Revolusi Asyura dan Peran Perempuan

Rate this item
(0 votes)

Asyura merupakan peristiwa agung yang terjadi pada tahun 61 Hijriyah atau 680 M di Padang Karbala, Irak. Tragedi itu menjadi epik paling mengharukan, sekaligus kejadian paling abadi dalam lembaran sejarah Islam. Hingga kini, Asyura memiliki dimensi individu maupun sosial yang layak untuk dikaji dari berbagai sisi. Peristiwa Asyura juga menjadi sumber inspirasi dari gerakan revolusi besar dalam sejarah Islam. Peran Asyura bagi kehidupan umat Islam tidak diragukan lagi banyak berutang budi kepada Imam Husein as dan pengikutnya yang menumpahkan darah mereka demi membela agama.

Ketika rencana keberangkatan Imam Husein as sampai ke telinga para wanita Bani Hasyim, mereka langsung menggelar sebuah pertemuan untuk mempelajari bentuk kontribusi yang bisa diberikan kepada sang pemimpin. Para wanita Bani Hasyim mengetahui bahwa Imam Husein as tidak akan kembali lagi ke kota Madinah dan mereka ingin meluapkan perasaannya dengan tangisan dan jeritan. Imam Husein as datang menemui mereka dan berkata, "Demi Allah, jangan kalian sebarkan berita ini karena akan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya."

Mendengar itu, para wanita Bani Hasyim menjawab, "Bagaimana kami tidak menangis, hari ini sama seperti hari kepergian Rasulullah, hari kesyahidan Ali dan Fathimah, dan juga seperti hari kematian Ruqayyah, Zainab, dan Ummu Kultsum, putri-putri Nabi. Wahai Husein, demi Allah, jadikan kami sebagai tebusan jiwamu dan jauhkan dirimu dari kematian, wahai kekasih orang-orang baik yang telah hilang dari kami."

Ucapan Husein as tidak membuat para wanita Bani Hasyim merasa tenang, mereka lalu pergi ke hadapan Ummu Hani dan berkata, "Wahai Ummu Hani, engkau masih duduk di sini, sementara Husein dan keluarganya akan pergi?" Ummu Hani berbegas mendekati Imam. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Wahai bibiku, mengapa engkau terlihat begitu gelisah?" Ummu Hani menjawab, "Bagaimana aku tidak gelisah saat mendengar pemelihara anak-anak yatim dan terlantar akan pergi dari hadapanku?"

Pada saat itu, Ummu Hani dalam keadaan menangis menyebutkan keutamaan-keutamaan Imam as, "Husein memiliki wajah bercahaya dan warga meminta hujan dari langit dengan berkat parasnya. Dia adalah pelipur lara anak-anak yatim dan pengayom mereka yang terlantar. Dia berasal dari keluarga Bani Hasyim dan mengorbankan dirinya untuk orang lain. Kaum lemah memperoleh nikmat dan keutamaan darinya, dia adalah pribadi yang dicintai oleh Rasulullah."

Setelah mendengar itu, Imam Husein berkata, "Wahai bibiku, engkau tidak perlu khawatir karena apa yang sudah ditetapkan pasti akan terjadi. Musuh tidak akan menang menghadapi putra dari seorang pahlawan di medan perang." Akhirnya, para wanita Bani Hasyim menyertai Imam Husein as karena mereka mengetahui bahwa Islam dan umat hanya bisa diselamatkan dengan pengorbanan beliau.

Sejarah Islam senantiasa mencatat partisipasi kaum perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka memiliki peran besar untuk kemajuan masyarakat Islam sepanjang sejarah. Revolusi Karbala merupakan sebuah peristiwa penting dan eksklusif dalam sejarah Islam. Kebangkitan itu merupakan hasil dari perjuangan dan perlawanan kolektif antara kaum perempuan dan laki-laki pecinta Tuhan. Dengan kata lain, jika Islam dihidupkan kembali dengan kebangkitan Imam Husein, maka saham besar revolusi itu ada di tangan perempuan dan ini jarang ditemui dalam sejarah.

