کمالوندی
Nabi Muhammad Saw dalam Pandangan Orientalis (25)
Martin Lings adalah seorang penulis, sarjana, dan filsuf asal Inggris. Ia telah menulis banyak karya dan salah satu yang paling terkenal adalah buku “Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources” atau Muhammad: Kehidupannya Berdasarkan Sumber Awal.
Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1983 dan sejak itu menerima banyak penghargaan. Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources telah dicetak berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Martin Lings mengandalkan referensi dan dokumen tertua saat menulis buku biografi tentang Nabi Muhammad Saw ini. Dia memperkenalkan Nabi Saw sebagai cahaya bersinar yang menerangi penduduk bumi; sebuah cahaya yang tidak akan pernah padam.
Martin Lings lahir pada 24 Januari 1909 di kota Manchester dari sebuah keluarga Kristen Protestan. Pada usia 20 tahun, dia meninggalkan keyakinannya pada agama Kristen, tetapi – tidak seperti remaja seusianya – ia terus berusaha mencari kebenaran. Pada usia 25 tahun, ia mulai mempelajari agama-agama dunia dan pada 1935 ia mulai akrab dengan karya-karya filsuf Prancis, Rene Jean-Marie Joseph Guenon.
Dalam mempelajari karya milik ahli metafisika Prancis itu, Lings memahami bahwa semua agama besar dunia adalah benar dan masing-masing dari mereka dapat menunjukkan jalan menuju pada kesempurnaan insani dan pertemuan dengan Tuhan. Namun, tulisan-tulisan Rene Guenon juga memberikan pesan kepada Lings bahwa di era modern, agama khususnya agama Kristen, telah membiarkan akal manusia mengurus dirinya sendiri dan agama hanya fokus pada emosi mereka, dan efek langsung dari hal ini adalah munculnya bencana modernisme.
Di masa itu Lings secara resmi masih menganut ajaran Kristen, tetapi dia berkata, “Karya-karya Rene Guenon membuat saya sadar akan kesalahan peradaban Barat dan menunjukkan bahwa aspek internal agama-agama Tuhan mengandung kebenaran dan para utusan agama berbicara tentang kebenaran ini dengan berbagai cara. Lings menulis, “Teori Guenon membuat saya tersentak seperti sengatan listrik, saya sadar sedang bertemu dengan kebenaran… dan saya harus berbuat sesuatu.”
Setelah melakukan penelitian ekstensif, Doktor Lings memilih masuk Islam. Dia mengakui fakta bahwa Islam bukanlah agama taklid, ini adalah agama yang rasional dan ia mengajarkan kata maaf daripada membunuh. Lings memilih nama Islam yaitu Islam Abu Bakr Siraj ad-Din.
Saeed Tehrani Nasab, penerjemah buku Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources berkata, “Setelah memahami kebenaran, Lings mulai tertarik pada Nabi Muhammad Saw dan menghabiskan banyak waktu untuk memperkenalkan kepribadian agung ini. Saya menemuinya di sebuah rumah yang sederhana dan indah pada akhir musim panas 2004, sekitar setahun sebelum ia wafat. Dia berbicara dengan rasa hormat dan takzim tentang Rasulullah dan menyebutnya sebagai hadiah besar Tuhan untuk umat manusia.
Di kamarnya hanya ada nama suci Allah di dinding dan di sajadahnya. Ruangan ini seakan-akan mushalla untuk rumahnya, tempat dia mendirikan shalat lima waktu. Mungkin dia juga menulis karya-karyanya di ruangan ini. Bagaimanapun, terbukti bahwa pola hidupnya mengikuti pemimpin agung Islam, ibarat sebuah jam yang berjalan tepat waktu, sesuai dengan perencanaan yang penuh makna, teratur, dan penuh perhitungan.”
Martin Lings.
Dalam karyanya, Lings memperkenalkan kepada kita akan seorang nabi yang tak kenal lelah, pejuang yang sabar, dan pemimpin yang bijak. Sosok yang dengan berani memerangi kebodohan, menghancurkan berhala dan di belahan bumi Tuhan yang tampak paling tandus, menabur benih pengetahuan dan dengan penuh cinta mengabdikan hidupnya, siang dan malam, agar tunas pohonnya tumbuh.
Lings menemukan kepribadian yang murni dan abadi dalam diri Nabi Muhammad Saw. Dia berkata, “Kemurnian ini langsung bersumber dari induk mata air, seperti air yang jernih dan suci yang tidak terkontaminasi dengan noda apapun. Oleh karena itu, Nabi memiliki hubungan erat dengan wahyu. Dia sangat berbeda dari orang lain dan pada saat yang sama dia membawakan mereka pesan hidayah, karena dia berbicara atas nama Tuhan Yang Esa.”
