam kekufuran dan syirik, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Hal ini bukan tidak ada artinya yaitu keinginan Tuhan berada di atas keinginan manusia.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keimanan merupakan anugerah Ilahi dan hanya dapat diterima oleh orang-orang yang berakal. Tapi mereka yang menyembah hawa nafsu, maka mereka tidak akan menerima kebenaran dan akhirnya akan mendapat murka Allah.
2. Akal yang sehat sebagai sarana kondusif orang untuk beriman. Karena itu acuh tak acuh dan tidak beriman sebagai pertanda kebodohan. Sebab orang yang beriman adalah orang yang berakal dan orang yang berakal adalah orang Mukmin.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 93-97
Ayat ke 93
وَلَقَدْ بَوَّأْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ مُبَوَّأَ صِدْقٍ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ فَمَا اخْتَلَفُوا حَتَّى جَاءَهُمُ الْعِلْمُ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (93)
Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di ternpat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (10: 93)
Allah Swt dalam ayat ini menyinggung soal berbagai nikmat yang diberikan kepada Bani Israil dan mengatakan, "Setelah bertahun-tahun kalian terlunta-lunta dan terusir, Kami menempatkan kalian di suatu kawasan yang cukup air dengan udaya yang sejuk. Daerah di sekelilingnya penuh dengan padang rumput dan pepohonan yang menghijau. Kami anugerahkan hari-hari terbaik bagi kalian. Akan tetapi kalian malah berselisih dan setiap orang pergi menurutkan keinginannya, sebagai ganti bersyukur telah mengikuti ajaran wahyu. Pada Hari Kiamat mereka akan dimintai pertanggungan jawab atas tindakan dan sikap mereka yang tidak pantas ini.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam naungan ajaran dan bimbingan para nabi, selain bertujuan untuk pengembangan maknawi, maka dimensi materi kehidupan masyarakat pun mendapatkan perhatian.
2. Perselisihan dan perpecahan akan mengakibatkan jauhnya masyarakat dari ajaran-ajaran samawi, sehingga berbagai nikmat dan anugerah Allah akan menjadi hancur.
Ayat ke 94-95
فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (94) وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ فَتَكُونَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (95)
Artinya:
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (10: 94)
Dan sekali-kali janganlah kamu termasuk orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang rugi.(10: 95)
Ayat-ayat ini diarahkan kepada orang-orang yang terkena keraguan mengenai kebenaran Nabi Saw dengan mengatakan, "Apabila kalian merujuk kepada kitab-kitab samawi, pastilah kalian akan memperoleh berita-berita gembira dan tanda-tanda beliau. Selain telah disebutkan nasib sebagian besar kaum dan bangsa-bangsa terdahulu seperti kaum Bani Israil dalam al-Quran, maka kalian akan memahami bahwa kitab ini juga datang dari sisi Allah Swt untuk menjelaskan kebenarannya. Sudah jelas apabila kalian dapat menghilangkan keraguan dan memahami bahwa al-Quran itu benar, maka pembohongan kalian itu dapat menyebabkan kerugian bagi kalian sendiri. Selain itu, kalianpun akan dijauhkan dari petunjuk dan hidayahnya di dunia ini.
Sekalipun ungkapan ayat ini ditujukan kepada Nabi Saw, namun yang jelas ayat-ayat tersebut tidak saja ditujukan kepada Nabi. Karena pertama, tidak ada artinya Nabi meragukan kebenaran wahyu samawi. Apabila beliau juga meragukan wahyu, lalu bagaimana beliau bisa meragukan pernyataan beliau sendiri, ketika Allah berbicara kepada beliau, janganlah engkau menjadi orang-orang yang membohongkan. Karena tujuan ayat tersebut adalah kaum Musyrikin dan Ahlul Kitab, akan tetapi sebagaimana ayat-ayat al-Quran lainnya, meski ditujukan kepada Nabi Saw tetapi tujuan utama dari ayat tersebut adalah masyarakat.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keraguan merupakan suatu keadaan alami yang biasa terjadi pada setiap manusia. Yang penting bagaimana menghilangkan tahap-tahap ragu tersebut dengan cara merujuk dan mendatangi para ulama, sehingga dapat memperoleh keyakinan.
2. Apabila manusia tetap pada keraguannya dan tidak berusaha untuk menghilangkannya, maka hal tersebut dapat menyeretnya mengingkari kebenaran.
Ayat ke 96-97
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ (96) وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آَيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (97)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman. (10: 96)
Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (10: 97)
Manusia dalam menghadapi hakikat agama terbagi dalam tiga bagian; pertama sebuah kelompok yang tidak menyaksikan kebenaran dan tidak mencari kebenaran tersebut. Kelompok kedua, mereka tidak mengetahui kebenaran akan tetapi, mereka mencari dan ingin mengetahui kebenaran tersebut. Sedang kelompok ketiga, mereka yang mengetahui dan mengenal kebenaran, akan tetapi mereka tidak siap menerima kebenaran tersebut. Karena itu mereka pasti tidak akan berbahagia dengan manfaat materi dan dunia mereka.
Dua ayat ini berbicara mengenai kelompok ketiga. Mereka yang bersikeras dan tidak mau menerima kebenaran telah membuat hati mereka hitam dan keras bagaikan batu, sehingga tidak ada lagi harapan untuk bisa beriman. Pada dasarnya orang-orang semacam ini akan mendapatkan murka Allah, namun sewaktu mereka tidak melihat azab Allah, mereka malah tidak mau beriman dan berserah diri. Problema orang-orang semacam ini bukan dikarenakan mereka tidak mendapatkan dalil-dalil aqli atau menyaksikan mukjizat, bahkan bila dalil-dalil dan mukjizat tersebut telah disaksikan mereka juga tidak mau menerima. Karena problema mereka justru naluri dan keinginannya tidak mereka perkenankan untuk memahami hal tersebut, meski mereka mengakui bahwa hal-hal tersebut dapat diterima.
