
کمالوندی
Teroris DIIS Bermain Bola dengan Kepala yang Telah Terpenggal
Televisi Suriah beberapa waktu lalu menyiarkan sebuah film yang menunjukkan para anasir teroris Daulah Islamiyah fi Iraq wa Syam (DIIS) sedang bermain bola dengan menggunakan kepala yang telah terpenggal di kota Adra.
Alalam (29/12) melaporkan, para anasir DIIS setelah memenggal kepala warga Suriah dengan alasan kafir dan mendukung pemerintah Bashar Al-Assad, mereka bermain bola dengan kepala-kepala yang telah terpenggal itu.
Dari gaya pakaian dan penampilannya, jelas sekali bahwa para anasit tersebut bukan warga Suriah.
Para anasir teroris DIIS melakukan berbagai kejahatan sadis setelah masuk ke kota Adra.
Empat Skenario Barat Anti Suriah
Kongres Amerika Serikat tengah membahas pemberian ijin bagi agresi militer ke Suriah, padahal legalitas langkah seperti ini masih dipertanyakan. Berdasarkan berbagai prediksi, Senat AS Senin (9/9) mengambil voting terkait serangan militer ke Suriah. Sementara Kongres akan melakukan voting hari Selasa atau Rabu pekan ini terhadap prakarsa Presiden Barack Obama untuk menyerang Damaskus.
Pekan lalu Barack Obama meminta Kongres untuk memberi ijin serangan ke Suriah dengan dalih memberi hukuman atau mencegah Damaskus untuk menggunakan senjata kimia. Sejumlah negara anti Suriah menuding Damaskus pada 21 Agustus menggunakan senjata kimia menyerang kawasan timur Damakus, sehingga lebih dari 1400 orang meninggal. Sementara Suriah menolak tegas keterlibatannya dalam serangan seperti ini dan menyebutnya sebagai konspirasi untuk menghancurkan Damaskus.
Amerika dan sekutunya di saat memutuskan untuk menyerang Suriah ketika rencana mereka ini tidak mendapat restu dari Dewan Keamanan. Oleh karena itu, legalitas langkah seperti ini banyak dipertanyakan dan menuai penentangan serta melanggar konvensi internasional.
Isu kemungkinan serangan ke Suriah disebarkan di saat keberhasilan militer Suriah dalam beberapa bulan terakhir sangat mengejutkan. Keberhasilan ini tentu saja menguntungkan pemerintah Damaskus. Oleh karena itu, melemahkan posisi pemerintah Damaskus dan mengimbangkan kembali posisi militer pemerintah dan pasukan anti Suriah menjadi tujuan strategis negara pro kubu anti Bashar al-Assad. Dan opsi serangan militer ke Suriah meski hanya terbatas dampaknya akan mampu merealisasikan tujuan mereka.
Washington dan mitra regionalnya dengan mengakui secara resmi Aliansi anti Suriah dan kemudian disusul dengan pemerintahan sementara kubu anti Assad, secara praktis menempatkan dirinya berseberangan dengan Damaskus yang saat ini dalam berbagai medan tempur mampu mengalahkan musuhnya. Dalam kondisi seperti ini peluang pemerintah Damaskus untuk tetap eksis semakin besar.
Motif Amerika dengan menyatakan akan menghukum Bashar al-Assad dengan dalih telah menggunakan senjata kimia serta mencegah penggunaan senjata terlarang ini secara massal. Namun sebenarnya tujuan Amarika adalah upaya untuk mengurangi perasaan aman Assad dan mengubah keyakinannya untuk tetap kekal di posisinya serta peringatan kepada mitra-mitra regional Suriah.
Ada empat skenario yang telah dirancang Barat terhadap Suriah
Pertama; serangan mematikan untuk menumbangkan pemerintahan Bashar al-Assad. Di skenario ini, Washington dengan klaim mengakhiri krisis Suriah, mulai membidik sumber kekuatan dan posisi utama pemerintahan Assad. Sehingga pasukan oposisi mampu menduduki kota-kota yang dikontrol militer serta menggulingkan pemerintah Damaskus.
Kedua; Pukulan ringan (serangan terbatas) untuk merealisasikan ambisi yang mereka tentukan sebelumnya dan pada akhirnya seraya menekankan urgensitas solusi damai krisis Suriah, sehingga seakan-akan tampak Barat tidak mengijinkan proses penyelesaian krisis Damaskus merembet ke arah militer dan menghendaki perimbangan di Suriah kembali pulih. Di skenario ini sejumlah target militer dan keamanan di seluruh wilayah Suriah akan menjadi sasaran rudal cruise dan tomahawk.
Ketiga; Menerapkan zona larangan terbang dan hasilnya adalah hilangnya kekuatan militer besar (angkatan udara) militer Suriah dalam perang melawan kubu oposisi. Transformasi seperti ini membutuhkan kerjasama dengan mitra regional dan sepertinya Yordania serta Turki siap untuk membantu. Zona larangan terbang akan mampu memperkuat posisi kubu oposisi di sejumlah wilayah Damaskus.
Keempat; Tertolaknya agresi militer dengan keputusan Kongres Amerika dan tunduknya Barack Obama terhadap keputusan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, yang bakal muncul adalah eskalasi dukungan senjata kepada kubu oposisi sebelum Konferensi Jenewa 2 guna memulihkan perimbangan kekuatan di Suriah.
Secara keseluruhan, kemungkinan serangan besar-besaran untuk menumbangkan pemerintahan Assad semakin lemah, karena jika perimbangan kekuatan pulih dan menguntungkan kubu oposisi, kontrol serta mengkoordinir kelompok ini bagi pemain asing akan semakin sulit serta Suriah memiliki potensial besar untuk berubah menjadi seperti Irak.
Namun serangan kecil dikarenakan berbagai dalih termasuk pulihnya perimbangan di Suriah, semakin kuatnya kemungkinan kemajuan solusi politik di Konferensi Jenewa 2 serta komitmen Washington terhadap janjinya sebagai polisi dunia sepertinya lebih besar kemungkinan untuk terjadi.
Bagaimanapun juga, pelimpahan keputusan kepada Kongres terkait serangan terhadap Suriah menjadi indikasi keraguan Washington, namun pengiriman kapal perang negara ini ke Mediterania menunjukkan kebalikan dari poin ini serta kain memperkuat keseriusan serangan terhadap Damaskus.
Jika asumsi di atas kita terima dan Amerika melancarkan serangan terbatas ke Suriah, namun serangan tersebut tidak mampu mengubah perimbangan kekuatan di Damaskus, maka sepertinya dalam kondisi tersebut skenario ketiga yakni penerapan zona larangan terbang di Suriah semakin serius diterapkan.
Melacak Jejak Imam Ali Melalui Bendera Macan Ali
Cirebon adalah kota di tepi pantai utara Jawa bagian barat. Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513 Masehi mencatat bahwa Cirebon adalah kota yang memiliki pelabuhan yang mutakhir. Kemudahan akses menuju Cirebon dari wilayah laut, mungkin menjadi salah satu sebab mengapa kota ini menjadi tempat awal bersemainya ajaran Islam dan menjadi jembatan bagi tersebarnya ajaran Islam ke wilayah pedalaman Jawa Barat. Salah satu watak dari penyebaran Islam di Nusantara adalah menguatnya keberadaan figur-figur tokoh yang mengarah pada terbentuknya komunitas-komunitas, yang kemudian disempurnakan dengan berdirinya lembaga kesultanan.Menurut penelitian Ahmad Mansur Suryanegara, para penyebar agama Islam di Nusantara telah berhasil membangun kekuasaan Islam dengan mendirikan sekitar 40 kesultanan Islam yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Cirebon (Irianto, 2012:2-3).
Perintis kesultanan Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan adiknya, Nyimas Ratu Rarasantang. Atas perintah guru mereka, Syekh Nurjati, mereka pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Nyimas Ratu Rarasantang yang setelah berhaji diberi gelar Hajjah Syarifah Mudaim, dinikahi oleh Raja Mesir keturunan Bani Hashim, bernama Syarif Abdullah (bergelar Sultan Mahmud). Dari pernikahan ini, lahirlah putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M. Syarif Hidayatullah dibesarkan di Mesir, namun kemudian menuntut ilmu-ilmu agama dan tasawuf di Mekah dan Baghdad. Setelah itu, dia memilih pergi ke Cirebon untuk mensyiarkan ajaran Islam di tanah air ibunya.