Doktor Lings pada bab pertama bukunya berbicara tentang nenek moyang Rasulullah. Mereka semua percaya pada Tuhan Yang Esa. Dia menulis, “Dalam Kitab Kejadian tertulis bahwa Ibrahim tetap belum memiliki anak dan telah putus asa untuk memilikinya, namun suatu malam Tuhan memanggilnya untuk keluar dari tendanya dan berfirman kepadanya, ‘Pandanglah ke langit dan hitunglah bintang-bintang jika kamu mampu menghitungnya! Ketika Ibrahim sedang menatap bintang-bintang, dia mendengar sebuah suara berkata dua kali, ‘Keturunanmu juga akan seperti itu (tak terhitung jumlahnya),’”
Lings melanjutkan, “Takdir menetapkan bahwa tidak hanya satu tetapi dua bangsa besar akan muncul dari keturunan Ibrahim, dua kekuatan yang dipandu dengan hidayah, dua sarana untuk mewujudkan kehendak Tuhan. Ibrahim adalah titik awal dari dua arus spiritual, dua agama, dua lingkaran, dan dua pusat. Salah satu dari pusat arus ini muncul dari Aminah (ibu Nabi). Dia tahu tentang cahaya di dalam dirinya. Suatu hari dia mendengar sebuah suara berkata, “Engkau mengandung pemimpin umat ini di rahimmu! Ketika putramu lahir, katakan aku mempercayakannya pada Tuhan Yang Esa dari kejahatan orang-orang yang dengki, dan panggillah ia Muhammad.”
Manusia selalu mencari panutan yang ideal. Mereka secara alami mengagumi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan moral dan spiritual. Kunci kesuksesan para nabi juga terletak pada kemampuannya menarik hati yang suci dan punya kesiapan untuk mengikuti kebenaran. Para nabi dan aulia Ilahi menyandang semua keutamaan dan mereka merupakan pribadi yang paling mulia di zamannya. Para pencari kebenaran akan sangat terkesan dengan mereka ketika mempelajari sejarah kehidupan dan akhlak mereka. Hati manusia akan tertarik ke arah kebenaran dan hakikat.
Doktor Lings dalam bukunya berkata, “Seseorang yang berurusan dengan mistik Islam dan makrifat ketuhanan yang dibawah oleh Nabi, dapat memperoleh kebijaksanaan yang luar biasa. Seperti perkataan indah ini, ‘Tuntutlah ilmu sampai di Negeri Cina,’”
Dalam bukunya, Doktor Lings juga berbicara tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw dan menulis, “Nabi memiliki banyak mukjizat. Suatu hari para pemimpin suku Quraisy meminta agar dia membelah bulan purnama menjadi dua bagian untuk membuktikan kenabiannya. Nabi memenuhi permintaan mereka. Tetapi mereka menyebut keajaiban besar ini sebagai sihir dan berkata bahwa nabi telah menipu mereka dengan sihirnya.”
Lings mengingatkan bahwa Nabi Saw memiliki banyak mukjizat, tetapi ini tidak menjadi fokus pekerjaannya, karena mukjizat terbesarnya adalah kitab wahyu Ilahi. Dia menulis, “Al-Quran adalah mukjizat utama Rasulullah dan piagam Tuhan untuk bimbingan manusia di setiap zaman. Al-Quran adalah kitab cahaya dan petunjuk.”
Lings dalam bukunya juga menyinggung ramalan Rahib Buhaira tentang kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan kisah turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw. Dia juga mengutip kisah tentang Waraqah bin Naufal, yang meyakinkan Khadijah bahwa apa yang diterima oleh suaminya, Muhammad adalah wahyu Ilahi dan tidak diragukan lagi bahwa ia adalah Nabi Terakhir, di mana kabar gembira tentang kedatangannya telah disampaikan oleh Isa Al Masih.
Dari sudut pandang Martin Lings, janji akan datangnya seorang Juru Selamat adalah salah satu pesan terpenting yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Dia menulis, “Sebagian besar umat manusia telah mencapai puncak kerusakan yang hampir tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Tetapi kerusakan ini tidak akan menyelimuti seluruh alam, karena alam itu sendiri adalah sesuatu yang suci. Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan akan membiarkan alam ini begitu saja. Nabi telah mengabarkan bahwa terlepas dari semua kerusakan, seorang Juru Selamat akan muncul di akhir zaman, di mana masyarakat memanggilnya Al Mahdi. Pembaharu dunia ini pasti akan datang.”
Martin Lings.
Doktor Martin Lings adalah seorang penulis yang tak kenal lelah. Dia tidak meletakkan penanya sampai usianya mencapai 97 tahun. Banyak pemikir memandang Martin Lings sebagai master metafisika yang hebat dan yang lain menyebutnya penyair barisan pertama.