Bila kita menyaksikan banyak manusia yang tidak beriman dan masih meragukan kebenaran para nabi dan kitab-kitab samawi, maka sudah pasti ajakan kita tidak akan mempengaruhi mereka. Terlebih lagi ketika mereka telah sedemikian rusak dan berbuat kejahatan, sehingga menjadi satu kekuatan yang tidak akan berubah. Sebagai contoh bila kita melempar sebuah bola ke lautan dan tidak setitik air pun yang menembus bola tersebut. Hal itu menunjukkan bola itu benar-benar tertutup rapat dan tidak ada air yang dapat memasukinya.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita tidak boleh menunggu dan memastikan berimannya seluruh manusia. Kita harus menyadari bahwa dosa dan kefasadan merupakan unsur dominan yang dapat menjauhkan manusia dari menerima kebenaran.
2. Kebingungan dan keraguan terhadap kebenaran pada suatu hari pasti akan menimpa manusia, akan tetapi beruntung bagi yang tidak mengalaminya.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 87-92
Ayat ke 87
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآَ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (87)
Artinya:
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman". (10: 87)
Ssetelah membebaskan kaum Bani Israil dari cengkraman Fir'aun, Nabi Musa as diperintahkan untuk membenahi masyarakat Bani Israil. Mereka kemudian ditempatkan di suatu kawasan dan dengan bantuan mereka beliau as menyiapkan rumah-rumah untuk mereka. Rumah-rumah mereka dibangun secara berhadap-hadapan, bukan berpencar, dengan tujuan mereka tetap berdekatan satu sama lainnya dan memutuskan masalahnya secara bersama-sama. Bila Fir'aun bermaksud menghancurkan mereka, pastilah mereka dapat berdiri tegak menghadap raja arogan itu. Sebagian mufasir dengan memperhatikan perintah menegakkan shalat dalam ayat ini, maka maksud dari kalimat kiblat adalah rumah mereka dibuat menghadap ke arah kiblat. Dengan demikian, sekalipun berada di dalam rumah, mereka masih tetap bisa melakukan ritual ibadahnya. Akan tetapi ini pemaknaan seperti ini diambil dari istilah, sementara kata kiblah sendiri dalam arti bahasanya adalah saling berhadapan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para nabi as selalu komitmen kepada masyarakat dan untuk membantu mereka para nabi melakukan berbagai langkah-langkah kongkrit.
2. Dengan selalu memperhatikan berbagai masalah kesejahtaraan, manusia sering terlupakan dari shalat dan ibadah. Tapi bila hal itu dilakukan bersama dengan baik, maka justru akan menyebabkan turunnya rahmat Allah Swt.
Ayat ke 88-89
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آَتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (88) قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (89)
Artinya:
Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami -- akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih". (10: 88)
AlIah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui". (10: 89)
Nabi Musa as dalam melanjutkan tugas-tugas beliau untuk menentang Fir'aun, memohon kepada Allah Swt agar harta kekayaan yang berlimpah milik para pemuka Fir'aun dihancurkan. Hal itu dipinta oleh beliau agar mereka tidak lagi dapat menyalahgunakan kekuasaan mereka, dengan melakukan berbagai kejahatan dan arogansi berdalihkan kepemilikan harta kekayaan dan perhiasan, juga dalam rangka menyesatkan masyarakat. Sikap kebencian yang ditunjukkan oleh Musa as tercermin selama beliau tidak berharap bagi Fir'aun dan aparat kerajaannya untuk beriman. Demikianlah Fir'aun dan kaki tangannya tidak memiliki kesiapan untuk menerima kebenaran. Karena sudah jelas beriman setelah menyaksikan azab tidak ada artinya samasekali dan bagi mereka juga tidak akan ada untung dan faedahnya.
Allah Swt yang telah mengabulkan doa Musa as menyeru umatnya agar tetap tegar dan komitmen. Bahkan dikatakan bahwa syarat dikabulkannya doa ialah orang-orang yang beriman itu harus komitmen di jalan yang lurus. Dan berdasarkan riwayat-riwayat, setelah kebencian dan kutukan Nabi Musa as tersebut, maka dalam rentang waktu 40 tahun Fir'aun sang raja arogan itu akhirnya tenggelam di laut bersama tentara yang mengikutinya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta dan kekayaan tidak semata-mata menunjukkan kemurahan dan anugerah Allah kepada hamba-Nya. Karena Allah juga memberikan kekayaan kepada orang-orang Kafir di dunia.
2. Dalam munajat dan doa kita hanya bisa memohon kepada Allah agar orang-orang yang zalim dan kafir itu dihancurkan.
3. Dalam metode perlawanan terhadap musuh kita harus senantiasa taat dan mendengarkan petunjuk para pemimpin agama, sehingga kita bisa terjauhkan dari pemikiran-pemikiran jahiliah.
Ayat ke 90-92
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آَمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آَمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ (90) آَلْآَنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ (91) فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آَيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آَيَاتِنَا لَغَافِلُونَ (92)
Artinya:
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (10: 90)
Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (10: 91)
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (10: 92)
Ketiga ayat ini menjelaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa as dan mengatakan, "Saat itu bala tentara Fir'aun mengejar kalian (Nabi Musa as), sehingga mereka dapat menghancurkan kalian. Kami akan membela dan memecah sungai Nil bagi kalian, sehingga kalian dapat lewat di dalamnya. Akan tetapi Fir'aun dan bala tentaranya akan Kami tenggelamkan di dalamnya. Hanya jasad Fir'aun saja yang Kami apungkan, sehingga Kami mengeluarkannya dari air laut supaya ia menjadi pelajaran bagi generasi mendatang. Yang menarik disini adalah prediksi Nabi Musa as terealisir yaitu Fir'aun pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya muncul dan dapat terlihat dengan mengatakan, "Yaa Tuhan! Aku beriman kepada-Mu! Akan tetapi terdengar suara jawaban, saat ini engkau menjelang kematianmu, engkau menyatakan taubat dan berserah diri kepada Zat Yang Maha Benar?
