Kehidupan Singkat Imam Ali Bin Musa Ar-Ridha (as)

Rate this item
(2 votes)
Kehidupan Singkat Imam Ali Bin Musa Ar-Ridha (as)


Imam Ali Ridha a.s. dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzul Qa'dah 148 H. Ayahnya adalah Imam Kazhim a.s. dan ibunya adalah Najmah. Nama lainnya adalah Samanah, Tuktam dan Thahirah.

Setelah Imam Kazhim a.s. syahid, ia dalam usia 35 tahun harus memegang tali kendali imamah, menjaga norma-norma Islam dan membimbing para pengikutnya. Masa keimamahan Imam Ridha a.s. adalah dua puluh tahun. Kita dapat membagi masa tersebut dalam tiga fase:

a. Sepuluh tahun pertama masa imamahnya yang bertepatan dengan masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid.

b. Lima tahun setelah masa tersebut yang bertepatan dengan masa pemerintahan Amin, putra Harun.

c. Lima tahun kedua yang bertepatan dengan masa pemerintahan Ma`mun Al-Abasi, saudara Amin.

Dalam setiap fase imamah di atas, Imam Ridha a.s. berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan Islam meskipun ia harus berhadapan --dari satu sisi-- dengan politik pemerintahan masa itu yang rumit karena ia menjadikan Islam sebagai polesan pemerintahannya, dan --dari sisi lain--, kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat waktu itu.

Imam Ridha a.s. pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak mengeluarkan tenaga demi menggunakan kesempatan yang ada demi menyadarkan masyarakat luas dan memfokuskan perhatian mereka terhadap permasalahan-permasalahan pokok dan taktik pemerintah dalam melupakan mereka akan problema-problema tersebut dengan metode yang beraneka ragam.

Imam Ridha a.s. syahid pada tahun 203 H. dalam usianya yang ke-55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bagian dari kota Masyhad. Ia syahid karena diracun oleh Ma`mun, Khalifah yang berkuasa pada saat itu.

b. Imam Ridha a.s. Pergi ke Iran

Ma`mun Al-Abasi yang pada masa pemerintahan ayahnya menjadi gubernur Khurasan, setelah berhasil merebut kekuasaan dari saudaranya Amin, ia memindahkan ibu kota pemerintahannya dari Baghdad ke Marv (salah satu kota Khurasan sekarang--pen.). Setelah ia berhasil menguasai pemerintahan sepenuhnya, ada dua faktor utama yang memaksanya untuk mengundang Imam Ridha a.s. dengan cara apa pun ke istana kekuasaannya: pertama, kevakuman pemerintahan dari seseorang yang memiliki karisma spiritual dan ilmu pengetahuan yang hebat, dan kedua, mencegah pengaruh orang-orang yang paham situasi (negara dan opini umum yang ingin memprotes segala bentuk kebijakan pemerintah), khususnya para pencinta keluarga Ali a.s.

Ma`mun menyangka kedatangan Imam Ridha a.s. ke Iran di samping dapat memenuhi kevakuman spiritual dan ilmu pengetahuan yang sedang menimpa pemerintah, hal itu --pada lahiriahnya-- dapat memenuhi keinginan-keinginan yang selama ini diidam-idamkan oleh para pencinta keluarga Ali a.s. dan pengikut Imam Ridha a.s. sehingga dengan demikian ketenteraman dapat diperoleh oleh pemerintah dan lahan untuk dimanfaatkan secara politis tersediakan. Atau paling tidak, mereka ingin mendapatkan legitimasi atas pekerjaan yang telah dikerjakan atau akan dikerjakan.

c. Sikap masyarakat Iran terhadap keluarga Ali a.s

Perlu diketahui bahwa masyarakat Iran memiliki kecintaan yang khusus terhadap keluarga Ali a.s. dan para imam Syi'ah a.s. Atas dasar ini, sudah tersedia lahan yang siap pakai di dalam hati mayarakat Iran untuk keluarga Ali a.s.