Namun bagi murid-murid dekatnya, Lings mengingatkan akan dua hal yaitu; keindahan dan mengingat Tuhan. Karena kecintaannya pada keindahan, dia telah mengubah halaman kecil di rumahnya di Westerham menjadi sebuah taman kecil yang dipenuhi bunga dan tumbuhan. Ketika dia meninggal dunia pada Mei 2005, dia dimakamkan di taman kecil ini.
Doktor Lings menutup bukunya dengan mengutip ayat 56 surat al-Ahzab. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Nabi Muhammad Saw dalam Pandangan Orientalis (24)
Masa jahiliyah dan kebodohan menutupi hati dan pikiran manusia ketika Nabi Muhammad Saw diutus di Jazirah Arab. Ia datang untuk menciptakan revolusi dan perubahan dalam kehidupan jutaan orang pada masa itu.
Rasulullah – dengan seruannya La ilaha illallah, Tidak ada Tuhan selain Allah – menyeru orang-orang kepada ajaran tauhid dan mengajak mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak.
Nabi Muhammad Saw dengan seruannya kepada Islam, telah menyebarkan cahaya tauhid ke seluruh dunia, dan sekarang setelah berlalu lebih dari 14 abad, seruannya masih terdengar di belahan timur dan barat bumi. Muhammad dipilih sebagai nama yang paling indah dan orang-orang menamakan anaknya dengan nama tersebut.
Laura Veccia Vaglieri adalah seorang peneliti dan orientalis kontemporer dari Italia. Dia adalah profesor sastra Arab dan dosen sejarah Islam di Universitas Napoli, dan telah melakukan penelitian di bidang bahasa Arab dan juga Islam.
Profesor Vaglieri merupakan salah satu editor dan penulis ensiklopedia Islam, dan menulis sebuah buku tentang Islam yang diterbitkan dengan judul, “An Interpretation of Islam”. Dalam bukunya, ia mencoba melakukan analisa ilmiah tentang karakter Muhammad Saw dan risalahnya.
Vaglieri berbicara tentang risalah Nabi Muhammad Saw dan pengaruhnya dalam membawa umat manusia pada ajaran tauhid. Dia menganggap Nabi sebagai pembaru yang agung dan mulia.
“Betapa terhormat dan mulianya tindakan pembaharu ini (Muhammad), seorang pembaharu yang dalam beberapa tahun, mengubah kelompok penyembah berhala yang tidak beradab menjadi sebuah komunitas yang hanya melayani Tuhan Yang Esa dan mengangkat derajat anggota komunitas ini ke posisi akhlak tertinggi,” tulisnya.
Profesor Vaglieri mengatakan, “Nabi Arab – dengan suara yang diwahyukan karena hubungannya yang dekat dengan Tuhan – telah memperkenalkan bentuk monoteisme yang paling murni dan suci kepada para penyembah ajaran takhayul dan sihir serta kepada para pengikut agama Kristen dan Yahudi, di mana para rahibnya telah menyimpang. Dia dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap nafsu dan praktik sembahan kuno manusia yang menempatkan makhluk sebagai sekutu Tuhan.
“Muhammad bangkit dengan penuh kerendahan hati dan tawadhu’ untuk mematahkan rintangan egoisme dan pemujaan ego. Sebagai penyeru dan pembawa agama Tuhan, dia bahkan bersikap lembut dan penyayang kepada orang-orang yang memusuhinya. Dalam diri Nabi ini, ada dua sifat istimewa yang disatukan dan keduanya dihormati oleh jiwa manusia yaitu keadilan dan kasih sayang.”
Menurut catatan sejarah, Sayidina Hamzah – paman Nabi Muhammad Saw – adalah salah satu pembesar Mekkah yang dihormati. Ketika dia beriman kepada Nabi dan menerima Islam, para pemimpin suku Quraisy mulai khawatir bahwa Islam akan menyebar dengan cepat.
Utbah bin Rabi'ah, salah satu tokoh besar Quraisy, dalam pertemuan dengan para pembesar suku, berkata bahwa dia akan pergi menemui Muhammad dan memberinya beberapa tawaran sehingga dia bisa meninggalkan ajaran baru dan dakwahnya.
Para pembesar Quraisy pun setuju dan dia pergi menemui Nabi di masjid. Utbah melemparkan kata-kata pujian dan sanjungan kepada Nabi dan mengusulkan jabatan dan kekayaan kepadanya. Setelah ia terdiam, Nabi berkata kepadanya, “Sekarang dengarkan ayat-ayat ini yang menjadi jawaban terhadap apa yang engkau ucapkan.”
“Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” (QS. Fussilat, ayat 1-4).
Kota Mekkah tempo dulu.
