کمالوندی
Islamophobia di Barat (44)
Geert Wilders, politisi anti-Islam dari Belanda, melakukan kampanye besar-besaran untuk memicu gelombang anti-Islam di Eropa. Pemimpin partai garis keras Belanda ini di akun Twitter-nya pada 13 Juni 2018 menulis, "Pusat Penanggulangan Terorisme menyetujui pelaksanaan kontes kartun Muhammad di parlemen. Jadi, kita akan melaksanakannya."
"Pusat Penanggulangan Terorisme Belanda telah memberikan lampu hijau untuk pelaksanaan kontes tersebut dan perlombaan kemungkinan akan diadakan pada akhir tahun 2018," tambahnya. Politisi eksrem ini mengklaim kontes seperti ini menunjukkan kebebasan berekspresi di Belanda.
Kartunis Amerika, Bosch Fawstin – pemenang lomba karikatur Nabi Muhammad Saw di Texas pada Mei 2015 – rencananya akan menjadi juri untuk kontes di Belanda.
Wilders dikenal karena sikap-sikapnya yang selalu menyerang agama Islam. Dia menyerukan pembatasan kegiatan sosial warga Muslim dan penghapusan simbol-simbol Islam, termasuk masjid di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Wilders sebelumnya menyerukan larangan al-Quran di Belanda.
Ketua Partai Kebebasan (PVV) – partai terbesar kedua di Parlemen Belanda – melakukan pelecehan terhadap kesucian Islam dengan kedok kebebasan berekspresi. Dia mulai dikenal di dunia pada tahun 2008 dengan memproduksi film anti-Islam yang disebut Fitna.
Film berdurasi 15 menit ini terdiri dari dua bagian, di mana tidak ada narasi verbal, dan film hanya menggabungkan potongan-potongan video dari berbagai film televisi atau kliping koran.
Film Fitna menggambarkan kaum Muslim sebagai pengobar kekerasan. Di bagian pertama, ayat-ayat al-Quran ditayangkan dan segera setelah itu, disusul dengan adegan memilukan seperti serangan 11 September, eksekusi wanita Afghanistan oleh Taliban, pemboman Madrid, pemenggalan kepala, dan banyak lagi. Bagian kedua film menyoroti kehidupan warga Muslim di Eropa.
Produksi dan penayangan film ini disambut dengan gelombang protes dan kritikan dari umat Islam dan para penyeru kebebasan di dunia.
Harry de Winter, seorang produser Yahudi di televisi Belanda, memprotes penayangan film Fitna. Dalam artikelnya di surat kabar de Volkskrant, ia menulis, "Jika Wilders berbicara tentang orang Yahudi seperti apa yang dia katakan tentang orang Muslim, dengan kata lain, jika dia menganjurkan kanisah itu harus ditutup dan para rabi dideportasi, maka seluruh negara akan bangkit sebagai pembalasan atas tindakan anti-Semit.
Tetapi di Belanda dan banyak negara Eropa lainnya, pemerintah Eropa dan kelompok anti-Islam, menjustifikasi penghinaan Wilders terhadap al-Quran dan kesucian Islam dalam konteks kebebasan berekspresi."
Sebaliknya, pemerintah Barat – yang mengaku menghormati kebebasan berekspresi – mencap warga Muslim yang memprotes penghinaan terhadap agamanya sebagai ekstremis dan pengobar kekerasan.
Para pemimpin Barat mengaitkan aksi teroris – yang mengaku dirinya Muslim – dengan ajaran Islam dan al-Quran, sampai-sampai sejumlah politisi, seniman, dan tokoh Prancis menyerukan penghapusan beberapa bagian dari ayat-ayat al-Quran.
Pemerintah Barat berulang kali berbicara tentang Islam moderat dalam menyikapi gerakan anti-Islam di wilayah mereka. Jika maksud mereka dari Islam moderat adalah memerangi organisasi-organisasi yang membunuh atas nama agama dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, moral, hati nurani, dan Islam, maka setiap orang yang berakal sehat, tidak akan menentang kampanye semacam ini.
Pemerintah Barat sengaja menargetkan Islam dan kaum Muslim, serta mencoba menghubungkan setiap tindakan teroris dengan agama Islam. Tetapi kebijakan ini merusak norma-norma hidup damai dan kerukunan, yang ingin dibangun lewat program integrasi Eropa.
Kebangkitan dan pertumbuhan partai sayap kanan ekstrem seperti Partai Kebebasan di Belanda, telah menimbulkan bahaya dan ancaman serius bagi masyarakat Barat dan seluruh umat manusia.
Tindakan teror atas nama apa pun dan oleh siapa pun, tetap harus disebut teror dan terkutuk. Untuk itu, istilah terorisme perlu didefinisikan secara fair dan benar. Maraknya kegiatan teroris oleh orang-orang Kristen dalam beberapa tahun terakhir, tidak mengarah pada diskusi tentang istilah "Kristen moderat."
Gerakan Islamophobia dan rasis berkembang di Inggris dalam beberapa tahun terakhir.
Kekerasan dan terorisme yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina – terlepas dari semua resolusi yang diadopsi oleh PBB dan dikecam oleh publik dunia – belum mampu memunculkan istilah "Yahudi moderat."
Pada dasarnya, Barat sedang melancarkan perang lunak melawan Islam dengan membenarkan penghinaan kesucian Islam dalam konteks kebebasan berekspresi dan membatasi kaum Muslim dari menjalankan ajaran agamanya, dengan dalih melawan ekstremisme dan mempromosikan Islam moderat.
Munculnya partai sayap kanan dan anti-Islam di Eropa serta upaya untuk menghapus simbol-simbol Islam di benua itu, membuktikan sebuah fakta bahwa gerakan anti-Islam juga sedang berkembang di tengah partai-partai kanan moderat Eropa.
Dewan Muslim Inggris dalam sebuah surat terbuka kepada partai konservatif negara itu, meminta mereka untuk membentuk sebuah komite independen untuk menyelidiki gerakan Islamophobia di internal partai. Dewan mengungkapkan bahwa kasus-kasus Islamophobia di internal Partai Konservatif Inggris telah menjadi sebuah pemandangan rutin.
"Kami mendesak Presiden Partai Konservatif, Brandon Lewis untuk memastikan bahwa kaum rasis dan fanatik, tidak memiliki tempat di Partai Konservatif," kata surat tersebut.
Dewan Muslim Inggris meminta Partai Konservatif untuk meluncurkan penyelidikan independen, mempublikasikan daftar insiden, melembagakan program pendidikan, dan membuat komitmen publik untuk menghapus kefanatikan.
Lord Sheikh, anggota Parlemen Inggris, juga menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Theresa May, yang menyerukan penyelidikan independen terhadap sikap anti-Islam di kalangan anggota Partai Konservatif.
"Sebagai Perdana Menteri Inggris, saya mendorong Anda untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesegera mungkin dan melakukan penyelidikan independen. Kita perlu menyelidiki kasus-kasus perilaku Islamophobia dan bertindak sesegera mungkin," tulisnya.
Studi yang dilakukan di tengah masyarakat Eropa menunjukkan bahwa pemikiran anti-Islam sedang berkembang di Eropa. Hal ini dipicu oleh kebijakan anti-Islam yang diadopsi oleh para pemimpin Eropa, serta citra negatif tentang Islam dan Muslim yang disajikan oleh media-media Barat. Salah satu buktinya adalah meningkatnya serangan rasis dan gangguan terhadap warga Muslim di sebagian besar negara Eropa.
Islamophobia di Barat (43)
Parlemen Denmark pada Juni 2018 melarang perempuan Muslim mengenakan pakaian yang menutupi seluruh wajah, termasuk cadar, niqab atau burqa di tempat-tempat umum.
Sebanyak 75 anggota parlemen Denmark menyetujui undang-undang larangan cadar, 50 suara menolak, dan 74 abstain. Dengan demikian, Denmark bergabung dengan Prancis, Belanda, Austria, Jerman, dan Belgia, yang sudah lebih dulu mengadopsi undang-undang serupa.
Orang-orang yang melanggar aturan ini untuk pertama kalinya didenda 1.000 krona (US$ 156) dan pelanggaran berulang dapat mengakibatkan denda hingga 10.000 krona (US$ 1.600) atau kurungan enam bulan penjara.
Amnesty International menganggap undang-undang seperti itu melanggar hak-hak perempuan. Organisasi itu menyatakan, "Semua wanita dapat memilih pakaian dengan segala model yang mereka inginkan, di mana mencerminkan kepercayaan dan identitas mereka."
Penggunaan cadar, niqab atau burqa telah menjadi sebuah isu hangat dan kontroversi di seluruh Eropa. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada 2017 menyetujui pelarangan cadar di tempat umum di Belgia.
Prancis adalah negara Eropa pertama yang melarang penggunaan cadar di tempat-tempat umum melalui undang-undang yang disahkan pada 2011. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Spanyol pada tahun 2013 mencabut larangan pemakaian cadar di tempat umum.
Perbedaan sikap mengenai pakaian perempuan Muslim ini menunjukkan bahwa pembatasan tertentu terhadap wanita Muslim adalah sepenuhnya politis serta tidak memiliki dasar hukum dan keamanan.
Mereka menganggap cadar melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintahan Barat. Sebagian menganggap cadar bisa menimbulkan masalah keamanan. Padahal, belum ada laporan tentang tindakan terorisme dan kekerasan yang melibatkan perempuan bercadar di negara-negara Eropa.
Untuk menjustifikasi perlakuan diskriminatif ini, kelompok anti-Islam di Denmark dan negara-negara Eropa lainnya, mengklaim larangan pemakaian cadar tidak hanya berlaku untuk perempuan Muslim, tetapi aturan itu bersifat umum yang mencakup siapa pun yang menggunakan penutup wajah.
