Mengenal Ksatria Padang Karbala, Abul Fadhl Abbas

Rate this item
(0 votes)
Mengenal Ksatria Padang Karbala, Abul Fadhl Abbas

 

Abbas bin Ali as lahir pada tanggal 4 Sya'ban 26 H/647 di Madinah dan gugur sebagai syahid pada Tragedi Asyura yang terjadi tepatnya pada tanggal 10 Muharram 61 H/681 di padang Karbala.

Abbas bin Ali yang lebih dikenal dengan Abu Fadhl dan Qamar Bani Hasyim adalah anak dari pasangan Imam Ali as dan ibundanya adalah Fatimah binti Hizam yang lebih dikenal dengan Ummul Banin yang dinikahi oleh Imam Ali as beberapa tahun paska syahadah Fatimah binti Muhammad Saw.  Ia merupakan pemimpin dan pemegang panji pasukan Imam Husain as pada peristiwa Karbala. Di Karbala ia menjadi pemberi minum (Saqqa) pasukan, oleh karenanya ia dikenal di kalangan Syiah dengan “Pemberi minum bumi tandus Karbala”.

Abu Fadhil Abbas mempunyai kedudukan tinggi di antara para keturunan imam dan orang-orang Syiah pada hari Tasu’a (9 Muharram) mengadakan majelis duka baginya.

Image Caption
Menurut riwayat-riwayat, pada hari 7 Muharram tahun 61 H/681, di saat persediaan air di kemah Imam Husain as mulai berkurang, Abbas berhasil membawa air kepada pasukan. Pada tanggal 10 Muharram ia juga pergi ke arah Sungai Eufrat demi mendapatkan air. Namun dalam perjalanan pulang, kendi airnya dipanah oleh pihak musuh dan kedua tangannya dipotong yang menyebabkannya gugur sebagai syahid.

“Abu Fadhil” adalah julukan yang paling terkenal baginya. Menurut sebagian besar ulama dan para penyair sebab pemberian julukan ini adalah karena keutamaan sangat banyak melekat padanya. “Abul Qasim” adalah julukan lain baginya. Para ahli sejarah dengan mencermati kata-kata yang ada pada ziarah Arbain, kalimat ini diyakini sebagai julukan Baginda Abu Fadhil Abbas. Yaitu ketika Jabir bin Abdillah al-Anshari berkata kepadanya, “Assalamu ‘alaika Ya Abal Qasim. Assalamu ‘Alaika Ya Abbas bin Ali as” (Salam atasmu, Wahai Abul Qasim; Salam atasmu, Wahai Abbas bin Ali as).

Pada masa kanak-kanak Abbas, ayahanda dan kedua saudaranya, Hasan as dan Husain as berada di sampingnya. Abbas memperoleh ilmu dan banyak berguru dari mereka serta memanfaatkan pandangan mereka. Imam Ali as terkait dengan kesempurnaan dan kedinamisan putranya berkata, “Sesungguhnya putraku Abbas telah belajar semenjak usia kanak-kanak. Ia belajar dariku sebagaimana bayi burung merpati mengambil makanan dan minuman dari induknya.”

Pada awal-awal ketika Abu Fadhil dapat berbicara, Imam Ali as berkata kepadanya, “(Katakanlah) Satu.” “Satu.” Sahut Abbas. “Katakan dua.” Imbuh Imam Ali as. “Aku malu berkata dua dengan lisan yang Aku serukan tentang keesaan Tuhan.” Tegas Abbas. Kemudian Imam Ali as dengan pandangan keimamahannya, melihat masa depan Abbas yang gemilang. Kemudian wajah Imam Ali as nampak sedih dan lantaran istrinya bertanya apa gerangan yang membuatnya menangis. “Kisah Abbas akan berakhir pada jalan menolong Husain as.” ujar Imam Ali as. Kemudian beliau mengabarkan tentang keutamaan kedudukan putranya: “Allah swt akan menganugerahkan dua sayap kepadanya seperti pamannya, Ja’far bin Abi Thalib yang akan terbang di surga.” [Qamar Bāni Hāsyim, hlm. 19; Maulid al-‘Abbās bin Ali as, hlm. 60]

Masa Remaja dan Pemuda

Imam Ali as dengan perhatian dan kasih sayang khusus mengenalkan adab dan akhlak kepada Abbas dan mendidiknya dengan ajaran-ajaran Islam. Putra Imam Ali as ini hidup bersamanya selama 14 tahun 47 hari. Ia selalu berada di samping ayahandanya. Pada hari-hari sulit masa pemerintahan ayahandanya, tidak sekejap-pun Abbas berpisah darinya. Ketika pada tahun 37 H/658 meletus Perang Shiffin, Abbas kecil yang ketika itu masih berusia 12 tahun telah menorehkan epik abadi dalam perang tersebut.