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam berjuang melawan para penguasa taghut dan zalim, kita harus senantiasa bertawakal kepada Allah Swt. karena Dia tidak akan pernah meninggalkan kita dalam kondisi tersulit apapun. Dia akan membukakan jalan bagi kita.
2. Apabila kita selalu komitmen dan teguh di jalan Allah, maka para penguasa taghut macam apapun tidak akan bisa berbuat apa-apa kecuali menyerah. Setelah itu mereka akan mendapatkan balasan setimpal dari amal perbuatan mereka sendiri.
3. Dalam menjaga segala sesuatu dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di tengah-tengah bangsa-bangsa terdahulu, kita harus berusaha mengambil pelajaran untuk generasi yang akan datang.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 79-86
Ayat ke 79-80
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ائْتُونِي بِكُلِّ سَاحِرٍ عَلِيمٍ (79) فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالَ لَهُمْ مُوسَى أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ (80)
Artinya:
Fir'aun berkata (kepada pemuka kaumnya): "Datangkanlah kepadaku semua ahli-ahli sihir yang pandai!" (10: 79)
Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan". (10: 80)
Sebelumnya, telah disebutkan bahwa Nabi Musa as telah diutus dari sisi Allah Swt. Sejak dimulainya risalah beliau, Nabi Musa mendatangi Fir'aun dan menyeru raja arogan itu untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah Swt dan membebaskan kaum Bani Israil dari cengkraman dan belenggu Fir'aun. Kedua ayat ini mengatakan, "Fir'aun yang tidak mampu menghadapi logika argumentasi Nabi Musa as kemudian menuduh dan menyebut mukjizat Nabi Musa sebagai sihir. Karena itu, untuk menghadapi Musa, raja zalim itu memanggil dan mengerahkan para tukang sihirnya. Akan tetapi Nabi Musa as yang tidak meragukan sedikitpun tentang kebenarannya, beliau mempersilahkan para tukang sihir untuk mendemonstrasikan kemampuannya agar masyarakat dapat menyaksikan dan memberikan penilaian."
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para penguasa arogan dan taghut tidak segan-segan memanfaatkan orang pintar untuk merealisasikan tujuan kotor dan kejinya. Tapi pada hakikatnya mereka menyalahgunakan kemampuan orang-orang pintar itu.
2. Para nabi senantiasa kokoh pada jalan mereka dan yakin akan pertolongan Allah Swt. Karena itu mereka bisa dengan tegas berkata dan melawan para penentang.
Ayat ke 81-82
فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَى مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ (81) وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ (82)
Artinya:
Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: "Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya" Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan. (10: 81)
Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya). (10: 82)
Kisah para tukang sihir yang menghadapi Nabi Musa as juga diceritakan dalam surat as-Syu'ara. Dikisahkan bahwa para tukang sihir itu telah melemparkan tali dan tongkat mereka, lalu berkata, "Dengan kebesaran Fir'aun kami bersumpah bahwa kami akan menang. Sudah barang tentu para tukang sihir Fir'aun tidak akan mampu mengubah tali dan tongkat itu. Yang dapat mereka lakukan hanya melakukan sejenis efek penglihatan manusia, sehingga orang yang melihatnya seakan melihat ular-ular yang bergerak. Karena itu Nabi Musa as dengan tegas menyatakan bahwa Allah Swt akan membatalkan sihir mereka dan menunjukkan yang sebenarnya. Hal itu juga berdasarkan pada firman-Nya bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kebatilan menampakkan sesuatu yang semu itu indah. Namun samasekali tidak bermakna karena ia akan berakhir pada kehancuran. Karena Allah Swt tidak mengijinkan hal tersebut terus berlangsung.
2. Keinginan kaum arogan dan mustakbirin adalah mencegah kemenangan front kebenaran. Namun ketahuilah di hadapan Allah Swt hal tersebut tidak ada artinya samasekali. Karena Allah telah berjanji untuk tetap mendukung dan mengokohkan kebenaran.
Ayat ke 83
فَمَا آَمَنَ لِمُوسَى إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ (83)
Artinya:
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas. (10: 83)
Nabi Musa as pada tahap awal dakwahnya mendatangi Fir'aun dan para pemuka kerajaan. Sementara tahap kedua beliau as siap berhadapan melawan para tukang sihir Fir'aun kemudian memenangkannya. Dan tahap ketiga Nabi Musa pergi kepada kaum Bani Israil. Pada mulanya kaum muda Bani Israil menyatakan beriman kepada beliau. Tapi perlahan-lahan mereka merasakan ketakutan akan siksa dan gangguan Fir'aun dan kaki tangannya. Tapi semestinya mereka tabah, karena betapa banyak tekanan propaganda sesat justru dapat menyadarkan mereka kembali kepada ajaran kebenaran.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kelompok pertama yang beriman kepada Nabi Musa as adalah para pemuda dan pemudi yang hati dan pemikiran mereka masih bersih, belum terkena pengaruh jelek.
2. Dalam situasi penuh ketakutan di bawah sistem Fir'aun, ternyata masih ada saja orang yang beriman kepada Nabi Musa as dan ajarannya.
Ayat ke 84-86
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ (84) فَقَالُوا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (85) وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (86)
Artinya:
Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri". (10: 84)
Lalu mereka berkata: "Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang'zalim. (10: 85)
Dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir". (10: 86)
Dalam menghadapi berbagai siksa dan gangguan yang menyakitkan dari para aparat Fir'aun, Nabi Musa as memesankan kepada kaumnya agar bertawakal kepada Allah. Beliau menyebut hal tersebut sebagai kelaziman bagi orang yang beriman dan berserah diri. Karena itu, mereka yang beriman kepada Musa as, senantiasa mendengarkan nasehat dan seruannya dan mengatakan, "Kami hanya selalu bersandar dan berlindung kepada Allah Swt. Di sisi Allah kami menggantungkan jiwa dan raga kami. Kami memohon agar dijauhkan dari kejahatan orang-orang yang kafir dan angkara murka.