Syarif Hidayatullah kemudian berdakwah di Jawa dan diberi gelar Sunan Gunung Jati. Keilmuan dan kewaliannya sedemikian cemerlang, sehingga akhirnya Sunan Gunung Jati diserahi tampuk kepemimpinan kesultanan Cirebon dengan helar Susuhunan Jati. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana umumnya kerajaan atau negara, Cirebon memiliki sebuah bendera kenegaraan, yang disebut Bendera Macan Ali. Bendera ini pernah dibawa dalam medan perang di Sunda Kelapa. Saat itu, pasukan Cirebon yang dipimpin Falatehan (menantu Sunan Gunung Jati) bersama pasukan Kesultanan Demak dan Banten, bahu-membahu mengusir Portugis yang hendak menguasai Sunda Kelapa (Irianto, 2012:3-4).
Saat ini, Bendera Macan Ali kuno disimpan di Museum Tekstil Jakarta, namun yang ditampilkan untuk publik adalah bendera tiruannya. Bendera Macan Ali dibuat dengan teknik batik tulis dan bertanda tahun 1776. Bendera ini menyimpan jejak sejarah yang sangat kaya, sehingga perlu dipelajari dengan seksama oleh bangsa Indonesia, khususnya generasi muda. Atas dasar itulah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, pada tanggal 11 September 2013 lalu mengadakan Seminar Bedah Naskah Bendera Kesultanan Cirebon.
Dalam seminar ini, hadir tiga pakar naskah kuno, Prof.DR. H.A. Sobana Harjasaputra, Drs Tawalinuddin Haris, MS, dan drh. Bambang Irianto, B.A. Dalam paparannya, Prof. Sobana menyatakan bahwa bendera Macan Ali sudah cukup dikenal oleh masyarakat Cirebon. Namun, bagaimana asal-usul dan penggunaan bendera itu, belum terungkap jelas. Oleh karenanya, yang bisa dilakukan oleh peneliti adalah memaknai berbagai tulisan dan simbol yang ada di bendera tersebut dan mengaitkannya dengan data-data yang tersedia mengenai sejarah Kesultanan Cirebon. Bendera Kesultanan Cirebon ini berbentuk segi panjang bersudut lima berujung lancip, seperti tanda penunjuk arah. Warna dasar bendera itu adalah biru kehitaman. Di bagian tengah bendera terdapat gambar pedang cagak (pedang bermata dua); gambar pedang ini terinspirasi dari pedang Dzulfiqar yang dihadiahkan Rasulullah kepada Sayyidina Ali.
Selain itu, ada kaligrafi berbentuk ‘Macan Ali' yang berjumlah tiga buah, dan di sekelilingnya dipenuhi tulisan berhuruf Arab berupa kalimat-kalimat dari Al Quran. Pada sisi kanan adalah kalimat basmalah, pada sisi atas adalah Surah Al Ikhlas, pada sisi bawah Surah Al An'am ayat 103, yang berarti ‘Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang keliahatan, dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui'. Gambar pedang cagak sendiri melambangkan huruf lam-alif, yaitu huruf pertama dari kalimah syahadat. Menurut Prof Sobana, dituliskannya ayat-ayat Al Quran dalam bendera itu menunjukkan bahwa bendera itu dibuat seiring dnegan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Diduga kuat, ayat-ayat itulah yang banyak digunakan para pendakwah Islam masa itu dalam mengajarkan ketauhidan dan keberserahdirian kepada Allah SWT.
Sementara itu, Bambang Irianto, yang juga penulis buku Bendera Cirebon, Ajaran Kesempurnaan Hidup (Terbitan Museum Tekstil Jakarta, 2012) memaparkan berbagai makna tasawuf dari bendera Macan Ali ini, dengan berlandaskan hasil penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cirebon. Antara lain, bentuk bendera yang berbentuk penunjuk arah, melambangkan petunjuk hidup di dunia. Bingkai bendera yang berwarna kuning menunjukkan upaya mencapai kebahagiaan dan cita-cita yang tinggi. Kalimat Basmalah menunjukkan adanya tekad kuat dalam memulai segala sesuatu. Surah Al Ikhlas menunjukkan keikhlasan rububiyah sebagai landasan untuk melakukan keikhlasan amaliah. Surah Al Anam:103 menunjukkan bahwa manusia harus selalu berbuat benar dan sabar karena selalu dimonitor oleh Allah SWT.
Menurut Irianto, berdasarkan hasil penelusurannya di naskah milik Kraton Keprabonan, pedang cagak disebut juga sebagai pedang Dzulfaqor dan Dzulfikar. Dzulfaqor memiliki makna ‘yang mempunyai harapan', sedangkan Dzulfikar bermakna ‘yang mempunyai pikiran. Maksudnya adalah setiap amal dan perbuatan hendaknya selalu direncanaka dengan pemikiran berganda (berulang-ulang). Gambar macan besar yang berada di ujung pedang melambangkan pemimpin besar yang memandu rakyatnya dengan kalimat syahadat, karena pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, atas kepemimpinannya. Letak kaligrafi berbentuk macan itu berada persis di depan pedang cagak menandai bahwa seorang pemimpin harus sangat berhati-hati karena bila tidak, dirinya dan bangsanya akan mudah diserang oleh musuh.
Pernyataan menarik muncul dari Tawalinuddin Haris. Dia menyebut bahwa nama bendera Macan Ali sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ali Bin Abi Thalib. Menurutnya, kata ‘Ali' bermakna ‘yang tinggi/luhur', bukan mengacu pada Imam Ali. Namun kemudian salah satu peserta seminar mengkritisi pendapat ini dengan menyebut bahwa dalam kultur Cirebon dikenal tarekat-tarekat yang di dalam ritual-ritual mereka disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Selain itu, dalam kisah-kisah sastra Sunda kuno juga disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Ditambah lagi, ayat-ayat yang ditulis dalam bendera itu adalah ayat-ayat yang sufistik dan biasa dilafazkan dalam ritual tarekat-tarekat di Cirebon. Pernyataan ini disetujui oleh Drh. Bambang Irianto yang asli Cirebon dan ternyata juga pengikut tarekat Sattariah. Menurutnya, memang banyak ilmu-ilmu sufistik yang diajarkan dalam tarekat itu yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali.
Meskipun begitu, dalam makalahnya, Haris juga menyebutkan bahwa kaligrafi berbentuk macan itu kemungkinan merupakan adaptasi pengaruh budaya Persia. Di Persia, kalimat-kalimat yang mengacu pada pengagungan Sayyidina Ali dibentuk dalam wujud singa, sedangkan dalam kesenian Cirebon, kaligrafi kalimat syahadat dibentuk membentuk figur macan. Dasar pemikiran Haris adalah bahwa masuknya Islam ke Indonesia memang tidak langsung dari Arab melainkan melalui Iran atau India. Dalam kultur Cirebon, kaligrafi Macan Ali mendapat penghormatan yang tinggi dan digantung di masjid-masjid.
Kejahatan Takfiri dan Standar Ganda Barat
Kebijakan standar ganda Barat semakin tampak jelas di dunia seiring berlanjutnya krisis berdarah di Suriah. Barat menuding pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dan menciptakan kegaduhan politik dan propaganda media untuk mengotorisasi serangan militer ke negara Arab itu. Namun, Barat – yang mengaku mencintai nilai-nilai kemanusiaan dan HAM – menutup mata dari kejahatan yang dilakukan oleh kelompok Salafi yang berafiliasi dengan Al Qaeda di Suriah. Jika kejahatan teroris Takfiri itu menimpa salah seorang dari masyarakat Barat, maka pemberitaan besar-besaran tentang kejahatan itu akan menghiasi media-media dunia.
Masyarakat dunia mungkin masih ingat peristiwa yang menimpa beberapa masyarakat Barat selama pendudukan Irak. Pada waktu itu, kelompok Salafi menyandera beberapa warga Barat dan membunuh mereka secara keji. Menyusul peristiwa itu, Amerika Serikat melakukan propaganda luas untuk membenarkan berlanjutnya pendudukan Irak. Sekarang, Takfiri di Suriah terlibat kejahatan yang puluhan kali lipat lebih besar dari Irak, tapi kejahatan itu hanya mendapat sorotan minim dari media-media Barat.
Ada dua alasan utama terkait kebijakan standar ganda Barat dalam membela hak asasi manusia dan demokrasi di dunia. Alasan pertama, pemerintah-pemerintah Barat terutama AS selama dua dekade lalu melakukan intervensi di sejumlah negara dunia di bawah kedok bantuan kemanusiaan. Dan alasan kedua, negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis berusaha menjustifikasi kebijakan gila perang mereka melalui program tersebut. Mereka dengan alasan perang kontra-terorisme, menyerang Afghanistan dari udara dan darat, sementara Irak diduduki dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal.