Nabi kemudian membacakan beberapa ayat lain dari surat Fussilat kepada Utbah. Dia menyimaknya dengan tenang dan terpana oleh kalam Ilahi, dan menatap wajah Rasulullah tanpa berkata apapun. Akhirnya Utbah bangkit dan mendatangi para pemimpin Quraisy. Mereka melihat perubahan di wajahnya dan bertanya, “Utbah, apa yang terjadi?”
Utbah berkata, “Demi Tuhan, aku telah mendengar Muhammad mengucapkan kata-kata yang belum pernah aku dengar dari siapapun sebelumnya. Demi Tuhan, perkataannya bukanlah puisi atau sihir. Aku berpikir bahwa kita harus membiarkan dia berdakwah di antara suku-suku. Jika dia menang dan meraih kekuasaan, ini akan menjadi kehormatan bagi kalian dan kalian akan menikmati kehormatan ini. Jika dia kalah, maka orang-orang akan membunuhnya dan kalian juga akan tenang.”
Para pembesar Quraish mengolok-olok pendapat Utbah dan menganggapnya telah tersihir oleh perkataan Muhammad.
Tidak hanya Utbah dan masyarakat Arab di zaman itu yang terpesona oleh daya tarik al-Quran, tetapi al-Quran juga menyimpan daya tarik yang luar biasa di masa kita sekarang bahkan terhadap orang-orang yang yang tidak akrab dengan rahasia sastra Arab.
Profesor Vaglieri dalam penelitiannya tentang Islam, menggambarkan al-Quran sebagai mukjizat besar Nabi Saw dan menulis dalam bukunya dengan judul “An Interpretation of Islam” sebagai berikut:
“Kitab samawi Islam adalah sebuah contoh dari keajaiban… Al-Quran adalah kitab yang tidak bisa ditiru… Dalam sastra Arab tidak ditemukan contoh lain yang menggunakan gaya bahasa dan metode al-Quran. Pengaruh metode dan gaya bahasa al-Quran terhadap jiwa manusia bukanlah sebuah kebetulan, tetapi bersumber dari keistimewaan dan keunggulannya… Bagaimana bisa kitab yang luar biasa ini berasal dari Muhammad sendiri, padahal ia tidak pernah belajar?”
Dia menambahkan, “Dalam kitab ini kita menemukan harta karun pengetahuan yang melampaui kemampuan orang-orang terpintar dan filsuf terhebat serta negarawan terkuat. Karena semua alasan ini, al-Quran tidak mungkin datang dari orang yang tidak pernah bersekolah, itupun dari seseorang yang seumur hidupnya tumbuh di tengah masyarakat non-religius, yang jauh dari lingkungan para ilmuwan dan ahli agama…
Teks al-Quran tulisan tangan.
Muhammad adalah seseorang yang selalu menekankan bahwa dirinya sama seperti orang lain. Lalu bagaimana dia bisa membuat mukjizat tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa? Mukjizat terbesar Nabi adalah al-Quran, di mana melalui perantaraanya telah sampai kepada kita sekumpulan deskripsi akurat tentang berbagai peristiwa dan kisah yang teratur. Al-Quran hanya bisa datang dari Tuhan, yang ilmunya mencakup segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.”
Ilmuwan Italia ini menjelaskan, “Meski al-Quran telah dibaca berulang kali di seluruh Dunia Islam, pengulangan yang terus-menerus ini tidak menyebabkan kelelahan di antara para pengikutnya, tetapi sebaliknya pembacaan berulang-ulang setiap hari ini menyebabkan ia lebih dicintai. Membaca atau mendengarkan al-Quran akan membangkitkan rasa kagum di benak pembaca atau pendengarnya. Teks al-Quran tetap terjaga di sepanjang zaman dan berabad-abad setelah diturunkan dan ia tetap dalam bentuk yang sama dan terjaga, selama Tuhan menginginkannya dan dunia masih ada.”
Mengenai perasaan yang ia rasakan setelah mengenal Islam, Profesor Vaglieri mengatakan, “Mengenal ajaran luhur dan makrifat penting tentang Islam dan al-Quran telah menumbuhkan perspektif baru yang mendalam dalam diri saya dan mengubah cara pandang saya tentang alam penciptaan dan filosofi kehidupan secara total.”
“Saya merasa bahwa ajaran Islam, berbeda dengan ajaran Kristen, memandang manusia sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kepribadian, bukan makhluk yang kotor dan terhina… Kitab ini menjelaskan dengan metode yang menarik dan cerdik tentang bagaimana menjalani dan menikmati kesenangan di dunia ini,” ucapnya.
Nabi Muhammad Saw dalam Pandangan Orientalis (23)
Kali ini kita akan menyimak pandangan Profesor William Montgomery Watt tentang Nabi Muhammad. Profesor Watt adalah seorang pakar studi keislaman dari Britania Raya serta salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat. Dia merupakan seorang profesor studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979.