Namun, undang-undang ini dikenal di kalangan politisi dan media sebagai aturan yang melarang cadar, niqab atau burqa Muslim. Sebenarnya, semua pembatasan itu bertujuan untuk mendorong masyarakat Muslim meninggalkan pakaian Islami dan mempersempit ruang mereka dalam menjalankan ajaran agamanya.
Sejauh ini juga tidak ada laporan yang menyebutkan bahwa seorang wanita non-Muslim telah diinterogasi oleh polisi karena menutupi wajahnya dan mengenakan penutup wajah atau alasan lain.
Di negara-negara Eropa, ada upaya yang sistematis untuk melecehkan dan menghina simbol-simbol suci agama Islam. Jilbab sebagai identitas perempuan Muslim, telah menjadi sasaran serangan masif dan pembatasan di negara-negara Barat karena tuduhan yang tidak berdasar.
Sementara itu, majalah Perancis, Charlie Hebdo – yang terkenal di dunia karena menghina sakralitas agama Islam – menyamakan seorang mahasiswa Muslim yang terpilih sebagai ketua Persatuan Nasional Mahasiswa di Universitas Sorbonne Paris sebagai monyet.
Majalah tersebut menerbitkan karikatur provokatif yang menggambarkan Maryam Pougetoux sebagai monyet yang mengenakan jilbab dengan judul “Mereka memilih saya untuk mengepalai UNEF” (Persatuan Mahasiswa Nasional Prancis).
Sebelum majalah Charlie Hebdo, menteri dalam negeri dan menteri kesetaraan gender Prancis mengkritik pakaian Islami yang dikenakan Pougetoux. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerard Collomb menyebut penampilan Pougetoux adalah provokasi dan mengejutkan.
Menteri Kesetaraan Gender Prancis, Marlene Schiappa mengatakan bahwa itu adalah bentuk promosi Islam politik, dan serikat mahasiswa UNEF harus memberi tahu kami nilai-nilai apa yang ingin dipromosikan oleh Pougetoux secara jelas dan koheren.
Maryam Pougetoux dalam wawancaranya dengan situs media, BuzzFeed menjelaskan tentang alasan memilih pakaian seperti itu. Ia menuturkan, "Ini keyakinanku dan (jilbabku) tidak memiliki fungsi politik."
Dalam menanggapi pernyataan menteri dalam negeri Prancis, Pougetoux mengatakan, "Menteri dalam negeri menyebut penampilanku mengejutkan hanya karena karena aku memakai pakaian Islami dan ketua UNEF. Dalam pandangan dia, ini bentuk promosi Islam. Ini keyakinan saya dan kerudung saya tidak memiliki fungsi politik."
"Semua tahu bahwa penampilan saya bukan karena alasan politik, (penampilan) ini adalah keyakinan saya dan saya nyaman dengannya. Saya tidak bekerja untuk mempromosikan agama di Prancis. Setiap orang punya keyakinan masing-masing, tetapi mengapa saya harus selalu menjelaskan tentang pilihan saya ini, tentu ini tidak benar."
"Saya seorang warga negara Prancis, saya belajar di Prancis, di institusi sekuler dan publik, kerudung saya tidak ada hubungannya dengan itu. Saya memakainya atas dasar pilihan dan keyakinan agama, tetapi dalam konteks menghormati hukum, menghormati orang lain, sehingga sejak saat itu, perdebatan seharusnya tidak muncul," tegasnya.
Pougetoux adalah salah satu dari puluhan ribu perempuan Muslim di Prancis dan di banyak negara Eropa, yang mendapat pelecehan dan harus selalu memberikan penjelasan atas model pakaian yang dipilihnya. Itupun terjadi di negara-negara yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan keyakinan.
Di negara-negara Barat terutama di Eropa, semua simbol yang mewakili kaum Muslim dan tempat-tempat umat Islam, ditentang. Para pengikut berbagai agama dan sekte tinggal di negara-negara Barat dengan pakaian, penampilan, tradisi, dan kultur yang berbeda dengan nilai-nilai yang dianut Barat, seperti Sikh India atau Yahudi.
Setiap orang yang melihat komunitas tersebut, pasti mengetahui tentang agama dan keyakinan mereka, tetapi mereka tidak dibatasi dalam menjalankan praktik agamanya di masyarakat Barat. Sementara warga Muslim secara sistematis harus tunduk pada pembatasan atau menerima pelecehan dan gangguan.
Di Swiss, misalnya, mereka mengesahkan undang-undang yang melarang umat Islam membangun masjid dengan menara. Pembangunan masjid di negara-negara Barat telah menghadapi banyak pembatasan selama beberapa tahun terakhir.
Banyak warga Muslim di Eropa menunaikan shalat berjamaah di tempat parkir atau di ruang terbuka. Tentu saja, shalat di ruang terbuka juga mendapat penentangan dari kelompok sayap kanan dan kubu anti-Islam di Eropa, terutama Prancis.
Islamophobia di Barat (42)
Seorang pakar hak asasi manusia PBB dalam safarinya ke Prancis, menyatakan keprihatinan atas dampak undang-undang baru anti-terorisme Prancis terhadap hak-hak dasar masyarakat Muslim.
Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan HAM, Fionnuala Ni Aolain mengatakan ia prihatin bahwa undang-undang keamanan baru yang lebih ketat yang diberlakukan November 2018 akan memicu kekhawatiran dan melemahkan warga Muslim.
Ni Aolain menuturkan dia sangat prihatin bahwa undang-undang ini dapat secara tidak proporsional mempengaruhi, menstigmatisasi, dan semakin memarginalkan warga negara yang beragama Islam.
Ni Aolain, yang mengunjungi Prancis dari 14-23 Mei 2018 atas undangan pemerintah, mengakui tantangan keamanan serius dan berkelanjutan yang sedang dihadapi Prancis. Dia menekankan pentingnya memberikan rasa aman bagi semua warga negara, namun ia menggarisbawahi bahwa ini harus dilakukan sejalan dengan komitmen Prancis untuk menegakkan hak-hak dasar dan kebebasan.
"Jelas bahwa masyarakat Muslim Prancis telah menjadi komunitas yang tunduk pada tindakan luar biasa baik selama penerapan keadaan darurat dan hukum baru di samping langkah-langkah anti-terorisme lainnya," kata Ni Aolain seraya menyoroti kasus penutupan masjid-masjid, yang merampas kebebasan beragama warga Muslim.
"Sangat memprihatinkan bahwa masyarakat minoritas Muslim sedang diasosiasikan sebagai 'komunitas tersangka' melalui penerapan berkelanjutan dan luas dari undang-undang anti-terorisme," ungkapnya.
"Tidak ada keraguan bahwa negara dapat secara sah terlibat dalam menerapkan pembatasan untuk menjaga ketertiban umum, tetapi titik kritis akan muncul ketika tindakan anti-terorisme membawa dampak yang mendalam, berkelanjutan, dan berpotensi tidak proporsional terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil," jelas pejabat PBB ini.
Pernyataan Ni Aolain bukanlah hal baru, ini adalah sebuah realitas yang berlaku di masyarakat Prancis dan pola pandang sebagian besar para pemimpin Eropa terhadap Muslim. Bagi pemerintah dan layanan keamanan negara-negara Eropa, orang Muslim dicurigai sebagai teroris kecuali jika terbukti sebaliknya.
Fionnuala Ni Aolain.
Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa. Itulah sebabnya ada lebih banyak pembatasan terhadap Muslim. Prancis menjadi pelopor dalam memberlakukan banyak pembatasan pada masyarakat Muslim Eropa.
Pasca serangan teroris 11 Septemper di AS serta serangan teroris tahun 2004 dan 2005 di London dan Madrid, negara-negara Eropa telah memberlakukan undang-undang anti-terorisme baru.
Undang-undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada polisi dan dinas-dinas keamanan di Eropa untuk menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai sebagai teroris. Aturan ini sangat mempengaruhi kehidupan kaum Muslim di Eropa dibanding komunitas lainnya. Sebagian besar dari orang yang menjalani penahanan jangka panjang tanpa proses peradilan adalah individu Muslim.
Pada dasarnya, undang-undang anti-terorisme ini telah memperkuat sentimen anti-Muslim dan gerakan Islamophobia di Eropa. UU ini juga menjadi senjata bagi kelompok ekstrem kanan, anti-imigran, dan rasis untuk menyerang warga Muslim.
Perancis menyaksikan banyak serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Paris menyatakan keadaan darurat selama dua tahun. Polisi dan dinas-dinas keamanan diberikan kewenangan khusus untuk menangkap dan menahan tersangka dalam situasi darurat.
Setelah keadaan darurat berakhir pada November 2018, hak istimewa ini kemudian ditetapkan sebagai kewenangan parmanen polisi dan dinas keamanan Prancis di bawah undang-undang anti-terorisme baru. Mereka sekarang berhak untuk menindak orang-orang yang dicurigai sebagai teroris.
Kewenangan khusus ini telah menciptakan ketakutan bagi sebagian besar warga Muslim Prancis. Sebab, mereka sekarang secara permanen dicurigai sebagai teroris dan dalam setiap insiden, mereka harus bisa membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.
Setelah kemenangan partai sayap kanan dan anti-imigran di banyak negara Eropa, kondisi bagi warga Muslim dan imigran menjadi semakin sulit. Komunitas Muslim sekarang menghadapi serangan masif dari kelompok sayap kanan dan anti-imigran.
Partai-partai kanan dan kiri-tengah Eropa, juga bersekutu dengan kubu sayap kanan ekstrem atau memilih diam dalam menyikapi gelombang Islamophobia, karena mereka tidak ingin kehilangan basis massanya.