Dari tiga ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam menghadapi berbagai peristiwa dan hal-hal yang menyulitkan, orang-orang Mukmin hanya bersandarkan pada pertolongan Allah Swt. Dengan bertawakal serta berserah diri kepada-Nya kesulitan dan problematika akan dapat diatasi.
2. Salah satu cara untuk keluar dari jalan buntu ialah melakukan munajat dan doa kehadirat Allah Swt. Karena apabila doa dan munajat bukan pekerjaan yang positif, kenapa Allah selalu memesankan kepada kita hal tersebut?
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 74-78
Ayat ke 74-75
ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِ رُسُلًا إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا بِمَا كَذَّبُوا بِهِ مِنْ قَبْلُ كَذَلِكَ نَطْبَعُ عَلَى قُلُوبِ الْمُعْتَدِينَ (74) ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَى وَهَارُونَ إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ بِآَيَاتِنَا فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا مُجْرِمِينَ (75)
Artinya:
Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci mati hati orang-orang yang melampaui batas. (10: 74)
Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus Musa dan Harun kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. (10: 75)
Kedua ayat ini menyinggung Sunnatullah mengenai pengutusan para nabi untuk memberi bimbingan dan petunjuk kepada masyarakat. Dua ayat ini mengatakan, "Semua nabi adalah utusan Allah yang didukung dengan mukjizat guna membenarkan risalah yang dibawanya dari sisi Allah. Tapi patut diketahui bahwa tanpa menunjukkan mukjizat, masyarakat juga memahami kebenaran mereka. Sayangnya mereka tidak siap menerimanya, bahkan terus melakukan kerusakan dan dosa. Akhirnya Allah menurunkan azab-Nya dengan banjir besar dan mereka semua binasa, kecuali orang-orang yang beriman kepada Nabi Nuh as.
Nasib orang-orang Kafir dan Musyrikin begitu jelas. Setelah Nabi Nuh as, Allah Swt telah mengutus para nabi seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada masyarakat. Akan tetapi dikarenakan sikap keras kepala dan acuh tak acuhnya masyarakat telah mengakibatkan mereka tidak siap meninggalkan jalan kesalahan dan menyimpang, sehingga mereka tidak mau beriman. Meskipun Nabi Musa as termasuk Nabi besar dan Ulul Azmi bersama saudaranya yaitu Nabi Harun datang di sisi Fir'aun untuk mengajak raja arogan itu untuk menyembah Allah Swt. Namun Fir'aun dan para pemuka kaumnya justru takabur dan sombong di hadapan seruan Allah yang membuat mereka enggan menerima kebenaran.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt dari satu sisi telah mengutus para nabi untuk memberi petunjuk dan hidayah kepada masyarakat. Dari sisi lain manusia tetap memiliki ikhtiyar untuk memilih jalannya sendiri dan bukan terpaksa menerima agama.
2. Berjuang melawan taghut dan penguasa zalim merupakan program utama para nabi. Sebagaimana Nabi Musa as pada awal dakwah dan seruannya pergi kepada Fir'aun dan mengajaknya untuk mengikuti agama Allah.
Ayat ke 76-77
فَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوا إِنَّ هَذَا لَسِحْرٌ مُبِينٌ (76) قَالَ مُوسَى أَتَقُولُونَ لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَكُمْ أَسِحْرٌ هَذَا وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُونَ (77)
Artinya:
Dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (10: 76)
Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan".(10: 77)
Salah satu cara yang ditempuh oleh para penentang nabi, khususnya para pembesar kaum Kafir dan Musyrikin yaitu melancarkan tuduhan terhadap para nabi dan pemimpin Ilahi. Karena berdasarkan ayat-ayat al-Quran, hampir semua para nabi utusan Allah telah mereka tuduh sebagai tukang sihir dan sulap. Melalui cara ini mereka dapat mengenalkan dan mempromosikan kepada masyarakat bahwa mukjizat para nabi sejenis tipuan yang memperdaya manusia. Karenanya para nabi mereka sebut sebagai para pembohong yang hanya ingin mencari keuntungan sendiri.
Sementara Fir'aun ketika berhadapan dengan logika kebenaran dan gamblang dari Nabi Musa as, segera memerintahkan kepada tukang-tukang sihirnya untuk berkumpul dan melakukan adu ketangkasan menghadapi Musa. Padahal logika dan argumentasi Nabi as ialah hingga saat ini belum pernah mereka saksikan, apakah beliau tukang sihir dan penyulap? Saat itu Nabi Musa as telah menyampaikan seruan kebenaran dan untuk menguatkan hal tersebut beliau mengeluarkan mujizat sebagai buktinya. Apakah hal itu berartyi beliau tukang sihir? Beliau mengatakan bila ucapannya dianggap sebagai sihir, itu sebenarnya hanya cara mereka untuk melarikan diri dari kebenaran.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para pemimpin agama dalam masyarakat harus mengetahui bahwa mereka senantiasa bersama kelompok masyarakat yang menentang mereka. Bahkan pernyataan dan seruan kebenaran mereka dianggap sebagai kebatilan.
2. Sumber keingkaran terhadap kebenaran dan tuduhan yang tidak berdasar kepada orang-orang suci sepanjang sejarah, merupakan semangat yang digerakkan untuk mencudangi kebenaran oleh suatu kelompok manusia. Hal tersebut bukan menujukkan lemahnya logika dan argumen para nabi.
