Al Quran Dan Ahlul Bait As Tidak Dapat Terpisah/Seperti Apa Tingkat-tingkat Pengamalan Al Quran?

Rate this item
(2 votes)

Al Quran dari segi akidah (kepercayaan-kepercayaan) sangatlah cukup dan layak. Tidak memiliki bahasa filsafat dan irfan namun lebih tinggi dari bahasa filsafat dan irfan, mempunyai akidah fitriawi.

Teks berikut ini merupakan transkrip “Pelajaran Akhlak” Ayatullah Mazahiri Hf., seorang marja taklid, dengan tema “Pengenalan Jiwa (Ma’rifat al Nafs); relasi manusia dengan Alam eksistensi” yang berlangsung pada 14 Februari 2017.

Bismillahirrahmanirrahim

الحمدلله ربّ العالمین والصلاة والسّلام علی خیر خلقه أشرف بریته ابوالقاسم محمّد صلی الله علیه و علی آله الطیّبین الطاهرین و عَلی جمیع الانبیاء وَالمُرسَلین سیّما بقیة الله فی الأرضین و لَعنة الله عَلی اعدائهم أجمعین.

Pembahasan kita berikut ini adalah tentang “pembiasaan diri dan keakraban bersama Al Quran” dan terkait dengan tema ini, pertama; kita telah membicarakan tentang membaca Al Quran serta tingkatan-tingkatannya. Kedua; secara ringkas kita telah membicarakan pula tentang ketelitian, tafsiran serta pemahaman terhadap Al Quran.

Pembahasan malam ini lebih penting dari dua pembahasan sebelumnya, yaitu pembahasan tentang pengamalan Al Quran. Al Quran merupakan kitab amalan. Al Quran telah datang membentuk manusia dengan perantaraan amal perbuatan. Al Quran melantunkan ayat ini di dalam surah Jumuah, “هُوَ الَّذي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَ يُزَكِّيهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفي‏ ضَلالٍ مُبينٍ ”[1] Allah Swt telah mengutus Rasul-Nya dan telah menurunkan Al Quran kepadanya guna mengembangkan manusia dari segi ilmu dan amal. Yakni Al Quran merupakan sebuah kitab pelajaran dan pendidikan. Nabi Saw adalah seorang guru pengajar dan pendidik. Di mana saja, Al Quran ketika hendak memperkenalkan manusia yang bahagia dan selamat mengatakan, “الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ”[2] seorang yang beriman dan beramal sholeh. Di dalam Al Quran kita tidak menemukan satu tempat pun di mana Al Quran hanya mengatakan, “Muslim adalah seorang yang memiliki akidah dan iman”. Namun setiap kali mengatakan, “الَّذينَ آمَنُوا” orang yang beriman[3], pada saat itu pula mengatakan, “وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ ” dan beramal sholeh[4].

Kalimat ini telah berulang pada lebih dari dua ratus tempat dan maknanya ialah “Kitab Al Quran merupakan kitab amalan”. Al Quran telah datang guna membentuk (membangun) manusia, Al Quran datang untuk menyampaikan manusia dari titik nol hingga ke tempat di mana Ia tidak mengenal sesuatu apapun selain Tuhan, Al Quran datang agar manusia menemukan keselamatan (kebahagiaan) dunia dan akhiratnya melalui amal-amal baik. Amal ini pun, misalnya, “membaca Al Quran serta menyimak secara teliti kandungannya”, mempunyai tingkat-tingkatan. Tingkatan pertama, berkaitan dengan hukum-hukum (ahkam). Manusia hendaknya patuh (terikat) pada aspek lahiriah syariat serta perkataan-perkataan para pembesar suluk (sair wa suluk). Guru-guru akhlak mengatakan, “Kami tidak mengenal sesuatu yang lebih baik dari aspek lahiriah syariat”. Al Quran datang untuk membentuk manusia bertakwa. Dengan mengedepankan dan mementingkan perkara-perkara wajib (wajibat) dan mengerjakan perkara-perkara mustahab (mustahabat) serta menjauhi dosa manusia menjadi takwa. Ketika manusia telah bertakwa, Al Quran lantas berkata, “طُوبى‏ لَهُمْ”[5] Sungguh keadaanmu sangat baik; Dalam ketika Ia bertakwa Ia dalam keadaan selamat (sa’adah). Amal ini bergantung pada hal ini bahwa di dalam benaknya(akalnya) terdapat sebuah risalah amaliyah. Risalah amaliah marja taklid adalah penjelasan (bayan) atas pengamalan Al Quran sebab apapun yang dikatakan marja taklid adalah dikatakan dari riwayat-riwayat dan riwayat-riwayat dikatakan dari Al Quran.

