Memaksimalkan Akal Menurut Imam Musa as

Rate this item
(0 votes)

Allah Swt senantiasa mengutus para dutanya untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Para nabi dan imam maksum as, termasuk dari bukti-bukti rahmat dan kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Para utusan Tuhan ini sepanjang sejarah mengibarkan panji hidayah untuk membimbing orang-orang yang tersesat ke jalan kebahagiaan. Rasul Saw dan Ahlul Bait as juga tampil sebagai lentera dalam memberantas kebodohan dan kezaliman, dan mereka telah menderita banyak kesulitan dan rintangan dalam membimbing umat manusia.

 

Rasul Saw dan Ahlul Bait as mengarahkan bahtera umat Islam di tengah gelombang samudra yang penuh cobaan dan rintangan ke pantai yang aman dan indah. Perkataan dan sirah mereka sampai sekarang masih menembus hati para pencari kebenaran dan kebahagiaan. Sejarah hidup Rasul Saw dan para imam maksum as merupakan bukti nyata dari sebuah kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai samawi. Mereka adalah pelita dunia untuk membimbing manusia menuju sebuah kehidupan yang suci dan mulia.

 

Imam Musa al-Kazhim as lahir pada tanggal 7 Shafar tahun 128 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam Musa mencapai kedudukan imamah dan kepemimpinan umat pada usia 21 tahun. Tidak lama setelah tiba di lembah Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam Jakfar Shadiq as mendapat kabar bahwa Allah Swt telah menganugerahinya seorang putra. Dengan penuh suka-cita, Imam Jakfar as segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, "Allah Swt telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari-Nya."

 

Imam Musa as adalah sumber kebaikan, keutamaan dan kemuliaan. Ia senantiasa bersikap begitu ramah dan penuh kasih sayang dengan siapapun. Masa kepemimpinan beliau berlangsung sekitar 35 tahun. Ia hidup sezaman dengan empat khalifah Dinasti Abbasiyah. Masa pemerintahan Khalifah Mansur, Mahdi, Hadi dan Harun al-Rasyid merupakan situasi yang sangat sulit dan penuh pasang surut bagi perjuangan Imam Musa as.

 

Di tengah situasi yang sulit itu, Imam Musa as berjuang untuk memperbaiki pemikiran masyarakat dan menyelamatkan mereka dari penyimpangan akidah. Jihad ilmiah dan budaya Imam Musa as telah menjaga kemurnian akidah Islam dari serangan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan sesat. Beliau melakukan banyak upaya untuk menanamkan semangat mencari ilmu di tengah masyarakat dan memanfaatkan berbagai kesempatan untuk membimbing mereka.

 

Tanpa ragu bahwa salah satu anugerah terbesar Tuhan kepada manusia adalah akal dan kekuatan penalaran dan tidak ada nikmat yang lebih besar dari akal. Rasul Saw bersabda, "Agama adalah akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal." Sabda ini mengandung makna bahwa akal memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran-ajaran Islam dan merupakan istrumen terpenting untuk mengenal prinsip dan cabang-cabang agama. Ada banyak riwayat shahih yang menekankan hal itu, di mana kemuliaan abadi manusia dan posisinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, bergantung pada kesempurnaan akal.

 

Menurut Islam dan al-Quran, hal yang bernilai adalah daya pikir dan penggunaan akal. Oleh karena itu, kata "Aql" dalam al-Quran tidak disebut dalam bentuk kata benda, tapi selalu dipakai dalam bentuk kata kerja untuk menegaskan pentingnya pengunaan akal untuk berpikir dan bernalar, bukan sekedar memiliki akal tapi tidak digunakan.

 

Akal merupakan salah satu potensi manusia untuk mengidentifikasi dan menentukan kebenaran. Imam Musa as semasa hidupnya, berusaha menjelaskan nilai dan kedudukan hakiki akal menurut Islam dan wahyu. Oleh sebab itu, beliau selalu menekankan masyarakat untuk menggunakan akal mereka. Dalam pandangan Imam Musa as, siapa saja yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, maka ia tidak pernah menjadi orang yang agamis dan insan yang berakhlak mulia. Dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata, "Temukanlah pengetahuan dan makrifat dalam agama Tuhan. Sebab, pemahaman hukum dan syariat Tuhan adalah kunci kearifan dan menyebabkan (seseorang) sampai ke derajat yang tinggi dalam urusan agama dan dunia."