Negara-negara Eropa menghadapi masalah ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan yang kompleks. Kubu kanan ekstrem menyalahkan warga Muslim dan imigran atas situasi ini. Menurut mereka, solusi atas masalah ini adalah melarang warga Muslim mengamalkan ajaran agamanya atau mengusir mereka dari Eropa.
Pencitraan media-media Barat tentang Islam seringkali negatif dan dikesankan mendukung gerakan teroris atau membawa petaka bagi orang lain. Salah satu tujuan mereka adalah mengesankan Islam sebagai agama pendukung kekerasan dan ekstremisme.
Propaganda media Barat menyebabkan meningkatnya serangan terhadap warga Muslim di sebagian besar negara Eropa selama beberapa tahun terakhir. Dalam banyak kasus, warga Muslim mengirim anak-anak mereka ke sekolah dengan rasa takut dan khawatir, karena mereka akan menjadi sasaran bully, penghinaan, dan serangan rasis.
Media dan pemerintah Barat memandang Muslim dengan rasa curiga dan negatif. Padahal, komunitas Muslim Eropa merupakan bagian integral dari masyarakat Eropa. Benua Eropa berdekatan dengan benua Afrika dan Asia, tempat sebagian besar Muslim dunia tinggal. Eropa tidak dapat memagari perbatasannya secara permanen untuk mencegah warga Muslim memasuki Eropa. Selain itu, populasi Muslim Eropa juga terus tumbuh.
Berdasarkan sebuah riset, warga Muslim akan membentuk 8 persen dari populasi Eropa pada tahun 2030. Populasi Muslim di Eropa akan mencapai 44 juta jiwa dan di Amerika Serikat 5 juta jiwa.
Jika pemerintah – dengan kebijakan diskriminatifnya – ingin merusak kehidupan rukun antara Muslim dan warga Eropa lainnya, maka mereka telah merusak pondasi masyarakat Eropa berdasarkan norma-norma kemanusiaan dan pengakuan hak-hak alami dan sipil untuk semua manusia, terlepas dari latar belakang ras, bahasa, dan agama mereka.
Islamophobia di Barat (41)
Jilbab dalam Islam memiliki kedudukan khusus. Ia merupakan salah satu simbol penting yang membedakan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim serta antara perempuan Muslim dan non-Muslim.
Panduan khusus mengenai jilbab dapat ditemukan di al-Quran, hadis Rasulullah Saw, dan ucapan para imam maksum. Mayoritas Muslim juga berusaha mengamalkan ajaran tersebut.
Kubu anti-Islam di Barat – dengan alasan kebebasan dan pembebasan perempuan – menciptakan pembatasan bagi masyarakat Muslim di negara-negara Barat. Kebijakan pemerintah Barat telah mendorong kelompok anti-Islam untuk menyerang dan menyakiti wanita Muslim.
Prancis – tempat lahirnya kebebasan berekspresi di Barat – adalah salah satu negara yang memolopori larangan jilbab bagi wanita Muslim. Pelajar putri Muslim Prancis menjadi korban pertama undang-undang larangan jilbab. Mereka dilarang memakai jilbab di sekolah-sekolah atas keputusan pemerintah Prancis yang juga disetujui oleh parlemen.
Berdasarkan UU tersebut, masyarakat dilarang memakai simbol-simbol yang menunjukkan identitas agama tertentu. Padahal, pemilihan jenis pakaian adalah bagian dari hak asasi setiap individu dan warga negara. Model kebebasan berekspresi seperti ini mengundang tanda tanya, karena pengikut sebuah agama tidak dapat memilih pakaian berdasarkan ajaran agamanya.
Perempuan Muslim memilih jilbab atas dasar keyakinannya dan bukan karena tekanan atau paksaan. Pemerintah dan lembaga peradilan Prancis – dengan berbagai alasan – berusaha memaksa perempuan Muslim untuk menanggalkan jilbabnya dan menetapkan denda untuk mereka yang menolaknya, seakan perempuan Muslim telah melakukan tindak kriminal.
Sebuah pengadilan di kota Toulouse, Prancis, menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap seorang wanita Muslim yang menolak permintaan polisi untuk melepaskan cadarnya. Kejahatan wanita tersebut adalah menutup wajahnya di muka umum.
Prancis berada di garda terdepan dalam memberlakukan larangan untuk wanita Muslim. Pembatasan dan larangan ini menjalar ke negara-negara lain Eropa, dan hampir di semua negara Eropa disahkan aturan yang melarang wanita Muslim mengenakan jilbab di tempat umum dan sekolah-sekolah.
Larangan memakai cadar juga berlaku di Austria.
Dalam sebuah kasus terbaru, pengadilan di kota Berlin melarang kehadiran seorang guru berjilbab di sekolah dasar. Berdasarkan undang-undang netralitas di Berlin, pengadilan menganggap aktivitas guru berjilbab di sekolah dasar, melanggar hukum dan menyimpulkan bahwa undang-undang netralitas tidak melanggar Konstitusi Jerman.
Pengadilan Berlin juga menolak permohonan yang diajukan oleh wanita Muslim dan berdasarkan undang-undang netralitas, ia tidak bisa mengenakan jilbab saat mengajar di sekolah. Undang-undang netralitas melarang pekerja/pegawai untuk mengenakan simbol-simbol agama.
Putusan pengadilan Berlin mendapat penentangan dari dalam Jerman. Senator kota Berlin dari Partai Hijau, Dirk Behrendt memprotes undang-undang tersebut dan berjanji akan mengubah undang-undang netralitas.
"Undang-undang netralitas Berlin tidak dapat menjadi acuan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Federal. Larangan publik terhadap orang-orang yang ingin menggunakan simbol-simbol agama adalah diskriminatif," tegasnya.
Juru bicara partai kiri di Bundestag Jerman, Christine Buchholz mengatakan, "Wanita Muslim diperlakukan diskriminatif di bursa kerja. Dengan putusan itu, para hakim telah mengirim sebuah sinyal rahasia kepada masyarakat bahwa mereka tidak selaras dengan tantangan yang dihadapi kota-kota seperti Berlin."
"Masalahnya di Jerman bukan tentang menara, jilbab, atau muazin, tetapi tentang rasisme terhadap minoritas agama," ungkapnya.
Pada tahun 2017, seorang guru Muslimah berhasil mendapat ganti rugi 8.680 euro dari Kementerian Pendidikan di kota Berlin. Ia menuturkan bahwa dirinya dilarang mengajar di sekolah karena memakai jilbab dan mendapat perlakukan diskriminatif.
Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan penafsiran dari sebuah undang-undang di Jerman, dan menjadi bukti atas pengaruh kubu anti-Islam di lembaga pemerintah dan peradilan.
Pembatasan untuk wanita Muslim di Eropa dimulai seiring dengan meningkatnya sentimen anti-Muslim di Barat. Fenomena ini tidak ada hubungannya dengan masalah kebebasan berekspresi dan pembebasan wanita dari "pengekangan" atau melanggar undang-undang sekuler di Prancis.
Jilbab merupakan ajaran agama Islam dan wanita Muslim mematuhinya dengan kesadaran penuh. Islam – sama seperti agama lain – memiliki seperangkat aturan dan kewajiban untuk membangun masyarakat berdasarkan ajaran Allah Swt dan nilai-nilai moral. Allah telah mengutus para nabi untuk membimbing manusia ke arah kebaikan.
Jadi, ajaran sebuah agama tidak bisa dituding menyebarkan ekstremisme dan kekerasan serta melanggar kebebasan, karena ia bertentangan dengan pemikiran liberal yang dianut Barat.
Para pemimpin Barat tidak dapat memberlakukan pembatasan terhadap warga Muslim bahkan berdasarkan pemikiran liberal. Sebab, menjalani hidup berdasarkan landasan ideologi dan pemikiran adalah bagian dari kebebasan individu yang diakui oleh prinsip-prinsip liberalisme sendiri.
Namun, kubu anti-Islam di Barat berusaha memperkenalkan warga Muslim sebagai sumber ketidakamanan dan ancaman terorisme di Barat. Dengan alasan ini, mereka menerapkan pembatasan terhadap warga Muslim. Dengan alasan yang sama, kubu sayap kanan ekstrem dan rasis melancarkan serangan rasis dan pelecehan terhadap warga Muslim khususnya perempuan.
Dalam sebuah kasus rasial, seorang wanita Muslim di Jerman mendapat serangan karena mengenakan jilbab. Seorang wanita Muslim di wilayah Spandau di Berlin menjadi korban serangan. Seorang pria di halte bus bertannya kepadanya tentang alasannya memakai jilbab. Wanita ini menjawab bahwa sebagai seorang Muslim ia suka mengenakan jilbab. Pria tersebut kemudian menampar wanita Muslim itu.
Pada April 2018, dua ekstremis Jerman menyerang seorang wanita Muslim dan temannya di Berlin, dan membiarkan anjingnya untuk menyerang wanita tersebut. Di bulan yang sama, seorang pria di kota Osnabruck menarik paksa jilbab yang dikenakan oleh gadis 11 tahun.
Serangan terhadap masjid-masjid di Jerman juga mendapat sorotan luas dari komunitas Muslim di negara itu. Dalam hal ini, Ketua Dewan Muslim Jerman, Aiman Mazyek mengatakan, "Kita setiap hari menyaksikan kebencian terhadap Muslim di dunia maya dan hampir setiap minggu menerima surat ancaman tentang pemusnahan kaum Muslim. Kami selalu memperingatkan bahwa serangan fisik terjadi setelah serangan verbal."