Laki-laki yang telah mengukir kisah heroik di Padang Karbala rata-rata adalah pribadi yang dibesarkan di pangkuan perempuan-perempuan berani, beriman, dan bertakwa. Mereka mempersembahkan para ksatria kepada masyarakat Islam. Partisipasi kaum pria di peristiwa agung itu harus dilihat sebagai bagian dari pengorbanan dan kearifan kaum perempuan. Kesabaran dan ketangguhan perempuan di kafilah Imam Husein termasuk di antara peran efektif mereka dalam mengobarkan api perjuangan dan melestarikan nilai-nilai Asyura. Peran itu sudah dimulai sebelum peristiwa Asyura dengan mendorong suami dan putra-putra mereka untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein. Setelah itu, mereka juga melanjutkan perannya dengan menyebarkan pesan-pesan Asyura ke seluruh penjuru negeri Islam.

Perempuan-perempuan Karbala membuktikan bahwa tugas sosial tidak hanya milik kaum laki-laki. Setiap kali ada seruan untuk membela agama dan menegakkan kebenaran, maka setiap individu berkewajiban untuk memainkan perannya. Namun demikian, Islam tidak mewajibkan perempuan untuk hadir di medan tempur dan jihad. Di Padang Karbala, Imam Husein as bahkan melarang perempuan untuk terlibat di medan perang. Oleh karena itu, perempuan tidak ikut berperang di hari Asyura. Hanya dua perempuan yang memaksa pergi ke garis depan dan Imam Husein as mengembalikan mereka ke kemah. Peran utama kaum perempuan di Karbala adalah menyampaikan pesan kebangkitan itu kepada dunia.

Secara umum, peran perempuan dalam kebangkitan Karbala dapat dikaji dalam tiga bagian; partisipasi mereka sebelum hari Asyura, peran mereka pada hari Asyura, dan peran mereka sebagai pembawa pesan-pesan kebangkitan Imam Husein as kepada masyarakat. Istri Zuhair bin al-Qain, termasuk di antara perempuan yang mendorong suaminya untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein as. Saat Imam Husein as meninggalkan Madinah, Zuhair bin al-Qain tak berpikir untuk menyertainya dan tidak pula tertarik ikut dalam rombongan cucu Nabi itu. Tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang sangat mengganggu.

Ia terus memikirkan apa yang bakal dialami Imam Husein as setelah meninggalkan Madinah. Kegelisahan seakan tak mau melepaskan dirinya. Untuk itulah, ia memilih untuk membawa serta keluarga dan rombongannya meninggalkan Madinah. Setiap kali rombongan Imam berhenti di satu tempat, ia juga menghentikan langkah dan mendirikan kemah agak jauh dari posisi Imam Husein as. Ketika Imam dan rombongannya bergerak melanjutkan perjalanan, Zuhair pun melangkah mengikuti dari kejauhan. Mentari sudah sampai di ketinggian. Rombongan Imam berhenti. Zuhair sudah tiba terlebih dahulu di tempat itu. Kemah pun sudah ia dirikan. Imam bertanya kepada sahabat-sahabatnya, kemah siapakah itu? Mereka menjawab, kemah itu milik Zuhair bin al-Qain.

Imam Husein as lalu berkata, "Siapakah di antara kalian yang siap menyampaikan pesanku untuknya?" Salah seorang sahabat Imam menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan tugas itu. Kepadanya Imam berkata, "Semoga Allah mengganjarmu dengan kebaikan. Sampaikan salamku kepada Zuhair dan katakan kepadanya, putra Fathimah memintanya untuk bergabung."

Menerima pesan itu, hati Zuhair terguncang. Ia harus segera mengakhiri keragu-raguan yang selama ini menghantuinya. Hanya ada dua pilihan, tetap hidup atau mengikuti Imam Husein. Zuhair tenggelam dalam pikiran. Mendadak, ia dikejutkan oleh suara istrinya yang menyuruhnya untuk memenuhi panggilan putra Fathimah. "Zuhair! Pergi dan temuilah Husein. Dengarkanlah apa yang hendak ia katakan. Jika kau tak puas dengan kata-katanya kembalilah," kata sang istri.