Warga sipil di Afghanistan, Pakistan dan Yaman dibantai dengan alasan menghancurkan basis-basis kelompok teroris dengan pesawat tanpa awak. Akan tetapi rakyat Suriah telah menjadi korban dari dua arah, mereka menjadi korban kejahatan kelompok Takfiri dan juga korban pemerintah-pemerintah Barat. Barat dari satu sisi mengaku ingin menegakkan demokrasi dan melindungi rakyat Suriah dari pemerintahan Bashar al-Assad, tapi dari sisi lain menutup mata mereka dari kejahatan-kejahatan kelompok Takfiri.
Barat selain tidak mereaksi kekejaman yang dilakukan oleh kelompok Takfiri di Suriah, tapi sebaliknya, mereka memberikan dukungan politik, finansial dan militer kepada anasir teroris tersebut. Takfiri tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi tentara Suriah dalam dua tahun terakhir jika tanpa dukungan Barat dan sekutu regionalnya seperti Turki, Arab Saudi dan Qatar. Sebagian besar militan di Suriah didatangkan dari negara-negara lain dan mereka mendapat pelatihan di kamp-kamp militer di Turki dan Yordania. Dan kemudian mereka dikirim ke Suriah dalam kelompok-kelompok yang terorganisir.
Pada dasarnya, pemerintah-pemerintah Barat terlibat langsung dalam pelatihan kelompok Takfiri untuk membantai warga sipil Suriah. Barat mengesankan dirinya sebagai pembela rakyat Suriah dan ingin mendapatkan mandat untuk menyerang negara itu dengan mengangkat isu-isu seperti penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus. Padahal, mereka sendiri berperan dalam membunuh rakyat Suriah melalui anasir-anasir Takfiri.
Tentu saja, perilaku keji dan pemikiran kaku para ekstrimis dan militan Takfiri tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam adalah agama kasih sayang, perdamaian dan kemanusiaan. Nabi Muhammad Saw senantiasa mengajak umat Islam untuk berakhlak mulia dan bersikap penuh kasih sayang bahkan kepada non-Muslim. Beliau Saw dalam berbagai kesempatan, mewasiatkan umat Islam untuk berlaku adil dan baik dengan para tawanan. Imam Ali as di penghujung hayatnya, juga mewasiatkan putra-putranya untuk bertindak adil terhadap orang yang telah menghunuskan pedang atasnya.
Para pemimpin agama Islam adalah simbol rahmat, kasih sayang, dan pemaaf. Oleh karena itu, mustahil Islam memerintahkan umatnya untuk menebarkan kekerasan dan memenggal kepala manusia lain atau membakar mereka karena perbedaan keyakinan. Islam juga mustahil mengizinkan umatnya untuk menyeret anak-anak dan remaja ke tiang gantung dengan alasan balas dendam.
Salah satu faktor tersiarnya Islam pada tahun-tahun pertama dakwah adalah akhlak mulia dan kasih sayang Rasul Saw dalam berinteraksi dengan masyarakat dan bahkan dengan musuh-musuh Islam. Rasul Saw pada tahun-tahun pertama pengutusan di Mekkah, mendapat pelecehan dan siksaan dari warga setempat. Dikisahkan bahwa seorang Yahudi Mekkah kerap meludahi wajah Nabi Saw setiap kali berpas-pasan di lorong kota. Pada suatu hari, Nabi Saw tidak mendapati lagi orang Yahudi tersebut. Setelah bertanya kesana-sini, akhirnya Nabi Saw tahu bahwa orang itu sedang jatuh sakit. Beliau pun memutuskan untuk menjeguk Yahudi itu. Keagungan akhlak Nabi Saw telah meluluhkan hatinya. Ia pun memeluk Nabi Saw dan menyatakan masuk Islam.
Islam yang diagung-agungkan oleh kelompok Takfiri dan sebagian Salafi adalah sebuah ajaran Islam yang telah diselewengkan. Islam hakiki sama sekali tidak mengizinkan umatnya untuk mengkafirkan kelompok lain dan menyakiti mereka apalagi sampai membunuh antar-sesama. Jihad dalam Islam hanya dibolehkan ketika ada kasus agresi terhadap agama, tanah air dan kehormatan kaum Muslimin.
Dakwah merupakan poros dasar dalam menyebarluaskan agama Islam. Rasul Saw memilih hijrah ke Madinah setelah mendapat tantangan yang hebat di Mekkah dan ancaman terhadap keselamatannya. Semua tantangan itu menghalangi dakwah beliau di kota tersebut. Namun delapan tahun kemudian, Rasul Saw dengan bala tentaranya kembali ke kota Mekkah, tapi berbeda dengan penantian semua orang, beliau malah menjamin keamanan warga Mekkah. Salah satu tempat yang dijamin keamanannya adalah rumah Abu Sufyan, pemimpin Musyrik Mekkah.
Perlu diketahui bahwa Abu Sufyan tak pernah berhenti menentang misi dakwah Nabi Saw dan ia juga telah memimpin beberapa perang terhadap umat Islam. Pada peristiwa perang Uhud, istri Abu Sufyan memakan jantung Hamzah, paman Nabi Saw. Akan tetapi, Rasul Saw menjadikan rumah orang tersebut sebagai tempat yang aman dalam penaklukan kota Mekkah.
Nabi Saw adalah sosok yang penuh kasih sayang, kelembutan, cinta kepada kemanusiaan dan pemaaf. Lalu, bagaimana kelompok Takfiri bisa melakukan kejahatan mengerikan dan membantai orang-orang tak berdosa di Suriah? Tak ada riwayat dan ayat al-Quran yang mengizinkan kejahatan seperti itu. Pada dasarnya, pemerintah-pemerintah Barat memanfaatkan kejahatan Takfiri untuk beberapa kepentingan. Mereka menggunakan beberapa kasus kejahatan Takfiri untuk mengesankan Islam sebagai agama kekerasan.
Barat juga berupaya menyeret rakyat Suriah dalam krisis berkepanjangan dengan memberi dukungan politik, finansial dan militer kepada kelompok Takfiri untuk melakukan kejahatan di Suriah. Namun setelah pemberontak Suriah tidak mampu menghadapi kekuatan militer Assad, akhirnya Barat dengan berbagai alasan mengangkat wacana serangan militer ke Suriah. Dari sisi lain, AS memperkeruh suasana dengan memperuncing konflik Sunni-Syiah yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan terhadap komunitas Syiah di Suriah.
Jihad Nikah, Jebakan Sesat Wahabisme
Kelompok bersenjata Takfiri yang umumnya adalah warga negara asing, membantai warga sipil dan pasukan pemerintah Suriah. Pembunuhan dan pembantaian tersebut, jika pada awalnya sangat mengejutkan, namun sekarang telah menjadi hal yang biasa kita dengar melalui media massa setiap hari. Namun terkadang, kita juga mendengar berita-berita tentang fatwa-fatwa aneh oleh para pemimpin kelompok sesat itu termasuk di antaranya "jihad nikah" yang mengundang reaksi dari berbagai pihak.
Sejak dimulainya instabilitas Suriah, kelompok Takfiri dari berbagai negara berbondong-bondong ke Suriah untuk "berjihad" demi menegakkan "demokrasi". Namun, kelompok-kelompok ini tidak lebih dari sekedar gerombolan perusuh yang tidak memahami makna dan prinsip jihad atau demokrasi. Setelah menguasai sebuah wilayah, pada tahap awal mereka akan memburu para gadis dan perempuan di kawasan itu untuk dijadikan mangsa kebuasan hawa nafsu mereka.
Menyusul perluasan aksi pemerkosaan oleh para teroris Takfiri itu, seorang mufti Wahabi bernama Muhammad Al-Arifi, tampil memberikan legalitas pada aksi-aksi bejat para teroris Takfiri di Suriah. Al-Arifi merilis fatwa aneh yang menyeru para gadis dan perempuan Arab untuk berjihad nikah di Suriah, atau menawarkan tubuh mereka kepada para "pejuang" Takfiri yang sedang berperang melawan rezim Bashar Al-Assad. Mufti sesat ini bahkan membolehkan para ibu yang sudah memiliki suami untuk "berjihad nikah" di Suriah, dan berhubungan intim dengan para "pejuang". Dengan demikian, fatwa tersebut membolehkan perempuan dalam sehari berhubungan intim dengan para anasir Takfiri.
Jihad nikah atau yang oleh sebagian pihak disebut-sebut dengan jihad seks ini, oleh Al-Arifi sendiri disebut dengan pernikahan sementara, yang meliputi kaum perempuan, gadis berusia di atas 14 tahun serta perempuan yang telah diceraikan atau janda. Berdasarkan fatwa Al-Arifi, kaum perempuan yang melakukan jihad ini mendapat jaminan sorga.