Ketua Badan Anti Diskriminasi Jerman, Bernard Frank memperingatkan tentang intoleransi bergama di masyarakat Jerman. Dalam wawancaranya dengan surat kabar Tagesspiegel, Bernard Frank mengatakan, "Insiden seperti itu memalukan. Kita tidak dapat membiarkan serangan anti-agama apakah itu terhadap Yahudi atau Muslim. Bahkan ketika orang-orang sedang mencari pekerjaan, bekerja di stadion olahraga atau di sekolah, mereka tidak boleh disingkirkan hanya karena simbol-simbol agama, tapi sayangnya kita menyaksikan kejadian seperti itu."
Salah satu kebanggaan negara-negara Barat adalah upayanya untuk membangun masyarakat multikulturalisme dan kebebasan beragama, tetapi kubu anti-Islam di Barat telah merusak prinsip-prinsip hidup damai dan toleransi antar-berbagai pengikut agama.
Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili
Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili, yang dikenal dengan Allamah Hilli adalah seorang ahli hukum (faqih) dan teolog Syiah pada abad kedelapan Hijriyah. Ia telah menulis lebih dari 120 buku di berbagai bidang ilmu agama dan beberapa karyanya menjadi buku diktat hauzah ilmiah.
Allamah Hilli termasuk salah satu orang jenius pada masanya dan selalu berusaha menjelaskan akidah Syiah berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Dia memainkan peran penting dalam menyebarkan mazhab Syiah dan mempromosikan ajaran Ahlul Bait as. Dia dianggap sebagai pelestari mazhab Syiah.
Dia telah mendidik 500 mujtahid dan ilmuwan, melakukan sejumlah debat ilmiah dengan para ulama Sunni, menulis banyak buku untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah Syiah, dan menjawab sanggahan orang-orang di luar Syiah dengan argumentasi yang logis.
Allamah Hilli lahir pada malam 29 Ramadhan tahun 648 H di tengah keluarga yang agamis. Ibunya berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang serta saudara perempuan dari Muhaqqiq al-Hilli, sementara ayahnya adalah seorang ilmuwan dan faqih di kota al-Hillah, Irak. Allamah Hilli menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan kedua orang tuanya dan di bawah pengawasan ulama yang juga pamannya, Muhaqqiq al-Hilli.
Dalam tempo singkat, ia mulai belajar dari para guru besar berkat kecerdasan dan ketekunannya. Dia mempelajari berbagai ilmu yang berkembang pada masa itu dari para guru besar dan telah menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan di masa mudanya.
Masa kecil Jamaluddin Hasan jatuh bersamaan dengan invasi brutal Mongol ke wilayah Islam. Iran dilanda api perang Mongol, sementara masyarakat Irak terpaksa meninggalkan kota-kota dan melarikan diri ke padang pasir karena takut serangan Mongol. Masyarakat Syiah Irak, Najaf, dan Kazimain berlindung di kompleks makam suci para imam maksum.
Akibat serangan ini, kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan Islam dan keilmuan Syiah telah hancur. Tentu saja para ulama tidak tinggal diam dalam menghadapi bahaya yang dihadapi oleh kaum Muslim. Kalangan ulama bekerja keras untuk menghentikan pertumpahan darah dan bernegosiasi dengan para komandan dan penguasa Mongol.
Berkat upaya dan kearifan para fuqaha Syiah, termasuk ayah dari Allamah Hilli yaitu Syeikh Yusuf bin Mutahhar, keamanan kembali pulih di kota-kota dan secara perlahan kota al-Hillah berubah menjadi tempat berlindung bagi para ulama dan ilmuwan.
Masa kecil Allamah Hilli diwarnai dengan peristiwa sulit seperti itu, tetapi kondisi ini tidak menghalanginya untuk menimba ilmu. Dia mulai belajar mengaji dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari ayah serta pamannya, Muhaqqiq al-Hilli. Dia kemudian diterima oleh para guru besar terutama Khajeh Nashiruddin Thusi, untuk mempelajari ilmu fikih, teologi, logika, dan filsafat.
Allamah Hilli mencapai derajat ijtihad sebelum menginjak usia baligh. Ini semua karena kecerdasan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu dan memperdalam spiritualitas. Ia juga mendapatkan banyak keutamaan sehingga orang-orang di lingkungannya memanggilnya "Jamaluddin" yang berarti keindahan agama.
Pada usia 28 tahun, Allamah Hilli dipercaya untuk menjadi pemimpin mazhab Syiah Imamiyah, padahal waktu itu 400 mujtahid tinggal di kota al-Hillah. Hal ini menunjukkan betapa tinggi posisi dan kedudukan intelektual Allamah Hilli. Secara perlahan, kepintaran dan keutamaan Allamah Hilli mulai dikenal di dunia Islam. Sultan Mohammad Khodabandeh dari penguasa Dinasti Ilkhanat, yang dikenal baik dan sangat menghormati ulama, mengundang Allamah Hilli untuk datang ke Iran.
Sultan Mohammad memiliki ibu Kristen dan ia sendiri memeluk agama Budha, tetapi akhirnya masuk Islam selama pergaulannya dengan Muslim dan memilih mazhab Syafi'i. Pasca kedatangan Allamah Hilli di Iran, Sultan Mohammad sangat tertarik pada ilmu dan seni. Dia menyelenggarakan beberapa sesi debat untuk bertukar pandangan dan kritik di antara para ulama.
Di salah satu sesi debat ini, Allamah Hilli tampil di hadapan ulama dari mazhab-mazhab lain dan membuktikan kebenaran imamah Imam Ali as dan mazhab Syiah, di mana para ulama lain tidak mampu menyanggahnya. Perdebatan ini menyebabkan Sultan Mohammad Khodabandeh pindah ke mazhab Syiah.
Keputusan Sultan merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Syiah, karena pada masa pemerintahannya, Syiah menjadi mazhab resmi di seluruh Iran untuk pertama kalinya, dan dia adalah Sultan pertama yang menyebarkan Syiah Imamiyah secara besar-besaran. Selama periode ini, para ulama Syiah menemukan kesempatan emas untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait as.
Allamah Hilli melakukan banyak upaya untuk mendekatkan mazhab-mazhab Islam. Kebesaran jiwanya menyebabkan diskusi tentang perbedaan mazhab selalu berlangsung dalam suasana damai dan hangat. Di madrasah-madrasah yang didirikannya, para ulama dari berbagai mazhab mengajar secara berdampingan meskipun ada perbedaan pandangan dari segi akidah.
Meskipun Allamah Hilli secara tegas dan terbuka membela akidah Syiah, ia tetap memperoleh pujian dari para ulama mazhab lain. Misalnya, Ibnu Hajar al-'Asqalani, salah satu ulama Syafi'i dan hadits, menyebut Allamah Hilli sebagai tanda kebenaran dalam kecerdasan dan memuji sikap baiknya terhadap Ibnu Taimiyah, salah satu ulama garis keras Sunni.
Ibnu Taimiyah adalah seorang yang memiliki pemikiran ekstrem dan takfiri. Banyak ulama Islam baik Syiah maupun Sunni, menganggap akidahnya sesat dan ia sendiri telah keluar dari agama. Allamah Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah untuk membuktikan kepemimpinan Ahlul Bait as, dan Ibnu Taimiyah juga menulis buku sanggahannya atas dasar sikap keras kepala.
Ketika Allamah Hilli melihat buku Ibnu Taimiyah, yang penuh dengan sikap tidak sopan dan cacian, ia melantunkan sebuah puisi dan mengirimkannya kepada Ibnu Taimiyah. Allamah Hilli berkata, "Jika engkau tahu apa yang diketahui oleh orang lain, engkau akan bersahabat dengan ilmuwan, tetapi engkau menjadikan kebodohan sebagai gayamu dan engkau berkata, 'Siapa pun yang bergerak melawan hawa nafsuku, ia bukanlah ilmuwan!'"
Perlu diketahui bahwa pemikiran ekstrem dan eklektik Ibnu Taimiyah yang diprotes oleh ulama Sunni dan Syiah, kemudian disebarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, pendiri sekte Wahabi. Saat ini pemikiran takfiri dari beberapa kelompok teroris seperti Daesh, bersumber dari sekte Wahabi.
Allamah Hilli, terlepas dari semua kerja kerasnya di bidang budaya, mengajar dan menulis buku-buku berharga, tidak lupa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meningkatkan derajat spiritualnya. Dia dianggap sebagai orang yang paling zuhud dan bertakwa, dia memerintahkan semua shalat dan puasanya dilakukan ulang setelah wafatnya meskipun ia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Meskipun telah menunaikan haji, dia mewasiatkan seseorang untuk menunaikan haji atas namanya.
Ulama besar Syiah ini dengan meneladani Imam Ali as, telah membuka banyak kebun, membuat saluran air dengan tangannya, dan kemudian mewakafkan itu semua kepada masyarakat. Tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Ia selalu mewasiatkan orang lain untuk mencintai Ahlul Bait dan menerima kepemimpinan mereka.
Allamah Hilli berkata, "Bukti terbesar kecintaan kepada Ahlul Bait adalah menaati dan menerima kekhalifahan dan kepemimpinan mereka serta bangkit dengan cara yang telah ditetapkan oleh mereka… Saya mewasiatkan kecintaan dan kasih sayang kepada putra-putri Fatimah az-Zahra as, karena mereka adalah pemberi syafaat kita pada hari ketika harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat bagi kita… Ya Allah! Bangkitkanlah kami atas kecintaan kepada Ahlul Bait dan jadikan kami termasuk orang-orang yang telah menunaikan hak kakek mereka, Rasulullah dan keturunannya."
Sepeninggal Sultan Mohammad Khodabandeh, Allamah Hilli kembali ke kampung halamannya di Hillah. Di sana, ia melanjutkan studi, mengajar, dan menulis buku-buku hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini meninggal dunia pada bulan Muharram tahun 726 H di kota Hillah. Ia dimakamkan di kota Najaf di dekat makam Imam Ali as.