Guru besar kami Ayatullah Burujerdi Ra telah berulang kali membacakan riwayat ini kepada kami dan riwayat-riwayat yang mirip dengan riwayat Guru Burujerdi Ra ini ada banyak. Beliau mengatakan, “Imam Baqir As berkata, “Apapun yang kukatakan adalah dari ayahku dan apapun yang dikatakan ayahku adalah dari ayahnya dan apapun yang dikatakan ayahnya adalah dari Nabi Saw dan  apapun yang dikatakan Nabi Saw adalah dari Jibril As dan apapun yang dikatakan Jibril As adalah dari Al Quran dan apapun yang dikatakan Al Quran adalah dari Allah Swt”.

Klaim Syiah ialah bahwa risalah amaliyah marja taklid mereka adalah tafsiran Al Quran itu sendiri namun dengan bersandar pada riwayat-riwayat Ahlul Bait As. Jika kita ingin Al Quran menolong kita, maka dari sisi keterikatan pada lahiriah syariat, kita mesti mempunyai pengenalan secara sempurna terhadap risalah amaliyah marja taklid. Jika seseorang tidak bertaklid, Ia seperti seorang yang sakit namun tidak mendatangi dokter dan pada akhirnya meninggal. Jika seseorang tidak tahu (jahil) dan melakukan suatu pekerjaan, Ia akan merusak pekerjaan itu. Sangat perlu untuk bermusyawarah kepada orang yang ahli (spesialis). Kita pun harus bertaklid dan taklid kepada para pembesar adalah perkara fitrawi serta suatu perkara yang dipahami sendiri oleh manusia. Bagaimana seseorang ketika sakit tanpa  sadar (dengan sendirinya) mencari dokter dan ketika Ia berhadapan dengan pekerjaan khusus (memerlukan ahli) mencari seorang yang ahli dan spesialis di bidangnya dan orang seperti ini, jika baginya muncul perkara hukum maka Ia akan mencari risalah marja taklid, ini adalah pengamalan Al Quran. Bedanya ialah yang menafsirkan Al Quran di dalam riwayat-riwayat kita adalah Ahlul Bait As sementara Ahlussunnah tidak memiliki itu. Patut disyukuri (alhamdulillah) kita sangat kaya dari segi riwayat-riwayat dan riwayat-riwayat kita berkaitan dengan Ahlul Bait As. Nabi Saw hingga akhir hayatnya lebih dari seribu kali mengatakan, “انّى‏ تارِكٌ‏ فيكُمُ الثِّقْلَيْنِ ما انْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِما لَنْ تَضَلُّوا كِتابَ اللَّهِ وَ عِتْرَتى‏ وَ اهْلَ بَيْتى‏ فَانَّهُما لَنْ يَفْتَرِقا حَتّى‏ يَرِدا عَلَىَّ الْحَوضَ”[6]

Wahai kaum Muslimin, Al Quran dan Ahlul Bait As, Ahlul Bait As dan Al Quran. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Satu merupakan asli (prinsip) dan satunya lagi penafsirnya. Satunya asli dan satunya lagi adalah penjelasnya dan keduanya ini harus senantiasa saling bahu membahu hingga hari kiamat. Riwayat Tsaqalain mengatakan kepada kita bahwa secara amal perbuatan kita mesti mengikuti Al Quran dan jika kita ingin mengikuti Al Quran, kita harus mengikuti Ahlul Bait As dan jika kita hendak mengikuti Ahlul Bait As, kita mesti memiliki pengenalan sempurna terhadap risalah amaliyah marja taklid. Olehnya itu adalah wajib dan perlu kepada semua, khususnya para pemuda di mana dalam sehari semalan selama satu jam membaca risalah amaliyah serta mengamalkan risalah tersebut. Sungguh, jika mereka membaca risalah amaliyah sejam sehari semalam, mereka akan memiliki pengenalan sempurna terhadap risalah amaliyah dan risalah amaliyah memiliki segalanya. Meskipun umur marja taklid hanya berkisar 70-80 tahun tetapi tidak abai dari segi amal dan apapun yang anda inginkan dari segi amalan, risalah “Taudhihul Masail”(risalah amaliyah marja) memilikinya. Jika tidak terperinci maka, mesti segera ditanyakan dan diberikan jawaban dan pada akhirnya harus mengetahui hukum secara sempurna. Ini adalah suatu bentuk pengamalan Al Quran.