 

Ucapan itu menyiratkan makna bahwa agama adalah jaminan kebahagiaan manusia, dengan catatan dipahami dan dilaksanakan dengan benar. Oleh karena itu, Imam Musa as berusaha menghidupkan lentera kearifan dan akal di tengah masyarakat. Ketika menjelaskan kedudukan nikmat akal, Imam Musa as bersabda, "Allah memberikan dua hujjah bagi manusia, hujjah lahir dan hujjah batin. Hujjah lahir adalah para nabi dan imam maksum, sementara hujjah batin adalah akal mereka." Oleh sebab itu, para ulama dan fukaha Islam menjadikan akal sebagai salah satu landasan dan sumber utama untuk mengeluarkan hukum-hukum Islam setelah al-Quran dan hadis.

 

Imam Musa as juga mengingatkan kebersamaan kedua hujjah Ilahi tersebut. Dengan kata lain, hujjah lahir atau ajaran-ajaran langit akan dipahami ketika manusia menggunakan akalnya. Untuk itu, syarat beragama adalah menggunakan akal dan nalar. Karena, prinsip dan ajaran-ajaran agama dapat dipahami dengan menggunakan akal.

 

Akal juga berperan dalam menilai kebenaran dan kebohongan klaim-klaim para nabi. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dengan benar, biasanya mereka keluar dari seruan wahyu. Atas dasar ini, poros semua kedudukan kemanusiaan adalah akal dan nalar. Imam Musa as berkata, "Tuhan tidak mengutus para nabi kepada hambanya kecuali untuk berpikir dan bernalar. Oleh karena itu, orang-orang yang menerima dengan cara terbaik adalah mereka yang memiliki makrifat terbaik tentang Tuhan. Orang-orang yang paling mengetahui tentang pekerjaan Tuhan adalah mereka yang istimewa dari segi akal. Dan orang-orang yang paling berakal adalah mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat."

 

Ucapan itu memperjelas kedudukan sesungguhnya akal terhadap hujjah lahir yaitu wahyu dan risalah para nabi. Dengan kata lain, orang-orang yang menggunakan akalnya untuk memikirkan semesta dan Tuhan, mereka memiliki pengetahuan dan makrifat yang sempurna dan segala bentuk pengabaian akal, berarti kehilangan pengetahuan dan makrifat kepada Tuhan. Imam Musa as berkata, "Jika manusia menginginkan sesuatu dari Tuhan, maka mintalah kesempurnaan akal." Dalam sebuah ucapan lain, beliau berkata, "Barang siapa yang memohon serba kecukupan tanpa memiliki harta, ketenangan dan kedamaian hati tanpa mengundang iri orang lain, dan meminta keselamatan dalam agama, maka mintalah kesempurnaan akal dari Tuhan."

 

Manusia senantiasa perlu duduk bersama para pemikir dan meminta pendapat mereka dalam segala hal. Cara ini efektif untuk melatih diri dalam penggunaan akal sehat. Imam Musa as berkata, "Bergaul bersama ahli agama, akan membawa kemuliaan dunia dan akhirat. Dan bermusyawarah dengan orang yang berakal dan menginginkan kebaikan, akan mendatangkan berkah dan kesuksesan dari sisi Tuhan. Ketika orang yang berakal dan baik tadi memberikan sebuah pendapat kepadamu, janganlah engkau menentangnya karena bisa menyebabkan kehancuran."

 

Sementara bergaul dengan orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, akan membuat seseorang jauh dari kebenaran dan ia akan disibukkan dengan perkara yang sia-sia. Imam Musa as berkata, "Hindarilah bergaul dengan orang bodoh dan pertemanan dengannya, kecuali engkau menemukan akal dan sifat amanah dalam dirinya, jika demikian maka bertemanlah dengannya dan jauhilah orang lain seperti engkau lari dari binatang buas."

Read 2596 times