Muhammad ibn Makki
Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.
Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.
Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.
Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.
Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.
Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.
Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.
Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.
Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.
Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.
Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.
Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”
Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”
Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.
Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.
Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.
Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.
Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.
Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.
Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.
Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.
Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.
Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.
Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.
Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.
Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.
Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.
Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.
Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.
Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.
Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.
Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.
Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”
Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”
Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.
Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.
Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.
Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.
Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.
Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.
Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.
Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.
Allamah Sayid Haidar Amoli.
Allamah Sayid Haidar Amoli Amuli adalah seorang arif besar Syiah, mufasir al-Quran, pakar hadis, dan faqih terkenal yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah. Dia adalah salah satu faqih dan teolog pertama yang membangun ikatan yang dalam antara Syiah dan Sufisme.
Ulama dan arif besar ini, terlepas dari semua kapasitas dan pengaruhnya di bidang irfan Syiah, tetapi ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum dan bahkan oleh para pemikir. Namun, Henry Corbin, seorang filsuf Muslim Prancis, dan Profesor Osman Yahya – keduanya merupakan dosen di Universitas Sorbonne Prancis – telah menerbitkan sejumlah karya milik Allamah Sayid Haidar Amoli selama beberapa dekade terakhir. Langkah ini membuat komunitas ilmiah dan akademis dunia mengenal pemikiran dan kepribadian Sayid Haidar Amoli.
Allamah Sayid Haidar Amoli lahir pada tahun 720 H di kota Amol, Provinsi Mazandaran, Iran. Selama masa mudanya, Sayid Haidar Amoli mempelajari ilmu-ilmu formal pada masanya dengan baik, dan karena ketertarikannya pada ilmu irfan Syiah Imamiyah, dia mulai serius mempelajari dasar-dasar ilmu irfan di samping pendidikan formalnya.
Sayid Haidar Amoli kemudian hijrah ke kota Khurasan dan Isfahan – pusat penting ilmu pengetahuan pada masa itu – untuk menyempurnakan jenjang pendidikannya. Lima tahun kemudian, pada usia 25 tahun ia kembali ke kampung halamannya sebagai seorang alim yang terkenal. Kemasyhuran Sayid Haidar Amoli di bidang ilmu dan akhlak terdengar sampai ke istana penguasa Thabaristan. Raja mengundang ilmuwan muda ini ke istana dan mengangkatnya sebagai menteri.
Masa itu, Sayid Haidar Amoli telah mencapai derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, di samping status sosialnya yang sangat dihormati dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Saat sedang di puncak kemapanan dan kesejahteraan, ia menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidaklah berguna dan sebuah guncangan batin muncul dalam dirinya.
Sayid Haidar Amoli meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk tanah air, jabatan, kekayaan, dan keluarga. Dia hanya membawa bekal seperlunya dan kemudian pergi menziarahi Baitullah, makam suci para imam Ahlul Bait as, dan tempat-tempat suci lainnya di Irak, Palestina, Mekkah, dan Madinah. Inilah awal dari petualangan spiritual dan kehidupan baru Sayid Haidar Amoli.
Sayid Haidar Amoli kembali ke Irak pada usia 30 tahun setelah mengunjungi Baitullah, makam Nabi Saw, dan makam-makam para imam Ahlul Bait as. Di Irak, dia kembali belajar kepada para ulama besar seperti, Fakhr al-Muhaqiqin – putra Allamah Hilli – dan Maulana Nasir al-Din Kashani Hilli, dan mendapat perhatian khusus darinya.
Dia telah menguasai dasar-dasar irfan Islam sejak remaja dan sekarang mulai mempraktikkan dalam kehidupannya dan menjalani tahapan sairus suluk menuju kepada Allah Swt. Pintu ilmu hakikat terbuka baginya satu demi satu karena keikhlasan dan niat yang suci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, di samping tekad yang kuat untuk meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya melupakan Tuhan.
Sayid Haidar Amoli selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, dan pengetahuan Ahlul Bait, juga merupakan seorang pesuluk dan arif. Ulama besar ini yakin bahwa sufisme murni – yang terlepas dari distorsi dan dua kutub ekstrem; ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) – masih satu paham dengan Syiah murni yaitu sunnah dan sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Syiah murni adalah sufi, dan sufi yang sejati adalah Syiah, meskipun secara lahiriyah tidak demikian.
Sayid Haidar Amoli menulis sejumlah buku dengan tujuan mengawinkan sufisme dan Syiah. Dia telah melakukan kajian dan penelitian yang luas tentang kedua topik ini. Ketika keyakinannya tentang kedekatan tasawuf dan Syiah tersebar luas, para tokoh Syiah di Irak sangat menentangnya, tetapi Sayid Haidar Amoli berkata kepada mereka, “Saya mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui dan masih ada yang lebih alim di atas setiap orang alim.”
Irfan adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang berbasis pada ajaran al-Quran dan Ahlul Bait. Secara istilah, irfan mengacu pada sebuah pengetahuan khusus yang diperoleh melalui syuhud (penyaksian) meta-indra dan meta-akal. Karena syuhud semacam ini biasanya membutuhkan latihan khusus, maka kegiatan mempraktikkan sairus suluk juga disebut ilmu irfan. Jadi, seorang arif sejati adalah orang yang menjalankan latihan khusus dan memperoleh pengetahuan intuitif dan syuhud tentang Tuhan, sifat-sifat, dan perilaku-Nya.
Sayid Haidar Amoli menentang keras sikap ifrath dan tafrith yang diperlihatkan oleh sebagian sufi, dan ia menjelaskan prinsip-prinsip irfan Islam yang otentik dengan memanfaatkan ajaran Ahlul Bait.
Dia menghubungkan prinsip ilmu irfan dengan wilayah (kepemimpinan), di mana irfan yang menolak kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah berarti bukan irfan dan tasawuf sejati. Sayid Haidar Amoli menganggap jalan hidayah masyarakat akan terjamin dengan berpegang pada syariat dan kepemimpinan Ahlul Bait. Dia secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah adalah inti dari kenabian dan kepemimpinan Ahlul Bait diperlukan untuk mempertahankan eksistensi dan tali penghubung semua makhluk di alam semesta dengan Tuhan.
Sayid Haidar Amoli menulis beberapa buku untuk mencapai tujuan besarnya. Kitab Jami’ al-Asrar merupakan referensi terpenting untuk mengetahui pemikiran Sayid Haidar Amoli tentang ikatan kaum sufi dengan mazhab Syiah Imamiyah. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan pendapatnya tentang topik yang sangat penting yaitu “Khatm al-Wilayah” dan mengkritik pemikiran Ibnu Arabi, sufi besar Dunia Islam.
Kajian tentang konsep Khatm al-Wilayah memiliki tempat khusus dalam ilmu irfan Islam. Artinya, dengan berakhirnya periode kenabian, wilayah yang merupakan inti sari dari nubuwah tidak berakhir, tetapi di setiap zaman dan waktu, seorang imam maksum – sebagai khalifah Rasulullah – harus selalu hadir di tengah umat sebagai perantara rahmat Ilahi.
Dengan kata lain, meskipun pintu kenabian dan risalah telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw – sebagai nabi terakhir, – namun pintu wilayah dan kepemimpinan Ahlul Bait as masih terbuka.
Sayid Haidar Amoli dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa setelah berakhirnya periode kenabian, era kepemimpinan melalui 12 imam maksum dari Ahlul Bait Nabi as telah dimulai. Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as adalah penutup para wali dan tidak ada pintu hidayah, kesempurnaan, dan kebahagiaan kecuali melalui perantaraan Khatam al-Auliya. Inilah salah satu topik penting yang membedakan antara tasawuf dan irfan Syiah dari tasawuf di kalangan Sunni.
Makam Sayid Haidar Amoli di kota Amol, Iran.
Sebagian peneliti meyakini bahwa Ibnu Arabi juga sependapat dengan Sayid Haidar Amoli mengenai masalah tersebut, namun ia menyembunyikan akidahnya karena kondisi sosial dan politik waktu itu, dan tidak mengutarakan pendapatnya secara eksplisit.
Upaya Sayid Haidar Amoli untuk merumuskan prinsip-prinsip ilmu irfan Syiah telah membuahkan hasil, dan pemikiran serta tulisannya terutama buku Jami’ al-Asrar dan Manba’ al-Anwar telah menjadi rujukan yang kredibel bagi mereka yang tertarik dengan irfan Islam dari zaman dulu dan bahkan sampai sekarang.
Dia mampu menjelaskan secara terbuka apa yang tidak disampaikan oleh Ibnu Arabi karena tuntutan kondisi, dan berhasil merangkul banyak ulama Syiah untuk mendukung pandangannya tentang konsep irfan Syiah.
Tidak ada catatan pasti tentang tahun-tahun terakhir dari kehidupan Sayid Haidar Amoli dan waktu wafatnya. Dikatakan bahwa di akhir hayatnya, Sayid Haidar Amoli memilih mensucikan jiwanya dan menjalani hidup terasing. Sepertinya ia meninggal dunia setelah tahun 792 H dan tempat pemakamannya tidak diketahui pasti. Sebagian percaya bahwa ia dimakamkan di Hillah, Irak, dan sebagian yang lain berkata kuburannya berada di kampung halamannya kota Amol, Iran.
Ali bin Hassan Karaki
Ali bin Hassan Karaki yang lebih dikenal dengan Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, termasuk ulama Jabal Amil, Lebanon yang datang ke Iran atas undangan Shah Ismail Safavi, dan berperan besar dalam penyebaran Syiah di negara ini.
Ia mendidik sejumlah murid yang kelak menjadi ulama besar, dan banyak fakih serta cendekiawan abad ke-10 Hijriah Qamariyah yang merupakan muridnya.
