Islamophobia di Barat (14)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (14)

 

Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa tidak mengenal batasan usia dan gender, siapa saja akan menjadi sasaran serangan rasial dan perlakuan diskriminatif jika ia seorang Muslim atau dari keluarga Muslim.

Praktik Islamophobia telah menjalar ke Swedia ketika sebuah sekolah TK Muslim menjadi target serangan rasis. Kepala sekolah TK Sinbad (Forskolan Sinbad) di kota Sodertalje, Osman Adem mengatakan, "Kaca-kaca jendela TK ini sudah sering pecah karena lemparan batu. Namun, ini baru pertama kali kalimat rasis terhadap Islam dan Muslim ditulis di dinding-dinding sekolah."

"Serangan terhadap kegiatan yang terkait dengan pendidikan anak-anak membuat saya sedih. Kaca jendela tempat anak-anak belajar kadang sudah pecah. Kalimat anti-Islam dan Muslim ditulis di dinding sekolah seperti, 'pergilah, tinggalkan tempat ini,'" tambahnya.

Osman Adem menjelaskan bahwa anak-anak, orang tua, dan guru merasa takut dengan serangan seperti itu. "Kami bahkan telah membuat laporan kepada polisi sejak dua tahun lalu, tetapi tidak ada perubahan sampai sekarang dan ada kemungkinan TK Sinbad akan tutup," ungkapnya.

Sejujurnya, ancaman apa yang bisa ditimbulkan bagi Eropa oleh sebuah sekolah TK? Padahal, sudah jelas bagi semua bahwa serangan teroris di Eropa tidak ada kaitannya dengan Islam dan Muslim.

Para teroris melakukan kejahatan dan teror di Eropa dan negara-negara lain di dunia dengan menggunakan nama Islam. Aksi ini sejalan dengan tujuan dan kebijakan pemerintah-pemerintah Barat. Hari ini para ekstremis Budha Myanmar melakukan kejahatan terhadap warga Muslim, dan kadang lebih sadis dari yang dilakukan para teroris takfiri.

Meski mereka melakukan kejahatan keji terhadap Muslim Rohingya, namun tidak ada yang mempertanyakan ajaran Budha, dan komunitas Budha di dunia juga tidak akan menerima serangan rasis atau perlakuan diskriminatif karena kejahatan yang dilakukan komunitas mereka di Myanmar.

Pada dasarnya, Islamophobia dan sentimen anti-Muslim adalah sebuah skenario politik jangka panjang Zionis-Amerika untuk merusak citra Islam, yang cinta damai dan penyeru keadilan. Kubu anti-Islam di Barat bisa melakukan kekerasan apapun terhadap individu Muslim dan kemudian menyalahkan ajaran Islam atas aksinya itu.

Al-Quran, hadis Rasulullah Saw, para ulama, dan kaum Muslim secara tegas menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan Daesh dan kelompok teroris takfiri lainnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam.

Barat langsung mengangkat isu terorisme jika sebuah insiden yang terjadi di wilayah mereka melibatkan seorang Muslim. Hal ini terlihat jelas dari sikap Barat dalam mereaksi penembakan mengerikan di Las Vegas. Jika pelakunya seorang Muslim, kita tidak tahu apa dilakukan Donald Trump dan kubu anti-Islam di Barat terhadap Islam dan masyarakat Muslim.

Seorang penulis Barat, Piers Morgan dalam sebuah artikel di Daily Mail Inggris, menulis, "Jika penembak ini adalah seorang Muslim, Presiden Trump akan mencapnya sebagai serangan teroris dan memanfaatkannya untuk menjustifikasi larangan perjalanannya (travel ban), dan hampir pasti memperluas larangan tersebut. Undang-undang baru yang lebih keras juga akan segera diperkenalkan untuk mencegah peristiwa serupa."

"Dia adalah pria kulit putih Amerika dengan 'gangguan mental', di mana di benaknya ingin melakukan pembunuhan dengan alasan yang mungkin kita tidak pernah tahu. Jadi, Trump akan meletakkan jarinya di telinganya dan berpura-pura itu tidak pernah terjadi sehingga dia tidak mengecewakan para tuanya di Asosiasi Senapan Nasional (NRA)," tambahnya.