Kata-kata itu bagai petir yang menyambar hati Zuhair. Ia bangkit dan segera meninggalkan kemahnya untuk menemui Imam Husein as. Zuhair belum tiba di kemah cucu Nabi itu, ketika Husein sudah menantinya di luar. Saat keduanya bertemu, Imam Husein as memeluknya dengan erat seakan bertemu lagi dengan kawan dekat yang sekian lama tak dijumpainya. Tatap mata Husein menghangatkan wujud dan jiwa Zuhair. Kini ia telah memutuskan dan yakin dengan keputusannya untuk menyertai Husein, putra Fathimah

Zuhair kembali ke kemah dan menemui istrinya. Dia berkata, "Aku akan menyertai Husein. Aku merasakan cinta yang menyelimuti seluruh wujudku. Kau adalah istri yang selama ini selalu setia kepadaku. Aku memuji kesabaranmu. Tapi kini aku harus pergi dalam sebuah perjalanan yang penuh bahaya. Kupersilahkan kau untuk meninggalkanku." Sang istri terkejut mendengar penuturan suaminya dan menjawab, "Akulah yang menyuruhmu untuk menemui Husein dan mengikutinya. Sekarang, ketika kau memutuskan untuk memenuhi panggilan putra Fathimah, aku pun akan menyertaimu." Akhirnya Zuhair dan istrinya bergabung dengan rombongan Imam Husein as.

Karbala meskipun sebuah padang tandus dan tak bertuan, namun kisah heroik terlukis dengan darah suci di bumi itu. Di sanalah terpahat seluruh nilai-nilai luhur agama mulai dari akhlak, keimanan, dan kepemimpinan hingga shalat, amar makruf dan nahi munkar, kesabaran, cinta dan pengorbanan. Para pahlawan Asyura meski jumlah mereka sedikit, tapi mereka adalah paduan dari berbagai lapisan mulai dari bayi yang masih menyusui, anak-anak, remaja, pemuda, orang tua hingga pasangan suami istri. Mereka semua datang untuk membela kebenaran dan menegakkan ajaran agama di bawah kepemimpinan cucu baginda Nabi Saw, Imam Husein as.

Di tengah berbagai dimensi luas peristiwa Asyura, Sang Pencipta memberi ruang khusus kepada perempuan sehingga mereka bisa menampilkan seluruh potensinya dalam memikul tanggung jawab besar dengan cara terbaik dan mengajarkan orang lain bagaimana membela kebenaran. Di Padang Karbala, perempuan – meski harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai – memainkan berbagai peran sebagai istri, ibu, dan kakak dengan bentuk terbaik. Mereka ingin kaum perempuan generasi mendatang mampu menolak perlakuan tidak adil melalui gerakan spiritualitas, resistensi, dan pengorbanan di berbagai bidang serta mempersembahkan ide-ide baru kepada dunia.

Para srikandi Karbala membuktikan kepada dunia bahwa mereka bertindak dengan penuh wawasan, pengetahuan, dan emosional. Hal ini berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh para pembela hak-hak kaum perempuan, sebuah makhluk yang tidak realistis dan menutup diri dari problema sosial dan politik. Peristiwa Asyura merupakan sebuah kisah seorang srikandi yang selain tidak membutuhkan pengayom dan pelindung, tapi dia sendiri tampil sebagai pengayom dan penolong terbaik bagi para sahabat Imam Husein as. Mental seperti ini muncul dari iman, kearifan dan rasa tanggung jawab mereka.

Di Sahara Nainawa dalam pertempuran antara hak dan batil, kaum perempuan tampil untuk membela keluarga Nabi Saw dan melukiskan kisah heroik yang dikenang sepanjang masa. Beberapa ibu yang hadir di Karbala, dengan penuh cinta memakaikan pakaian perang kepada putra-putra mereka, lalu menyaksikan bagaimana putra mereka bertarung membela agama Allah Swt. Saat musuh melempar kepala-kelapa putra mereka yang telah dipenggal, ibu-ibu tersebut datang menyambut dan mengusap wajah anaknya yang bersimbah darah. Mereka menegaskan apa yang telah dikorbankan di jalan Allah Swt, tidak akan diambil kembali. Ucapan mereka membuat musuh takjub sekaligus ketakutan. Di antara perempuan yang gagah berani itu, ada tiga orang yang termasuk istri-istri sahabat Nabi Saw.