Muhaqiq Karaki dikenal sebagai ulama besar dan fakih abad ke-10 Hq. Ia dilahirkan pada tahun 865 Hq di desa Karak, Jabal Amil, Lebanon. Ayahnya merupakan tokoh Syiah di Lebanon, dan ia memberikan nama Ali kepada anaknya untuk mengambil berkah dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Jabal Amil termasuk wilayah yang dianggap sakral, salah satunya karena di sana terdapat banyak makam para nabi, waliullah, dan tokoh agama seperti Yusha bin Nun, wasi Nabi Musa as, dan Nabi Yehezkiel, serta tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi Isa as.
Penyebaran Syiah di Jabal Amil, kembali ke pertengahan awal abad pertama Hijriah Qamariyah, yaitu saat tokoh-tokoh besar Islam semacam Salman Farsi, Ammar Yasir, dan Abu Dzar Ghiffari menyebarkan Islam hakiki di wilayah itu.
Diperkirakan kehadiran Abu Dzar di Jabal Amil di masa pengasingannya, lebih dari sahabat Imam Ali as lainnya, menjadi faktor determinan penyebaran Syiah di wilayah tersebut.
Di antara pengikut Syiah asal Jabal Amil terdapat sejumlah banyak ulama saleh yang menerangi Dunia Syiah dengan cahayanya. Syeikh Hurr Amili dalam kitab “Amal Al Amil fi Ulama Jabal Amil”mencatat 100 nama cendekiawan Syiah asal Jabal Amil dan menambahkan puluhan lainnya.
Hauzah Ilmiah Jabal Amil termasuk di antara hauzah yang paling berpengaruh dalam menghidupkan ajaran Ahlul Bait as. Era paling aktif dalam sejarah Hauzah Ilmiah Jabal Amil adalah pada abad 8-11 Hq.
Di masa ini, cendekiawan dan fakih besar semacam Syahid Awal, Syahid Tasni, dan Muhaqiq Karaki lahir dari Hauzah Jabal Amil. Sejumlah ulama besar Jabal Amil datang ke Iran dan berperan aktif menyebarkan Syiah di negara ini. Muhaqiq Karaki salah satunya.
ilustrasi pepustakaan
Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, di masa kecilnya tumbuh di tengah keluarga ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia masuk Hauzah Ilmiah Karak, dan belajar kepada ulama besar desa tersebut.
Karak meski sebuah desa, tapi memiliki sebuah hauzah ilmiah kaya yang didatangi para pelajar agama dari berbagai wilayah Lebanon lainnya. Muhaqiq Karaki setelah menimba ilmua di Jabal Amil, berangkat ke Damaskus, Suriah, Baitul Maqdis, Palestina, Mesir dan Irak.
Muhaqiq Karaki di masa remaja melakukan penelitian secara serius seputar masalah fikih dan hadis, sehingga dijuluki Muhaqiq Tsani.
Ia dianggap sebagai peneliti fikih Ahlul Bait as paling unggul setelah Muhaqiq Hilli. Muhaqiq Karaki menulis 71 buku, yang paling terkenal dan paling berharga adalah buku berjudul “Syarh Kitab Qawaid Allamah Hilli” yang lebih dikenal dengan “Jami Al Maqashid fi Syarh Al Qawaid”.
Muhaqiq Tsani juga dijuluki “Shahib Jami Al Maqashid” karena buku ini. Dari sisi tata bahasa, makna, teknik penulisan dan kandungannya, buku tersebut termasuk buku fikih Syiah paling baik.
Di antara ulama Syiah terdapat sebuah keyakinan jika seorang Mujtahid telah memahami tiga kitab yaitu Jami Al Maqashid, Wasail Al Syiah, dan Jawahir, maka untuk mengeluarkan dalil, menetapkan hukum dan menulis kitab fikih, ia tidak memerlukan kitab lain.
Ulama besar Jabal Amil ini setelah berhasil memahami dengan baik pemikiran fikih Ahlu Sunnah dengan baik di Mesir selama beberapa tahun, lalu meninggalkan negara itu.
Di masa itu kemasyhuran Muhaqiq Karaki tersebar di wilayah Muslim lain. Di Najaf, Muhaqiq Karaki aktif mengajar sampai seorang utusan keluarga kerajaan Iran mendatanginya dan membawa pesan Shah Ismail Safavi yang memintanya menyebarkan Syiah di Iran.
kitab karya Muhaqiq Karaki, Jami Al Maqashid
Ketika penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah mempersempit ruang gerak pengikut Syiah di Irak dan Syam, Muhaqiq Karaki menganggap kondisi ini sebagai kesempatan yang dapat membawa para pengikut Syiah ke puncak kejayaan dan mengenalkan budaya Syiah kepada masyarakat.
Keputusan sangat penting dan sensitif ini dinilai dapat mengubah jalan hidup Muhaqiq Karaki dan para pengikut Syiah, oleh karena itu ia menerima permintaan Shah Iran tersebut, dan pada tahun 916 Hq dalam Perang Herat, ia memenuhi undangan Shah Ismail Safavi.
Saat itu usianya sekitar 50 tahun, namun berjuang sekuat tenaga menyebarkan Syiah di tengah kondisi yang sangat sensitif di Dinasti Safawiyah. Safawiyah adalah dinasti kerajaan Iran yang berkuasa dari tahun 907 hingga 1135 Hq. Mereka mengumumkan Syiah sebagai mazhab resmi kerajaan Iran, dan bertahan hingga lebih dari dua abad.
Mempelajari kehidupan para ulama besar Syiah di era Safawiyah menunjukkan adanya kerja sama ulama dengan kerajaan. Ulama bahkan menerima beberapa pos penting di kerajaan seperti posisi Syeikh Al Islam, dengan satu alasan yaitu menyebarkan dan memperkuat agama serta hukum Islam.
Muhaqiq Karaki datang ke Iran tidak lama setelah Syiah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara ini. Di sisi lain karena selama bertahun-tahun hidup di bawah aturan ketat yang membatasi mereka, pengikut Syiah Iran tidak terlalu memahami hukum agama, maka kelangkaan fakih Syiah dan kitab-kitab hukum praktis Islam sangat dirasakan saat itu.
Muhaqiq Karaki pada tahun 916 Hq dapat dikatakan telah meletakkan fondasi mazhab Syiah di Iran. Akan tetapi karena kesibukan Shah Ismail, dan ketidakpeduliannya pada masalah kebudayaan, Muhaqiq Karaki melepaskan jabatan yang diberikan kepadanya pada tahun 929 Hq. Ia meninggalkan Iran dan kembali memulai aktivitas mengajar di Hauzah Ilmiah Najaf.
Muhaqiq Tsani sibuk mengajar di Najaf selama enam tahun, dan mendidik para pelajar agama serta orang-orang yang dahaga akan ilmu Ahlul Bait as. Setelah meninggalnya Shah Ismail, Shah Tahmaseb Safavi kembali mengundang Muhaqiq Karaki untuk datang ke Iran.
Pada tahun 935 Hq, Muhaqiq Tsani untuk kedua kalinya datang ke Iran, dan mendapat lebih banyak fasilitas di banding sebelumnya. Shah Tahmaseb sangat menghormati kepribadian dan keluhuran ilmu Muhaqiq Karaki. Ia mengatakan, Anda lebih layak mengurus pemerintahan daripada saya, karena Anda wakil Imam Mahdi as, sementara saya adalah salah satu dari penguasa Anda.
Shah Tahmaseb memberikan posisi Syeikh Al Islam, yang merupakan posisi tertinggi di bidang agama kepada Muhaqiq Tsani dan memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus masyarakat.
Muhaqiq Karaki memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk meluruskan sejumlah penyimpangan di kerajaan dan menyebarkan Syiah serta memperkokoh fondasinya di lingkungan kerajaan Dinasti Safawiyah. Pengaruh Muhaqiq Tsani terhadap Shah Tahmaseb sedemikian besar sampai Raja Iran itu bertobat dan memilih gaya hidup baru.
Di antara langkah yang dilakukan Muhaqiq Karaki di Iran adalah memperkuat hauzah ilmiah dan memenuhi kebutuhan materi serta maknawinya.
Ia juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang marak di bidang tasawuf. Atas fatwa Muhaqiq Karaki, pemerintah Safavi menutup tempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Ia juga menghidupkan Shalat Jumat dan shalat jamaah di Iran.
Muhaqiq Karaki memerintahkan agar ruhani (ulama) dikirim ke seluruh kota dan desa Iran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama masyarakat.
Untuk menghidupkan sisi lahiriah Syiah dan ajaran Ahlul Bait as di masyarakat, ia sangat bekerja keras, termasuk mengembalikan kalimat “Asyhadu anna Aliyan Waliullah” dan “Hayya Alaa Khoiril Amal” pada azan dan iqamah shalat selama 56 tahun sampai akhirnya ditinggalkan kembali pada era Toghrul-Beg Seljuk.
Satu lagi poin unggul dampak kehadiran Muhaqiq Karaki di Iran adalah terjunnya ulama besar Syiah ini ke arena politik dan sosial. Ia percaya pengelolaan negara dan urusan masyarakat harus berlandaskan aturan agama dan dipimpin seorang fakih Jamiu Syara’it.
Pandangan ini tidak lain adalah konsep Wilayatul Fakih yang diyakini oleh banyak ulama Syiah. Pada pembahasan berikutnya akan diulas pandangan Muhaqiq Karaki tentang konsep Islam progresif.
Mohaghegh Karaki
Salah satu isu yang diangkat dalam pemikiran Mohaghegh Karaki mengenai masuknya dunia religius yang agung di ranah politik dan sosial.