Masyarakat Iran tidak pernah memiliki kesan yang menyenangkan dari pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa atas mereka. Karena mereka diperlakukan sebagai budak yang harus menaati setiap perintah majikannya tanpa syarat. Hal inilah --setelah mereka mengenal Islam dan mendalami hukum-hukumnya yang sangat sederhana-- yang mendorong mereka untuk memeluk Islam dan menginginkan untuk mendirikan negara Islam.

Dengan melihat perilaku para penguasa yang memegang tampuk pemerintahan setelah Rasulullah SAWW wafat dan secara praktek bertentangan dengan tujuan Islam, masyarakat Iran lebih memfokuskan pandangannya kepada Imam Ali a.s. yang hak khilafahnya pernah dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Metode yang dijalankan Imam Ali a.s. dan para imam Syi'ah dari Imam Hasan a.s. hingga Imam Kazhim a.s. (dalam menyebarkan Islam) meskipun mereka harus mendekam di dalam penjara penguasa zalim saat itu, telah mampu mempersiapkan lahan bagi terbentuknya sebuah pemerintahan Islam idaman yang akan dipimpin oleh mereka paling tidak di sebagian wilayah kekuasaan pemerintah.

Pada saat itu para pengikut setia keluarga Imam Ali a.s. mengharapkan Imam Ridha a.s., seorang figur yang ilmu pengetahuan dan kesucian jiwanya menjadi buah bibir masyarakat untuk merealisasikan harapan mereka tersebut. Akan tetapi, kesempatan tidak berpihak kepada mereka untuk dapat memanfaatkan buah pemikiran dan tujuan Islaminya. Ayahnya harus menjalani kehidupannya dalam penjara bertahun-tahun dan ia sendiri hidup dalam pengawasan pemerintah yang ekstra kekat.

Pada dasarnya, para khalifah tidak mau wajah-wajah suci itu dikenal di masyarakat. Karena mereka merasa takut jika masyarakat mengenali kemuliaan yang dimiliki oleh para imam a.s., dan mengetahui ketidakpantasan mereka untuk memimpin sehingga mereka akan diturunkan dari kursi kekuasaan. Tidak aneh jika kelompok yang hanya menjadikan Islam sebagai polesan luar kekuasaan mereka ini menyingkirkan orang-orang yang layak dari arena pemerintahan sehingga mereka sendiri dapat berkuasa dan menyetir negara dengan leluasa.

Ma`mun Al-Abasi --di samping ingin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kedudukan sosial yang dimiliki oleh Imam Ridha a.s. (untuk kepentingan pribadinya)--, ingin mengontrol segala gerak-gerik Imam a.s. Dan dari satu sisi, dengan mengundang Imam Ridha a.s. ke istana, ia berharap dapat memperoleh kecintaan di hati masyarakat yang nota bene mencitai Imam a.s. Dan mungkin ia masih memiliki tujuan-tujuan lain di balik rencananya itu. Misalnya, memberangus habis pengaruh dan kedudukan yang dimiliki oleh orang-orang penting yang dianggap berbahaya bagi tujuan-tujuan politik mereka sebagaimana hal ini sering dilakukan oleh para politikus demi mencapai terget politik mereka.

Untuk mencapai semua tujuan (poitik) di atas, Ma`mun Al-Abasi mengundang Imam Ridha a.s. untuk berdomisili di pusat khilafah Islam yang telah berpindah dari Arab ke Iran. Dalam hal ini, peranan Fadhl bin Sahl, tangan kanan Ma`mun yang berkebangsaan Iran itu tidak dapat dilupakan.

d. Sikap Imam Ridha a.s. Terhadap Undangan Ma`mun Al-Abasi

Untuk memahamkan kepada Ma`mun dan para anteknya bahwa ia mengetahui tujuan dan rencananya di balik undangan tersebut, Imam Ridha a.s. untuk pertama kalinya tidak menerima undangan tersebut. Akan tetapi, karena paksaan yang bertubi-tubi dari pihak mereka, akhirnya ia harus meninggalkan Madinah dan bergerak menuju ke Marv, pusat khilafah Islam waktu itu.