Amr bin Junadah al-Anshari, seorang pemuda dan gagah berani. Tak lama setelah ia melepas kepergian ayahnya, Junadah bin Kaab al-Anshari di Karbala, ia berniat menghibur dan menenangkan hati ibunya. Namun ibunya berkata, "Wahai putraku, bangkitlah dari sisiku dan pergi ke medan perang, berjihadlah melawan musuh-musuh putra Nabi dan bantulah Husein." Amr bangkit dan ingin bergegas ke medan tempur. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Ayahnya baru saja gugur syahid. Kepergian pemuda itu mungkin akan membuat ibunya terpukul. Suruh dia kembali ke kemah."

Amr bin Junadah menjawab, "Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini padaku. Kini, izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul." Amr maju bagai seorang kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung, "Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin, Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah, Adakah seorang pemimpin yang seperti dia? Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?"

Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah as. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein as. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya berkata, "Selamat untukmu wahai buah hatiku." Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berteriak, "Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali." Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, "Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah." Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanita pun terjun ke medan tempur.

Musuh yang berjumlah ribuan orang mulai mempersempit gerakan pasukan Imam Husein as yang hanya 72 orang. Satu-satu sahabat Imam gugur syahid di medan tempur dan dari dalam barisan pasukan Imam Husein as, Abdullah bin Umair al-Kalbi yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam dan meminta izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, "Dia adalah prajurit yang mahir di medan laga."

Setelah sekian lama bertarung di medan laga, Abdullah kembali ke kemah Imam Husein as. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang lantas mendorongnya untuk kembali ke medan perang. Istrinya berkata, "Abdullah, kembalilah ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah."

Kepada Imam Husein as, Abdullah berkata, "Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku supaya kembali ke kemah." Imam memerintahkan istri Abdullah untuk kembali dan mengatakan, "Allah membalas jasa baik kalian yang telah membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah tidak memerintahkan wanita untuk berperang."

Syimr bin Dzil Jausyan dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein as. Abdullah bin Umair al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein as itu menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian, pedang Hani Shabiy al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mulai mengendur. Mendadak sebuah sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur sebagai syahid.

Dengan tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya, sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.

Spirit perjuangan dan pengorbanan perempuan di Padang Karbala merupakan pelajaran-pelajaran penting Asyura. Mereka mengetahui bahwa Imam Husein as adalah manifestasi dari kebenaran dan keadilan, sementara Yazid bin Muawiyah adalah simbol kebatilan. Kebatilan mungkin saja memiliki kekuatan dan memberangus para pengikut kebenaran, namun cita-cita para penegak dan pencari kebenaran tidak akan pernah padam. Kebenaran akan selalu hidup dan menang sepanjang sejarah. Srikandi-srikandi Karbala bangga bisa hadir membela Imam Husein as dan mempersembahkan pengorbanan tak berarti demi tegaknya kebenaran dan agama Allah Swt.

Asyura merupakan pancaran mata air yang akan terus mengalir menyirami setiap generasi umat manusia. Dalam revolusi agung ini, peran kaum perempuan yang dibarengi dengan pemahaman dan rasa tanggung jawab termasuk faktor-faktor penting keabadian peristiwa Asyura. Pemahaman agama yang baik dan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi as termasuk di antara karakteristik perempuan-perempuan Padang Karbala. Mereka telah menafsirkan ungkapan-ungkapan cinta, pengorbanan, kesabaran, dan perlawanan dalam membela dan melindungi cucu baginda Rasul Saw, Imam Husein as.

