Boikot Israel, Perlawanan Tanpa Mesiu

Rate this item
(0 votes)

Dina Y. Sulaeman*

Mengapa Israel harus diboikot? Karena, rezim Zionis yang berkuasa saat ini adalah rezim telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Sejak berdiri tahun 1948, Rezim Zionis terus melakukan pembunuhan, pengusiran, penangkapan, dan diskriminasi terhadap warga Arab-Palestina. Mereka juga melakukan merebut lahan, menghancurkan rumah dan kebun-kebun zaitun milik warga Palestina. Meskipun sejumlah negara tetap mengupayakan agar ada perdamaian antara Israel dan Palestina, namun selama penguasa di Israel adalah Rezim Zionis, perdamaian itu tidak akan terwujud.

Karena itu, Rezim Zionis inilah yang harus ditumbangkan. Cara non-violence (tanpa kekerasan) untuk menumbangkan sebuah rezim adalah dengan memboikotnya secara ekonomi. Hal inilah yang dulu dilakukan komunitas internasional saat menumbangkan sebuah rezim brutal di Afrika Selatan, yaitu Rezim Apartheid. Setelah rezim rasis ini tumbang, dibentuk pemerintahan baru yang memperlakukan warga kulit hitam dan kulit putih Afsel setara, tanpa diskriminasi.

Sejak tahun 1973, sejumlah bank asing mempersulit pencairan kredit kepada Afsel; sejumlah perusahaan menutup kantornya. Pada pertengahan tahun 1980-an, negara-negara besar dunia, baik Eropa maupun AS, serta Jepang, secara resmi memboikot Afsel. Tepat tahun 1990, rezim Apartheid pun tumbang dan Nelson Mandela terpilih sebagai presiden.

Apakah prosesnya terjadi begitu saja? Tentu saja tidak. Semua dimulai dari gerakan masyarakat madani. Mereka sejak tahun 1960-an telah berusaha mendorong organisasi-organisasi internasional, pemerintah negara-negara, untuk memboikot Rezim Apartheid. Di kampus-kampus Amerika Serikat, gerakan anti Apartheid mulai gencar pada tahun 1977. Pada tahun 1978, gerakan mahasiswa ini berhasil mendorong Universitas Michigan State, Universitas Columbia dan Universitas Wisconsin-Madison untuk melakukan divestasi (penarikan investasi) dari Afrika Selatan. Para mahasiswa berdemo di bawah gerakan ÔÇ£Komite Melawan Investasi di Afrika SelatanÔÇØ dan semakin meluas ke berbagai penjuru AS. Akhirnya, semakin banyak universitas di AS yang melakukan divestasi atau pemutusan hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan Afsel.

Lalu, bagaimana dengan upaya pemboikotan terhadap Israel? Ada berbagai jenis gerakan boikot yang dilakukan komunitas internasional, meskipun belum menjadi gerakan masif. Di antaranya adalah gerakan Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) dan Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI).

Kalangan akademis pun melakukan aksi boikot ini. Misalnya, sebuah badan akademis bergengsi Amerika Serikat, American Studies Association (ASA), pada 2013 telah bergabung dengan gerakan boikot Israel. ASA memiliki lebih dari 5.000 anggota. Dalam pernyataannya, Senin, 16 Desember 2013, ASA menyebut aksi ini merupakan akibat dari ÔÇ£pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dan resolusi PBBÔÇØ.

Secara perorangan, tokoh-tokoh terkenal pun berani melakukan aksi boikot. Professor Stephen Hawking misalnya, pada bulan Mei 2013 menunjukkan dukungannya pada Palestina dengan memboikot konferensi akademis di Israel. Hawking seharusnya hadir dalam konferensi yang diketuai Shimon Peres itu, namun dia menyatakan tidak akan hadir, sebagai bentuk protes atas perlakukan Israel terhadap warga Palestina.

Bahkan gereja Inggris pun melakukan boikot dengan cara menarik sahamnya dari perusahaan Caterpillar karena terbukti produk Caterpillar (buldozer) berperan besar dalam penghancuran rumah-rumah bangsa Palestina. Human Rights Watch dan Amnesty Intl pun memboikot Caterpillar.

Warga biasa, seperti kita, juga bisa berkontribusi dengan melakukan pemilihan produk yang kita beli. Sebuah langkah kecil dari kita, ternyata bisa berdampak besar bagi ekonomi Israel. Israel mengalami kerugian sedikitnya 8 miliar dollar AS tahun 2013 akibat boikot tersebut. Aksi boikot terbesar dilakukan negara-negara Eropa, disusul Amerika Serikat. Pada Januari tahun ini saja, Israel sudah merugi 150 juta dollar AS akibat aksi boikot itu.Ekspor komoditas dari area permukiman Yahudi ke mancanegara menurun hingga 20 persen sepanjang tahun 2013. (Kompas, 24/2/2014)

Siapakah yang Perlu Diboikot?

Yang perlu kita boikot adalah produk perusahaan-perusahaan yang sebagian labanya disalurkan untuk Israel, atau jelas-jelas berdiri di Israel. Daftarnya ada di sini. Patokannya adalah, kemana uang perusahaan itu mengalir. Bisa jadi, perusahaan tidak berdiri di Israel, namun keuntungannya dialirkan ke Israel. Gilad Atzmon, dalam artikelnya ÔÇ£Israel Economy For BeginnersÔÇØ menjelaskan hal bahwa sesungguhnya produksi Israel sangat sedikit, dan keuangannya amat bergantung pada sedekah dari pengusaha-pengusaha Yahudi-Zionis di seluruh dunia.

Mungkin, ada yang berargumen: ketika perusahaan itu beroperasi di Indonesia dan mempekerjakan orang Indonesia, bukankah dengan boikot, kita sendiri yang akan rugi? Dalam menanggapi hal ini, hitung-hitungan yang dilakukan haruslah global, bukan parsial. Apakah benar, memboikot perusahaan burger tertentu akan merugikan Indonesia secara umum, atau hanya si pemilik saham perusahaan itu saja? Bukankah justru akan memberi peluang kepada anak bangsa untuk membuat perusahaan burger serupa, dan keuntungannya 100% dimanfaatkan bangsa Indonesia (tidak disumbangkan ke Israel)? John Pilger dalam filmnya The New Rulers of The World memperlihatkan betapa perusahaan-perusahaan transnasional (sebagian sahamnya dikuasai pengusaha Zionis) yang beroperasi di Indonesia (dan seolah memberikan keuntungan kepada Indonesia), justru memperlakukan buruh-buruh di Indonesia bagaikan budak.

Lalu, bagaimana bila kita tidak bisa memboikot seluruh produk perusahaan yang ada dalam daftar boikot itu? Ibarat ujian, bila tak mampu menjawab seluruh soal, jawablah yang bisa dijawab. Minimalnya, ada nilai yang diraih, daripada nol.

Intinya, kita mulai dari diri sendiri, kita mulai dari sekarang. Semoga lambat laun menjadi gerakan global yang meruntuhkan Rezim Zionis.

*mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Unpad

Read 4220 times