Imam Ridha, Mutiara Ahlul Bait Nabi

Rate this item
(1 Vote)

Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqaidah 148 H di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kadzim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Beliau memegang tampuk kepemimpinan umat pada usia 35 tahun pasca kesyahidan ayahnya, Imam Musa al-Kadzim as. Imam Ridha adalah Imam maksum yang kedelapan dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun kelahiran beliau. Tapi mayoritas para ulama seperti Syeikh Mufid, Kulaini, Kaf'ami, Syahid Tsani, Tabarsi, Syeikh Shaduq, Ibnu Zahrah, Mas'udi, Abul Fida, Ibn Atsir, Ibnu Hajar, Ibnu Jauzi, dan ulama besar lainnya berpendapat bahwa Imam Ridha dilahirkan pada tahun 148 H.

Kelahiran manusia mulia ini telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw jauh hari. Dalam kitab Biharul Anwar jilid 99 hal 33, Rasulullah Saw bersabda, "Bagian dari tubuhku ada di Khorasan dan akan dimakamkan di sana. Barangsiapa yang menziarahinya, maka Allah akan mencabut gundah gulana dalam diri mereka, dan mengampuni dosa para peziarah makamnya."

Gelar dan julukan beliau merupakan nama dan kata yang selalu harum sepanjang zaman. Julukan beliau "Abu al-Hasan" merupakan panggilan di kalangan orang-orang khusus, sedangkan gelar beliau di antaranya: Shabir (yang sabar), zaki (yang suci), wali (pemimpin/sahabat), fadhil (yang utama), wafi' (yang menepati janji), shiddiq (yang benar), radhi (yang rela), sirajullah (pelita Allah), nurulhuda (lentera petunjuk), qurratu ‘ainil Mu'minin (penghibur orang-orang mukmin), kufu'l malik (padanan raja), kafi al-khalq (yang mencukupi kebutuhan orang), rabb as-sarir (pemilik rahasia) dan riab at-tadbir (pengatur yang baik).

Dari semua gelar tersebut, "Ridha" (yang rela) merupakan gelar yang paling terkenal. Beliau terkenal dengan panggilan "Ridha" karena mendapatkan keridhaan Allah Swt di langit dan menjadi sumber kebahagiaan para nabi dan para imam sesudahnya di bumi. Ada juga yang mengatakan bahwa panggilan itu didasari oleh kenyataan bahwa setiap orang yang bersama beliau, baik kawan maupun lawan akan bahagia. Bahkan disebutkan bahwa Makmun yang notabene berlawanan dengan beliau begitu senang dengan sikap Imam Ridha.

Kesucian hati, ketajaman pandangan, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha as. Kurang lebih selama 20 tahun, beliau memikul tanggung jawab sebagai imam dan pemimpin kaum muslimin. Karena itu, salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan siapapun, mulai dari kalangan orang-orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, para pecinta beliau maupun musuh-musuhnya.

Dikisahkan, suatu hari Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khorasan masuk dan berkata, "Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak."

Dengan nada lembut, Imam al-Ridha as berkata kepadanya, "Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!". Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, "Mana orang Khorasan itu?"

Orang Khorasan itu mendekat dan Imam berkata, "Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami." Orang itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, "Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?"

Imam berkata, "Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw pernah bersabda, ‘Berbuat baik secara sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.'"

Syeikh Shaduq menuturkan bahwa Imam Ridha terbiasa tidur hanya sebentar di malam hari. Beliau sibuk melaksanakan ibadah. Dalam sehari semalam beliau melakukan shalat seribu rakaat dan secara kontinu berpuasa, khususnya tiga hari setiap bulan yaitu hari Kamis awal bulan, dan Kamis akhir bulan serta hari Rabu tengah bulan). Beliau berkata: Berpuasa di tiga hari tersebut sebanding dengan berpuasa sepanjang masa.

Dalam kitab Muntahab al-Amal terdapat riwayat dari Aba Shalah. Ia menuturkan, "Saya tidak melihat orang yang lebih alim daripada Imam Ridha. Makmun sering kali mengundang dan mengumpulkan para ilmuan dan ulama serta ahli fikih untuk melakukan debat bersama beliau. Dan Imam Ridha selalu menang dalam dialog dan perdebatan tersebut. Dan mereka mengakui keutamaan Imam Ridha. Imam Ridha dikenal sangat pemurah dan rajin memberikan sedekah secara sembunyi-sembunyi. Seringkali beliau memberikan sedekah di waktu malam."

Kini kita simak beberapa petuah suci Imam Ali al-Ridha as. Imam as berkata, "Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut: (1) Kebaikannya selalu diharapkan orang, (2) Orang lain merasa aman dari kejahatannya, (3) Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit, (4) Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain, (5) Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya, (6) Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya, (7) Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan, (8) Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya, (9) Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran".

Kemudian sahabat beliau bertanya: "Lalu, apakah yang kesepuluh?",

Beliau menjawab, "Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya): 'Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa'."

Read 2591 times