Pasca fatwa tidak islami dan tidak manusiawi itu Al-Arifi , muncul gelombang besar kecaman dan kemarahan dari dunia Islam. Para ulama besar Islam baik dari Sunni atau Syiah dengan tegas mengecam fatwa tersebut yang dinilai sebagai upaya menghalalkan zina yang jelas-jelas telah dilarang Allah Swt. Anak yang dilahirkan dari "jihad nikah" itu tetap menjadi anak zina, dan tidak ada jaminan sorga melainkan neraka bagi para pelakunya.
Menghadapi kecaman dan tekanan hebat dari dunia Islam dan Arab, Al-Arifi terpaksa menarik fatwanya dan mengingkari pernah mengeluarkan fatwa tersebut. Akan tetapi masalahnya, pengingkaran Al-Arifi ini tidak mencegah para teroris Takfiri di Suriah mengharamkan jihad nikah, bahkan semakin banyak yang melakukannya, karena hal itu menguntungkan mereka. Para teroris Takfiri memaksa para bapak di Suriah untuk menyerahkan anak perempuan mereka kepada "pejuang" Takfiri. Ini merupakan kezaliman terbesar bagi kaum perempuan dan gadis dengan menggunakan bid'ah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam.
Menyusul fatwa jihad nikah oleh mufti Wahabi itu, sebanyak 90 perempuan keturunan Chechnya dari Inggris dan banyak negara Eropa berangkat menuju Istanbul, Turki dan dari sana mereka masuk ke Suriah bergabung dengan kelompok-kelompok Salafi-Takfiri. Beberapa waktu lalu, tersebar berita tentang upaya anasir Takfiri membujuk dan menjebak para gadis dan perempuan dari Tunisia, Mesir dan Libya untuk berjihad nikah di Suriah. Banyak keluarga Tunisia yang mengeluh bahwa anak gadis mereka berangkat ke Suriah untuk "memenuhi tuntutan seks" para "pejuang" yang memerangi pemerintahan Bashar Al-Assad. Namun banyak pula di antara mereka yang pulang dengan kondisi mengenaskan dan menyesali keputusan mereka. Mereka bahkan berbalik membenci dan mengecam para anasir Takfiri di Suriah.
Sebuah televisi satelit Tunisia bernama Tunis Al-Wataniya, dalam salah satu programnya membahas fenomena ini. Seorang remaja putri bernama Aisyah, menceritakan pengalamannya dalam jihad nikah. Dikatakannya, "Seorang perempuan menghubungi saya. Dia berbicara tentang Islam, burka dan pergi ke Suriah untuk membantu para ‘pejuang' anti-Assad. Dia juga menjelaskan bahwa salah satu cara untuk membantu para ‘pejuang' itu adalah dengan jihad nikah."
Aisyah merasa termotivasi oleh penjelasan perempuan itu dan mengharapkan jaminan sorga, oleh karena itu dia bergegas ke Suriah. Dia bercerita bahwa di Suriah dia dilarang menelaah tentang masalah lain kecuali tentang Wahabisme dan jihad serta membunuh orang-orang kafir yang pada hakikatnya adalah orang-orang Muslim yang mendukung pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad.
Dikatakannya, "Otak saya dicuci sedemikian rupa sehingga saya berpendapat bahwa perempuan-perempuan yang pergi ke Suriah demi jihad nikah dan mati di sana, maka kematian mereka adalah di jalan Allah dan syahid serta masuk sorga." Dia bahkan beranggapan bahwa semua perempuan akan masuk ke neraka kecuali mereka yang melakukan jihad nikah. Namun setelah beberapa waktu di Suriah, dia merasakan keputusasaan dan kekecewaan mendalam karena sikap para anasir Salafi-Takfiri. Ketika itu dia merasa tertipu dan hanya dimanfaatkan untuk memuaskan hawa nafsu para teroris itu. Dikatakannya, "Mereka menjadikan agama sebagai sarana untuk menggapai tujuan bejat dan hawa nafsu mereka."
Kembalinya perempuan dan remaja Muslimah dari Suriah, semakin mengungkap fenomena jihad nikah di Suriah. Hamdihi Said, seorang Mufti Tunisia mengharamkan jihad nikah dan menyebutnya bid'ah. Ditegaskannya, "Jihad nikah tidak ada dalam agama kita, bahkan kita tidak pernah mendengarnya pada masa Rasulullah. Orang yang menyerukan hal ini sebenarnya sedang mengajak melakukan perbuatan haram."
Penentangan tidak hanya datang dari para ulama saja. Fadhel Ashur, seorang pejabat di Kementerian Agama Tunisia menyatakan, "Menurut rencana para imam masjid akan melakukan aksi mogok pada hari raya Idul Adha dalam rangka menentang fatwa tersebut." Pemerintah Tunisia sendiri juga telah mengambil langkah-langkah guna mencegah keluarnya perempuan dan gadis dari negara ini menuju Suriah. Aparat Tunisia juga menangkap sejumlah kelompok yang memprovokasi dan memotivasi perempuan Tunisia untuk pergi ke Suriah.
Abdurrahman Al-Rashed, salah satu anasir media rezim Al-Saud dalam sebuah artikelnya mengkritik jihad nikah. Dia menilai jihad nikah dan aksi-aksi pemerkosaan meluas di Suriah sebagai kezaliman mufti-mufti Wahabi. "Ini kisah nyata, dan menunjukkan kekuatan para syeikh teroris-Takfiri dalam mencuci otak para pemuda. Ini adalah fenomena yang sangat aneh. Para pemuda dicuci otak mereka untuk berjuang sementara para perempuan dicuci otak mereka untuk melayani seks para pemuda dan pejuang . Para syeikh Takfiri itu seperti pedagang yang hanya memikirkan keuntungan. Demi mencapai tujuan, mereka menipu para pemuda atas nama kesyahidan, sorga, bidadari dan lain-lain. Tidak boleh dilupakan bahwa ‘pemerkosaan terhadap otak' lebih buruk dari pemerkosaan fisik, kerena setelah otak dikuasai, seseorang dapat melakukan apapun dan kejahatan terorisme apapun."
Menurut pendapat seorang tokoh Mesir, pengetahuan dan ilmu para ulama Wahabi bahkan tidak selevel dengan para pelajar Al-Azhar. Para ulama Wahabi itu mengklaim sebagai ulama Islam sementara apa yang mereka lakukan tidak lain adalah menghancurkan budaya Islam dan menyebarkan perpecahan antara Syiah dan Sunni. Di mana pun mereka menginjakkan kaki, instabilitas dan fitnah selalu mengikuti.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei ra dalam menjelaskan Wahabisme mengatakan, "Terorisme brutal dan buta, adalah produk politik bejat Amerika Serikat, Inggris, dan antek-antek pemerintah dan non-pemerintah mereka. Wajib bagi semua umat Muslim untuk melawan Wahabisme, produk bejat dan naas yang menjadi bukti nyata perusakan di muka bumi dan perang melawan Allah Swt ini."
Allamah Taqi Jafari: Nilai Hakiki Manusia
Allamah Taqi Jafari mengatakan, "Ada konferensi internasional di Denmark yang mengumpulkan para pakar sosiologi dunia untuk membahas masalah penting dan saling bertukar pikiran soal "Apa Nilai Hakiki Manusia?"
Untuk mengetahui nilai sesuatu biasanya ada parameter khusus. Sebagai contoh, untuk mengetahui nilai emas, maka ukurannya kembali pada karat dan beratnya. Parameter bensin yang baik kepada pada ukuran dan kualitasnya. Sementara untuk mengetahui nilai uang dilihat pada cadangan devisa sebuah negara, tapi apa tolok ukur manusia?
Semua pakar ilmu sosial menyampaikan pendapatnya dan satu-satu mengusulkan parameter yang menurut mereka benar.
Ketika sampai tiba giliranku menyampaikan pendapat saya berkata, "Bila kalian ingin melihat seberapa bernilai seseorang, maka perhatikan saja apa yang disukainya. Bila ada seseorang yang menyukai apartemen dua tingkat, pada dasarnya nilai orang itu seharga apartemen yang dicintainya. Orang yang menyukai mobil, maka nilainya juga seharga mobil itu. Tapi seseorang yang mencintai Allah Swt, maka nilainya seagung Allah."
"Saya menyampaikan pendapat ini lalu turun dari podium. Ketika para pakar sosiologi mendengar orasi saya, mereka langsung berdiri dan untuk beberapa menit mereka bertepuk tangan," ujar Allamah Taqi Jafari.
