Mengapa AS Menentang Resolusi Anti-Rasisme PBB ?

Rate this item
(0 votes)
Mengapa AS Menentang Resolusi Anti-Rasisme PBB ?

 

Majelis Umum PBB pada hari Kamis (16/12/2021) mengadopsi resolusi yang mengutuk semua bentuk rasisme.

Resolusi tersebut, yang diusulkan oleh Rusia dan lebih dari 30 negara lainnya, disahkan dengan 130 suara mendukung, 2 menentang dan 49 abstain. Amerika Serikat dan Ukraina memberikan suara menentang resolusi tersebut, sementara kebanyakan sekutu AS abstain.

Resolusi usulan Rusia untuk memerangi penghormatan Nazisme, neo-Nazisme, dan praktik lain yang akan mengarah pada bentuk baru rasisme, diskriminasi rasial, xenofobia, dan intoleransi. Resolusi tersebut menyerukan kepada negara-negara anggota untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial melalui semua cara yang tepat, termasuk legislasi.

Rusia telah lama berselisih dengan Ukraina dan tiga negara Baltik, Estonia, Lituania dan Latvia, atas dukungannya bagi individu dan organisasi yang terkait dengan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Alasan Washington untuk menentang resolusi tersebut adalah inkonsistensinya dengan Amandemen Pertama Konstitusi AS. Meskipun diskriminasi rasial selalu ada di dunia Barat, Amerika Serikat, sebagai pemimpin blok Barat, berada di urutan teratas dari semua negara di dunia dalam hal segala bentuk rasisme.

Baca juga: Kekerasan dan Diskriminasi Rasial Berlanjut di Amerika
Sejatinya, isu diskriminasi rasial dan rasisme di Amerika Serikat merupakan salah satu masalah sosial dan ekonomi terbesar di negara ini. Isu diskriminasi rasial di Amerika Serikat, sebuah negara yang menganggap dirinya sebagai pelopor hak asasi manusia dan kebebasan, lebih melembaga dan bermasalah daripada negara-negara Barat lainnya.

Menariknya, sejalan dengan slogan umum partai, Presiden Joe Biden dari Demokrat mengklaim menentang rasisme dan diskriminasi rasial. Sementara suara AS yang menentang resolusi Majelis Umum mengutuk rasisme mengungkapkan pendekatan nyata pemerintah AS dalam mendukung rasisme.

Isu diskriminasi rasial dan kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam, yang secara resmi disebut sebagai Amerika keturunan Afrika, yang merupakan sekitar 14 persen dari populasi Amerika, telah menjadi masalah institusional dalam masyarakat Amerika.

Majelis Umum PBB pada hari Kamis (16/12/2021) mengadopsi resolusi yang mengutuk semua bentuk rasisme.
"Rasisme adalah masalah sejarah yang mengakar dan bahkan bagian dari identitas budaya Amerika," kata Alireza Rezakhah, seorang pakar politik.

Pada dasarnya, diskriminasi rasial, pendidikan, pekerjaan, dan sosial, serta kekerasan terhadap orang kulit hitam, sudah menjadi hal yang lumrah. Orang kulit hitam selalu menjadi sasaran perbudakan, pelecehan yang meluas, pembunuhan, dan kekerasan selama tiga abad sejarah Amerika.

Meskipun gerakan hak-hak sipil kulit hitam pada 1950-an memicu gelombang hak dan diskriminasi, realitas masyarakat Amerika saat ini adalah bahwa diskriminasi rasial terus berlanjut dalam berbagai dimensi dan aspek terhadap mereka. Salah satu manifestasi dari masalah ini, yang menjadi sangat menonjol dalam beberapa tahun terakhir, adalah kekerasan tak terkendali dari polisi Amerika terhadap orang kulit hitam.

Baca juga: Aksi Protes Kematian Floyd di Prancis Berubah jadi Protes Anti Zionis
Melihat statistik menunjukkan bahwa korban utama kekerasan polisi Amerika adalah orang kulit berwarna, terutama kulit hitam, dan ini adalah salah satu alasan utama protes dan kerusuhan yang terjadi dari waktu ke waktu di salah satu kota di Amerika.

Asal usul kekerasan ini kembali ke lapisan terdalam rasisme dalam masyarakat Amerika. Menurut mantan Presiden AS Barack Obama, "Rasisme ada dalam DNA orang Amerika."

Barack Obama, mantan Presiden AS
Pemikiran Amerika pada dasarnya adalah promotor rasisme terbuka dan terselubung serta penghinaan terhadap orang kulit berwarna dan kewarganegaraan kelas dua mereka.

Faktanya, saat ini dengan semakin menyebarnya gerakan dan kelompok supremasi kulit putih di negara-negara Barat, terutama di Amerika Serikat, orang kulit hitam dan Latin semakin rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi rasial.

Dilema ini menyebar luas selama masa kepresidenan mantan Presiden AS Donald Trump dan mengarah pada pembentukan gerakan "Black Lives Matter".

Read 515 times