Mereka adalah wanita-wanita pengukir sejarah, meskipun jiwa mereka dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang kepada anak-anak dan suami, tapi mereka mampu mengalahkan perasaannya demi membela agama dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kekasih Allah Swt. Menurut para skrikandi Karbala, tugas seorang Muslim adalah kearifan dalam beragama, pengenalan mendalam tentang Ahlul Bait as, dan cinta kepada mereka. Dalam surat ash-Shura ayat 23, Allah Swt berfirman, "Katakanlah, Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan dalam kekeluargaan."

Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh para sahabat dan pembela Imam Husein as adalah makrifat dan spiritualitas yang menyatu dalam jiwa mereka. Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan kemanusiaan, fenomena yang jarang ada padanannya dalam sejarah. Pada malam kesepuluh bulan Muharram, Imam Husein as mengumpulkan semua anggota kafilah dan memberi mereka pilihan untuk pergi atau tetap tinggal bersama beliau. Imam berkata, "Wahai para sahabatku! Siapa saja yang tetap tinggal bersamaku dan berperang melawan musuh, maka ia akan terbunuh... Kalian bebas untuk mengambil keputusan. Kalian bisa pergi dan tidak ada seorang pun yang menahan kalian..." Air mata nampak membasahi wajah-wajah penuh kerinduan itu di tengah malam yang membisu.

Namun, para wanita yang hadir di Karbala meminta suami dan putra-putra mereka untuk selalu bersama Imam Husein as dan keluarganya. Ketika istri Junadah bin Kaab Al-ansari menyaksikan jumlah pasukan musuh, ia berkata, "Meski aku sudah tua dan lemah, tapi dengan pukulan keras, aku akan menghancurkan kalian dan membela putra Fathimah."

Peristiwa Asyura merupakan sebuah peristiwa penting, dimana perempuan dan laki-laki sama-sama melakoni peran masing-masing dengan sempurna. Muslim patut berbangga diri karena Islam telah memberikan hak-hak kemanusiaan perempuan berdasarkan fitrah dan watak mereka, jauh sebelum munculnya mazhab-mazhab baru yang mendewakan hak asasi manusia. Dalam sejarah Islam, kita menemukan wanita-wanita dimana Rasul Saw telah berupaya maksimal untuk meningkatkan pengetahuan dan budaya mereka. Rasulullah Saw mendatangkan pengajar ke rumahnya dan kadang juga membawa beberapa wanita bersama putrinya untuk mengobati tentara Islam yang terluka di medan perang.

Parapengganti beliau juga berupaya maksimal untuk pendidikan dan pengajaran kaum perempuan. Kerja keras mereka telah melahirkan para wanita yang rela berkorban dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Hasil dari jihad pendidikan itu dapat ditemukan di tengah wanita-wanita Padang Karbala. Beberapa wanita yang hadir di Karbala adalah putri Imam Ali bin Abi Thalib as seperti, Sayidah Zainab as, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Safiyyah. Selain itu, putri-putri Imam Husein as yaitu, Fathimah, Sukainah, dan Ruqayyah, serta Rubab, istri Imam dan Atikah, istri Imam Hasan as juga hadir di sana.

Sayidah Zainab adalah putri tertua Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Saat pertama kali Rasul Saw menggendong dan mencium Zainab, beliau berkata "Aku mewasiatkan kepada kalian semua agar memuliakan anak perempuan ini, karena ia sama seperti Sayidah Khadijah as." Sejarah menjadi bukti bahwa Sayidah Zainab as sama seperti Sayidah Khadijah yang menanggung banyak kesulitan demi memperjuangkan Islam. Dengan kesabaran dan pengorbanannya, ia mempersiapkan sarana demi pertumbuhan dan kesempurnaan agama ini. Sayidah Zainab as mengikuti perjalanan bersejarah Imam Husein as dari kota Madinah hingga Karbala dan bangkit menghadapi Yazid bin Muawiyah, penguasa zalim dan korup.