Allamah menambahkan:
"Saat penghormatan mereka selesai, saya kembali berdiri dan berkata, ‘Saudara-saudara! Apa yang saya sampaikan bukan pendapatku, tapi kutipan dari seseorang bernama Ali as. Pribadi besar ini dalam Nahjul Balaghah berkata:
قیمَةُ کُلُّ امرءٍ مَا یُحسِنُهُ
Nilai seseorang sesuai dengan apa yang disukainya[1]
Begitu saya selesai berbicara, untuk kedua kalinya mereka berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Amirul Mukminin Ali as dan mereka mengulang-ulangi nama Ali as." (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
[1] . Nahjul Balaghah, Hikmah 71.
Allamah Al-Hilli dan Kisah Talak Tiga Shah Khodabande
Mulla Muhammad Taqi Majlisi dalam syarah "Man La Yahdhuruhu al-Faqih" mengutip dari sejumlah sahabat:
"Suatu hari Shah Khodabande marah besar kepada istrinya dan di satu tempat ia berkata, "Anti Thaliqun Tsalatsan, saya menceraikanmu dengan talak tiga."
Bila seseorang telah mentalak tiga istrinya, maka ia tidak bisa lagi menikah dengannya, kecuali ada orang lain yang menyela dengan menikahi istrinya terlebih dahulu lalu berhubungan badan dengannya dan mentalaknya dengan keinginan sendiri baru suami sebelumnya bisa menikahi kembali istrinya setelah usai waktu iddahnya.
Dalam kasus ini, Shah Khodabande ternyata menyesal dengan apa yang telah dilakukannya. Ia kemudian meminta ulama untuk kumpul dan menceritakan kisahnya kepada mereka dan meminta mereka untuk mencarikan solusinya.
Semua ulama mengatakan, "Tidak ada jalan lain, kecuali istri Anda yang telah diceraikan itu dinikahi orang lain dan setelah berhubungan badan dengannya lalu menceraikannya."[1]
Shah Khodabande berkata, "Dalam setiap masalah biasanya ada perbedaan pendapat, apakah di antara kalian tidak ada perbedaan pendapat terkait masalah ini?"
Semua serempak mengatakan, "Tidak."
Seorang dari menteri Shah berkata, "Saya mengenal seorang ulama yang tinggal di kota Hilla dan fatwanya terkait talak seperti ini adalah batil."
Shah Khodabande kemudian menulis surat kepada Allamah Hilli dan memintanya agar datang ke istana.
Ulama Ahli Sunnah berkata, "Mazhab Allamah Hilli batil. Ia Rafidhi dan tidak berakal! Tidak maslahat bagi Shah untuk mengundang orang seperti ini."
Tapi Shah berkata, "Ia harus datang dan mengkaji masalah ini."
Ketika surat Shah Khodabande sampai ke Allamah Hilli, beliau merasa ada kewajiban yang harus dilakukannya dan mulai melakukan perjalan yang sulit dari Hilla ke Soltaniyeh yang berada empat farsakh di kota Zanjan, Iran.
Sesuai dengan perintah Shah, disiapkan ruang pertemuan besar, dimana ulama besar empat mazhab Ahli Sunnah juga hadir. Setelah itu Allamah Hilli memasuki tempat pertemuan, tapi ketika ia hendak masuk, ia membawa sepatunya lalu mengucapkan salam kepada mereka yang hadir dan duduk di dekat Shah.
Ulama yang hadir di pertemuan itu berkata kepada Shah, "Bukankah kami sudah mengagatakan kepadamu bahwa ulama Rafhidi terkebelakang mental?"
Shah berkata, "Coba tanyakan mengenai apa yang dilakukannya ketika hendak masuk tempat pertemuan?
Ulama kemudian bertanya kepada Allamah Hilli:
1. Mengapa engkau tidak tunduk dan bersujud kepada Shah ketika engkau memasuki tempat pertemuan?
Allamah Hilli menjawab, "Rasulullah Saw memiliki posisi paling tinggi dalam pemerintahan, tapi rakyat hanya mengucapkan salam kepadanya, bukan sujud. Allah Swt berfirman, "... Maka apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam kepada kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik..."[2] Dengan demikian, ketika engkau sudah memasuki rumah, maka ucapkan salam kepada dirimu sendiri, salam dari sisi Allah dan salam penuh berkah. Semua ulama sepakat bahwa tidak dibenarkan sujud kepada selain Allah.
2. Mengapa engkau tidak menjaga kesopanan dan duduk di dekat Shah?
Allamah Hilli menjawab, "Tidak ada tempat kosong selain di dekat Shah."
Apa yang disampaikan Allamah Hilli diterjemahkan oleh penerjemah Shah.
3. Mengapa engkau membawa sepatumu? Tidak ada orang berakal yang melakukan ini.
Allamah Hilli menjawab, "Saya khawatir pengikut mazhab Hanafi mencurinya, sebagaimana Abu Hanifah mencuri sepatu Rasulullah Saw."
Ulama Hanafi berkata, "Jangan menyampaikan tuduhan ini. Karena di masa Rasulullah Saw, Abu Hanifa belum lahir."
Allamah Hilli berkata, "Saya lupa berarti waktu itu yang mencuri adalah Syafi'i."
Ulama Syafi'i berteriak, "Jangan menuduh, Syafi'i lahir di saat Abu Hanifa wafat."
Allamah Hilli berkata, "Saya lupa, berarti yang mencurinya adalah Malik."
Ulama Maliki berteriak, "Diamlah! Antara Malik dan Nabi Saw ada rentang waktu lebih dari 100 tahun."
Allamah Hilli menjawab, "Kalau begitu Ahmad bin Hanbal yang mencurinya."
Ulama Hanbali mengingkari ucapan Allamah sama seperti yang lainnya.
Ketika itu Allamah Hilli memandang Shah Khodabandeh dan berkata, "Sekarang engkau mengetahui dengan pengakuan ulama Ahli Sunnah bahwa tidak satupun dari pemimpin mazhab Ahli Sunnah yang hidup di masa Nabi Muhammad Saw. Lalu bidah macam apa yang mereka lakukan di antara para mujtahidnya, sehingga hanya empat orang yang dipilih. Bila ada mujtahid yang lebih alim dan bertakwa dari mereka, tapi fatwanya bertentangan dengan mereka, maka tidak ada yang mengamalkan ucapannya!"
Shah Khodabandeh memandang ulama Ahli Sunnah dan berkata, "Apakah benar tidak ada satupun dari pemimpin mazhab empat Ahli Sunnah yang hidup di masa Rasulullah?"
Mereka berkata, "Benar, tidak ada."
Pada waktu itu Allamah Hilli mengatakan, "Masyarakat Syiah mengambil mazhabnya dari Amirul Mukminin Ali as dan beliau adalah jiwa Nabi Saw, anak paman, saudara dan washinya."
Shah Khodabandeh berkata, "Biarkan dulu pembicaraa ini, saya mengundangmu ke sini untuk mencari solusi apakah talak tiga di satu majlis hukumnya sah atau tidak?"
Dengan segera Allamah Hilli menjawab, "Talak yang dilakukan itu batal. Karena tidak terjadi syarat talak. Salah satu syaratnya adalah adanya dua saksi adil. Apakah ada dua orang adil yang mendengar talak itu?"
Shah menjawab, "Tidak."
Allamah berkata, "Dengan demikian, talak tidak terjadi dan istri Anda masih tetap sebagai istri seperti sedia kala. Selain itu tiga talak dalam sebuah majlis memiliki hukum satu talak."
Setelah itu beliau melakukan pembahasan dengan ulama yang ada di sana dan menjawab semua pertanyaan mereka. Pada waktu itu juga Shah Khodabande menerima Syiah sebagai mazhabnya. Bila Allamah Hilli tidak punya keutamaan apapun dalam Syiah selain mensyiahkan Shah Khodabande, maka itu sudah cukup.
Setelah itu Allamah Hilli mendapat perhatian khusus Soltan Mohammad Khodabandeh dan beliau memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan kepadanya demi Islam. Hal yang menari perhatian, Allah Hilli dan Shah Khodabande meninggal dalam tahun yang sama, yakni 726 HQ.[3] (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Ghadeer
Ahli Hadis Syiah: Husein bin Said al-Ahwazi
Husein bin Said al-Ahwazi
Abu Muhammad Husein bin Said bin Hammad bin Mahran al-Ahwazi, tokoh besar Syiah di abad ke-3 Hijriah dan lahir di kota Kufah, kota perawi hadis terbesar Syiah.