Ayat ke 78
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاءُ فِي الْأَرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ (78)
Artinya:
Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua". (10: 78)
Sebagian besar dari masyarakat tetap menghormati dan berpegang teguh kepada nenek moyang dan para pendahulu mereka. Mereka enggan untuk melepaskan berbagai keyakinan dan adat istiadat nenek moyangnya. Mereka menyangka apa saja yang telah diujarkan oleh orang-orang terdahulu itu benar dan tak seorang pun berhak bersuara menentang pernyataan tersebut. Padahal menghormati nenek moyang dengan cara buta serta tidak segan-segan mau berkorban untuk mempertahankan pemikiran dan keyakinan mereka merupakan perbuatan ekstrim yang tidak pada tempatnya. Hal itu menunjukkan sikap keras kepala tanpa menggunakan logika dengan tetap berpegang teguh pada pernyataan orang-orang terdahulu. Tentu saja perbuatan ini tidak benar. Para penentang nabi juga tetap dengan logika bahwa orang tua kita penyembah patung berhala, maka kamipun tidak bersedia mendengar dan menerima seruan kebenaran itu.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Taklid buta dengan mengikuti orang-orang tua terdahulu, serta ekstrim terhadap keyakinan menyimpang mereka, merupakan unsur terpenting penentangan masyarakat terhadap ajaran suci para nabi.
2. Menjaga warisan kebudayaan orang-orang terdahulu dengan mengikuti berbagai keyakinan mereka yang keliru dan menyimpang itu berbeda. Karena meski dewasa ini kita menjaga piramida Fir'aun di Mesir, akan tetapi sikap dan tingkah laku zalim serta pemikiran Fir'aun yang tidak benar, dengan mengaku dirinya sebagai Tuhan, tidak akan diterima dan ditiru oleh masyarakat.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 68-73
Ayat ke 68-70
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (68) قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (69) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ (70)
Artinya:
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempuyai anak". Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (10: 68)
Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (10: 69)
(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (10: 70)
Salah satu akidah yang menyimpang di tengah-tengah kaum tempo dulu, bahkan sekarang adalah mereka menetapkan dan menganggap bahwa Tuhan memiliki anak-anak. Mereka orang-orang Musyrik juga menyebut bahwa para malaikat itu adalah putri-putri Tuhan. Dalam periode sejarah kaum Yahudi, mereka menyebut Nabi Uzair as sebagai anak Allah. Sementara orang-orang Kristen menyebut bahwa Nabi Isa al-Masih juga anak Allah. Padahal mereka mengerti bahwa pertama, Allah tidak memiliki istri, bagaimana Dia bisa mempunyai anak. Kedua, Allah tidak memerlukan anak. Ketiga, barangsiapa yang diciptakan tentu tidak bisa menjadi anak Tuhan. Karena anak adalah jenis keturunan ayah dan ibu, sementara Allah tidak memiliki sejenis-Nya. Al-Quran dalam menghadapi pernyataan-pernyataan yang batil dan tidak berdasar ini mengatakan, "Mereka yang berbicara demikian harus membuktikan dakwaan dan pernyataan mereka, sedang kelak pada Hari Kiamat dikarenakan berbohong dan mengada-adakan terhadap Allah akan mendapatkan balasan dan siksaan yang pedih.
Dari tiga ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt adalah satu-satunya zat yang tidak memiliki kekhawatiran apapun, sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu harus menetapkan anak. Padahal Dia samasekali tidak memerlukan bantuan hingga menetapkan seseorang pembantu, dan guna melestarikan jenis dan zat-Nya juga perlu anak. Maha Suci Allah, Dia tidak memerlukan sesuatu apapun.
2. Apabila kita mempertimbangkan batas-batas minimal dan sementara dunia dengan azab siksaan pedih dan seterusnya pada Hari Kiamat, maka sudah pasti kita harus berusaha menjauhi berbagai pernyataan dan perbuatan jelek.
Ayat ke 71
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ (71)
Artinya:
Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. (10: 71)
Nabi Nuh as termasuk jajaran nabi besar Ilahi, yang selama bertahun-tahun berdakwa menyru kaumnya ke jalan Allah. Sekalipun demikia, hanya sejumlah kecil saja dari kaumnya yang beriman kepadanya, sedangkan kebanyakan dari mereka tetap kufur dan syirik. Ayat-ayat ini telah diturunkan di Mekah guna memberi ketabahan kepada orang-orang Mumin yang hidup dalam kesulitan dan kesempitan. Dengan bantuan Allah kalian beriman kepada-Nya, dan karena itu, ketahuilah bahwa Tuhan akan membantu kalian. Sementara Nabi Nuh as tetap berdiri kukuh bagaikan batu cadas dalam menghadapi berbagai ancaman dan konspirasi para penentang. Beliau berkata, "Kalian semua bersatulah! Bila kalian ingin memutuskan sesutu mengenai aku, maka kalian ambillah. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku bertawakal kepada Allah dan bersandar kepada kekuatan-Nya."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sejarah tempo dulu mengindikasikan bertahan dan lestarinya kebenaran di tengah-tengah kebatilan yang musnah. Karena itu dengan mengenal sejarah masalalu akan menjadi pelita buat masa depan.
2. Iman kepada Allah dan Islam merupakan unsur terbesar resistensi para nabi di hadapan para penentang, sehingga syahadah di jalan realisasi tujuan tidak menjadi suatu yang menakutkan.
Ayat ke 72-73
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (72) فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِينَ (73)
Artinya:
Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)". (10: 72)
Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. (10: 73)
Para nabi Allah yang hidup dalam rangka menyeru umat manusia ke jalan Allah, mereka tidak hanya mempertaruhkan jiwa dan raga, namun segala bentuk kesulitan dan bahayapun tetap nyawa sebagai taruhannya. Mereka bahkan menutup mata dari harta dan kekayaan dunia dan samasekali mereka tidak menunggu balasan dari masyarakat. Karena itu mereka dengan terang-terangan mengatakan, "Janganlah kalian menyangka, bila kalian tidak beriman kepada kami, lalu hal itu akan membahayakan kami! karena kami juga tidak menjajikan balasan dan pahala, namun kami hanyalah melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepada kami." Lanjutan ayat-ayat tersebut menyinggung akhir perbuatan orang-orang yang menentang dengan mengatakan, "Dengan turunnya azab Allah berupa taufan besar dan banjir yang melanda seluruh tempat dan kawasan dunia, hanya orang-orang yang bersama Nabi Nuh as dalam bahteranya yang selamat. Mereka menjadi pewaris bumi ini sedang akibat dari orang-orang yang tidak menerima peringatan dan seruan Nabi Nuh musnah terkena azab ilahi."