Sementara itu, kolumnis Thomas Friedman dalam sebuah artikel dengan tema "If Only Stephen Paddock Were a Muslim" di The New York Times menulis, "Jika saja Stephen Paddock adalah seorang Muslim. Jika saja dia meneriakkan "Allahu Akbar" sebelum dia menembaki semua penonton konser di Las Vegas. Jika saja dia anggota Daesh. Jika saja kita memiliki foto dia berpose dengan sebuah al-Quran di satu tangan dan senapan semi otomatis di tangan lain. Jika semua itu yang terjadi, maka tidak ada yang akan memberitahu kepada kita agar tidak mencemarkan para korban dan mempolitisasi pembunuhan massal Paddock dengan membicarakan tentang upaya pencegahan."

"Tidak, tidak, tidak. Ketika itu kita tahu apa yang akan kita lakukan. Pemerintah akan menjadwalkan dengar pendapat langsung di Kongres tentang peristiwa terorisme terburuk di dunia sejak 11 September. Jika pelaku pembantaian di Las Vegas adalah Muslim, Donald Trump akan berkicau di Twitter setiap jam.' Sudah kubilang,' seperti yang dia lakukan beberapa menit setiap kali ada serangan teror di Eropa," tulis Thomas Friedman.

Menurutnya, Trump akan terus mempolitisasi hal itu. Lalu akan ada seruan segera untuk membentuk komisi investigas untuk mempertimbangkan undang-undang baru yang harus disiapkan guna memastikan hal ini tidak terjadi lagi. Kemudian, kita akan mempertimbangkan semua opsi yang akan mempersulit negara asal pelaku teror.

"Namun, apa jadinya bila pelaku teror berasal dari Amerika sendiri? Apa yang terjadi ketika si pembunuh hanyalah orang Amerika yang terganggu yang dipersenjatai dengan senjata militer, di mana ia membelinya secara legal atau memperolehnya dengan mudah karena undang-undang yang gila?" kritik Friedman.

"Kita tahu apa yang akan terjadi: Presiden dan Partai Republik mulai berusaha keras untuk memastikan bahwa tidak ada yang akan terjadi. Mereka kemudian menegaskan bahwa pembantaian akibat kebebasan kepemilikan senjata tidak boleh dipolitisasi dengan meminta seseorang, terutama mereka sendiri, untuk memikirkan kembali penentangan terhadap undang-undang senjata," tutur Friedman.

Penulis terkenal ini kemudian mengkritik sikap cuek pemerintah AS dan Kongres yang tidak memperketat undang-undang kepemilikan senjata, yang telah menyebabkan banyak orang yang tidak bersalah terbunuh. Friedman juga menyoroti Paddock yang memiliki gudang senjata, termasuk 42 senjata api, 23 di kamar hotelnya dan 19 di rumahnya, serta ribuan amunisi dan beberapa perangkat elektronik. Pemerintah AS tidak tertarik untuk mengubah undang-undang kepemilikan senjata.

"Tidak pernah ada waktu untuk membahas langkah-langkah serius untuk mengurangi kekerasan dengan senjata," ungkap Friedman.

Namun, apa yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar tidak begitu mendapat sorotan media-media Barat. Data menunjukkan bahwa Muslim adalah korban terbesar pembantaian dan genosida di Eropa, Afrika, dan Asia selama tiga dekade terakhir, dan mereka juga menjadi tertuduh pertama dalam setiap insiden teror di negara-negara Barat.

Warga Muslim menjadi korban terbesar kejahatan selama tiga dekade lalu dan sekaligus agama mereka dituduh sebagai penyebar kekerasan dan ekstremisme. Lalu mengapa media-media Barat bungkam terhadap pembantaian warga Muslim?

Sebaliknya, kematian seseorang di Barat oleh pelaku dengan nama Muslim langsung mendapat sorotan luas di dunia. Kasus ini langsung dikaitkan dengan seluruh kaum Muslim dan ajaran Islam.

Dapat dikatakan bahwa Islamophobia dan sentimen anti-Muslim adalah sebuah strategi jangka panjang untuk merusak citrak Islam dan memajukan kepentingan imperialisme Barat di negara-negara Muslim. 

Read 571 times