Kedua, mengamalkan Al Quran. Al Quran dari segi akidah (kepercayaan-kepercayaan) sangatlah cukup dan layak. Tidak memiliki bahasa filsafat dan irfan namun lebih tinggi dari bahasa filsafat dan irfan, mempunyai akidah fitriawi. Dari segi akidah Al Quran tidak kekurangan. Al Quran dengan sangat baik membahas tentang tauhid dalam prinsip (ashl) wujud Tuhan. Al Quran berbicara dengan sangat baik tentang tingkatan-tingkatan tauhid dzat, tauhid sifat-sifat, tauhid ibadah serta tauhid perbuatan. Jika seseorang membuka Al Quran dan ingin mengambil dan meneguhkan akidah-akidahnya dari Al Quran, maka tingkatan tauhid tertinggi itu ada di dalam Al Quran, dengan kata lain apa yang diungkapkan para pembesar terdapat dalam Al Quran.

Mulla Sadra Ra di awal kitab al Asfar mengatakan, “Beberapa lama aku mengkaji maktab peripatetik dan menjadi ahli dalam filsafat peripatetik (hikmah al Masysyai), namun aku merasakannya gelap. Beberapa lama aku mempelajari maktab iluminasi dan menjadi ahli dalam filsafat iluminasi (hikmah al isyraq) tetapi aku melihatnya berbahaya. Aku menghampiri dan menyentuh Al Quran dan Ahlul Bait As dan aku melihat diriku tenang. Olehnya itu, di banyak tempat ketika Mulla Sadra mengurai pembahasan-pembahasan filosofis sangat tinggi seperti gerak substansi, setelah pembahasan rumit-filosofis, terdapat satu kalimat di mana beliau berkata, “و هذا المطلب الشریف الغامض اللطیف مما وجدوه و حصلوه بالکشف و الشهود عقیب ریاضاتهم و خلواتهم، و هو مما اقمنا علیه البرهان مطابقاً لکشف والوجدان”; pembahasan rumit, mulia dan halus ini adalah termasuk sesuatu yang ditemukan dan dijangkau mereka melalui penyingkapan dan syuhud setelah melewati khalwat dan riyadah, dan termasuk di antara sesuatu yang kita bangunkan argumen (burhan) atasnya sesuai dengan kasyaf dan pengetahuan huduri; mengamalkan Al Quran telah menyampaikanku di sini, berdasarkan akidah yang kupegang aku membangun argumentasi, yakni argumen-argumen yang telah aku buat adalah untuk anda dan bukan untuk diriku, aku telah sampai pada tingkatan yakin (percaya). Secara keilmuan, aku telah sampai pada maqam (kedudukan) ilmul yaqin, ‘ainul yaqin serta haqqul yaqin melalui pengamalan terhadap Al Quran dan mengikuti Ahlul Bait As, namun aku ahli pula dalam filsafat peripatetik dan iluminasi. Olehnya itu, aku pun dapat berargumentasi untuk anda. Dengan demikian, Al Quran dari aspek tauhid sangatlah tinggi dan layak dan setiap yang tidak berilmu dapat memahaminya. Misalnya, Mulla Sadra mengajukan 40 dalil guna membuktikan wujud Tuhan namun Mulla Sadra sendiri mengakui jika dalil-dalil yang terdapat dalam Al Quran lebih cukup dan layak dari 40 dalil pembuktian filosofosnya. Al Quran mempunyai dalil tentang kenabian yang sangat bagus dan layak dan telah banyak buku-buku yang ditulis dengan tema kenabian, namun jika buku-buku tersebut bersandar pada Al Quran dan Ahlul Bait As maka di saat itu akan menjadi sangat layak dan bagus, tetapi jika dibuat sendiri tetap baik dan akan membuktikan kenabian (nubuwwah), namun bukan apa yang dibuktikan Al Quran.