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Barangsiapa yang berhasil dalam melaksanakan tabligh Islam dan menyeru masyarakat kepada jalan Allah, maka jangan menanti imbalan materi dari manusia.
2. Iman kepada Allah dan komitmen di jalan tersebut dapat menyebabkan keselamatan dari dominasi kaum kafir dan kokohnya pemerintahan hak di muka bumi.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 62-67
Ayat ke 62-64
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (64)
Artinya:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (10: 62)
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (10: 63)
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (10: 64)
Dalam beberapa pelajaran sebelumnya, telah dikaji bersama mengenai keadaan orang-orang Musyrik dan mereka yang tidak beriman kepada Allah. Ketiga ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang Mukmin dan ahli takwa yang sebenarnya. Dalam ayat-ayat ini dilakukan perbandingan antara dua kelompok ini agar manusia dapat mengetahui mana jalan kebenaran dan kesesatan. Ketenangan jiwa, jauh dari kesedihan merupakan nikmat terbesar dan modal terpenting yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada para wali-Nya. Mereka yang telah berhasil menyingkirkan penghalang-penghalang dosa dan kejelekan, berarti telah mendekati sumber mata air kejernihan dan kebersihan yaitu Allah Swt. Dalam istilah al-Quran mereka disebut golongan wali Allah.
Sudah barangtentu orang-orang semacam ini senantiasa memperoleh berita gembira dari Allah dan hatinya meresapi kabar itu. Karena itu mereka tidak pernah dilanda keraguan ataupun lemah dalam melaksanakan kewajiban. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Para wali Allah ketika diam dalam keadaan berzikir, ketika melihat mereka mengambil pelajaran, saat berbicara mereka menebar hikmah dan ketika berbuat maka Allah akan menurunkan berkah-Nya."
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, "Jangan sekali-kali menghina dan meremehkan orang lain. Karena sesungguhnya Allah telah menyebarkan para wali-Nya yang tersembunyi di tengah-tengah masyarakat. Karena siapa tahu seseorang itu termasuk dari mereka, padahal kalian tidak mengetahui.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Barangsiapa yang hatinya takut dan khawatir kepada Allah, pastilah dia tidak pernah takut kepada seseorang.
2. Iman tanpa diikuti dengan takwa adalah kontra produktif. Karena itu orang mukmin harus senantiasa menjauhkan diri dari dosa dan kejahatan.
3. Seseorang yang memperoleh kebahagiaan, pastilah berada dalam naungan iman dan takwa. Mereka akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Ayat ke 65-66
وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (65) أَلَا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَتَّبِعُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (66)
Artinya:
Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (10: 65)
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga. (10: 66)
Musyrikin Mekah telah memberi julukan yang tidak pada tempat kepada Nabi Muhammad Saw. Terkadang mereka menyebut Nabi sebagai penyair, ahli ramal, tukang sihir dan sampai disebutnya pula dengan orang gila. Mereka mengatakan, "Pernyataan-pernyataan semacam ini juga mereka ajarkan kepada yang lainnya. Sehingga tidak jarang mereka juga menyebutnya sebagai tanda solidaritas dan menyamakan diri, meski hal tersebut tidak memiliki konsesi. Sementara Allah Swt dalam menghadapi pernyataan yang tidak berdasar ini telah membekali Nabi-Nya dengan hati yang kuat dan tabah dan mengatakan, "Kehendak Allah dalam hal ini adalah bahwa kalian dan para sahabat kalian hendaknya menjadi orang-orang yang mulia dan tidak memerlukan sesuatu dari mereka, sehingga mereka tidak akan mampu melakukan perbuatan apapaun terhadap kehendak Allah ini. Karena itu hendaknya seluruh kalian tetap di bawah pengaturan dan kekuasaan Allah, sedang mereka yang juga pergi ke jalan yang bukan jalan Allah, mereka sendiri tidak bisa berbuat apapun, apalagi berhala-berhala sesembahan hayal mereka bisa berbuat sesuatu untuk mencegah segala kemungkinan ataupun bisa menyelamatkan mereka."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Salah satu dari program musuh yaitu dengan melakukan teror terhadap para pemimpin agama, akan tetapi Allah berjanji bahwa upaya dan usaha yang mereka lakukan itu tidak akan pernah berhasil.
2. Janganlah kalian menyangka bahwa mereka yang pergi menuju jalan yang bukan jalan Tuhan itu memiliki logika dan argumentasi yang kuat. Karena itu kokoh, berkomitmen-lah dan ketahuilah bahwa hanya Allah yang Maha Benar.
Ayat ke 67
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ (67)
Artinya:
Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar. (10: 67)
Ayat sebelumnya menyinggung mengenai kekuasaan mutlak Allah Swt di alam semesta ini. Ayat ini juga berbicara mengenai pengelolaan Tuhan yang bijaksana, dengan mengatur sistem siang dan malam yang menunjukkan salah satu karya Allah dan kekuasaan-Nya. Dalam berbagai ayat al-Quran telah dijelaskan bahwa malam dimaksudkan agar manusia bisa beristirahat dan memperoleh ketenangan. Sudah barangtentu ketenangan tubuh manusia dengan tidur dan istirahat mungkin bisa mengembalikan ketenangan jiwa dan ruhnya. Dengan melakukan doa dan munajat kepada Allah khususnya di tengah malam yang sunyi dapat memberikan ketenangan pada jiwa manusia itu. Sementara siang, dapat manusia gunakan untuk bekerja dan berusaha untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sistem dan undang-undang alam semesta, bukanlah kebetulan terjadi, akan tetapi ia telah ditentukan dan diatur berdasarkan program dan tujuan yang pasti.
