Kebebasan Berpendapat Ala Facebook, dan Sambutan Israel

Rate this item
(0 votes)
Kebebasan Berpendapat Ala Facebook, dan Sambutan Israel

 

Platform media sosial Facebook ternyata tidak hanya melarang konten-konten berbau penentangan terhadap Holocaust, baru-baru ini bahkan mengarahkan akses para pengguna Facebook yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Holocaust ke sumber informasi yang dikehendakinya.

Menurut pengakuan pihak Facebook, para pengguna yang mencari informasi seputar Holocaust di Facebook, mereka akan diarahkan ke sumber-sumber informasi yang dikategorikan oleh Facebook sebagai sumber yang akurat dan kredibel. Suatu hari seorang penulis Libya, Osman Ismail terkait Holocaust, dan Zionis mengatakan, Zionisme ketakutan merujuk kepada sejarah, karena jangan-jangan mereka akan menemukan bahwa pembakaran manusia, genosida, dan kamar gas, ternyata sebuah kebohongan.
 
Menurut Osman Ismail dan orang-orang sepertinya yang banyak ditemui sekarang ini, mereka tidak bermaksud untuk menggugat sebuah realitas nyata, tapi sikap mereka lebih merupakan reaksi rasional atas sensitivitas kelewat batas yang ditunjukkan orang-orang Zionis dalam menjaga mitos yang selalu menutupi realitas sebenarnya terkait kejadian itu. Membahas mitos yang hanya memberikan banyak keunggulan kepada pencetusnya, dan tidak pernah mampu memanfaatkan etnis-etnis berpengaruh, semacam kelompok ekstrem Yahudi dan non-Yahudi, yang memiliki keyanian Zionisme, tidak pernah diungkap dalam kajian Holocaust. 
 
Konon katanya dokumen berusia 70 tahun terkait Holocaust disimpan di Jerman, dan hanya segelintir orang khusus yang diperbolehkan mengakses serta mempelajarinya. Dalam beberapa dekade terakhir, Zionis mereaksi bermunculannya keraguan soal Holocaust, dengan melakukan banyak langkah propaganda termasuk penerbitan buku, film, dan publikasi media. Buku “Memoirs of Adolf Eichmann”, dan film “Schindler's List” di antara karya yang menegaskan adanya peristiwa Holocaust, dan menjadikan cerita orang-orang Zionis seputar kejadian di masa itu sebagai dasar pembuatan karya tersebut.
 
Baru-baru ini langkah yang dilakukan Facebook, membuktikan bahwa orang-orang Zionis ketakutan jika sejumlah informasi, dan kenyataan terkait apa yang sebenarnya terjadi di masa Perang Dunia Kedua, terungkap. Direktur Facebook, Mark Zuckerberg mengumumkan kebijakan baru terkait masalah Holocaust, yang melarang unggahan status di Facebook yang mengingkari atau menyimpangkan Holocaust. Selain itu, saat pengguna Facebook melakukan pencarian di mesin pencari platform media sosial itu, mereka akan diarahkan ke sumber-sumber informasi yang dianggap Facebook, sebagai sumber yang kredibel. 
 
Zionis menyambut baik keputusan Facebook itu, dan mengatakan, pengingkaran terhadap Holocaust bukan sebuah pembahasan sejarah, tapi merupakan bentuk propaganda anti-Yahudi. Kementerian Luar Negeri rezim Zionis Israel pada 13 Oktober 2020 di akun resminya memuji keputusan terbaru Facebook dan menulis, pengingkaran terhadap Holocaust bukan masalah sejarah, tapi merupakan bentuk keganasan dari propaganda anti-Yahudi.
 
Rabbi kota Moskow, Rusia, Pinchas Goldsmith dalam konferensi kaum Yahudi Eropa berharap keputusan Facebook dapat dilengkapi dengan langkah selanjutnya. Ia mengatakan, hal ini terutama karena di masa pandemi Corona, kecenderungan sayap kanan ekstrem, dan statemen-statemen anti-Yahudi, banyak tersebar di media sosial.
 
Wakil ketua Komite Auschwitz Internasional, Christoph Heubner juga menyebut keputusan Facebook sebagai sebuah langkah simbolik yang sangat penting. Ia mengaku gembira karena Mark Zuckerberg akhirnya menyadari kekuatan, dan daya jangkau jaringan serta kehadirannya, juga pengaruh dan pemanfaatan kelompok-kelompok ekstrem kanan, dan anti-Yahudi.
 