Ia percaya bahwa penyelenggaraan negara dan urusan rakyat harus berdasarkan agama dan berada di bawah kepemimpinan ulama otoritatif dan kredibel. Pandangannya tentang masalah ini mengusung teori Wilayah Fakih yang juga diyakini oleh banyak sarjana Syiah.
Di masa kehidupannya, Mohagheh Karaki menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk penguasa saat itu. Shah Tahmasb Safavi begitu terpesona oleh kepribadian dan posisi intelektualismenya, sehingga dia pernah berkata, "Anda berhak lebih dari saya untuk mengatur dan mengelola urusan negara. Sebab Anda adalah wakil Imam dan saya salah seorang pejabat Anda,".
Shah Tahmasb memberinya posisi Sheikh al-Islam, yang dianggap sebagai posisi religius tertinggi dalam urusan negara,". Mohaghegh Karki memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini untuk mereformasi urusan umat Islam dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya.
Mohaghegh Karaki yang juga dikenal sebagao Mohaghegh Thani memulai pembahasan tentang Wilayah Fakih dengan masalah Imamah. Ia menganggap imamah sama pentingnya dengan Nubuwah dan menganggapnya sebagai salah satu prinsip agama.
Mohaghegh Thani berkata, "Dalil yang sama mengenai kebutuhan orang terhadap Nabi juga berlaku mengenai Imam. Orang selalu membutuhkan kepemimpinan dan bimbingan yang kuat di setiap zaman, karena selalu ada dorongan untuk menciptakan kejahatan."
Mengenai penolakan terhadap pemisahan politik dari agama, ia menjelaskan, “Tidak bisa dikatakan bahwa rakyat membutuhkan pemerintahan, penguasa dan pemimpin hanya dalam urusan dunia, atau pemerintahan hanyalah berhubungan dengan urusan duniawi saja. Sebab, urusan agama juga termasuk dalam sistem kehidupan dan dunia umat. Misalnya, meski pemberhentian dan pelantikan hakim adalah urusan agama, tapi juga bagian dari urusan duniawi rakyat,".
Karki menganggap tujuan kebangkitan para Nabi untuk menjadi pedoman umat di akhirat dan di dunia ini. Ia meyakini ibadah berkaitan dengan akhirat dan juga dunia. Oleh karena itu, hanya mereka yang diberi wewenang oleh Nabi Muhammad Saw untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan agama, dan siapa pun selain mereka yang memegang posisi ini adalah seorang tiran.
Selain masalah Nubuwah dan Imamah, Mohaghegh Karaki juga menjelaskan urgensi pemerintahan yang ketiga terkait dengan ketidakhadiran Imam al-Zaman. Dalam risalah shalat Jum'atnya, ia membahas tentang teori Wilayah Faqih dan mengungkapkannya dengan hadits dan argumentasi logis.
Ulama terkemuka Syiah ini mengungkapkan, "Para sahabat kami setuju bahwa ahli hukum Syiah yang adil dengan kondisi yang komprehensif (dengan syarat) dari fatwa - dan yang disebut mujtahid - pada saat tidak ada Imam, maka secara umum memiliki izin menjadi wakil para Imam. Oleh karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk menaati putusan yang dikeluarkan olehnya,".
Mohaghegh Karaki mengutip sebuah hadits yang dikenal di kalangan ulama sebagai "penerimaan Umar ibn Hanzalah", yang memandang ulama dengan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh para Imam Maksum sebagai penerus Imam dengan wewenang yang sama.
Beberapa ulama percaya bahwa faqih harus diperkenalkan secara khusus dan oleh Imam Mahdi. Selama periode keghaiban kecilnya, Imam Zaman menunjuk empat orang sebagai wakil khususnya. Tetapi sebagian ulama terkemuka lainnya yang bertumpu pada riwayat yang dipandang kuat percaya selama Imam Zaman tidak ada, faqih dianggap sebagai wakil Imam, meskipun secara khusus nama orang tersebut tidak diumumkan oleh Imam.
Oleh karena itu, setiap faqih yang memiliki persyaratan khusus seperti keadilan dan ijtihad serta beberapa kemampuan manajerial dan kepribadiannya dianggap sebagai wakil Imam dan memiliki otoritas pemerintahan yang sama dengan Imam, dan umat Islam wajib mematuhinya.
Karaki meyakini bahwa seorang ahli hukum yang memiliki kewenangan untuk mewakili Imam Zaman pada saat ghaib harus memiliki ciri dan syarat khusus. Menurutnya, iman adalah salah satu syarat seorang faqih.
Keadilan adalah syarat lain dari Faqih. Kondisi lainnya adalah pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah sampai dia bisa memahami aturan dengan mengacu pada keduanya. Berbagai syarat lain telah disebutkan dalam hal ilmu pengetahuan hingga tingkatan ijtihad.
Mohaghegh Karaki mengatakan bahwa faqih secara hukum diizinkan untuk menegakkan ketentuan ajaran Islam dan memberikan fatwa kepada umat. Menurut Karaki, dalam urusan keuangan pemerintahan Islam, zakat dan khumus serta kharaj merupakan ketentuan syariah yang harus dibayarkan kepada Faqih oleh muqalid. Ia juga menyatakan dalam Risalah Kharajiah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kharaj (pajak) telah dipercayakan kepada faqih selama masa keghaiban Imam Zaman.
Dalam masalah khumus yang merupakan kewajiban finansial bagi umat Islam, Mohaghegh Karaki mengungkapkan bahwa di masa keghaiban Imam, faqih dapat bertanggung jawab untuk mendistribusikan khumus di antara orang-orang yang berhak sebagai wakil Imam. Menurutnya, menyelesaikan masalah agama masyarakat dan menjawab pertanyaan mereka berdasarkan sumber agama juga merupakan salah satu tugas utama faqih.
Dalam pembahasan sholat Jum'at, Karaki juga memandang kehadiran Imam atau wakilnya sebagai syarat untuk melaksanakannya. Ia menentang argumen pihak yang menentang shalat Jumat di masa keghaiban Imam Zaman, seperti Sayyid Murtadhaa dan Ibn Idris Hali.
Para penentang berpendapat bahwa salah satu syarat shalat Jum'at adalah kehadiran Imam atau seseorang yang secara pribadi ditunjuk oleh Imam untuk melaksanakan sholat Jum'at. Oleh karena itu, menunaikan shalat Jumat pada saat keghaiban Imam Zaman dikecualikan. Oleh karena itu, ketika salat Jumat dilaksanakan tanpa kehadiran Imam Zman, maka shalat dhuhur tetap harus ditunaikan umat Islam.
Jika Imam Zaman hadir dan shalat Jum'at ditunaikan, maka shalat Dhuhur akan dilepaskan dari kewajiban umat di hari Jumat. Karaki menentang pendapat kelompok Faqih ini. Ia meyakini bahwa sejak Faqih diangkat oleh Imam Zaman pada umumnya, maka ia bisa menunaikan shalat Jumat.
Oleh karena itu, menurut Mohaghegh Karaki, faqih tidak hanya hadir untuk memberikan fatwa di kalangan masyarakat, tetapi juga melaksanakan shalat Jum'at adalah dalam kewenangannya. Sebab mereka memiliki memenang yang telah diberikan Imam Zaman sebagai wali pada umumnya.
Beliau sepenuhnya mendukung penyelenggaraan shalat Jumat di massa keghaiban Imam Mahdi dan meminta pertanggungjawaban ahli hukum untuk melaksanakannya. Masalah ini yang kurang diperhatikan oleh banyak ahli hukum sebelum dan sesudahnya, dan Karki secara eksplisit dan dengan bukti kuat mendukungnya.
Akhirnya, Mohaghegh Thani kembali ke Najaf Ashraf pada usia ke-70 tahun dengan meninggalkan pengaruh besar di dunia Syiah. Tetapi setelah beberapa hari kehadirannya di Irak, muncul berita menyakitkan tentang kesyahidannya.
Beliau gugur diracun oleh para penentangnya. Jenazah ulama terkemuka ini dimakamkan dengan rasa hormat yang khusus di kompleks makam Imam Ali di Najaf.
Konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat
Salah satu karakteristik Abad ke-11 Hijriah Qamariyah adalah konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat.
Oleh karena itu beberapa ulama besar Syiah terjun menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat ini, dan berhasil membangun fondasi pemikiran filsafat Syiah dengan metode, dan sumber-sumbernya yang khas. Dalam hal ini Mir Damad memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun pemikiran filsafat Syiah dan Dunia Islam.
Sejarah Syiah dan kehidupan para ulamanya di masa keghaiban Imam Mahdi af, merupakan sejarah yang sarat dengan pasang surut, namun dalam sejarah yang penuh peristiwa itu, ajaran Syiah berhasil mempertahankan keasliannya sebagai ajaran yang independen dan hidup di hadapan serbuan berbagai pemikiran. Kemampuan ini bagi sebuah ajaran yang selama berabad-abad dimusuhi oleh para penguasa Muslim, dan non-Muslim, lahir berkat tiang-tiang pemikiran Syiah yaitu Imamah dan Wilayah.
Mir Damad adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Mir Damad merupakan ahli di bidang ilmu-ilmu Islam terutama fikih, tafsir Al Quran, dan hadis, dan ia memiliki pandangan mandiri dalam ilmu-ilmu ini. Akan tetapi keahlian yang lebih menonjol dalam dirinya sebagai ilmuwan adalah hikmah dan filsafat.
