Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (7)

Rate this item
(1 Vote)
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (7)

 

“Semua benda material bergerak menuju ke-ada­-an immaterial dengan bantuan daya-daya yang juga immaterial. Pada puncaknya, daya-daya immaterial juga bergerak mendekat ke arah Maha Penggerak Utama, yaitu Tuhan.”


Akan tetapi, Mulla Shadra mengajukan berbagai dalil untuk mendukung teori gerakan substansialnya. Selain empat aksiden yang sudah disebutkan sebelumnya,[1] Mulla Shadra membuktikan bahwa substansi juga mengalami pergerakan walaupun hakikatnya tetaplah sama.

Menurutnya, aksiden serupa dengan penumpang pesawat terbang yang tidak berperan aktif dalam menempuh jarak. Jarak penerbangan sesungguhnya ditempuh oleh badan pesawat, sementara aksiden bergerak dengan perantara gerakan pesawat yang tak lain adalah substansinya.


Dengan demikian, semua hal di alam material bergerak menuju suatu penyempurnaan. Dan karena setiap gerakan membutuhkan daya penggerak, maka Mulla Shadra menyimpulkan bahwa alam material senantiasa membutuhkan pada daya penggerak yang non-material.[2]

Dengan dasar itu, Mulla Shadra kemudian menunjukkan bahwa semua benda material bergerak menuju ke-ada­-an immaterial dengan bantuan daya-daya yang juga immaterial. Pada puncaknya, daya-daya immaterial juga bergerak mendekat ke arah Maha Penggerak Utama, yaitu Tuhan.

Dalam filsafat Mulla Shadra, lebih tepat bila kita berbicara mengenai realitas material dalam bahasa peristiwa dan kejadian ketimbang sistem yang ajek dan statis. Alam raya berada dalam gerakan yang konstan dan berubah dalam setiap waktu. Dalam kerangka itu, maujud yang sedianya dipersepsi sebagai terkurung dalam ruang dan waktu tertentu, harus dipandang sebagai senantiasa bersiap-siap menjadi sesuatu yang lain.

Bagi Mulla Shadra, sarana yang memungkinkan skala rendah alam material mendaki puncak-puncak ketinggian alam immaterial ialah akal beserta berbagai tingkatan perwujudannya.

Seperti telah disebutkan, akal mengalami penyempurnaan terus-menerus. Mula-mula ia sebagai sekadar kesiapan untuk memahami dan mencerap; lalu berkembang menjadi kemampuan, kegiatan, kebiasaan, kemurnian dan demikian seterusnya sampai ia menjadi mata air sumber kesempurnaan manusia sebagaimana diisyaratkan oleh hadis yang menegaskan berbagai sifat baik sebagai anak buah dan prajurit akal.

Fungsi akal sebagai sarana manusia melepaskan diri dari materialitas dan potensialitas menuju imaterialitas dan aktualitas telah dibuktikan di karya-karya filosofis Mulla Sadra. Ada banyak bukti rasional yang menunjukkan bahwa akal yang berkutub ganda (kutub materi dan kutub ruhani) mendukung fungsi tersebut.

Fungsi yang demikian itu oleh sebagian filosof dan urafa dikaitkan dengan kedudukan wilayah imajinal (alam al-khayal) yang dirancang untuk menghubungkan alam yang lebih rendah, alam yang tumbuh dan binasa (al-kawn wal fasad), dengan tingkatan-tingkatan realitas di alam-alam yang lebih tinggi.

Peran utama alam imajinal itu sebetulnya ialah menjadi model atau tiruan yang bisa memperantarai (mediate) citra-citra fisik dan citra-citra abstrak dalam realitas.

Objek material tidak bisa langsung berhubungan dengan alam akal, karena ketakmampuannya keluar dari kubangan ruang dan waktu. Maka itu, diperlukan kekuatan imajinasi untuk menarik image (citra) atau yang disebut oleh al-Suhrawardi dengan raga imajinal (al-jism al-khayaly).

Dalam konteks itu, imajinasi bertugas menjadi penghubung indra dan akal. Namun begitu, penting untuk diingat bahwa sesaat setelah kita mencapai tahap pemikiran rasional, imajinasi perlu kita tinggalkan. Karena, pada saat itu, ia malah akan menjadi penghalang ketimbang penolong.

Satu hal yang pasti, imajinasi akan mengotori pikiran kita dengan pelbagai citra material yang sudah tak lagi kita perlukan pada tahap selanjutnya. Imajinasi ibarat bekal untuk menaiki puncak gunung yang mesti dibuang bila tak lagi mendukung tercapainya tujuan, apalagi bila dikhawatirkan membebani sang pendaki. Tak ada lagi manfaat bergelantungan di anak-anak tangga bila kita sudah sampai ke lantai atas, di mana banyak tugas lain menunggu untuk dituntaskan.

Di lantai atas, imajinasi tidak lagi mendukung kerja akal – untuk tidak menyebutnya menghalangi dan membebani. Karena, seperti juga syahwat yang berperan menstimulasi indera untuk menangkap objek-objek luar, imajinasi juga hanya berperan merajut berbagai citra dan menyerahkannya pada kekuatan akal untuk ditahkik dan dibawa serta menuju ke alam-alam yang lebih tinggi, bila dirasa ada manfaat untuk itu.

Bersambung

Sebelumnya:


Catatan kaki:

[1] Empat kategori aksiden tersebut antara lain: kuantitas (kamm); kualitas (kayf); posisi (wadh’) dan tempat (‘ayn).

[2] Mulla Shadra, Mafatih al-Ghayb, Mu’assasa-e Muthala’at va Tahqiqat Farhang, 1363 Tahun Iran, pada pengantar Muhammad Khajawi,hal. 517-523.

Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-7/

Read 1834 times