Syeikh Hakimelahi: Pelajaran Dari Tragedi Asyura

Rate this item
(0 votes)
Syeikh Hakimelahi: Pelajaran Dari Tragedi Asyura

 

Imam Husain as ditanya apakah jihad itu sunah atau wajib. Imam Husain as menjawab, “Jihad itu ada empat macam: dua jihad wajib dan dua jihad sunah yang salah satunya tidak dapat terlaksana kecuali dengan yang wajib. Adapun jihad wajib salah satunya adalah jihad melawan hawa nafsu, yaitu seorang manusia berjihad mencegah dirinya dari dosa, dan ini adalah jihad yang paling besar. Sementara jihad wajib yang kedua ialah jihad melawan orang-orang kafir (yang memusuhi) yang bertetangga (berbatasan) dengan orang-orang muslim. ” (Tuhaf al-Uqul, jilid 1 )

Pembahasan yang akan kita bicarakan ini adalah mengenai pelajaran yang dapat kita petik dari tragedi Asyura. Apa apa yang dihasilkan oleh peristiwa Asyura? Pelajaran pertama yang dapat kita petik adalah tauhid. Asyura ibarat kitab tauhid yang mengajarkan kepada kita tentang ketuhanan, penghambaan, dan kecintaan yang penuh kepada Tuhan.

Kita bisa melihat Imam Sayyid al-Syudaha dan pengikutnya yang setia, Ahlulbait yang terbunuh di Karbala menunjukkan tauhid praktis dalam tindakan nyata. Setiap langkah, perbuatan dan tindakan mereka mencerminkan ketauhidan. Mereka tidak menyandarkan sesuatu selain kepada Allah Swt. Menolak setiap pertolongan selain pertolongan Allah.

Sebelum pergi ke Karbala, dalam perjalanannya Imam Husain berkata, “Keridaan kami adalah keridaan Allah.” Begitu pula khotbah-khotbah di hadapan pasukan musuh mengandung nilai tauhid. Semua musibah yang terjadi mesti dihadapi dengan kesabaran. Imam berkata. “Ya Allah. hanya Engksu yang aku sembuh, dan hanya kepada Engkau hamba berharap.”

Pelajaran kedua yang bisa kita petik adalah tawakal, yakni menyandarkan segala harapan hanya kepada Allah. Memutus segala harapan dari yang lain selain dari Allah. Imam Husain as menunjukkan tawakal yang hakiki. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan pernah kalah. Dalam riwayat lain dikatakan, “Sebaik-baiknya tali yang bisa menyadarkan kita kepada Allah adalah tali tawakal.”

Kebangkitan Imam Husain as adalah kebangkitan yang penuh dengan tawakal. Walaupun secara zahir yang pertama kali yang memantik gerakan Imam as itu adalah surat-surat yang dikirim penduduk Kufah yang mengajak beliau bangkit melawan pemerintahan Yazid, itu tak menyurutkan niat Imam untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Karbala meski di perjalanan beliau mendengar berita kesyahidan Muslim bin Aqil, duta beliau di Kufah.

Di Hari Asyura, khotbah-khotbahnya penuh dengan perkataan tawakal. Salah satu ungkapan dari Imam Husain, “Ya Allah, Engkaulah tumpuan harapanku. Ya Allah, jika aku harus menghadapi segala kesulitan, aku tak akan pernah menghilangkan rasa tawakal dan kepercayaan kepada-Mu.”

Pagi Hari Asyura, ketika Umar bin Sa’ad dan pasukannya menyerang Imam Husain as dan para sahabatnya, beliau menyampaikan khotbah yang panjang dan sarat dengan muatan tawakal dan keikhlasan. Ketika Malaikat di langit menyaksikan kondisi Imam Husain, mereka minta izin kepada Allah untuk turun dan membantu. Setelah mendapat izin mereka menemui Imam as dan menyampaikan maksudnya. Akan tetapi maksud mereka untuk membantu ditolak oleh Imam Husain as. Sampai pada akhirnya terjadi pembantaian, hingga berakhir, para malaikat tidak kembali ke tempatnya. Menunggu sampai suatu hari nanti Allah mengizinkan Imam Mahdi turun dan malaikat akan membantunya.

Bahkan ketika salah seorang dari bangsa jin yang bernama Ja’far mendatangi Imam as untuk membantu, Imam Husain as menolaknya. Ini adalah tawakal besar yang ditunjukkan oleh Imam Husain as. Kisah ini adalah kisah yang sudah masyhur di kalangan orang-orang saleh. Sebagian orang mempunyai hubungan dengan bangsa Jin yang saleh ini dan sering melihat Jin itu menangis setiap hari. Ketika bangsa Jin ini ditanya mengapa banyak menangis, mereka menjawab, “Kalian hanya mendengar kisah Karbala dari buku-buku atau dari ceramah-ceramah. Tapi kami, bangsa Jin mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Jika kalian menyaksikan seperti yang kami saksikan di Karbala pasti kalian menangis.”