Setelah masuknya pasukan 85 ribu orang dari tentara Muawiyah ke wilayah Shiffin untuk mengalahkan Imam Ali as, beberapa orang dikirim dan ditugaskan untuk menjaga air dan diangkatlah Abul Al-A’war Aslami untuk melaksanakan tugas ini. Pasukan Imam Ali as yang lelah dan haus, ketika sampai di wilayah Shiffin, melihat bahwa musuh telah menutup air bagi mereka. Kehausan yang melanda pasukan Imam Ali as membuat Imam Ali as harus menempuh jalan sehingga beberapa panglima Sha’sha’at bin Shauhan dan Syabats bin Rab’i ditunjuk untuk mengambil air. Mereka bersama beberapa anggota pasukan menyerang Sungai Eufrat kemudian mengambil air. Imam Husain as dan Baginda Abu Fadhl as juga ikut serta dalam penyerangan ini.

Pada puncak perang Shiffin, terdapat seorang remaja dari pasukan Islam yang maju ke medan laga dan mengenakan topeng. Umurnya ketika itu kira-kira 13 tahun. Ia berdiri dihadapan laskar Muawiyah dan berperang dengan musuh. Muawiyah memerintahkan Abu Sya’tsa, yang merupakan jagoan dari pasukannya supaya berduel dengan Abul Fadhil. “Warga Kufah mengakui kehebatanku sebanding dengan 1000 pasukan berkuda (namun kau menginginkan supaya Aku berduel dengan seorang remaja?)” Protes Abu Sya’tsa. Kemudian ia memerintahkan salah seorang anaknya untuk berduel dengan Abul Fadhil. Setelah beberapa lama terlibat perang sengit, Abbas berhasil membuat musuhnya jatuh tersungkur dan bersimbah darah. Abu Sya’tsa dengan takjub yang sangat luar biasa melihat bahwa anaknya tersungkur ke tanah dan bersimbah darah. Ia mempunyai tujuh anak. Kemudian ia mengutus anaknya yang lain, namun hasilnya tidak berubah sedemikian sehingga semua anaknya satu persatu dikirim ke medan perang, namun remaja prawira itu mengirim mereka satu persatu ke neraka. Pada akhirnya Abu Sya’tsa turun ke gelanggang perang melawan sang remaja itu, namun ia berhasil membinasakannya sedemikian sehingga tidak ada lagi orang yang berani melawannya. Keheranan dan ketakjuban pasukan Imam Ali as menjadi semakin tiada tara. Ketika Abu Fadhil kembali ke perkemahan, Imam Ali as membuka tutup muka putranya itu dan membersihkan debu dari mukanya.

Abbas menikah dengan Lubabah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Buah dari pernikahan ini adalah dua orang putra bernama Fadhil dan Ubaidillah. Keturunan Abbas as berlanjut dari jalur Ubaidillah. Ubaidillah mempunyai 2 putra bernama Abdullah dan Hasan. Hasan mempunyai 5 putra dan nama-nama itu adalah: Ubaidillah, ia beberapa lama bertanggung jawab sebagai Gubernur Mekah dan Madinah, pada saat itu ia juga menduduki hakim pada dua kota itu. Putra Hasan yang lain adalah Abbas yang terkenal dengan kemampuan berretorika tinggi, Hamzah al-Akbar, Ibrahim Jurdaqah yang termasuk salah seorang fuqaha, zahid, sastrawan, dan orang yang mempunyai keutamaan. Setiap putra-putra Abu Fadhl ini menghasilkan buah hati yang juga mempunyai keutamaan seperti Muhammad bin Ali bin Hamzah bin Hasan bin Ubaidillah, seorang ahli hadis yang terkenal pada abad ke-3 H.

Di Samping Imam Hasan Mujtaba as

Selama masa keimamahan Imam Hasan as, Abbas as dengan segala kemampuan yang dimilikinya selalu berada pada jalan Imam Hasan as. Pada masa ini, dikarenakan penentangan dan permusuhan yang dilancarkan oleh Muawiyah kepada Imam Hasan Mujtaba as dan bahaya mereka yang mengancam Imam Hasan as, Abbas sangat berhati-hati dalam menjaga keselamatan saudaranya. Abbas pada masa imamah Imam Hasan as berkedudukan sebagai “Bāb al-Hawāij” (Seseorang yang memenuhi keinginan dan keperluan orang lain karena beliau selalu membantu dan menolong orang yang memerlukan) para penganut Syiah. Orang-orang mustadhafin memperoleh berkah darinya. Orang-orang yang membutuhkan pergi ke rumah Imam Hasan as dan mengatakan keperluannya kepada Abbas. Dalam semua hal ia yang menjelaskan masalah masyarakat kepada saudaranya, Imam Hasan as dan melaksanakan perintah saudaranya tentang mereka. Juga ketika Imam Hasan as syahid, musuh menarik anak panah ke arah jasad Imam Hasan as, olehnya itu Abbas as dengan sigap menarik pedangnya, namun mengingat perkataan imamnya (untuk menahan diri) mengingatkan kita bahwa mengikuti secara totalitas perintah Imam adalah prinsip hidupnya, maka hal ini membuatnya untuk menahan diri.