Watt dalam karya yang ditulis menjelang akhir hayatnya, memperlihatkan fanatisme yang proporsional dan menunjukkan rasa empati yang lebih besar terhadap subjek yang ia pelajari. Pemikirannya dipengaruhi oleh pandangan materialisme dan karya para orientalis sebelum dirinya.
Namun, di antara lebih dari 30 buku dan puluhan artikel yang ditulisnya tentang studi ketimuran, terlebih menjelang akhir dari kegiatan ilmiahnya, Watt memperlihatkan garis pemikiran, metode ilmiah, dan sikap netral dalam mengkaji persoalan seputar agama. Oleh sebab itu, saat ini karya-karyanya lebih diminati.
Fakta ini juga bisa dilihat di Iran, di mana sebagian bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan dipandang positif. Meski demikian, para peneliti Muslim menilai bahwa Watt juga telah membuat kesalahan besar dan kecil pada periode menjelang akhir dari kegiatan ilmiahnya. Secara umum, Profesor Watt adalah penafsir non-Muslim yang paling terkenal di Barat dan memiliki pengaruh yang cukup besar di bidang jurusan studi Islam.
Salah satu studi yang dilakukan Profesor Watt adalah mengkaji biografi Nabi Muhammad Saw. Setelah mengenal tentang ajaran Islam, ia mulai berkonsentrasi untuk meneliti kepribadian Nabi Besar Saw. Dia mengkritik sebagian orientalis karena mengaitkan wahyu Nabi Muhammad dengan penyakit epilepsi. Menurutnya, hipotesis ini mengabaikan riwayat dan bukti-bukti yang menjamin kesehatan fisik dan mental Muhammad.
Watt memandang tudingan bahwa Nabi Saw adalah penderita epilepsi sebagai tidak realistis, dan berpendapat bahwa penderita epilepsi tidak bisa menjadi panglima atau pemimpin yang visioner untuk sebuah negara atau kota. Jika para penentangnya menuding dia gila, mungkin mereka menganggap gaya hidup dan perilakunya yang gila atau bahwa dia berbicara seperti para dukun.
Menurut Profesor Watt, interpretasi Abad Pertengahan harus dikesampingkan dan Muhammad Saw harus dilihat sebagai seorang penyampai pesan yang jujur dan dengan niat yang tulus dan iman yang teguh, ia yakin bahwa pesan-pesan itu datangnya dari Tuhan.
Watt menuturkan, “Bukti kebesaran seorang nabi adalah bahwa pikirannya mampu menarik perhatian orang-orang yang dia ajak bicara. Darimana pikiran-pikiran itu berasal? Sebagian mengatakan pikiran tersebut berasal dari ketidaktahuan dan alam bawah sadar, tetapi orang-orang beriman meyakini ia datang dari Tuhan, sebagian lagi berpandangan lebih jauh dan berkata, “Pada dasarnya semua kebenaran berasal dari Tuhan.”
Mungkin dapat dikatakan bahwa pikiran itu merupakan buah dari kehidupan orang-orang yang lebih maju dari zamannya. Muhammad memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat karena perjuangan dan usahanya untuk agama serta sifat-sifatnya yang unggul seperti keberanian, ketegasan, dan keteguhan dalam perilaku yang dibarengi dengan kemurahan hati.
Akhlak dan perilakunya sangat diterima sehingga ia mampu menarik kecintaan dan persahabatan dari orang-orang, dan memotivasi mereka untuk berkorban. Ada benarnya bahwa ketidakpuasan sosial dan kemunduran Imperium Persia dan Romawi telah menyebabkan penyebaran Islam, tetapi perlu dicatat bahwa penyebaran ajaran ini tidak akan terjadi jika bukan karena sifat-sifat dan keutamaan Rasulullah Saw.
Wahyu merupakan salah satu tema penting dalam kajian Islam. Wahyu adalah hubungan spiritual dan misterius antara seorang nabi dan alam ghaib, di mana pesan Ilahi diberikan kepada nabi, baik melalui perantara atau secara langsung. Derajat wahyu yang paling tinggi adalah milik para nabi. Pada tahap ini wahyu dihembuskan ke dalam hati nabi dan Tuhan berbicara kepadanya.
Dalam pandangan Islam, wahyu ini diturunkan atas dasar kebutuhan umat manusia kepada hidayah Ilahi. Di satu sisi, wahyu ini menuntun orang-orang menuju satu tujuan yang berada di luar alam materi dan di luar jangkauan indera mereka. Di sisi lain, wahyu datang untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat yang berpijak pada hukum. Para nabi adalah manusia pilihan yang layak untuk menerima wahyu ini dari alam ghaib. Hanya Tuhan yang tahu siapa yang memiliki kompetensi ini.