Kata-kata ini tidak bertentangan dengan apa yang didapatkan dari ziarah Imam Mahdi afs. Diriwayatkan oleh Maulana Shahibul Ashri (sebutan Imam Mahdi), beliau setiap malam hari menangisi Imam Husain as. Beliau mengatakan, “Wahai Abu Abdillah, aku akan terus menangisimu hingga air mataku habis, hingga menangisimu dengan darah.”

Para ulama mengatakan bahwa di hari Asyura kesedihan yang dirasakan oleh Imam Mahdi afs begitu beratnya. Karena itu para ulama mengajarkan dan menganjurkan sebisa mungkin kita meringankan beban penderitaan Imam Mahdi afs dengan menyembelih binatang korban. Hendaknya kita melakukan sedekah walaupun hanya dengan Rp1.000, atau memberi makan orang lain dengan niat supaya Allah Swt meringankan beban Imam Mahdi afs.

Pelajaran ketiga yang kita bisa ambil tentang Asyura adalah mengenai berserah diri sepenuhnya dan meridai atas apa yang Allah tentukan. Mungkin kita perlu mengetahui bahwasanya pelajaran tertinggi spiritual adalah maqam rida, yang dalam derajat irfani merupakan maqam yang terakhir. Di dalam Doa Sahr (sebuah doa yang dianjurkan untuk dibaca di waktu sahur di bulan Ramadan -red.) ketika kita memanjatkan doa dan meninta kepada Allah, kita bertawasul dengan nama-nama Allah, dengan keagungan dan keindahan Asma Allah, dan di akhir doa kita panjatkan, “Ya Allah aku rida atas apa yang Engkau berikan kepadaku dalam kehidupan ini.” Inilah yang menunjukan bahwasanya rida sebagai kedudukan yang tinggi.

Dalam ayat Alquran (89: 27 – 28) , berdasarkan tafsir dalam Ahlulbait, Allah Swt mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada Imam Husain dan menyebut Imam Husain dengan Ya Ayyuhaanafsul muthmainnah, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu”. Allah menyifati Imam Husain dalam ayat itu dengan radhiyatan mardhiyyah, dengan mencapai tingkatan rida, dia rida yang diridai. Itulah yang kita mendapatkan dari lembaran sejarah di Karbala yang menunjukkan manifestasi nyata serta rida.

Ketika peristiwa di Karbala, kita mengetahui peristiwa atas Ali Ashghar yang dipanah dengan panah yang beracun. Imam Husain memegang dan menyaksikan bagaimana anak itu darahnya muncrat dari lehemya. Pada saat itulah Imam Husain mengatakan ini, “Semua jadi ringan bagiku dan aku tahu peristiwa ini di hadapan Allah Swt.” Apa pun yang terjadi Imam Husain mengatakan ini adalah kehendak Allah, rida dan rela. Saat ditanya, “Apakah engkau berjalan menuju ke Kufah, Karbala padahal engkau tahu dihadang kematian?”

Beliau menjawab, “Allah hendak melihat aku dalam keadaan terbunuh.” Ketika ditanya, “ Mengapa engkau membawa keluargamu, yang akan diperangi dan ditawan?” Imam menjawab, “Aku bawa keluargaku karena Allah berkehendak.”

Pelajaran keempat yang kita bisa petik adalah pelajaran mengenai loyalitas dan kesetiaan. Bagaimana para sahabat Imam Husain setia untuk membela pemimpin, hujjatullah, imam yang hak yang siap membela walau nyawa taruhannya dan dibunuh dalam kondisi yang sangat tragis, sadis dan menyedihkan. Di malam Asyura para sahabat dikumpulkan oleh Imam Husain. Lalu beliau memerintahkan untuk memadamkan semua penerangan di kemah-kemah, Beliau lalu mengatakan kepada mereka, “Pergilah kalian dari hadapanku, semua baiat kalian aku cabut. Kalian telah melaksanakan tugas kalian dengan sebaik-baiknya. Aku cabut baiat kalian. Pergilah kalian masing-masing dari kegelapan dengan membawa keluarga untuk meninggalkan Karbala. Karena mereka berurusan dengan aku.”

Sebelum pergi namun scbagian tetap berada di sisi Imam as. Beliau mengatakan, “Mengapa kaliun tidak pergi?” Lalu dari mereka mengatakan, “Ya Aba Abdillnh, jika aku dibunuh, kemudian aku dicincang lalu terbunuh lagi dan Allah membangkitkan lagi dan aku terbunuh lagi dan terus menerus demikian, maka sumpah demi Allah. aku tidak akan meninggalkanmu.”

