Kegagalan Konferensi Kesepakatan Abad

Rate this item
(0 votes)
Kegagalan Konferensi Kesepakatan Abad

Para peserta konferensi Bahrain dihadiri oleh dua kelompok aktor yaitu pemerintah dan non-pemerintah. Amerika Serikat, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Mesir merupakan aktor pemerintah yang hadir dalam pertemuan Manama, sementara negara-negara besar dunia memilih absen.

Perwakilan rezim Zionis Israel juga memutuskan absen meski sebelumnya mereka telah menyatakan akan hadir di Manama. Tidak satu pun dari faksi-faksi Palestina mengikuti pertemuan tersebut, dan mereka juga menilai partisipasi negara-negara Arab di Manama sebagai pengkhianatan terhadap Palestina.

Negara-negara seperti Mesir dan Yordania hanya mengirim deputi menteri ke pertemuan Bahrain.

Para aktor non-pemerintah yang menghadiri konferensi Manama terdiri dari mantan pejabat beberapa negara dan pejabat dari beberapa lembaga internasional termasuk direktur Dana Moneter Internasional (IMF).

Level partisipasi yang rendah merupakan salah satu bukti penting yang mengindikasikan kegagalan konferensi, yang digagas oleh Presiden Donald Trump itu.

Pertemuan ini diklaim untuk menggalang dana bagi investasi di Palestina dan untuk pengungsi Palestina yang tinggal di Yordania, Mesir, dan Lebanon. Hanya beberapa hari sebelum konferensi, pemerintah AS mengumumkan insentif ekonomi senilai 50 miliar dolar untuk Palestina.

Insentif ini bertujuan untuk menyuap rakyat dan para pejabat Palestina, yang mencakup 179 proyek infrastruktur dan perdagangan. Dana 28 miliar dolar akan diinvestasikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, 9 miliar dolar untuk warga Palestina di Mesir, 7,5 miliar dolar di Yordania, dan 6 miliar dolar di Lebanon.

Gedung Putih dalam laporan setebal 40 halaman mengklaim investasi pemerintah dan swasta di Palestina akan menciptakan setidaknya satu juta lapangan kerja. Dana 50 miliar dolar ini akan diinvestasikan selama 10 tahun dan diprediksi akan melipatgandakan Produk Domestik Bruto (PDB) Palestina.

Dengan kata lain, AS melalui proposal ini akan merampas wilayah geografi dan urusan keamanan dari Palestina, dan sebagai gantinya menjerat mereka dengan janji-janji investasi.

Selama dua hari (25-26 Juni 2019) konferensi Manama, tidak jelas seberapa besar kepentingan ekonomi yang sudah terpenuhi dari target 50 miliar dolar itu. Tetapi, tujuan ekonomi yang ingin diraih pada pertemuan tersebut tampaknya tidak tercapai.

Warga Palestina di Tepi Barat menggelar protes untuk menentang konferensi Kesepakatan Abad di Bahrain.
Tujuan kedua konferensi Manama terkait dengan agenda politik. Salah satu tujuan utama pertemuan ini adalah menggunakan insentif ekonomi untuk meraih tujuan politik. Para pakar hubungan internasional seperti David Mitrany, percaya bahwa hubungan negara-negara di bidang ekonomi akan membuka ruang untuk kerja sama mereka di bidang politik, keamanan, dan militer.

Dengan kata lain, kerja sama antar-negara di bidang ekonomi dapat diperluas ke kerja sama di ranah yang lebih penting seperti politik dan keamanan. Pemerintah AS tampaknya mengejar tujuan seperti itu dalam hubungan Palestina dengan rezim Zionis.

Penasihat Gedung Putih yang juga menantu Presiden AS, Jared Kushner merupakan salah satu penggagas dan pendukung utama prakarsa Kesepakatan Abad. Dia percaya rakyat Palestina bisa diseret ke meja perundingan melalui iming-iming uang.

Namun, tujuan ini tidak tercapai di Manama, karena semua faksi Palestina termasuk pemerintah Otorita Ramallah, tidak menghadiri pertemuan tersebut dan bahkan menyerukan aksi boikot.

Absennya faksi-faksi Palestina mendorong rezim Zionis menarik diri dari konferensi Manama. Israel memilih absen jika pihak kedua (faksi-faksi Palestina) dalam transaksi itu juga tidak hadir. Dengan demikian, konferensi Manama tidak berhasil dalam mencapai tujuan politiknya.