Di era kontemporer, masalah wahyu masih menjadi perhatian para pemikir dan muncul analisa-analisa baru tentang proses turunnya wahyu. Profesor Watt memiliki pandangannya sendiri tentang wahyu dan menulis, “Beberapa orang memiliki kekuatan yang disebut ‘imajinasi kreatif.’ Contohnya adalah para seniman, penyair, dan penulis yang kreatif. Mereka dapat membuat sesuatu yang nyata yang dapat dirasakan orang lain, tetapi tidak dapat diungkapkan dan ditunjukkan dalam bentuk fisik.
Para nabi dan pemimpin agama masyarakat termasuk kelompok orang yang memiliki imajinasi kreatif ini. Mereka menangani persoalan nyata dan aktual dalam kehidupan manusia, tetapi mereka menggunakan imajinasi kreatif dalam bentuk kalimat untuk menyampaikan sesuatu yang berada di luar pemahaman dan akal umat manusia. Para nabi menjelaskan pemikiran dan pandangan yang terkait sangat erat dengan pekerjaan manusia yang paling inti dan berhubungan dengan kebutuhan eksistensi mereka dan generasi mendatang.”
Dalam pandangan Profesor Watt, Nabi pada awalnya percaya pada risalahnya, namun kemudian ada beberapa hal yang menimbulkan keraguan, tetapi ini tidak mencegahnya untuk melanjutkan tugasnya sebagai nabi. Menurut Watt, untuk memahami kehidupan Muhammad, kita tidak boleh melupakan pengalaman wahyu pertama yang diterimanya.
Nabi Muhammad telah menghadapi banyak masalah besar yang membuatnya sedih, tapi ia tidak pernah meninggalkan keyakinannya bahwa Tuhan telah memberinya misi khusus yang harus ia tunaikan pada masanya dan untuk generasi mendatang. Keyakinan ini membuatnya kebal terhadap penolakan, ejekan, kebohongan, fitnah, dan pelecehan. Ketika era kesuksesan dan kemenangan dimulai, pemikirannya juga tidak berubah, tetapi keyakinan dalam dirinya semakin kuat bahwa Tuhan menolongnya dalam semua peristiwa sejarah dan membuatnya sukses.
Profesor William Montgomery Watt pertama kali mengenal Islam pada tahun 1937 melalui seorang mahasiswa Muslim dari Pakistan yang menyewa apartemennya. Watt menganggap ini sebagai titik awal untuk mengenal sebuah ajaran yang sebelumnya sangat asing baginya. Dia menganggap Islam sebagai agama monoteistik berdasarkan wahyu Ilahi kepada seorang nabi. Dalam pandangannya, al-Quran sepertinya menegaskan bahwa agama lain (terutama agama Yahudi dan Kristen) dibangun atas dasar wahyu Ilahi kepada seorang nabi.
Pemikir Skotlandia ini menuturkan bahwa Islam kembali tumbuh dalam dua dekade terakhir dan kebangkitan Islam terbukti dengan ditinggalkannya tradisi-tradisi tertentu dari Barat yaitu menolak riba atau alkohol, dan tidak untuk pakaian Barat! Namun ini tidak boleh dilihat sebagai sikap anti-Barat atau anti-Kristen, melainkan kepatuhan terhadap ajaran Islam dan kehidupan kontemporer kaum Muslim.
“Kaum Muslim mengharapkan bahwa mereka – dari segi kemanusiaan dan agama – mendapat perlakuan yang sama seperti yang diterima oleh umat Kristen dan orang Barat. Namun ini sulit terwujud, karena orang-orang Kristen menganggap agama mereka adalah yang terbaik dari semuanya,” kata Profesor Watt.
William Montgomery Watt menulis buku dengan judul, “Muhammad at Mecca,” yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1953, dan selanjutnya buku “Muhammed at Medina” yang terbit tahun 1956. Dia kemudian merangkum isi kedua buku tersebut dalam karya, “Muhammad: Prophet and Statesman.” Dalam buku ini dia menggambarkan al-Quran sebagai kitab langit dan mukjizat agung Nabi Muhammad Saw.
“Setelah saya menulis buku Muhammad at Mecca pada 1953, saya selalu yakin bahwa al-Quran adalah firman Tuhan,” kata Profesor Watt.
Nabi Muhammad Saw dalam Pandangan Orientalis (22)
Hari ini kami mengajak Anda menyimak pendapat menarik yang dibuat oleh George Bernard Shaw, seorang novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia tentang sosok Nabi Muhammad Saw.
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran, ayat 164)
Hari ini kita akan kembali menela’ah pandangan seorang orientalis tentang Rasulullah Saw. Nabi Muhammad adalah sosok mulia yang memiliki kepribadian yang istimewa dan agung. Cahayanya yang terang telah mencapai belahan timur dan barat bumi serta menyita perhatian para pengelana sampai-sampai lisan berbicara memuji dan menghormatinya.