Husein bin Said al-Ahwazi berasal dari Iran dan ia dibesarkan di keluarga yang mencintai Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as dan ia termasuk generasi budak yang dibebaskan oleh Imam Zainal Abidin as
Ia merupakan sahabat Imam Ridha, Imam Jawad, dan Imam Hadi as.
Husein bin Said al-Ahwazi merupakan perawi hadis dan sekaligus Masyikhah[1] periwayatan hadis.
Riwayat beliau memiliki kekuatan tersendiri di antara para ahli fiqih Syiah, bahkan dalam banyak buku hadis besar Syiah seperti Ushul Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, at-Tahdzib, al-Mahasin, Wasail as-Syiah dan Bihar al-Anwar, banyak riwayatnya yang dikutip.
Keluarga Ibnu Said
Keluarga Ibnu Said al-Ahwazi merupakan keluarga yang terkenal dengan keimanan dan keikhlasannya kepada Allah serta kecintaan luar biasa terhadap Ahlul Bait as. Di jalan ini, keluarga Ibnu Said telah melakukan perjuangan dan jihad yang cukup panjang.
Dengan perbuatan baik dan pembelaannya akan kebenaran Ahlul Bait as dengan melakukan perjuangan praktis di bidang budaya melawan pemerintahan Bani Abbasiah yang merupakan musuh Ahlul Bait.
Kepribadian
Husein bin Said al-Ahwazi tokoh besar dan ilmuwan di masanya. Ibnu Nadim mengatakan, "Husein bin Said al-Ahwazi warga Kufah dan orang paling alim di masanya. Ia memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu fiqih, hadis dan keutamaan Ahlul Bait Rasulullah Saw dan punya kemampuan keilmuwan terkait ajaran Syiah."
Perjalanan ke Ahwaz
Husein bin Said al-Ahwazi bersama saudaranya Hasan bin Said al-Ahwazi melakukan perjalanan ke Ahwaz untuk menyebarkan Islam dan ajaran Ahlul Bait as. Mereka berbicara dan menulis tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi Saw, sehingga banyak masyarakat yang menyatakan kecintaannya kepada Ahlul Bait as.
Mereka berhasil mengajak tokoh-tokoh seperti Ishaq bin Ibrahim al-Hadhini, Ali bin ar-Rassan, Ali bin Mahziar, Abdullah bin Muhammad al-Hadhini untuk bertemu Imam Ridha as dan akhirnya tokoh-tokoh ini menjadi sahabat Imam Ridha as.
Perjalanan ke Qom
Setelah saudaranya meninggal, Husein bin Said melakukan perjalanan ke kota Qom agar menjalin hubungan lebih dekat dengan para perawi besar Syiah di kota ini dan memanfaatkan riwayat mereka. Ketika berada di Qom, Husein bin Said al-Ahwazi pergi ke rumah Hasan bin Aban dan ulama besar Qom menyambutnya dan memanfaatkan periwayatannya. Perjalanannya ke kota Qom merupakan perjalanan terakhirnya dan meninggal dunia di kota ini.
Guru
Selain belajar langsung kepada Imam Ridha, Imam Jawad dan Imam Hadi as, Husein bin Said al-Ahwazi juga belajar kepada ulama dan perawi besar seperti Muhammad bin Abi Umair, Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr al-Bazanthi, Jamil bin ad-Darraj, Hammad bin Isa, Shafwan bin Yahya, Zharif bin an-Nashih, Muhammad bin Sinan, Yunus bin Abdurrahman dan tokoh-tokoh lain.
Murid
Banyak muridnya yang dikemudian hari menjadi ulama besar seperti Ibrahim bin Hasyim, Ahmad bin Abi Abdullah al-Barqi, Ahmad bin Muhammad bin Isa, Hasan bin al-Mahbub, Saad bin Abdullah, Sahla bin Ziyad dan Ali bin Mahziar al-Ahwazi.
Karya
Husein bin Said al-Ahwazi memiliki lebih dari 30 karya dan semuanya ditulisnya bersama saudaranya seperti:
1. Ar-Raddu Ala al-Ghulat
2. Al-Manaqib
3. Al-Matsalib
4. Az-Zuhd
5. Al-Mu'min
6. Kitab al-Wudhu
7. Kitab as-Shalah
8. Kitab az-Zakah
9. Kitab as-Shaum
10. Kitab al-Haj
11. Kitab an-Nikah
12. Kitab at-Thalaq
13. Kitab al-‘Itq
14. Kitab al-Iman
15. Kitab at-Tijarat
16. Kitab al-Khums
17. Kitab as-Syahadat
18. Kitab as-Shaid
19. Kitab al-Makasib
20. Kitab al-Asyribah
21. Kitab az-Ziayarat
22. Kitab at-Taqiyah (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Sharh-e Hal va Zendegi Mohaddesin Shia
[1]. Masyikhah dalam istilah hadis adalah tempat dimana setiap perawi syeikh disebutkan. Bila disebut Masyikhah Shaduq berarti para perawi yang dipakai oleh Syeikh Shaduq untuk meriwayatkan hadis-hadisnya. (-pen)
Lara Slack Razi: Memeluk Islam Merupakan Perjalanan dan Proses Selama 3 Tahun
Saya memeluk Islam pada 20 September 1991. Jika anda memberitahu saya lima tahun sebelum saya memeluk Islam bahwa saya akan memeluk Islam, saya tidak akan mempercayainya. Melihat kembali, petunjuk Allah demikian halus namun konsisten. Adalah sulit untuk saya merangkum faktor-faktor sebenarnyaapa yang menyebabkan saya memeluk agama Islam karena ia merupakan sebuah perjalanan, sebuah proses, yang memakan waktuselama tiga tahun. Tiga tahun tersebut demikian menggembirakan dan juga melelahkan.
Persepsi saya tentang diri dan dunia berubah secara dramatik. Sebagian kepercayaan divalidasi; manakala sebagian pula musnah tercerai-berai. Adakalanya saya bimbang bahwa saya akan kehilangan diri saya; dan adakalanya saya tahu bahwa jalan ini merupakan takdir saya dan memeluknya. Sepanjang tahun-tahun itu, satu aspek Islam menari hati saya. Perlahan-lahan, studi saya membawa saya kearah hari dimana saya mengucapkan syahadah.
Sebelum saya mengenal Islam, saya tahu bahwa saya mendambakan pengisian spiritual yang lebih dalam kehidupan saya. Tetapi, tidak ada yang dapat saya terima atau yang mudah didatangi oleh saya. Saya dibesarkan pada pokoknya sebagai humanis sekular. Moral begitu ditekankan, tetapi ia tidak pernah dikaitkan dengan segala bentukspiritual atau ilahi. Agama utama dinegara kami ialah Kristen, tampak begitu membebankan seseorang dengan rasa berdosa. Saya tidak begitu memahami agama-agama lain.
Saya berharap saya dapat mengatakan bahwa, merasakan kekosongan spiritual, saya mulaimencari dan mempelajari berbagai agama secara mendalam. Bagaimanapun saya begitu nyaman dengan kehidupan saya untuk melakukannya. Saya mempunyai keluarga yang begitu penyayang dan memberi dorongan. Saya mempunyai banyakteman yang menarik dan mendukung. Saya menikmati pelajaran dan studi saya di universitas dan saya sukses di sana. Malah, saya mendapat peluang untuk bertemu dengan berbagai Muslim yang mendorong saya untuk mempelajari Islam.
Sharif merupakan salah seorang Muslim pertama yang mendorongsaya. Dia adalah seorang lelaki tua yang bekerja dalam program tutorial yang baru saya masuk. Dia menjelaskan bahwa walaupun pekerjaannya tidak mendatangkan uang yang banyak, tetapi kenikmatan yang diperoleh dari mengajar para pelajar telah memberikan segala yang dia perlukan. Dia berkata dengan lembut dan jujur. Perilakunya lebih menarik hati saya dari kata-katanya, dan saya pikir, "Saya berharap saya punya semangat damai sepertinya ketika sampai pada usianya." Itu berlaku pada tahun 1987.
Semakin banyaksaya menemui Muslim, saya bukan saja kagum dengan kedamaian hati mereka, tetapi juga dengan kekokohan iman mereka. Jiwa lembut ini begitu bertentangan dengan imej kasar, dan sadisyang saya gambarkan. Kemudian saya bertemu dengan Imran, seorang rekan muslim saudara lelaki saya, yang kemudian saya sadari bahwa dia adalah orang ingin saya nikahi. Dia adalah seorang yang bijak, jujur, independen, dan tenang. Ketika kami mengambil keputusan untuk menikah, saya mulaiserius mempelajari Islam.