Mantan kepala kantor kepentingan Iran di Mesir, Mojtaba Amani mengatakan, "Salah satu sinyal kegagalan konferensi Manama adalah bahwa sebelum ia diselenggarakan, nama pertemuan ini telah bergeser dari Kesepakatan Abad ke kesempatan abad."

Konferensi Manama praktisnya memperlihatkan bahwa AS tidak memiliki kredibilitas di tengah faksi-faksi Palestina dan negara-negara kawasan. Di satu sisi, Palestina memandang AS sebagai aktor yang tidak netral dalam konflik dengan Israel. Di sisi lain, sebagian besar negara di kawasan telah memboikot konferensi Manama, karena mereka yakin pertemuan ini sudah mati sebelum dilahirkan.

Pemerintah AS menekankan masalah investasi di Jalur Gaza ketika wilayah itu telah berada di bawah blokade penuh rezim Zionis sejak 2006 sampai sekarang. Pada dasarnya, jika AS benar-benar ingin menjamin kepentingan ekonomi Palestina melalui Kesepakatan Abad ini, mereka bisa membujuk Israel mengakhiri blokade Gaza, daripada membangun pencitraan di Manama.

Ketua Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA), Matthias Schmale menyebut proposal Kesepakatan Abad sebagai naif dan mengatakan, "Para pemimpin Palestina merasa tidak diperlakukan sebagai mitra pada level yang setara, karena Washington membuat keputusan sepihak dalam hal ini."

Para demonstran membakar bendera rezim Zionis di kamp pengungsi Ain al-Hilweh Palestina di Lebanon Selatan.
Seorang pengamat AS, Stephen Walt mempertanyakan kredibilitas dan kejujuran Washington dalam prakarsa Kesepakatan Abad.

"Mereka yang berpendapat bahwa prakarsa Jared Kushner tidak akan efektif, tidak menyadari masalah utama isu ini. Prakarsa ini sengaja dibuat tidak efektif. Tentu saja jika maksud dari efektivitas itu adalah perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Tujuannya hanya untuk membeli waktu, menyingkirkan debu, dan akhirnya mempermudah kontrol permanen Israel atas Tepi Barat," ujarnya.

Pertemuan Manama telah menyingkap perpecahan antara rakyat dan pemerintah di beberapa negara Arab. Orang-orang Arab di Yordania, Mesir, dan Bahrain menentang konferensi Manama lewat berbagai aksi protes dan mereka meminta pemerintahannya untuk tidak mengikuti pertemuan tersebut.

Namun, rezim Al Khalifa bersedia menjadi tuan rumah pertemuan itu dan perwakilan dari Yordania dan Mesir juga menghadirinya meskipun pada level yang lebih rendah. Sebenarnya, konferensi Manama menunjukkan bahwa penguasa beberapa negara Arab tidak memiliki kredibilitas dan wibawa di tengah rakyatnya.

Rakyat Bahrain sendiri menganggap pertemuan itu sebagai hal memalukan dan konspirasi terhadap Palestina. Mereka menyatakan sikap rezim Al Khalifa tidak mewakili pandangan seluruh rakyat Bahrain dan rakyat akan tetap membela Palestina dalam kondisi sesulit apapun.

Konferensi Manama juga ditentang oleh banyak tokoh Arab termasuk, Ketua Gerakan Nasional al-Hikmah Irak, Sayid Ammar Hakim dan pemimpin Syiah Bahrain Syeikh Issa Qassim.

Ammar Hakim mengatakan, "Pertemuan Bahrain lahir dalam keadaan mati, karena rezim Zionis terjebak dalam persoalan internal yang disebabkan oleh kegagalan membentuk kabinet, dan karena itu tidak memiliki kabinet untuk bernegosiasi dengan negara-negara Arab peserta pertemuan itu."

Syeikh Issa Qassim menuturkan, "Kesepakatan Abad dirancang untuk menjual dan membaiat; berbaiat dengan penjajah. Apakah kaum Muslim akan menerima ini? Rakyat Palestina tidak akan pernah mau menyerahkan tanah airnya kepada Donald Trump dan Zionis dengan imbalan beberapa miliar dolar. Kesepakatan ini hanya untuk menjual harga diri dan kemuliaan kita."

Read 923 times