Tentu saja, ini tidak berarti bahwa golongan lain telah menghentikan permusuhan mereka terhadap Nabi Saw dan Islam serta berhenti menyakitinya. Bahkan hari ini, di dunia yang disebut beradab, kita menemukan kasus-kasus di mana Rasulullah Saw difitnah dan dihina. Namun, matahari kebenaran tidak pernah tertutup awan dan selalu muncul para pemikir hebat yang ingin menunjukkan wajah indah kebenaran kepada orang lain.
Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Saw adalah tokoh universal dan bukan sosok milik suku atau bangsa tertentu. Setiap orang dapat mengutarakan opininya tentang sosok Muhammad Saw untuk kemudian memperkenalkan dia kepada orang lain sebagaimana adanya.
George Bernard Shaw adalah penulis drama asal Irlandia, kritikus sastra, dan salah satu penulis berbahasa Inggris yang paling terkenal setelah William Shakespeare. Pemikiran-pemikiran Bernard Shaw tentang agama, sains, ekonomi, keluarga, dan seni, memiliki pengaruh yang besar pada pembacanya, dan pemikirannya yang cemerlang telah membantu pencerahan di masyarakat Barat.
Bernard Shaw melakukan banyak penelitian tentang Rasulullah Saw dan ia terkesima oleh kepribadian luhur Muhammad. Dia menulis, “Nabi Muhammad adalah salah satu nabi terbesar… Para teolog abad pertengahan – karena ketidaktahuan atau fanatisme – telah menyajikan gambaran yang suram tentang ajaran Muhammad. Mereka dengan semangat kebencian dan fanatisme, menuduhnya menentang Al Masih.
Setelah mempelajari pria tersebut untuk waktu yang lama, saya berkesimpulan bahwa Muhammad bukan hanya tidak menentang Al Masih, tetapi dia harus dianggap sebagai penyelamat umat manusia.”
Bernard Shaw menambahkan, “Saya yakin bahwa jika orang seperti dia menjadi penguasa di era baru, dia akan menggunakan perdamaian dan persahabatan untuk menyelesaikan masalahnya. Dia adalah pribadi terbaik yang pernah menginjakkan kaki di bumi.”
“Muhammad menyerukan kepada agama dan dia mendirikan sebuah peradaban, membangun masyarakat dan melembagakan nilai-nilai moral. Dia membangun masyarakat yang bersemangat dan kuat untuk mempraktikkan ajarannya, ia telah mengubah dunia pemikiran dan perilaku manusia dengan sempurna dan untuk selamanya,” ucapnya.
Penulis Irlandia ini mengatakan bahwa kontribusi Nabi Muhammad bagi kemajuan moral dan peradaban manusia tidak dapat disangkal, dan masyarakat dunia harus berterimakasih atas pengabdian dan ajaran Islam yang dibawakan oleh Muhammad.
Dia menulis, “Saya selalu menghormati agama Muhammad terutama karena keajaiban kekuatan hidupnya. Bagi saya, Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menguasai berbagai perubahan dan menyesuaikan dirinya dengan setiap zaman… Umat manusia mencari sebuah spiritualitas yang berporos pada kehidupan dan akal, tetapi spiritualitas seperti ini tidak dapat ditemukan di agama lain selain Islam.”
Rasulullah Saw adalah mutiara yang paling murni dan sosok yang paling mulia di alam ini. Dia adalah sosok yang kedudukannya belum pernah dicapai orang lain dan tidak ada seorang pun yang sepadan dengannya untuk mengemban risalah seperti itu.
Bernard Shaw ingin memperkenalkan insan terpilih ini kepada dunia ketika dia menulis, "Namanya Muhammad. Dia lahir di Arab pada tahun 570 setelah kelahiran Yesus Kristus. Risalahnya untuk menyeru kepada agama yang benar (Islam) dimulai ketika ia berusia 40 tahun dan dia wafat pada usia 63 tahun. Dalam kurun waktu 23 tahun yang singkat sebagai seorang nabi, ia menyeru menyembah Tuhan Yang Esa."
Dia membebaskan masyarakat dari perang dan konflik etnis serta mengantarkan mereka pada persatuan dan solidaritas nasional. Selama periode itu, dia membimbing masyarakat dari kerusakan menuju ke arah ketakwaan, dari pelanggaran hukum menuju kehidupan yang tertib, dan dari kebobrokan menuju puncak tertinggi kesempurnaan moral. Sebelum dan sesudah Rasulullah, sejarah umat manusia belum pernah mengenal jalan sempurna seperti itu melalui seseorang atau di tempat lain. Semua keajaiban yang luar biasa ini terjadi dalam dua dekade pertama itu.