Imam Ridha a.s. berziarah ke Makkah terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan ke Khurasan melalui Irak. Dari Makkah menuju Bashrah, rombongan dikawal dengan ketat dan penghormatan khusus nan istimewa. Imam a.s. dan para peserta rombongan dinaikkan di atas haudaj-haudaj yang dihias serapi mungkin. Dan ini adalah termasuk rencana yang telah dicanangkan oleh Ma`mun. Para peserta rombongan tersebut adalah gubernur Madinah dan para pembesar khilafah. Imam Ridha a.s. tidak membawa satu orang pun dari keluarganya. Putra satu-satunya pun ditinggalkan di Madinah dan ia berangkat sendiri menuju Iran.

Selama perjalanan dari Hijaz menuju Bashrah, Imam a.s. mengadakan cengkrama dengan masyarakat di mana ia singgah. Dari Bashrah menuju Khorram-shahr rombongan meneruskan perjalanan melalui jalan air. Setelah itu rombongan meneruskan perjalanannya melalui Ahvaz, Arak, Rei dan akhirnya Neishabur. Pada tanggal 10 Syawal 201 H. rombongan sampai di kota Marv.

Selama berada di pusat khilafah Islam, Imam Ridha a.s. sering mengadakan diskusi dengan para ilmuwan dan pembesar agama non Islam. Mereka semua mengakui keagungan dan keluasan ilmu Imam a.s. karena sering kali ia menjawab kritikan-kritikan mereka dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang mereka miliki dan berargumentai dari kitab-kitab yang mereka yakini.

Diskusi Imam Ridha a.s. dengan para ilmuwan pengikut agama Zoroaster, kaum materialis, uskup-uskup agama Kahtolik dan ulama` Yahudi termaktub dalam kitab Al-Ihtijaaj karya Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib Ath-Thabarsi, salah seorang ulama abad ke-6 H.

Yang sangat menarik dari semua diskusi tersebut adalah mereka yang pernah mengadakan diskusi dan perdebatan dengan Imam Ridha a.s. tunduk di hadapan kesempurnaan spiritual Imam a.s. dan menerima serta mengakui ketinggian ilmu dan kebenaran ucapannya. Peristiwa ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan Imam Ridha a.s. tenar dan terkenal dalam bidang ilmu dan kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin.

Di antara ucapan suci dan pelajaran berharga yang pernah diucapkan oleh Imam Ridha a.s. telah dikumpulkan dalam bentuk buku oleh para ilmuwan Islam, seperti 'Uyuun Akhbaarir Ridhaa a.s. dan 'Ilalusy Syaraa'i'. Kitab terkahir ini memuat hikmah, faedah dan pengaruh hukum-hukum Islam (terhadap diri manusia). Dua kitab tersebut di atas ditulis oleh Syeikh Shaduq. Kitab-kitab lain seperti Thibbur Ridhaa a.s. adalah salah satu kenang-kenangan berharga darinya yang dapat membuktikan kesempurnaan dan keagungannya.

e. Sebuah Pesan dari Imam Ridha a.s

Ali bin Syu'aib, salah seorang sahabat setia Imam Ridha a.s. bercerita: "Suatu hari aku pergi untuk bertamu ke rumah Imam Ridha a.s. "Wahai Ali, Kehidupan siapakah yang terbaik?", tanyanya kepadaku.

"Wahai Imam, Anda yang lebih tahu", jawabku pendek.

"Orang yang memakmurkan kehidupan orang lain dengan biaya hidupnya sendiri", jawabnya.

"Apakah engkau tahu kehidupan siapakah yang paling jelek?", tanyanya kembali.

"Anda lebih tahu", jawabku.

"Orang yang orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari kehidupannya", jawabnya".

Read 1867 times