Al Quran sangat luar biasa berbicara tentang kenabian baik itu berkenaan dengan kenabian umum (nubuwwah ‘am) maupun kenabian khusus (nubuwwah khas). Al Quran sangat teliti dan akurat dalam berbicara tentang hakekat dan kemu’jizatan Al Quran dan metode inferensi (istidlal) Al Quran berbeda dengan inferensi-inferensi ilmu kalam. Al Quran sangat bagus menjelaskan tentang imamah, olehnya itu Syiah begitu mumpuni membahas tentang wilayah dan cukup banyak upaya dan usaha yang telah dilakukan dalam ranah ini; Penulis kitab ‘Abaqat sangat baik membahas tentang wilayah Ali bin Abi Thalib As beserta keturunannya As dalam kurang lebih 40 jilid buku yang menjadi salah satu kebanggaan Syiah; Ihqaq al Haq dalam 30-40 jilid yang berkaitan tentang wilayah; namun beliau kemudian dibunuh. Cukup banyak kitab-kitab ringkas tentang wilayah yang telah ditulis oleh para ulama dan pembesar, baik untuk kalangan awam maupun yang menengah dan penuh ketelitian, yakni minimalnya lebih dari 1000 jilid kitab tentang imamah. Namun semua mengakui bahwa imamah yang dibuktikan Al Quran adalah bukan imamah yang kita buktikan. Kita berbicara dengan inferensi (istidlal).

Kita spesialis dalam ilmu teologi dan kita berbicara tentang imamah dan ilmu kalam. Namun Al Quran adalah cahaya, menciptakan wilayah dikedalaman jiwa kita dengan berperantarakan cahaya dan bermanifestasi dan wilayah Al Quran sangat banyak, seukuran dimana sebagian orang bahkan dari kalangan Ahlussunnah mengakui bahwa sepertiga Al Quran berkaitan tentang wilayah. Ahlul Bait As mempunyai wilayah. Riwayat-riwayat Ahlul Bait As adalah berkaitan tentang wilayah. Pada akhirnya Al Quran sangat memperhatikan tentang ma’ad (eskatologi) dan tak ada sesuatu dalam Al Quran yang mempunyai ayat sejumlah ini. 1400 ayat dalam Al Quran berkaitan dengan eskatologi dan kebanyakan dari ayat-ayat ini adalah tentang ma’ad jasmani yaitu kiamat yang diajarkan pula oleh ayah ibu kita. Imam Khomeini Ra mengatakan, “Kiamat yang diucapkan nenek tua itu pula yang dikatakan Mulla Sadra dan kiamat yang dijelaskan Mulla Sadra dalam gerak substansi, telah dijelaskan Al Quran dan Ahlul Bait As kepada kita dengan begitu baik dan lugas. Banyak pula yang berkaitan dengan ushuluddin dan furuuddin. Di katakan bahwa penulis ‘Aqabat bertahun-tahun di India dan penulis Ihqaq al Haq, menghabiskan umur mereka untuk wilayah. Apa tidak sepantasnya kita menggunakan sejam dalam sehari semalam untuk mengkaji ushuluddin dan Al Quran? Bahwa Al Quran merupakan kitab amalan bukan hanya dalam bentuk pertama, melainkan di samping bentuk pertama yang membuat kita bertakwa dan mengikat diri pada lahiriah syariat, sangatlah penting memperhatikan ushuluddin dan Al Quran serta pengamalan atas akidah-akidah Al Quran serta pengamalan atas metode inferensi-inferensi Al Quran dan sangat perlu bagi semua khususnya para pemuda, minimalnya satu jam dalam sehari semalam, untuk mengkaji tentang ushuluddin dalam perspektif Al Quran.

 

Referensi:

 

1] Qs. Al-Jum'ah: 2

2] Qs. Al-Baqarah: 25

3] Qs. Al-Baqarah: 25

4] Qs. Al-Baqarah: 25

5] Qs. Al-Ra'ad: 29

6] Wasail al-Syiah, jld. 27, hlm. 34

7] Qs. Al-Syams: 9 dan 10

8] Qs. Al-Syams: 9 dan 10

Read 1394 times