Bukti paling nyata terkait dengan keberadaan Abbas di samping Imam Hasan as adalah perkataan Imam Shadiq as, pada permulaan Ziarah Abbas berkata, “Salam bagimu wahai hamba yang saleh dan taat terhadap perintah Allah dan yang menaati Amiral Mukminin, Hasan as dan Husain as.”

Abu Fadhl Abbas dan Peristiwa Asyura

Pembawa Air, pada 7 Muharram, ketika Ubaidillah memerintahkan kepada Umar bin Sa’ad untuk mempersempit ruang gerak pasukan Imam Husain as dan tidak memberikan air Sungai Eufrat kepada pasukannya, Imam Husain as memanggil Hadhrat Abu Fadhil dan menyertakan 30 personel penunggang kuda dan 20 personel berjalan kaki bersamanya untuk memenuhi kantong air dan kemudian untuk membawanya ke perkemahan. Hadhrat Abbas dengan pertolongan pasukan yang menyertainya mampu menembus kepungan musuh dan membawa air ke perkemahan. Pada hari Asyura, Hadhrat Abbas atas perintah Imam Husain as juga pergi ke bibir sungai Eufrat untuk mendapatkan air, namun setelah ia memenuhi kantong airnya, dalam perjalanan pulang menuju kemah, pasukan musuh memanah kantong air itu dan memanah Abul Fadhl Abbas as sehingga ia pun mencapai syahadah.

Utusan Sang Imam, malam Asyura atau Tasu’a Umar bin Sa’ad berdiri dihadapan pasukannya dan berteriak lantang: “Hai tentara-tentara Tuhan! Naiklah ke kuda-kuda kalian dan dapatkan kabar gembira dari surga. Demi mendengar seruan musuh, Imam Husain as meminta Abbas untuk berusaha semaksimal bernegosiasi dengan pihak musuh supaya pihak musuh menunda penyerangan sampai besok harinya. Hadhrat Abbas as pergi ke kemah musuh dan berhasil menunda waktu peperangan. Dan masih banyak peran penting lain yang Abas lakukan pada peristiwa Asyura, seperti pelindung perkemahan, pembawa panji Karbala, menggali sumur untuk memperoleh air, pertarungan gagah berani yang berhasil menerobos kepungan musuh.

Mereguk Cawan Syahadah

Ahli sejarah menuliskan beberapa riwayat yang berbeda terkait dengan syahidnya Abul Fadhil Abbas as. Kharazmi berkata: “Ia pergi ke medan perang sambil meneriakkan yel-yel tentang peperangan, ia berperang melawan musuh. Setelah melukai dan membunuh sejumlah musuh, akhirnya ia gugur syahid. Kemudian Imam Husain datang menghampirinya dan berucap, “Kini tulang punggungku telah patah, daya upayaku sudah menyurut.” Ibnu Nama dan Ibnu Thawus menjelaskan, karena Imam Husain as didera oleh rasa haus yang mencekik, Imam Husain as bersama saudaranya Abbas pergi ke tepi sungai Eufrat, namun pihak musuh memutus hubungan mereka sehingga Baginda Abbas gugur sebagai syahid.

Ibnu Syahr Asyub berkenaan dengan kesyahidan Abu Fadhil Abbas as berkata, “Abbas, pembawa air, Purnama Bani Hasyim, pembawa panji Karbala yang merupakan anak terbesar dari saudara-saudaranya, pergi keluar dari medan peperangan demi mendapatkan air kemudian musuh menyerangnya. Tak lama setelah itu ia terlihat sangat lemah. Pada saat itu Hakim bin Thufail al-Thai al-Sinbisi yang saat itu berada di belakang pohon menyerangnya dan memukulnya hingga mengenai tangan kanannya. Tak lama setelah itu, pukulan itu pun mengenai tangan kirinya. Ketika itu, Abbas bersenandung pelan: “Wahai jiwa janganlah takut kepada orang-orang kafir dan berikan kabar gembira akan rahmat Tuhan yang Maha besar dan kebersamaannya dengan Nabi Muhammad saw. Mereka dengan zalim telah memotong tangan kiriku. Tuhanku akan melemparkan mereka ke api neraka yang menyala-nyala.” Kemudian orang yang terlaknat itu mengayunkan pedang secara vertikal ke arah kepala Hadhrat Abbas sehingga ia syahid. Abbas adalah syahid terakhir dari pengikut setia Imam Husain as dan setelah ia adalah seorang bocah kecil dari keluarga Abi Thalib yang tidak mempunyai senjata. Usia Abbas ketika ia syahid kira-kira 34 tahun.

Read 458 times