Mark Zuckerberg sekitar dua tahun lalu dalam sebuah wawancara kontroversial mengaku tidak bersedia membantah Holocaust, dan melarang secara penuh status-status anti-Yahudi di Facebook. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah seorang Yahudi, dan tersiksa dengan statemen-statemen anti-Yahudi, namun menurutnya, Facebook tidak berkewajiban menghapus segala sesuatu yang dianggap salah, karena kebanyakan masyarakat melakukan kesalahan dengan tidak disengaja.
 
Dengan sendirinya, bukan sesuatu yang mengejutkan jika Facebook dan perusahaan-perusahaan serupa di Amerika Serikat demi menjaga mitos pembantaian warga Yahudi, melakukan langkah-langkah semacam ini, dan meneriakkannya. Namun Facebook kali ini bukan saja melarang pernyataan-pernyataan yang mengkritisi Holocaust, tapi menyaring setiap infomasi yang bisa diakses pengguna Facebook terkait hal ini.
 
Hal yang dianggap lucu dalam masalah ini adalah pengakuan implisit Facebook atas pelanggaran prinsip kebebasan berpendapat. Facebook mengumumkan, meski terdapat perdebatan seputar kebebasan berpendapat dalam masalah ini, tapi kami sedang berusaha meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh pengingkaran terhadap Holocaust.
 
Ini bukan pertama kalinya, pihak-pihak yang mengklaim sebagai pembela kebebasan berpendapat melakukan hal semacam ini. Sampai sekarang aturan yang menetapkan hukuman penjara bagi pembakar bendera LGBT, penutupan akun media sosial mereka yang menyebarkan foto Letjend Qassem Soleimani, pelarangan publikasi surat Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar kepada pemuda Eropa, pencegahan produksi, dan pameran karya-karya seni-media penentang Holocaust, pemecatan reporter televisi, dan wartawan yang melawan Holocaust, dan ratusan peristiwa serupa, masih berlaku.
 
Kebijakan standar ganda, dan perilaku hipokrit terkait kebebasan berpendapat, sedemikian jelasnya sehingga sampai sekarang berulangkali kita menyaksikan protes tokoh-tokoh agama, dan politik dunia. Contoh terakhir karikatur menghina Nabi Muhammad Saw yang diterbitkan oleh majalah Prancis, Charlie Hebdo yang memicu reaksi keras dari umat Islam, dan berbagai tokoh politik serta budaya.
 
Perang Dunia Kedua yang pecah tahun 1939, dan berlangsung hingga tahun 1945-1946, adalah perang yang berpusat di Eropa, dan menyebabkan wilayah-wilayah lain dunia ikut menderita. Perang ini dilakukan oleh kubu yang terdiri dari Jerman, NAZI, bersama Italia fasis, dan imperium Jepang di satu sisi, melawan kubu seberang yang terdiri dari Prancis, Inggris, dan Cina bersama Uni Soviet dan Amerika.
 
Dalam perang ini hampir seluruh wilayah Eropa, dan beberapa bagian penting Asia serta Afrika tersulut api pertempuran, dan jumlah korban jiwa baik yang langsung maupun tidak langsung dalam perang ini mencapai jutaan orang. Dalam perang ini kerugian terbesar, dan korban jiwa terbanyak berasal dari kubu Jerman, Uni Soviet, Jepang, Cina, kemudian negara-negara Eropa lain. Kerugian paling sedikit dialami Amerika, namun mendapatkan keuntungan terbesar dari perang ini.
 
Peristiwa Holocaust terjadi di masa perang ini, dan orang-orang Yahudi mengatakan selama bertahun-tahun PD II, pemerintah Jerman berdasarkan pemikiran anti-Yahudi, dan rasisme Adolf Hitler, pertama mengeluarkan perintah pengumpulan orang Yahudi Jerman, dan negara lain yang didudukinya, kemudian menempatkan mereka di kamp-kamp konsentrasi, lalu memerintahkan pembantaian massal terhadap mereka.Orang-orang Yahudi dalam membela klaimnya bersandar pada istilah-isitilah semacam Final Solution yang ditemukan di beberapa dokumen Nazi, dan menurut mereka maksud dari Final Solution adalah genosida bangsa Yahudi.
 