Pada malam Asyura setelah semua yakin bahwa perang melawan kebatilan akan pecah dan para sahabat Imam as satu demi satu menyatakan kesetiaan mereka, Sayidah Zainab as merasa lega dan menemui kakaknya sambil tersenyum. Imam Husein as berkata, "Hai saudariku! Sejak kita bergerak dari Madinah, aku sama sekali tidak melihat engkau tersenyum. Sekarang ada gerangan apa hingga engkau tampak gembira?" Sayidah Zainab as hanya menyinggung kesetiaan dan ketulusan para sahabat abangnya itu. Kemudian Imam as kembali berkata, "Wahai Saudariku! Ketahuilah bahwa orang-orang yang ada di sisiku, mereka adalah para sahabat dan pembela setiaku. Kakekku, Rasulullah telah memberi kabar kepadaku tentang kesetiaan dan kecintaan mereka."

Selain menyaksikan saudara-saudaranya gugur syahdi dalam membela Islam, Sayidah Zainab juga mengirim putra-putranya untuk membela Imam Husein as di medan perang. Pada hari Asyura, Sayidah Zainab as memakaikan pakaian baru kepada anak-anaknya, ‘Aun dan Muhammad. Beliau kemudian membersihkan tubuh anak-anaknya dari debu dan kotoran, lalu memberikan sepasang pedang kepada keduanya yang menunjukkan mereka siap untuk jihad. Kemudian beliau membawa keduanya ke hadapan Imam Husein as dan meminta izin agar Imam membolehkan keduanya pergi ke medan perang. Tapi Imam Husein as tidak mengizinkan keduanya pergi ke medan perang. Sayidah Zainab as memaksa beliau agar mengizinkan keduanya. Akhirnya, Imam Husein as mengizinkan mereka pergi ke medan tempur.

Kedua anak Sayidah Zainab as melangkah dengan tegar menuju medan tempur dan setelah bertarung dengan gagah berani, keduanya akhirnya gugur syahid. Imam Husein as mendekati jasad dua remaja itu dan memeluknya lalu menggendong keduanya ke perkemahan. Para perempuan yang ada keluar menyambut jasad anak-anak Sayidah Zainab as. Biasanya, setiap kali ada yang syahid dan dibawa kembali ke tenda, maka Sayidah Zainab as adalah yang pertama menjemputnya. Namun, kali ini beliau tidak terlihat menyongsong jasad kedua anaknya. Beliau tidak keluar dari kemahnya. Sayidah Zainab as tidak keluar khawatir air matanya menetes menyaksikan jasad dua anaknya dan tidak dapat menahan diri. Sayidah Zainab as tidak ingin pahala kedua anaknya berkurang dan di sisi lain, beliau juga tidak ingin Imam Husein as melihatnya dalam kondisi sedih dan merasa malu atau tidak dapat menjawab pandangan matanya. Itulah mengapa Sayidah Zainab as memilih untuk tetap tinggal di dalam kemahnya.

Pertempuran tak seimbang pecah pada sore hari Asyura. Mentari kesucian telah tercabik-cabik di antara jasad-jasad para syuhada Karbala. Luka besar semakin menyesakkan Zainab, namun ia tahu bahwa setelah kepergian Husein, ia harus berada di samping Imam Sajjad as dan memimpin kafilah Karbala. Sekarang, Zainab memikul tugas yang jauh lebih besar yaitu menjadi penyambung lisan Imam Husein as dan penyampai nilai-nilai suci yang diperjuangkan oleh para syuhada. Sayidah Zainab as di puncak kesulitan dan penderitaan setelah syahadah saudara dan orang-orang tercintanya masih tetap tegar dan derajat kesabaran, keberanian, dan tawakkalnya kepada Allah Swt didemonstrasikan dengan indah.

Di hadapan para pemimpin zalim dan haus darah Dinasti Umayyah, Sayidah Zainab as berdiri dan tanpa takut mengecam sikap mereka serta membela kebenaran Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw. Beliau menilai Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sebagai pemenang. Pidatonya yang lugas, fasih dan mematikan di istana Yazid begitu mempengaruhi hadirin yang membuat mereka kembali mengenang ayahnya Imam Ali as.

Sayidah Zainab as pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali as bahwa "Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya." Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya.

Read 2415 times