Islamophobia di Barat (2)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (2)

 

Fenomena terorisme di Eropa sedang mengalami perubahan pola baik dari segi pelaku teror maupun korban, berbeda dengan tindakan terorisme sebelum ini. Dalam rentang waktu dua minggu, berita tentang serangan terhadap warga Muslim di Inggris dan Perancis menghiasi media-media dunia dan kemudian hilang begitu saja.

Berita pertama terkait dengan serangan ke sejumlah jamaah shalat di sebuah masjid di London, yang menewaskan satu orang dan menciderai delapan lainnya. Persis satu pekan setelah itu, sebuah mobil menabrak kerumunan jamaah shalat Idul Fitri di kota Newcastle, London. Enam orang, termasuk tiga anak-anak terluka dalam serangan ini.

Di Perancis, seorang pria ditahan oleh kepolisian Perancis setelah mencoba menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan orang yang berada di depan Masjid Creteil di Paris. Serangan ini gagal karena tempat pejalan kaki di depan masjid lebih tinggi dari permukaan jalan raya.

Seorang saksi mata menuturkan, "Kami melihat mobil tersebut mondar-mandir di sekitar masjid hingga tiga kali, dan tiba-tiba melaju sangat cepat. Jelas sekali ini sebuah serangan yang menyasar pejalan kaki." Namun, aksi pria tersebut gagal dan mobilnya terhenti setelah membentur kendaraan lain.

Anehnya, para politisi dan media-media di Eropa mengeluarkan reaksi yang biasa terhadap serangan tersebut, dan tidak ada yang berbicara tentang teroris atau serangan terorisme.

Media-media Barat tidak mengorek latar belakang agama pelaku serangan. Berita tentang serangan itu tidak mendapat sorotan yang proporsional dan terlupakan begitu saja. Para pejabat keamanan Inggris dan Perancis juga meragukan adanya motif teror dalam serangan tersebut.

Padahal, jika para korbannya non-Muslim dan pelakunya menyandang nama Islami atau berasal dari salah satu negara Muslim, maka dinas-dinas intelijen dan keamanan serta media-media Barat akan menyajikan informasi secara bias.

Terorisme muncul dari ideologi dan pemikiran radikal yang disebarkan oleh individu atau kelompok tertentu. Radikalisme tidak terbatas pada agama atau mazhab tertentu, dan agama mana pun khususnya agama Samawi tidak bisa dianggap sebagai penyebar kekerasan dan radikalisme.

Namun, Eropa dan masyarakat Barat berusaha mengesankan adanya hubungan langsung antara Islam dan terorisme. Kebanyakan politisi dan media-media Barat memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor terorisme.

Menurut perspektif mereka, semua individu Muslim adalah teroris kecuali terbukti sebaliknya. Bahkan jika pelaku teror penduduk asli Eropa, tidak ada seorang pun yang akan menyampaikan permintaan maaf atau meralat tuduhannya terhadap Islam dan Muslim.

Serangan propaganda anti-Islam dan Muslim secara praktis sudah melakat di benak masyarakat Barat. Serangan ini bertujuan menyebarkan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim.

Negara-negara Barat kemudian menerapkan pembatasan ketat bagi warga Muslim di Eropa dengan alasan membenarkan perang kontra-terorisme di wilayah Timur Tengah. Kebijakan Islamophobia ini mencakup masalah pakaian Islami kaum Muslimah atau pembatasan pengajaran bahasa Arab.

Kebijakan Islamophobia di Barat juga memunculkan sebuah dampak lain yaitu maraknya praktik diskriminasi rasial dan agama serta meningkatnya serangan rasis terhadap warga Muslim.

Negara-negara Eropa menghadapi model baru terorisme yaitu terorisme rasialis. Namun mereka mengabaikan fakta ini dan menganggapnya tidak penting. Para teroris rasialis Eropa berusaha meniru gaya teroris Daesh dan Al Qaeda untuk menyerang Muslim.

Protes anti-rasis di selatan London. (Dok)
Di masa lalu, kelompok-kelompok rasis Eropa hanya melakukan aksi protes anti-Muslim atau menyerang masjid dan pemakaman warga Muslim dengan slogan-slogan rasis. Tetapi, para teroris rasialis kini meniru gaya teroris takfiri dalam menargetkan warga Muslim.

Pemerintah-pemerintah Eropa tidak seharusnya mengabaikan fenomena ini. Persentase warga Muslim di negara-negara Eropa terbilang besar dan Inggris saja, lebih dari tiga juta Muslim tinggal di negara itu. Populasi Muslim terbesar tinggal di Perancis dengan jumlah hampir lima juta orang. Warga Muslim dalam jumlah yang signifikan juga terbesar di negara-negara lain Eropa.

Populasi Muslim Eropa diproyeksikan melebihi 58 juta orang pada 2030. Muslim saat ini mencapai sekitar 6 persen dari total populasi Eropa. Pada 2030, jumlah Muslim diperkirakan mencapai 8 persen dari populasi Eropa.

Benua Eropa – yang berbatasan dengan wilayah berpenduduk Muslim di Timur Tengah – tidak bisa mengabaikan pengaruh Islam dan warga Muslim di wilayah Eropa. Perlu dicatat bahwa meningkatnya serangan teroris rasialis terhadap Muslim akan menciptakan persoalan keamanan baru bagi pemerintah Eropa.

Perilaku rasis dapat memicu penyebaran kebencian di antara para pemeluk agama. Untuk itu, negara-negara Eropa perlu memperjelas definisinya tentang terorisme dan mengakhiri standar ganda.

Pembagian terorisme dalam kategori "baik" dan "buruk" sudah tidak efisien lagi dari segi politik dan propaganda, dan negara-negara Eropa sendiri menghadapi ancaman terorisme yang lahir dari dalam. Eropa sedang menghadapi ancaman terorisme tidak dari luar geografinya, tetapi dari dalam perbatasannya.

Perang kontra-terorisme tidak akan berhasil jika hanya memperketat keamanan dan meningkatkan kegiatan intelijen. Eropa perlu menunjukkan tekad seriusnya untuk menghapus terorisme dalam segala bentuknya.

Salah satu langkah ini bisa dilakukan dengan memperbaiki hubungan Eropa dengan negara-negara, yang mempromosikan paham radikal dan ekstrim di wilayah Timur Tengah dan dunia.

Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn menyerukan peninjauan ulang hubungan Inggris dengan Arab Saudi dan menghentikan penjualan senjata ke negara itu. Namun, perlu dilihat apakah ia akan tetap konsisten jika suatu saat memimpin Inggris atau bertindakan seperti Perdana Menteri Theresa May, yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dan politik dalam penjualan senjata ke Arab Saudi daripada kepentingan lain.

Read 566 times