Ia adalah hakim terbesar di era Safavi yang kemunculannya di bidang pemikiran Isfahan, berhasil “mengguncang” filsafat. Oleh karena itu ia dikenal sebagai Guru Ketiga. Sebelumnya Aristoteles disebut sebagai Guru Pertama, kemudian Al Farabi, sebagai Guru Kedua. Mir Damad percaya aliran-aliran pemikiran terdahulu sangat sederhana dan pemula sekali, oleh karena itu ia berusaha menggabungkan sumber filsafat Yunani dengan visi Irfani, dan dengan menggunakan ajaran akidah Syiah, ia menyuguhkan sistem filsafat Islam yang dinamainya sendiri sebagai “Hikmah Yamani”.
Mir Mohammad Bagher Astarabadi yang lebih dikenal dengan Mir Damad termasuk tokoh penting dalam aliran filsafat Isfahan. Karya monumentalnya di bidang filsafat adalah Al Qabasat, dan murid terbaiknya adalah Mulla Sadra. Mir Mohammad lahir pada tahun 969 Hijriah Qamariyah. Ayahnya Sayid Mohamad Hossein Astarabadi, dan ibunya adalah putri dari Mohaghegh Karaki atau yang lebih dikenal sebagai Mohaghegh Sani.
Oleh karena itu sejak kanak-kanak Mir Damad sudah mendapatkan pendidikan dari ayah dan ibu yang unggul serta bertakwa, di sebuah keluarga berilmu. Mir Mohammad setelah menempuh pendidikan dasar berangkat ke kota Mashhad, dan di sana ia belajar kepada sejumlah guru terkemuka di Hauzah Ilmiah. Kemudian dengan maksud meraih cita-cita lebih tinggi dalam ilmu dan penelitian, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di kota Qazvin, Herat dan Isfahan yang kala itu ketiganya merupakan pusat ilmu penting di Iran.
Guru-guru terpenting Mir Damad di antaranya adalah Sayid Ali Mousavi Amoli, Abdolali Amoli yang merupakan pamannya, dan Syeikh Ezzoddin Hossein Amoli, ayah dari Syeikh Bahai. Sepertinya perjalanan Mir Damad ke Qazvin, Herat dan Mashhad mengikuti gurunya Syeikh Ezzoddin yang karena faktor politik dan sosial, beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal.
Mir Damad
Syeikh Bahai putra Syeikh Ezzoddin merupakan teman dekat Mir Damad, banyak cerita yang mengisahkan kedekatan mereka berdua. Di antara cerita itu, dalam sebuah perjalanan kedua ulama besar ini pergi bersama Syah Abbas. Syeikh Bahai bertubuh langsing, dan menunggangi sebuah kuda ramping, dan berada paling depan dari semuanya. Sebaliknya Mir Damad memiliki tubuh tinggi besar, yang meski berusaha keras, namun kudanya tidak bisa berjalan lebih cepat. Syah Abbas yang menyaksikan hal ini kemudian ingin menguji kedekatan atau kecemburuan dua sahabat tersebut.
Setelah itu ia mendekati Mir Damad, dan dengan tersenyum menunjuk kepada Syeikh Bahai dan berkata, “Mir, lihatlah Syeikh Bahai tidak punya sopan santun, tanpa memperhatikan kita, pergi lebih cepat.” Mir Damad menjawab, “Bukan begitu, Syeikh Bahai adalah ilmuwan besar, dan kudanya karena mengetahui ditunggangi oleh orang semacam itu, bergairah dan bergerak lebih cepat.”
Lalu Syah Abbas memacu kudanya sampai mendekati Syeikh Bahai dan berkata kepadanya, “Sejauh yang saya lihat, para pemikir tidak terlalu banyak makan, tapi Mir Damad karena begitu rakus pada makanan, sampai badanya gemuk seperti itu.” Syeikh Bahai menjawab, “Bukan begitu, Mir Damad hanya rakus melahap ilmu, dan badannya yang gemuk itu tidak ada hubungannya dengan rakus makan. Kuda Mir Damad lelah dan berjalan lambat karena ditunggangi oleh orang mulia yang bahkan gunung pun tak sanggup menahan beratnya ilmu pengetahuan yang dimiliki orang itu.”
Masa-masa menempuh ilmu yang dijalani Mir Damad di Herat di bawah pengajaran Syeikh Ezzoddin Hossein adalah masa-masa yang kaya ilmu pengetahuan. Di akhir masa pembelajaran itu, Mir Damad kemudian dikenal sebagai seorang ulama unggul, dan ahli di bidang filsafat, fikih dan hadis. Setelah Syah Tahmaseb meninggal dunia, dan Syah Esmail Kedua naik tahta, kondisi bagi para ulama Syiah bertambah sulit, dan di masa ini para ulama berusaha menjauh dari pusat kekuasaan yaitu Qazvin.
Oleh karena itu Mir Damad dan Syeikh Bahai berpindah tempat dari Qzvin ke Isfahan, dan sibuk mengajar di sana. Hingga ketika kekuasaan sampai ke tangan Syah Abbas, dan menjadikan Isfahan sebagai pusat kekuasaan. Karena Syah Abbas sangat menyukai ilmu pengetahuan, para ulama Syiah kembali merasakan kebebasan dan keamanan, selain itu ilmu pengetahuan juga mengalami pertumbuhan cepat di masa ini. Isfahan di masa Syah Esmail memiliki banyak sekolah bagus, dan pelajar agama bekerja keras menuntut ilmu, dan ajaran Islam. Mir Damad mengajar filsafat di Madrasah Khoja Isfahan, dan Syeikh Bahai mengajar tafsir, fikih dan hadis di madrasah yang sama.
Mir Damad di masa hidupnya mendidik banyak murid, di antaranya yang kelak menjadi orang besar adalah Mulla Sadra, Abdolrazaq Lahiji, Mulla Mohammad Feiz Kashani, dan Mohaghegh Khansari. Mir Damad sendiri yang memilih murid, dan sebelum menerima mereka sebagai murid, Mir Damad akan menguji dan mewawancarai mereka. Orang-orang yang dianggap layak belajar hikmah akan diterimanya menjadi murid. Hakim bijaksana ini percaya bahwa hikmah jika berada di tangan orang-orang yang tidak bisa memahami dengan benar, maka akan menyebabkan kesesatan pada mereka, dan orang lain.
Salah satu murid terhebat Mir Damad adalah Sadr Al Motaalihin yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, filsuf paling berpengaruh di era Safavi dan pencetus Hikmah Mutaaliyah. Hakim besar ini menganggap akal saja tidak akan cukup menjadi alat untuk mencapai hakikat hikmah, ia percaya wahyu Ilahi dan penyingkapan-penyingkapan Irfani harus menjadi sumber asli dan terpercaya bagi filsafat. Hikmah Mutaaliyah dalam tiga abad terakhir merupakan ajaran filsafat paling menonjol di Dunia Islam, dan menjadi perhatian para filsuf Barat.
Mir Damad menghasilkan lebih dari 50 karya besar dan berharga, yang kebanyakan ditulis tangan oleh dirinya sendiri. Karya terbesar Mir Damad di antaranya adalah Al Qabasat, Taqdisaat, Jazwaat, dan Sadruhul Muntaha. Buku Al Qabasat membahas tentang penciptaan alam semesta, buku Taqdisaat membahas Hikmah Ilahi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan serta kerancuan tentang Tauhid, dan Keesaan Tuhan.
Jazwaat mencakup pendapat Mir Damad tentang filsafat, dan buku Sadruhul Muntaha adalah kitab tafsir Al Quran. Mir Damad juga menulis buku lain yang diberi judul “Al Rawasyih Al Samawiah” yang menjelaskan hadis, riwayat dan perkataan Imam Maksum as. Hakim besar ini juga menulis syair dengan tema-tema Irfani dan falsafi.
Mir Damad selain keunggulannya dalam teori, dalam akhlak dan sifat baik termasuk yang terdepan. Ia menganggap upaya manusia menjalankan perintah agama, dan mematuhi adab perjalanan spiritual atau suluk, sebagai penjamin kebahagiaan dan kesempurnaan manusia, dan ia sangat menaruh perhatian besar padanya. Ia sangat cinta membaca Al Quran, setiap malam ia membaca setengah Al Quran.
Ia juga sangat menekankan hal-hal mustahab termasuk shalat nafilah, tidak meninggalkan munajat kepada Allah Swt di malam hari, dan ia banyak berzikir, menyucikan diri. Ia makan dan tidur secukupnya, hanya sebagai upaya memulihkan tenaga untuk kembali menjalankan ibadah, meneliti, dan mengajar, tidak pernah menjadikan tidur dan makan untuk bersenang-senang dan mencari kenikmatan.
Kita sering menemukan nama tokoh-tokoh semacam Al Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra dan yang lainnya di buku-buku sejarah filsafat, namun kita tidak pernah melihat nama Mir Damad. Kita akan terkejut karena orang yang telah mendidik murid semacam Mulla Sadra, dan menulis ratusan buku serta makalah ilmiah, namun sangat sedikit ditulis tentang pemikirannya.
Salah satu alasan mengapa sedikit sekali yang menulis tentang pemikiran Mir Damad adalah karena tingkat kedalaman dan kerumitan pemikirannya tentang filsafat yang tinggi, sehingga sulit untuk mengulasnya. Mir Damad percaya pemikiran luhur filsafat tidak boleh diberikan kepada orang bodoh yang tidak memiliki batin yang bersih, perasaan yang lurus, tekad yang kuat, dan kecerdasan yang memadai, karena orang-orang semacam ini ketika belajar hikmah yang melampaui pemahamannya, tidak diragukan akan menuju kesesatan, dan membawa orang lain ke dalam kesesatan.
Filsuf terkemuka Prancis, Henry Corbin menyebut alasan sulitnya penulisan karya-karya Mir Damad adalah upayanya menghindari pengkafiran dan pengejaran musuh yang di kemudian hari menyebabkan muridnya Mulla Sadra diasingkan.



