2. Mendengarkan berbagai ayat Allah, nasehat serta seruan para pemimpin dan nabi dapat menghantarkan manusia kepada pengenalan tanda-tanda ilmu, kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Swt.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus Ayat 57-61
Ayat ke 57-58
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (10: 57)
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (10: 58)
Ruh manusia, sebagaimana tubuhnya, mengalami gangguan dan penyakit-penyakit. Oleh karenanya ia juga memerlukan perawatan dan pengobatan. Berbagai penyakit yang biasa terjadi pada ruh dan jiwa manusia seperti takabur, berbangga diri, bakhil, hasud dan riya. Bila penyakit ini menyerang jiwa manusia dan tidak segera diobati, maka ia bisa mengakibatkan kekufuran dan nifak, sehingga manusia bisa melenceng dari jalan petunjuk dan hidayat. Sementara al-Quran dengan berbagai peringatan dan janjinya dapat mencegah manusia dari melakukan berbagai perbuatan jahat dan dosa.
Dari sisi lain, kitab suci ini memberikan keterangan dan penjelasan mengenai kufur dan azab Ilahi guna dapat memantik pengertian dan kesadaran manusia, sehingga jiwa dan ruhnya menjadi bersih. Dengan demimian diharapkan manusia terjauhkan dari melakukan kejahatan dan dosa. Sudah barang tentu jiwa dan ruh yang sehat, bersih dan suci dapat memudahkan jalan untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat Allah. Oleh karena itu, Allah Swt berkata kepada Nabi-Nya agar menyampaikan kepada orang-orang Mukminin, Sebaik-baik investasi dan sesuatu yang mereka kumpulkan adalah iman kepada kitab suci Allah, mengikuti ajaran dan petunjuknya, dan hendaknya hati mereka bergembira atas nikmat besar, dan sekali-kali bukan dengan membanggakan kekayaan dunia yang menumpuk."
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran adalah sebaik-baik obat untuk menyembuhkan hati, jiwa dan ruh yang sakit.
2. Untuk menyembuhkan penyakit dan berbagai problema baik individu maupun sosial dewasa ini, manusia harus mengkaji dan merenungi kitab suci Al-Quran.
3. Al-Quran merupakan harta karun yang lebih baik dari segala kekayaan dunia. Orang miskin yang sebenarnya adalah orang yang tidak mendapatkan dan mengenyam pendidikan kitab suci Ilahi ini, sekalipun ia memiliki seluruh harta dunia. Sebaliknya, orang yang kaya adalah orang yang hidupnya bersama l-Quran, sekalipun secara lahiriah ia dalam kesempitan dan tidak mempunyai uang.
Ayat ke 59-60
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آَللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ (59) وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ (60)
Artinya:
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (10: 59)
Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).(10: 60)
Pada ayat-ayat sebelumnya telah disinggung mengenai hidayah, petunjuk dan rahmat al-Quran. Kedua ayat ini mengatakan, "Adapun mereka yang memisahkan diri dari ajaran al-Quran, maka mereka akan terjatuh kedalam perangkap khurafat dan undang-undang yang tidak berdasar. Dengan itu mereka akan menghadapi kesulitan yang pada gilirannya hal tersebut merupakan unsur yang menimbulkan kesulitan dan problema kehidupan ini. Dalam ayat-ayat al-Quran yang lain juga menyebutkan, kaum Musyrikin terkadang tidak makan dari hasil binatang piaraan atau pertanian mereka dan menjadikannya nazar untuk berhala yang mereka sembah.
Kedua ayat ini mengatakan, "Suatu hari kalian menggunakan nama Tuhan untuk menentukan hal yang halal dan haram, padahal kalian tidak mendapat izin dari Allah untuk melakukan hal itu. Karena tindakan yang kalian itu adalah kebohongan, maka hal itu juga harus kalian pertanggungjawabkan di Hari Kiamat." Lanjutan kedua ayat ini mengatakan, "Nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia sebagai pertanda kemurahan dan kasih sayang Allah. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak bisa berterima kasih atas semua nikmat itu. Lebih buruk lagi mereka membuat-buat hukum khurafat yang tidak berdasar dan akhirnya mereka justru dijauhkan dari nikmat-nikmat ini.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt pemilik berbagai anugerah dan nikmat. Karena itu Dia adalah Zat yang berhak menentukan halal dan haram, bukan manusia yang melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya sendiri.
2. Menentukan syariat dan undang-undang ada di tangan Allah.Kkarena itu setiap undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang Allah adalah bidah dan tidak ada artinya.
Ayat ke 61
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (61)
Artinya:
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (10: 61)
Ayat ini menyinggung betapa Ilmu Allah Swt sangat luas dan tidak terbatas. Ilmu allah mencakup semua keadaan dan perbuatan manusia, bahkan semua atom dan molekul terkecil apapun tercakup dalam pengetahuan-Nya. Perkara ini telah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Karena itu tidak saja Allah Swt yang dapat menyaksikan hal-hal tersebut, tetapi juga para malaikat-Nya dapat menyaksikan dan mencatat hal-hal tersebut.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pemikiran, pernyataan serta amal perbuatan kita selalu disaksikan oleh Allah dan para malaikat-Nya. Bagi mereka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tersembunyi.
2. Di sisi Allah, bumi dan langit, besar ataupun kecil, tidak ada bedanya. Karena Ilmu Allah mencakup segala sesuatu dan terhadap segala sesuatu adalah sama.
3. Bukan saja manusia biasa, akan tetapi para nabi pun di bawah pemantauan Tuhan dan Allah menjadi saksi atas amal perbuatan mereka.
4. Dunia selalu di bawah pemantauan Allah. Bila Dia memberi batas waktu kepada kita, namun tidak menunda diturunkannya siksa dan azab, maka hal ini justru menunjukkan kebodohan dan kealpaan Tuhan dalam berbagai pekerjaan kita. Namun kenyataannya tidak demikian. Yakni, Allah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk bertaubat. Hal ini menunjukkankemuliaan dan kebijaksanaan Allah.