Dan, kesetiaan itu dibuktikan dengan amal dan praktik oleh mereka. Di hari Asyura mereka menunjukan kesetiaan mereka. Mereka tahu bahwa taruhannya adalah hilangnya nyawa dengan cara yang menyakitkan.

Setiap satu dari mereka maju ke medan pertempuran, tersungkur dan menghadapi detik-detik terakhir kehidupannya. Imam Husain as selalu menyempatkan diri untuk datang dan memangku kepala mereka dan mendatangi para sahabatnya. Di akhir hidupnya mereka mengatakan. “Ya Aba Abdillah. inilah kesetiaan aku kepadamu.”

Ali Akbar adalah keluarga pertama dari Bani Hasyim yang maju ke medan laga. Imam Husain mengenali Ali Akbar. Saat Ali Akbar berjalan Imam berkata, “Ya Allah, sekarang yang pergi ke medan pertempuran adalah seorang pemuda yang sangat mirip dengan datuknya, Rasul saw, baik wajahnya, tutur katanya maupun perilakunya.” Ini adalah kesaksian yang paling tinggi lmam Maksum yang menyanjung keteladanan Ali Akbar.

Zainab berkata, “Ketika sahabat-sahabat Imam Husain pergi ke medan laga untuk bertempur, Imam menantikan mereka sampai mereka tersungkur dan syahid. Akan tetapi ketika Ali Akbar yang pergi ke medan tempur, beliau gelisah karena dia adalah seorang yang sangat beliau cintai, putra yang sedemikian agung, yang Imam Husain sendiri mengatakan, “Ya Allah, jika aku rindu kepada nabi-Mu, aku selalu melihat dia dan menatap dia mengobati rasa rindu kami kepada nabi-Mu.”

Kecintaan Imam Husan kepada Ali Akbar tidak terlukiskan. Ketika Ali Akbar maju ke medan perang, satu persatu orang di hadapannya bertarung dengan putra Imam Husain itu. Mereka tersungkur dan tewas di tangan Ali Akbar. Satu persatu berhasil disungkurkan oleh Ali Akbar sampai saat Umar bin Sa’ad melihat pasukan Ibnu Ziyad, “Wahai manusia, kalau kalian melawan dia, maka tidak akan ada satu pun yang bisa menang. Dialah pemuda yang memiliki keberanian tempur seperti keberanian tempur Haidar; kakeknya (Imam Ali bin Abi Thalib). Serang dia secara bertubi-tubi!”

Lalu pasukan pun dipersiapkan di segala penjuru. Ali Akbar dihujani oleh anak panah. Tidak ada sedikit pun tubuh Ali Akbar yang selamat dari anak panah. Sampai satu demi satu pasukan musuh mempunyai kesempatan dan memukulkan alat-alat perangnya.

Darah mengucur dari tubuh Ali Akbar sedemikian dahsyat. Dalam keadaan seperti itu ada seorang yang mengambil kayu dan memukulkannya ke tubuh dan kepala Ali Akbar. Ali Akbar sudah tidak berdaya. Dia tidak bisa lagi memegang tali pegangan kuda dan mengalungkan tangannya di leher kuda yang bahkan sudah tidak bisa lagi memiliki tenaga. Pada saat itu kuda pun menuju kepada para musuh. Mereka memukulkan segala alat perangnya ke tubuh Ali Akbar sampai tiba-tiba terdengar suara Ali Akbar, “Wahai ayahku, Kakekku Rasulullah…”

Sayidah Zainab menceritakan: Tiba-tiba aku melihat Imam Husain menunggangi kudanya melesat secepat kilat ke tengah medan tempur sambil meneriakkan memanggil-manggil putranya, “Ya Ali. Ya Ali, putraku…”

Kemudian Imam mengobrak-abrik pasukan yang mengepung Ali Akbar dan terduduk bersimpuh di samping tubuh Ali Akbar. Menurut riwayat, jasad Ali Akbar tidak berbentuk lagi karena musuh telah membelah dan mencincang-cincang tubuh Ali Akbar.

Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi ketika Abu Abdillah as berada di sisi tubuh Ali Akbar. Pertama, Imam, yang kita tahu, adalah orang yang memiliki kesabaran yang sedemikian besar. Orang yang sedemikian tabah dalam menghadapi segala musibah. Tujuh kali Imam meneriakkan dan menyebut nama Ali Akbar, memanggil-manggil nama putranya itu. Dalam hatinya mengatakan, “Ali wahai putraku, wahai buah hatiku.” Imam mengatakan semacam itu dengan suara yang cukup keras. Kedua, Imam melaknat orang orang yang telah membunuh Ali Akbar.

*Naskah ini merupakan Khotbah Jumat Dr. Abdulmajid Hamimelahi, di Islamic Cultural Center Jakarta

Read 892 times