Mengapa Mereka Dilarang Berlebaran di Kampungnya?

Rate this item
(0 votes)

Setelah dua tahun di pengungsian, nasib para pengungsi Syiah tidak berubah. Bahkan, harapan mereka untuk  berlebaran tahun ini di kampung halaman pupus sudah.

 

Koordinator pengungsi Syiah Sampang, Ikli Al Milal mengirimkan pesan kepada YLBHU yang berisi larangan dari pemerintah daerah Jatim kepada pengungsi Rusunawa untuk pulang ke kampung halamannya.

 

"Posko BPBD provinsi Jawa Timur tidak memberikan ijin kepada warga pengungsi pulang ke Sampang untuk merayakan hari raya Idul Fitri demi keamanan.Terima kasih," tulis sebuah edaran pengumuman yang dikeluarkan petugas posko BPBD Provinsi Jatim, seperti dikirim Iklil.

 

Hingar bingar pesta demokrasi sudah usai, tapi politik dan hidup sehari-hari tetap sama. Nasib pengungsi Sampang hanya catatan kaki dari begitu banyak persoalan ketertindasan publik dan ketidakbecusan politik menyelematkan hidup bersama.

 

Pesta demokrasi sudah usai, debat capres soal hukum dan HAM semakin maju dan nyata. Banyak kebajikan ditawarkan capres kepada publik. Presiden SBY pun terlihat semakin arif dan banyak mengingatkan para capres tentang kepentingan rakyat menjelang masa lengsernya. Tapi dalam dunia yang lebih nyata orang tertindas tetap saja jadi tontonan seperti nasib pengungsi Syiah Sampang.

 

Pengungsi Syiah Sampang sudah mengungsi dan terusir dari kampungnya sejak Agustus 2012. Artinya hampir genap dua tahun lamanya mereka terusir dan menjadi pengungsi. Di GOR Sampang dan kini di Rusunawa, Jemundo, Sidoarjo.

 

Menurut Hertasning Ichlas selaku koordinator YLBHU, sejumlah inisiatif bagus dari masyarakat untuk memulihkan konflik sudah dilakukan. Rakyat dengan rakyat sudah berdamai bahkan mengikatkan diri dalam skema "perdamaian rakyat".

Tak cukup hanya itu, kolaborasi parapihak menawarkan resolusi konflik dengan program bedah rumah dan program orientasi pengungsi dalam asuhan Kiai Noer Iskandar SQ sudah disepakati para kiai, pengungsi dan warga di kampung.

 

"Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Kiai Noer Iskandar SQ, sejumlah kiai kunci dan pihak pendamping pengungsi sudah bersepakat dan mengikatkan diri dalam tanda tangan. Inilah salah satu terobosan paling krusial dari parapihak memunculkan resolusi konflik berbasis hak, power dan kepentingan, ujar Hertasning seperti dilansir situs ABI.

 

Tapi, ketika harus melewati otoritas Gubernur Soekarwo dan Presiden SBY, keduanya mengelak dan menepis setiap inisiatif seperti tak juga ingin menyelesaikan masalah kemanusiaan yang menjadi pekerjaan rumahnya.

 

Pengungsi secara pasti benar-benar mengalami relokasi tanpa harus disebut sebagai relokasi. Damai dan keinginan rukun warga di kampung kalah oleh keinginan pemerintah yang selalu menganggap dan mengatakan kondisi masih tidak aman dan karenanya pengungsi berkali-kali dilarang kembali ke kampungnya.

 

Kita tidak pernah tahu persis bagaimana, kapan dan dengan cara apa sebenarnya pemerintah berusaha menyelesaikan masalah dan menciptakan kondisi aman. Apa sebenarnya rencana pemerintah untuk mengembalikan pengungsi ke kampung halamannya agar kembali hidup rukun bersama warga yang juga kerabat mereka, dan jelas-jelas merindukan kepulangan mereka.

 

Jika pemerintah sebenarnya tak tahu dan tak bisa menyelesaikan masalah, atas dasar moral apa pemerintah melarang dan tak menggubris setiap inisiatif masyarakat sipil, pengungsi, dan warga kampung untuk mencoba menyelesaikan masalah mereka sendiri? Apakah karena penderitaan 300-an warga pengungsi Syiah hanya statistik dari sebuah kaum minoritas yang tersesat?

 

Padahal hingga kini tudingan sesat itu tidak pernah terbukti.Hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama baru-baru ini menyatakan tidak ada yang salah dengan paham Syiah yang dianut warga Sampang, Madura. Menurut Peneliti Balitbang Kementerian Agama Wahid Sugiarto, hal ini juga sesuai dengan Deklarasi Amman yang menyatakan ajaran Syiah sah.

 

Dari hasil penelitian tersebut, kata Wahid, Balitbang mengeluarkan rekomendasi agar warga Syiah Sampang bisa diterima. Selain itu, rekomendasi juga menyatakan perlu adanya proses penyadaran bagi para ulama di Sampang untuk melaksanakan empat pilar kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya sikap toleransi.

 

Lebih dari itu, negara memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warganya dan memperlakukan mereka sama di hadapan hukum. Jadi apa lagi alasan mereka dilarang pulang ke kampung halamannya sendiri di saat upaya rekonsiliasi sudah dilakukan berbagai pihak dan sebagian besar masyarakat menerimanya. Apakah negara lebih memilih mendengarkan suara segelintir kaum intoleran ?

Read 1735 times