Tafsir Al-Quran, Surat Yunus 57-61
Ayat ke 57-58
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (10: 57)
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (10: 58)
Ruh manusia, sebagaimana tubuhnya, mengalami gangguan dan penyakit-penyakit. Oleh karenanya ia juga memerlukan perawatan dan pengobatan. Berbagai penyakit yang biasa terjadi pada ruh dan jiwa manusia seperti takabur, berbangga diri, bakhil, hasud dan riya. Bila penyakit ini menyerang jiwa manusia dan tidak segera diobati, maka ia bisa mengakibatkan kekufuran dan nifak, sehingga manusia bisa melenceng dari jalan petunjuk dan hidayat. Sementara al-Quran dengan berbagai peringatan dan janjinya dapat mencegah manusia dari melakukan berbagai perbuatan jahat dan dosa.
Dari sisi lain, kitab suci ini memberikan keterangan dan penjelasan mengenai kufur dan azab Ilahi guna dapat memantik pengertian dan kesadaran manusia, sehingga jiwa dan ruhnya menjadi bersih. Dengan demimian diharapkan manusia terjauhkan dari melakukan kejahatan dan dosa. Sudah barang tentu jiwa dan ruh yang sehat, bersih dan suci dapat memudahkan jalan untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat Allah. Oleh karena itu, Allah Swt berkata kepada Nabi-Nya agar menyampaikan kepada orang-orang Mukminin, Sebaik-baik investasi dan sesuatu yang mereka kumpulkan adalah iman kepada kitab suci Allah, mengikuti ajaran dan petunjuknya, dan hendaknya hati mereka bergembira atas nikmat besar, dan sekali-kali bukan dengan membanggakan kekayaan dunia yang menumpuk."
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran adalah sebaik-baik obat untuk menyembuhkan hati, jiwa dan ruh yang sakit.
2. Untuk menyembuhkan penyakit dan berbagai problema baik individu maupun sosial dewasa ini, manusia harus mengkaji dan merenungi kitab suci Al-Quran.
3. Al-Quran merupakan harta karun yang lebih baik dari segala kekayaan dunia. Orang miskin yang sebenarnya adalah orang yang tidak mendapatkan dan mengenyam pendidikan kitab suci Ilahi ini, sekalipun ia memiliki seluruh harta dunia. Sebaliknya, orang yang kaya adalah orang yang hidupnya bersama l-Quran, sekalipun secara lahiriah ia dalam kesempitan dan tidak mempunyai uang.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آَللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ (59) وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ (60)
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (10: 59)
Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).(10: 60)
Pada ayat-ayat sebelumnya telah disinggung mengenai hidayah, petunjuk dan rahmat al-Quran. Kedua ayat ini mengatakan, "Adapun mereka yang memisahkan diri dari ajaran al-Quran, maka mereka akan terjatuh kedalam perangkap khurafat dan undang-undang yang tidak berdasar. Dengan itu mereka akan menghadapi kesulitan yang pada gilirannya hal tersebut merupakan unsur yang menimbulkan kesulitan dan problema kehidupan ini. Dalam ayat-ayat al-Quran yang lain juga menyebutkan, kaum Musyrikin terkadang tidak makan dari hasil binatang piaraan atau pertanian mereka dan menjadikannya nazar untuk berhala yang mereka sembah.
Kedua ayat ini mengatakan, "Suatu hari kalian menggunakan nama Tuhan untuk menentukan hal yang halal dan haram, padahal kalian tidak mendapat izin dari Allah untuk melakukan hal itu. Karena tindakan yang kalian itu adalah kebohongan, maka hal itu juga harus kalian pertanggungjawabkan di Hari Kiamat." Lanjutan kedua ayat ini mengatakan, "Nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia sebagai pertanda kemurahan dan kasih sayang Allah. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak bisa berterima kasih atas semua nikmat itu. Lebih buruk lagi mereka membuat-buat hukum khurafat yang tidak berdasar dan akhirnya mereka justru dijauhkan dari nikmat-nikmat ini.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt pemilik berbagai anugerah dan nikmat. Karena itu Dia adalah Zat yang berhak menentukan halal dan haram, bukan manusia yang melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya sendiri.
2. Menentukan syariat dan undang-undang ada di tangan Allah.Kkarena itu setiap undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang Allah adalah bidah dan tidak ada artinya.
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (61)
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (10: 61)
Ayat ini menyinggung betapa Ilmu Allah Swt sangat luas dan tidak terbatas. Ilmu allah mencakup semua keadaan dan perbuatan manusia, bahkan semua atom dan molekul terkecil apapun tercakup dalam pengetahuan-Nya. Perkara ini telah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Karena itu tidak saja Allah Swt yang dapat menyaksikan hal-hal tersebut, tetapi juga para malaikat-Nya dapat menyaksikan dan mencatat hal-hal tersebut.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pemikiran, pernyataan serta amal perbuatan kita selalu disaksikan oleh Allah dan para malaikat-Nya. Bagi mereka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tersembunyi.
2. Di sisi Allah, bumi dan langit, besar ataupun kecil, tidak ada bedanya. Karena Ilmu Allah mencakup segala sesuatu dan terhadap segala sesuatu adalah sama.
3. Bukan saja manusia biasa, akan tetapi para nabi pun di bawah pemantauan Tuhan dan Allah menjadi saksi atas amal perbuatan mereka.
4. Dunia selalu di bawah pemantauan Allah. Bila Dia memberi batas waktu kepada kita, namun tidak menunda diturunkannya siksa dan azab, maka hal ini justru menunjukkan kebodohan dan kealpaan Tuhan dalam berbagai pekerjaan kita. Namun kenyataannya tidak demikian. Yakni, Allah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk bertaubat. Hal ini menunjukkankemuliaan dan kebijaksanaan Allah.