Kisah Para Penghafal Alquran yang tak Tersentuh Tsunami

Rate this item
(0 votes)
Kisah Para Penghafal Alquran yang tak Tersentuh Tsunami

 

Umbul Tanjung Resort tampak sepi. Tak nampak seorang pun di pos penjagaan. Daun-daun yang berguguran juga belum disapu.

Di bagian tengah, Adi (35 tahun), penjaga penginapan itu, terlihat sedang menyapu halaman di sekitar kolam. Dia adalah salah satu saksi mata ketika tsunami tak menerjang penginapan yang dijaganya di pesisir Pantai Anyer, Desa Umbul Tanjung, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten.

Menurut dia, saat kejadian sama sekali tak ada tanda-tanda berupa gempa bumi maupun surutnya air laut. Malam itu, Sabtu (22/12), rombongan siswa dari Nurul Fikri Boarding School yang telah sekitar dua pekan menginap di tempat itu, sedang menghafal Alquran.

Tak ada yang menyadari akan datangnya gelombang tsunami malam itu. “Anak-anak masih pada hafalan. Lalu banyak orang di luar teriak ‘tsunami’,” kata Adi saat ditemui Republika.co.id di lokasi kejadian, Rabu (26/12).

Kata teriakan orang-orang itulah yang membuat seluruh tamu penginapan itu siaga. Bukan keluar penginapan, mereka justru melihat air di pagar belakang penginapan.

Menurut dia, air hanya sampai depan pagar. Tak sedikit pun tsunami menyentuh halaman penginapan. Berdasarkan pantauan, H+4 pascatsunami, kondisi halaman belakang tak sedikit pun terlihat kerusakan. Gerbang yang terbuat dari besi pun utuh tak tersentuh air. Padahal, di luar pagar terdapat gubuk kayu yang hancur sisa terpaan tsunami.

Republika.co.id juga melihat kondisi 10 bangunan yang berada di penginapan itu. Tak ada satu pun bangunan yang mengalami kerusakan di lahan seluas 0,5 haktare tersebut.

Adi masih tetap membersihkan halaman kolam penginapan. Sambil membersihkan, ia bercerita bahwa ketika malam tsunami, anak-anak dari Nurul Fikri sudah lebih dari dua pekan menginap di tepat itu.

Dari awal kedatangannya, kegiatan anak-anak itu hanya membaca Alquran. Siang dan malam. Mereka menempati enam bangunan di penginapan itu, sementara satu bangunan diisi oleh satu keluarga di luar rombongan Nurul Fikri.

“Mereka (anak-anak Nurul Fikri) pagi, siang, malam, mengaji terus. Paling istirahat sebentar makan dan keliling halaman penginapan,” kata dia.

Sementara, salah seorang guru Nurul Fikri yang ada di lokasi saat itu, Ai Nuraeni menjelaskan, pada saat kejadian tsunami, ada  55 santri menyaksikan kedahsyatan air yang meluluhlantakkan hotel dan rumah warga di sekitar pantai. Di saat kejadian tersebut ia dan anak didiknya menyaksikan kuasa Allah SWT yang luar biasa.

Ai menceritakan, pada saat kejadian di malam hari, melalui lantai dua villa yang mereka tempati, terlihat anak Gunung Krakatau mengeluarkan api dan laharnya. Walaupun sempat khawatir, mereka tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.

Namun, suara gemuruh tiba dan membuat dirinya bertanya-tanya. “Baru selesai hafalan setoran tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Awalnya dipikir hujan tapi ternyata enggak ada airnya, tiba-tiba dari belakang yang dekat ke pantai itu santri putra lari-lari (teriak) itu air, itu ada air. Kita sempat panik itu air apa,” kata Ai menjelaskan.

Tak lama kemudian, air tersebut surut begitu saja dan hanya menghantam pagar pembatas belakang villa. Rombongan pun memutuskan untuk berkumpul di mushala villa. Ia mendapat kabar bahwa pengelola pantai menghubungi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menanyakan apa yang terjadi. Ternyata, menurut BMKG saat itu hanya air pasang biasa. Mereka pun merasa sedikit tenang.

“Tapi ada sedikit khawatir juga sih dari para pembina. Akhirnya kita kumpulkan saja semuanya di mushala. Kita instruksikan mereka untuk menggunakan pakaian lengkap, minimal kita siap lari,” kenang Ai.

Pada saat itu, suasana kembali hening. Suara yang terdengar hanyalah para santri yang tengah mengaji dan melanjutkan tilawah yang sempat tertunda karena air pasang tiba-tiba tadi. Ai juga mengenang, saat itu para santri begitu tenang. Ada beberapa yang wudhu dan shalat taubat, semua begitu tenang dan tidak panik.

“Sesauatu yang mengharukan saya, terutama sikap anak-anak ketika terjadi bencana seperti itu, kita instruksikan, kita sekarang evakuasi, silakan bawa barang yang dianggap penting. Dan mereka langsung yang tercetus itu ya Alquran,” kata Ai.

Pada saat itu, pengelola hotel mengabarkan bahwa ada masyarakat yang mengungsi. Pembina pun musyawarah perlu atau tidaknya untuk ikut mengungsi. Ai menceritakan, setelah mereka berdiskusi, dua orang ustaz keluar untuk melihat kondisi sekitar. Kedua ustaz tersebut pun kaget karena lingkungan di sekitar villa telah hancur. Akhirnya mereka memutuskan untuk ikut mengungsi.

“Pengungsian waktu itu kata pengurus villa ada di daerah Cipanas, pokoknya dari villa ke arah kiri. Setelah belokan evakuasi itu, akan ada dari jembatan itu sudah tidak bisa dilalui kendaraan itu. Ya itu batas amannya,” kata dia.

Berharap usai

Sementara, yang menjaga penginapan itu, merasa sangat bersyukur atas keajaiban itu. Padahal di sekitar penginapan yang dijaganya, banyak bangunan dan warung yang tertimpa taunami.

Namun, Adi bersama rekan-rekannya harus tetap menjaga penginapan itu. Bahkan, H+1 pascatsunami, ia secara bergantian memaksakan diri berjaga malam. “Masih banyak barang soalnya,” kata dia.

Suara gemuruh Gunung Anak Krakatau terus terdengar hampir setiap menit. Suara angin bercampur ombak juga jelas terdengar. Meski menurut Adi suara itu sudah biasa, tapi tetap saja ia khawatir. Karena itu, ia mengaku selalu waspada, kalau-kalau tsunami datang lagi.

Saat masih menyapu, tiba-tiba ia mengeluh. Pasalnya, banyak debu yang terbawa oleh sapunya. Padahal, saat itu hujan ringan baru saja mengguyur sekitaran Anyer.

“Lihat tuh, Mas. Debunya banyak. Mungkin itu dari Krakatau,” kata dia.

Adi yakin sekali akan hal itu. Pasalnya, selama ini tak biasa penginapan itu banyak debu. Saat dilihat, debu itu berwarna hitam.

Ia berharap, bencana ini cepat selesai. Dengan begitu, Pantai Anyar akan kembali ramai dan penginapan yang dibaderol dengan harga Rp 1,5 juta per malam untuk akhir pekan itu bisa kembali kedatangan banyak tamu.

Read 1184 times