Awalnya, saya tidak berniat untuk memeluk agama Islam; saya hanya ingin memahami agama ini karena dia memberitahu saya bahwa dia ingin anak-anak kami dididik sebagai anak muslim. Jawaban saya,"Jika mereka juga akan menjadi sepertinya jujur, tenang dan baik, maka tidak ada masalah. Tetapi saya merasa bertanggung jawab untuk memahami Islam dengan lebih baik."
Menoleh ke belakang, saya menyadari bahwa saya tertarik dengan jiwa damai karena saya sendiri merasakan saya kekurangan dalam kedamaian jiwa dan keyakinan. Terdapat kekosongan dalam jiawa yang tidak terpenuhi hanya dengan keberhasilan akademik atau hubungan manusia. Bagaimanapun, pada ketika itu saya tidak menyatakan bahwa saya telah tertarik dengan Islam untuk diri saya. Hal itulebih kepada pencarian intelektual. Pandangan ini lebih sesuai dengan cara hidup saya yang akademis dan terkawal.
Saya memanggil diri saya feminis, bacaan awal saya terfokus padanya. Saya pikir Islam menindas perempuan. Dalam kursus studi wanita saya, saya membaca bahwa perempuan Muslim tidak dibenar meninggalkan rumah mereka dan dipaksa mengenakan penutup kepala. Maka saya memang memandang hijab sebagai alat yang digunakan oleh lelaki dari sebuah ekpresi kehormatan diri dan martabat.
Apa yang saya temui dalam pembacaan sangat mengejutkan saya. Islam bukan saja tidak menindas perempuan, tetapi sebenarnya membebaskan mereka, memberikan mereka hak pada abad ke enam yang hanya kita perolehi pada abad ini dinegara ini; hak untuk memiliki harta dan kekayaan serta menjaga nama mereka selepas pernikahan; hak untuk memberi suara; dan hak untuk perceraian.
Kesadaran tersebut bukan satu hal yang mudah…saya menolaknya. Tetapi senantiasa ada jawaban kepada persoalan saya. Mengapa poligami?
Ia hanya dibenarkan jika si lelaki bisa berlaku adil kepada keempat istri dan itupun tidak digalakkan. Bagaimanapun, ia dibenarkan pada detik-detik sejarah ketika mana kaum perempuan melebihi angka kaum lelaki, terutamanya ketika peperangan, supaya sebagian perempuan tidak terabai dalam menjalin hubungan dan anak-anak.
Lagi pula, hal itulebih baik dari hubungan luar nikah yang begitu banyak berlaku disini karena kaum perempuan mendapat hal legal untuk memelihara anak-anak mereka. Ini hanyalah satu soalan dari banyak persoalan, jawabannya pula memberikan bukti kepada saya bahwa wanita diberikan hak penuh sebagai individu dalam masyarakat.
Bagaimanapun, penemuan-penemuan ini tidak dapat menyembuhkan semua rasa takut saya. Tahun berikutnya merupakan tahun yang dipenuhi dengan gejolak emosional yang intens. Setelah menamatkan kursus-kursus saya untuk sarjana dalam bidang Studi Latin Amerika pada musim semi1989, saya memutuskan untuk menjadi pengajar pengganti selama setahun. Ini membenarkan saya untuk menghabiskan waktu mempelajari Islam. Banyak sekali perkara yang saya baca tentang Islam masuk akal.
Bagaimanapun, ia tidak masuk dalam persepsi saya tentang dunia. Saya sering menganggap bahwa agama sebagai penopang. Tetapi mungkinkah hal itubenar? Tidakkah agama menyebabkan penindasan dan peperangan di dunia ini? Bagaimana mungkin saya menikahiseorang lelaki yang menganut salah satu agama utama di dunia ini? Setiap minggu saya dipukul dengan sebuah kisah baru dalam berita, radio atau di surat kabar mengenai penindasan terhadap kaum wanita. Bisakah saya, seorang feminis, benar-benar ingin menikah?
Alis mata terangkat. Orang mengumpat saya dalam nada yang membimbangkan. Dalam masa beberapa bulan saja, dunia saya selama 24 tahun seakanterbalik. Saya tidak lagi merasakan perbedaan antara baik dan buruk. Apa yang hitam dan putih kini menjadi kelabu.
Tetapi ada sesuatu yang membuat saya terus hidup. Hal itulebih dari keinginan saya untuk menikahi Imran. Kapan saja saya bisa berhenti dari mempelajari Islam dan diterima kembali dalam lingkungan feminis, teman-teman sosialis dan ke dalam rangkulan kasih keluarga saya. Ketika orang-orang ini tidak pernah meninggalkan saya, mereka menghantui saya dengan pengaruh mereka. Saya bimbang dengan apa yang mereka katakan dan pikirkan, terutama saya senantiasa menilai diri saya lewat mata orang lain. Maka saya memencilkan diri saya. Saya hanya bercakap dengan keluarga dan teman-teman yang saya tahu tidak akan menilai saya. Dan saya membaca.
Hal ini semuabukanlah karena minat atau tidak minat mempelajari Islam. Ia merupakan perjuangan untuk identitas saya sendiri. Sehingga hari itu saya telah menghasilkan banyak makalah yang sukses. Saya tahu bagaimana untuk melakukan penelitian dan mendukung sebuah tesis. Tetapi karakter saya tidak pernah berada dalam masalah. Untuk pertama kali, saya menyadari bahwa saya senantiasa menulis untuk mendapat kesenangan orang lain. Kini, saya sedang mempelajari untuk diri saya. Tentu saja hal inimenakutkan. Walaupun saya tahu rekan-rekan dan keluarga menyayangi saya, mereka tidak dapat memberikan jawaban kepada saya. Saya tidak lagi ingin bersandar kepada mereka untuk mendapatkan dukungan mereka.
Imran senantiasa berada disana untuk memberikan jawaban kepada pertanyaan saya. Walaupun saya kagum dengan kesabaran dan keimanannya yang menjadi terbaik, saya tidak ingin keterlaluan bergantung kepadanya dengannya rasa takut bahwa apa yang saya lakukan adalah untuk orang ini dan bukan untuk diri saya. Saya merasakan saya tidak punya apa-apa dan tidak ada tempat untuk bersandar. Sendirian, ketakutan dan dipenuhi dengan rasa keraguan diri, saya terus membaca.
Setelah merasa puas dengan rasa ingin tahu saya dan terkejut dengan hasilnya, saya mulaimembaca tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw dan membaca Quran. Ketika membaca tentang Nabi MuhammadSaw, saya mulaimempersoalkan kepercayaan saya bahwa dia hanyalah seorang pemimpin yang luar biasa. Kejujurannya sebelum turunnya wahyu, kebaikannya, kebijaksanaanya, pandangan luasnya terhadap masa sekarang dan masa depannya menyebabkan saya mempersoalkan premis awal saya.
Ketekunannya dalam berhadapan dengan tantangandan kemudian kerendahan hatinya berhadapandengan sukses yang gemilang tampak melewati manusia biasa. Malah dipuncak keberhasilannya ketika mana beliau bisa mendapatkan harta yang banyak, dia menolak untuk mendapatkan lebih dari sahabatnya yang termiskin dalam Islam.
Perlahan-lahan saya semakin mendalami Quran. Saya bertanya,"Bisakah seorang manusia bisa demikian bijaksana, melampauibuku?" Lagi pula, ada bagian yang dimaksudkan untuk membimbing Rasulullah sendiri, dan menegurnya. Saya memikirkan mungkinkah Rasulullah menegur dirinya sendiri. Semakin saya memperlajari Quran, aktivitas intelektual saya semakin berkurangan, dan ia lebih merupakan perjuangan pribadi. Ada hari-hari dimana saya akan menolak setiap kata dan mengutuknya, menolak kebenarannya. Tetapi tiba-tiba saya akan bertemu dengan ayat yang menegur saya.
Kali pertama berlaku ketika saya sedang mengalami gejolak terdalamyang banyak dan keraguan dan saya baca beberapa ayat diakhir surat kedua," Allah tidak membebani seseorang dengan kesanggupannya."(Quran 2:286).
Walaupun ketika itu saya tidak menyatakan bahwa saya telah mempercayai Allah, ketika membaca kata-kata ini, seolah-olah beban terangkat dari hati saya.
Saya masih saja mempunyai banyak kebimbangan ketika mempelajari Islam. Adakah saya akan masih akrab dengan keluarga saya jika saya menjadi Muslim? Adakah saya akan berakhir dalam sebuah pernikahanyang melakukan penindasan? Adakah saya masih punya pikiran terbuka? Saya mempercayai sekular humanisme sebagai pendekatan kehidupan yang paling terbuka. Perlahan-lahan saya mulaimenyadari bahwa sekular humanisme adalah sebuah ideologi, sebuah dogma, sama seperti Islam. Saya menyadari bahwa setiap orang mempunyai ideologi mereka dan saya juga melakukan yang sama.
