Pro dan Kontra UU Pelarangan Senjata di Amerika

Rate this item
(0 votes)

Bukan hanya warga Amerika Serikat yang dikagetkan dengan tragedi penembakan massal di sebuah Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut, 62 mil di timur laut Kota New York, bahkan masyarakat dunia pun tercengang dengan perstiwa tersebut.

Seorang pria 20 tahun, menerobos masuk ke sebuah sekolah dasar di Connecticut, 62 mil di timur laut Kota New York, pada Jumat pagi waktu setempat, 14 Desember 2012, dan mengumbar tembakan ke segala penjuru. Dilaporkan, 26 orang tewas, termasuk si penembak yang akhirnya bunuh diri di dalam kompleks sekolah itu.

Si penembak yang kemudian diidentifikasi sebagai Adam Lanza itu pertama-tama menembak mati ibunya sendiri, yang merupakan guru di SD Sandy Hook itu. Dia kemudian mengumbar tembakan ke segala arah, menewaskan 20 siswa SD berusia 5-10 tahun. Lima orang dewasa yang ada di sekolah itu juga menjadi korban penembakan.

Setelah tragedi ini Presiden Amerika Serikat, Barack Obama meminta wakilnya untuk mempersiapkan undang-undang kontrol senjata di negara ini dalam tempo satu bulan. Ia menjelaskan, perubahan UU ini mencakup penerapan kembali peraturan pelarangan kepemilikan senjata serbu dan seluruh jalan untuk lari dari undang-undang jual beli senjata.

Saat ini di Amerika terjadi friksi serius antara kubu pro dan anti kontrol senjata di negara ini. Sejak tahun 2004, ketika batas waktu 10 tahun undang-undang pelarangan senjata serbu berakhir, friksi ini semakin besar. Meski demikian, terjadinya berbagai peristiwa berdarah dan aksi penembakan di sekolah, universitas dan pusat perbelanjaan masih belum mampu mengakhiri friksi ini.

Tahun 1994 di saat Bill Clinton menjabat presiden, kubu pro kontrol senjata akhirnya berhasil menundukkan sikap kubu pro senjata bebas selama beberapa tahun dan mampu meloloskan undang-undang pelarangan senjata serbu di Kongres. Berdasarkan peraturan ini, penggunaan senjata modern yang dilengkapi dengan puluhan amunisi dilarang.

Kubu pro undang-undang ini meyakini senjata seperti ini hanya cocok di militer dan di sisi lain, kubu pro senjata bebas menilai senjata tersebut digunakan untuk berburu dan olah raga. Data statistik menunjukkan bahwa selama 10 undang-undang di atas diberlakukan, korban kekerasan bersenjata di Amerika turun secara drastis.

Amerika Serikat adalah negara yang penduduknya paling mudah memiliki senjata api. Bagi sebagian orang, khususnya penganut liberalisme, punya senjata api adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Karena itu, pemerintah diminta tidak boleh terlalu jauh campur tangan dalam hal izin kepemilikan senjata. Faktanya, di negara-negara bagian yang izin kepemilikan senjatanya sulit karena ketatnya kontrol, perampokan, dan kriminalitas makin tinggi.

Negara Bagian New Jersey, misalnya, pada 1996 memberlakukan undang-undang kontrol senjata api yang ketat. Hasilnya: dua tahun kemudian, tingkat pembunuhan naik 46%, dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama terjadi di Hawaii. Tahun 1968, Hawaii memberlakukan kontrol senjata yang ketat. Sembilan tahun kemudian, tingkat kejahatan dan pembunuhan naik tiga kali lipat. Catatan serupa --kontrol senjata menambah tingkat kriminalitas dan pembunuhan-- terjadi di Washington, DC, New York City, Detroit, Chicago, dan kota-kota lain.

Fenomena seperti itu jelas menggambarkan bahwa Amerika adalah negeri yang tidak aman. Jikapun negeri itu aman, hal itu semata-mata karena ketatnya hukum, kerasnya aparat keamanan, dan kecanggihan instrumen-instrumen deteksi terhadap kriminalitas. Dengan demikian, harga keamanan di Amerika sangat tinggi. Budaya kekerasan semacam itu muncul karena latar belakang sejarah Amerika sendiri. Masa-masa awal berdirinya Amerika, misalnya, dipenuhi kisah petualangan dan kekerasan kaum cowboy.

Di dunia cowboy, ada hukum survival of the fittest atau hukum rimba --siapa yang kuat dialah yang menang. Untuk menjadi kuat, orang tidak cukup memiliki kemampuan fisik yang kuat, melainkan juga punya kemampuan yang hebat dalam memakai persenjataan. Budaya cowboy itu tampaknya sudah terinternalisasi dalam kehidupan bangsa Amerika secara mendalam. Hal itu terlihat dari korelasi antara kepemilikan senjata dan keamanan.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama saat mereaksi tragedi penembakan di sebuah Sekolah Dasar (SD) Sandy Hook di Newtown menjelaskan, untuk mencegah kekerasan di Amerika, undang-undang pembatasan dan pengontrolan senjata belum cukup, karena kekerasan telah mendarah daging di masyarakat kita.

Seperti dilaporkan Fars News mengutip Washington Post, Barack Obama di konferensi pers terkait tragedi penembakan di SD Sandy Hook lima hari lalu menjelaskan soal undang-undang pengontrolan senjata di negara ini.

Menurut sumber ini, Obama di awal pidatonya mengisyaratkan eskalasi fenomena penembakan di negara ini dan menyebutnya sebagai fenomena menular. Ia pun mendukung langkah-langkah untuk mencegah kekerasan bersenjata di Amerika Serikat.

Seraya mengisyaratkan urgensitas reformasi di undang-undang kontrol senjata dalam beberapa hari lalu, Obama mengatakan, "Seperti yang telah saya katakan pada hari Ahad lalu, tidak ada udang-undang yang dengan sendirinya mampu mencegah kekerasan di masyarakat kita."

Dalam beberapa hari ini, sejumlah aktivis anti senjata bebas di AS menuntut pembatasan peredaran senjata di negara ini. Sementara itu, sejumlah pengamat menilai maraknya aksi kekerasan di Amerika juga dipengaruhi oleh permainan game dan film kekerasan.

"Apa yang kita butuhkan sekarang adalah mempermudah pelayanan kesehatan mental," ungkap Obama.

Ia menambahkan, kita harus menajamkan pandangan kita mengenai budaya kekerasan dan senjata bebas. Selain itu, setiap langkah yang kita ambil harus dimulai dari rumah dan diri kita.

Read 2189 times