Keadilan dalam Perspektif Imam Ali

Rate this item
(0 votes)
Keadilan dalam Perspektif Imam Ali

Tanggal 13 Rajab, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati kelahiran manusia besar. Di Iran, hari ini dirayakan sebagai "Hari Ayah". Bertepatan dengan 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahir seorang bayi agung dari keluarga Abu Thalib bernama Ali. Beliau adalah Imam, pewaris kenabian; suami perempuan terbaik di dunia, Sayidah Fatimah; menantu Rasulullah Saw, dan ayah para Imam maksum.

Beberapa hari menjelang kelahirannya, sang ibu, Sayidah Fatimah binti Asad melakukan tawaf dan memanjatkan doa kehadirat Allah swt. Pandangan matanya tertuju ke langit, dan dengan penuh khusyuk beliau bermunajat, "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para Rasul dan kitab-kitab yang mereka bawa. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Kabah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Kabah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya."

Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt telah mengabulkan doanya. Di saat itu, dinding Kabah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang heran menyaksikannya.

Abbas bin Abu Thalib yang turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali menuju Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi luar Kabah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Mekah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar. Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Kabah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali."

Semenjak kecil, Ali tumbuh dalam naungan pengajaran dan didikan Nubuwah di dalam rumah Nabi Muhammad Saw. Di salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, Rasulullah Saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku."

Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali tidak pernah lepas dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Imam Ali mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu."

Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali adalah komitmennya menegakkan keadilan dan membela orang-orang yang tertindas. Mengenai keutamaan Imam Ali Ibnu Abbas berkata,"Tidak ada pemimpin yang semulia Ali. Ia tidak berani berbohong, bahkan untuk kemaslahatan sekalipun demi meraih kekhilafahan maupun menarik simpati para penentangnya."

Seorang pemikir kristen Lebanon, George Jordac menjelaskan keutamaan Imam Ali, dalam bukunya The Voice of Human Justice menulis, "Di alam ini setiap lautan memiliki gelombang yang mengguncang. Namun aku tidak mengenal samudera yang terhampar luas dan agung sebagaimana samudera keutamaan Ali. Tidak ada yang tidak terguncang kecuali dua jenis manusia; orang yang terzalimi, dan orang yang takut kepada Allah di kegelapan malam.”

Menurut Imam Ali, keadilan adalah prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau menegaskan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Dengan kata lain, keadilan adalah inti politik Imam Ali.

. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.

Imam Ali mengubah sistem pemikiran dan budaya publik serta mereformasi struktur pemerintahan dan para pejabatnya dalam rangka mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Beliau menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan menghilangkan jurang sosial dan diskriminasi. Untuk menghilangkan diskriminasi, Ali menerapkan persamaan di berbagai bidang. Kepada para hakim, Imam Ali berkata, "Kalian berlaku adillah dalam memutuskan sebuah perkara. Perlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, sehingga orang-orang terdekatmu tidak rakus dan musuh kalian tidak putus asa terhadap keadilanmu."

Dalam instruksinya kepada para petugas pajak, Imam Ali berkata, "Bersikaplah adil dan penuh pertimbangan. Kalian adalah para bendahara negara, wakil rakyat dan duta pemerintahan. Sepak terjang kalian jangan sampai seperti binatang buas yang memangsa apa saja. Karena rakyat adalah manusia juga seperti kalian, tidak ada bedanya apakah ia muslim ataupun non muslim."

Walaupun Imam Ali memimpin pemerintahan Islam yang terbentang luas, namun dari sisi individu dan sosial ia tidak meyakini keistimewaan bagi dirinya sendiri. Beliau hidup seperti rakyat jelata. Imam Ali memulai kepemimpinannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Beliau pun berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan hak-hak manusia. kepada pegawainya beliau menginstruksikan untuk menciptakan iklim bebas di tengah masyarakat, mendengar pandangan mereka dan menyiapkan sarana untuk mewujudkan hak-haknya.

Imam Ali dalam surat yang disampaikan kepada Malik Ashtar berpesan, "Wahai Malik, pergunakan sebagian waktumu khusus untuk melayani orang-orang yang membutuhkanmu. Sediakan waktu untuk pekerjaan mereka dan duduklah pada pertemuan-pertemuan umum. Bersikaplah tawadhu dalam pertemuan itu. Jauhkanlah pengawalmu dari mereka, sehingga rakyat dengan bebas dan tanpa kekhawatiran sedikitpun berbicara denganmu."

Dalam pandangan Imam Ali, memberangus kezaliman adalah hak seluruh bangsa di dunia, dan pemimpin adalah orang yang harus mengupayakan hilangnya kezaliman dalam pemerintahannya.Terkait hal ini, Imam Ali menilai orang yang memimpin masyarakat adalah orang yang bisa mewujudkan keadilan dan memerangi segala bentuk ketidakadilan.(

Read 1660 times