Saya menyadari bahwa saya harus mempercayai intelek saya sendiri dan membuat keputusan sendiri bahwa saya tidak harus ragu-ragu dengan reaksi negatif teman-teman saya yang berpikiran terbuka dan progresif. Pada masa inilah saya mulai menyimpan lebih untuk diri saya, saya menjadi lebih bebas secara intelektual dari masa-masa lalu saya.
Dua setengah tahun kemudian, saya selesai membaca Quran, saya amat kagum dengan penjelasan tentang alam dan yakin dengan kebijaksanaannya. Saya juga telah mempelajari kehidupan Nabi Muhammad Saw yang luar biasa; saya puas dengan pengakuan Islam bahwa wanita dan lelaki itu berbeda tetapi setara; dan saya juga mendapati bahwa Islam memberikan kesamaan yang benar bukan saja kepada lelaki dan perempuan, tetapi kepada semua bangsa dan kelas sosial, dinilai hanya dengan ketakwaan seseorang.
Dan saya menemukan percaya diri dalam diri saya dan keputusan saya. Ketika itulah saya sampai kepada persoalan kritikan; adakah saya mempercayai keesaan Tuhan? Ini merupakan pokok menjadi Muslim. Setelah mengisi rasa ingin tahu dengan peraturan dan sejarah kemunculan Islam, saya akhirnya sampai kepada persoalan kritikal, jati diri menjadi seorang Muslim. Seolah-olahnya saya telah berkata terbalik:
Memulai dengan detil sebelum tiba kepada persoalan spiritual. Saya terpaksa mengharungi bagian teknisnya dan merasa puas dengan bagian akademik saya sebelum saya bisa akhirnya menemukan persoalan spiritual. Bisakah saya menaruh kepercayaan saya kepada zat yang lebih agung? Bisakah saya melepaskan pendekatan sekular humanis saya?
Dua kali saya memutuskan untuk mengungkapkan syahadah dan kemudian saya mengubah pikiran keesokan harinya. Satu hari, saya malah sujud kelantai, seperti mana yang saya lihat Muslim melakukannya, dan meminta bimbingan. Saya merasakan kedamaian dalam kedudukan tersebut. Mungkin pada ketika itu saya telah menjadi Muslim, tetapi ketika saya bangun, saya tidak bersedia untuk mengucapkan syahadah.
Selepas detik-detik itu beberapa minggu berlalu. Saya memulaikerja baru saya: mengajar disebuah sekolah tinggi. Hari-hari berlalu dengan cepat, sibuk dengan mengajar, disiplin dan kertas-kertas yang harus diberesi. Semakin hari-hari saya berjalan pantas, terlintas dihati saya, saya tidak ingin meninggalkan dunia ini tanpa sempat mengucapkan keimanan saya pada Allah.
Secara intelektual, saya paham bahwa bukti-bukti hari ini dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw dan didalam Quran tidak bisa ditolak. Dan pada masa tersebut, saya sudah bersedia untuk menerima Islam. Saya telah menghabiskan kehidupan saya mencari kebenaran dimana hati bisa sejalan dengan akal, aksi dengan pikiran, intelek dengan emosi. Saya menemukan realita tersebut dalam Islam. Dengan realita itu datanglah percaya diri dan kebebasan intelektual.
Beberapa hari selepas itu, saya mengucapkan syahadah, saya menulis dalam makalah saya bahwa akhirnya menemukan Islam dan validasi pikiran dan intuisi saya. Dengan mengakui dan menerima Allah, saya telah menemukan pintu spiritual dan kebebasan intelektual.
Michael Yip: Saya Begitu Naif Tentang Agama Sampai Bertemu Muhammad
23 Juni 1996. Saya dikenalkan dengan Islam pada tahun 1995 oleh seorang warga Mesir yang datang ke New Zealand pada tahun sebelumnya. Dia ditempatkan di kelas kimia saya. Saya tidak punya agama sebelum ini, meskipun saya sebenarnyaseorang Kristen yang tidak mengamalkan ajarannya.Karena saya pernah mengikuti kelas hari minggu ketika saya masih muda, (tetapi sebenarnya saya belajar Bahasa Cina, bahasa saya dari belajar agama).
Malah, sebenarnya saya tidak begitu berminat dengan apa yang diajarkan kepada saya, tapi pada saat yang sama saya tidak pernah menolak keberadaan Tuhan.
Latar belakang saya tentang agama membuat saya tidak banyak tahu kecuali Kristen dan Budha. Kedua orang tua saya adalah penganut Budha, tetapi pengetahuan saya tentang Budha adalah lemah sehingga saya tidak begitu tahu tentang nama sebenarnya agama mereka sehinggaagak menjadi jelas beberapa tahun lalu. Saya begitu naif tentang agama sehingga saya bertemu dengan rekan sekelas saya, Muhammad.
Pada minggu-minggu pertama, seorang rekan sekelas saya sering mencandai Muhammad berkaitan agamanya, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan sebagainya. Saya menjadi tertarik pada sebagian hal yang disarankan oleh rekan sekelas saya ini, James. Saya kemudian mengadakan perbincangan dengan Muhammad tentang agama yang disebut Islam, dan kami segera menjadi teman baik.
Saya meminta kepadanya untuk melihat Quran tetapi tidak punya waktu untuk membacanya.Karena ketika itu masa yang sibuk di sekolah. Semuanya berlalu sehingga kerja agak ringan, saya bertemu dengan ayah teman saya, yang merupakan imam lokal kami. Dia berbicara dengan saya tentang Islam agak panjang lebar, dan menanamkan benih dimana dalam beberapa bulan kemudian, dengan rahmat dari Allah, tumbuh menjadi seorang Muslim yang kokoh, alhamdulillah.
Saya mengucapkan syahadah pada bulan November 1995, saya sering ditanya mengapa saya memeluk Islam. Pertanyaan itu tampak logis dan mudah, tetapi sebenarnya, saya masih mendapati bahwa itu merupakan pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab, walaupun saya telah ditanyakan banyak kali.
Saya melihat banyak hal dalam Islam yang saya sukai. Termasuk ikatan kokoh persaudaraan dalam Islam, cara mereka saling melindungi dan logika Islam. Logis mengapa muslimah mengenak jilbab untuk mencegah apa yang haram.Logis melarang minum alkohol yang hanya membawa kerusakan kepada kehidupan kita, dan banyak lagi kelogisan dalam Islam yang dapat ditemui dalam berbagai bidang kehidupan kita.
Saya diberitahu banyak orang yang memeluk Islam bahwa mereka merasakan adanya kesesuaian denganagama ini. Justru itu jugayang saya temui. Datang dari sebuah negeri seperti New Zealand, saya telah menghabiskan hampir keseluruhan hidup saya di sini. Langka untuk mencari satu orang untuk mengamalkan agama mereka seperti saya.
Alhamdulillah, saya telah berniat bahwa saya tidak akan minum alkohol dalam kehidupan saya, dan tidak pernah.Saya berniat untuk tidak akan berzina, walaupun orang disekitar saya di sekolah melakukannya atau merencanakan untuk melakukannya. Alhamdulillah, Allah telah mengaruniakan saya dari awal, dan saya merasakan bahwa Islam merupakan langkah pasti untuk saya ambil dalam kehidupan saya.
Saya memutuskan pada bulan November 1995, dengan dorongan muslim dan muslimah di internet, mengucapkan syahadah sebagai langkah pertama dalam Islam, dan mengambil langkah seterusnya untuk belajar lebih banyak tentang Islam, lagi pula kita semua memang dalam keadaan sedang belajar tentang Islam. Sejak itu saya berkembang perlahan tetapi pasti, mempelajari beberapa surat dari Quran ketika masa sibuk sekolah.
Allah mengaruniakan saya dengan keputusan yang baik tahun lalu, Alhamdulillah, dan kini saya ingin mengucapkan syukur kepada Allah karena memberikan waktu lebih untuk saya mempelajari Quran dan tentang Islam tahun ini, sementara saya berusaha untuk mendapat gelar dokter medikal.
Semoga Allah memberikan saya kekuatan insyaAllah untuk masuk sekolah Medik tahun depan. Semoga Allah membantu kita semua untuk mempelajari lebih banyak tentang Islam, dan semoga kita bisa mengambil jalan hidup yang benar, dan mengikuti jalan yang benar dan lurus iaitu Islam. Ameen.