Meski hasil penghitungan total korban jiwa akibat Holocaust yang diklaim Yahudi dari setiap kamp konsentrasi terkadang menembus angka 10 juta, namun pada akhirnya mereka bersepakat pada angka 6 juta orang. Mereka sekarang mengumumkan dengan tegas, lebih dari enam juta Yahudi tewas di kamp-kamp penampungan. Istilah Holocaust atau Savah menurut orang-orang Yahudi, menunjukkan arti pembantaian manusia dengan cara dibakar.
 
Dewasa ini, Holocaust berubah menjadi sebuah industri yang bisa mendatangkan keuntungan berlimpah, dan ia kemudian dikenal sebagai Industri Holocaust karena membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi orang-orang Yahudi. Kepentingan ekonomi dari Holocaust tidak hanya terbatas pada ganti rugi yang harus dibayar Jerman selama bertahun-tahun kepada Israel, dan itu akan berlangsung hingga tahun 2030.
 
Holocaust saat ini menjadi dalih bagi penarikan bantuan ekonomi dalam jumlah yang sangat  besar, fasilitas ekonomi signifikan, dan fasilitas finansial serta ekonomi raksasa yang diberikan negara-negara Barat kepada orang-orang Yahudi. Selain kepentingan ekonomi, industri penuh untung ini juga membawa manfaat diplomatik, dan internasional yang banyak bagi Israel. Dukungan internasional, dan diplomatik Amerika serta negara-negara Barat terhadap Israel di arena internasional, dan masyarakat di dalam negeri, dibenarkan oleh Holocaust ini.
 
Bermain korban atau play victim yang terus dipertontonkan dalam setiap propaganda adalah bangunan asli peristiwa Holocaust, dan sumber keuntungan utama mereka dari klaim tersebut, bukan hanya manfaat-manfaat yang sudah disebutkan di atas, klaim itu bahkan telah menciptakan imej di benak publik dunia bahwa orang-orang Yahudi adalah manusia tanpa tanah air, yang terbuang dan tertindas.
 
Mereka berkesimpulan untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa, lebih baik agar orang-orang Yahudi itu diberi sepetak tanah di sudut dunia, dan hal inilah yang kemudian dijadikan Zionis untuk merampok rakyat Palestina, dan mendirikan pemerintahan. Oleh karena itu justifikasi tindakan Zionis, dan tersingkapnya kejahatan yang dilakukannya, serta ditutupinya genosida orang-orang Palestina oleh Yahudi, semua tercipta berkat industri Holocaust. 
 
Kenyataannya adalah sebagian besar penelitian tentang Holocaust, dilakukan bukan untuk menjelekkan nama komunitas Yahudi, tapi untuk memperjelas penyimpangan sejarah oleh Zionis, dan perlunya peninjauan ulang dalam penulisan sejarah dalam masalah ini.
 
Banyak bukti yang menunjukkan lembaga-lembaga Zionis di sejumlah negara termasuk Anti-Defamation League, ADL, Board of Deputies of British Jews, World Jewish Congress di Austria, American Jewish Committee, AJC, Cape South African Jewish Board of Deputies, Cape SAJBD, dan beberapa organiasasi sejenis, setiap tahun menganggarkan dana besar untuk menyebarkan propaganda dengan maksud menjaga Holocaust tetap hidup.
 
Organisasi-organisasi ini sangat ketakutan atas segala jenis pembicaraan, penelitian atau bahkan kecurigaan terhadap detail peristiwa PD II, dan mencegahnya. Sebagai contoh pada Januari 2020 digelar sebuah pertemuan bertema “World Holocaust Forum” kelima di Pelestina pendudukan.
 
Pertemuan ini dianggap sebagai pertemuan kontroversial, dan Presiden Polandia, Andrzej Duda dijadwalkan hadir di dalamnya, tapi karena tidak diberi kesempatan berbicara di podium, ia urung datang. Zionis mengundang Andrzej Duda datang ke Israel, tapi karena takut ia mengeluarkan statemen yang mengungkap realitas Holocaust, akhirnya ia tidak diizinkan berpidato.
 
Kejadian ini sekali lagi memunculkan pertanyaan apakah Zionis menyembunyikan sesuatu atau telah menyampaikan informasi yang keliru kepada dunia. Pertanyaan yang dilemparkan kepada bos Facebook, Mark Zuckerberg, dan kebijakan barunya juga menimbulkan keraguan yang sama di benak publik internasional.

Read 581 times