Sejarah kehidupan Rasulullah Saw menunjukkan bahwa perilakunya sarat dengan keindahan dan semua orang terpesona olehnya. Nabi Muhammad adalah rahmatan lil'alamin atau rahmat bagi semesta alam dan ia diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Kebesaran jiwanya terlihat dari perilaku mulianya.
Dalam segala hal, Nabi Muhammad Saw berusaha untuk meraih keridhaan Tuhannya. Dia sopan dan ketika ia diam, pasti ada hikmah di baliknya. Di matanya, orang miskin dan kaya sama kedudukannya, dan seseorang dianggap lebih baik dari yang lain ketika dia lebih bertakwa.
Semua nilai-nilai ini membuat Bernard Shaw terkesan. Misalnya, dia mengatakan bahwa Nabi Saw selalu mengucapkan kebenaran, selalu ada senyum di wajahnya, dan yang paling rendah hati dari semuanya.
Bernard Shaw melanjutkan, "Kehidupan yang luar biasa dari pria ini (Nabi Muhammad Saw) memiliki pengaruh yang aneh pada saya. Oleh karena itu, saya yakin bahwa agamanya adalah satu-satunya agama yang cocok untuk semua zaman umat manusia dan dapat menarik setiap generasi ke arahnya."
Para pemikir dengan bersandar pada berbagai faktor, telah menjelaskan sejarah perubahan masyarakat. Kehidupan mereka telah banyak berubah dibandingkan 1400 tahun yang lalu. Dunia modern saat ini tidak dapat lagi dibandingkan dengan kondisi saat itu dalam hal peluang dan hubungan antar-individu di seluruh dunia.
Namun, di abad ke-20 dan di era kemajuan ilmu pengetahuan yang luar biasa, Bernard Shaw percaya bahwa meneladani cara hidup Nabi Muhammad Saw dapat memenuhi kebutuhan manusia modern. Moralitas, perdamaian, persahabatan, dan spiritualitas dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan saat ini.
"Saya memperkirakan bahwa ajarannya (Nabi Muhammad Saw) akan diterima oleh Eropa esok, sebagaimana ajarannya mulai diterima oleh Eropa hari ini. Saya yakin bahwa jika orang seperti dia memimpin di dunia modern, ia akan mampu menyelesaikan semua masalah dunia serta memastikan kedamaian dan kemakmuran yang sangat didambakan oleh semua orang," kata Bernard Shaw.
Penulis Irlandia ini kemudian menegaskan bahwa dia (Nabi Muhammad Saw) membawa kebenaran yang tidak dapat disembunyikan oleh siapa pun hari ini. Jumlah orang yang memeluk Islam di Eropa dan AS terus tumbuh pesat. Bukti dari klaim ini adalah meningkatnya upaya untuk menyebarkan Islamophobia di Barat. Namun upaya ini akan sia-sia.
Ahmad ibn Muhammad Ardabili (Muhaqiq Ardabili)
Ahmad ibn Muhammad Ardabili dikenal sebagai Muqaddas Ardabili dan Muhaqiq Ardabili adalah salah satu ulama besar Syiah di abad kesepuluh Hijriah dan berasal dari kota Ardabil, Iran.
Muqaddas Ardabili hijrah ke kota Najaf untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan ia mencapai derajat keilmuan yang tinggi sehingga didapuk menjadi marja’ dan pemimpin Syiah di Najaf setelah Syahid Tsani.
Faqih besar ini telah menulis banyak buku di bidang teologi (ilmu kalam), fikih, yurisprudensi, dan sejarah kehidupan Ahlul Bait, dan sayangnya, beberapa di antara karyanya tidak diketahui nasibnya. Karyanya yang paling penting adalah sebuah buku berjudul “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan.”
Kitab tersebut adalah sebuah ensiklopedia fikih argumentatif yang paling terkenal dan menjadi salah satu sumber utama fikih Jakfari yang selalu mendapat perhatian dari para mujtahid. Meskipun kitab ini ditulis sebagai penjelas atas kitab al-Irsyad, karya Allamah Hilli, namun ia sangat detail dan mendalam yang menganalisa dan mempelajari kajian-kajian fikih dengan cermat dan argumentatif.
Salah satu kontribusi penting yang disumbangkan Muqaddas Ardabili di bidang fikih adalah memperkuat bangunan fikih dan ijtihad atas pondasi riwayat. Dalam bukunya, “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan” ia menjelaskan secara lengkap tentang riwayat yang berkaitan dengan cabang-cabang agama, di sela-sela pembahasan fikih dan yurisprudensi.
Sebelum periode Muqaddas Ardabili, para fukaha (ahli fikih) tetap menaruh perhatian pada riwayat dan mengeluarkan fatwa atas dasar riwayat, tetapi metode khusus Muqaddas Ardabili yang memperkuat landasan fikih atas riwayat dan memberikan porsi besar riwayat dalam perkara ijtihad, benar-benar sebuah hal baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Setelah adanya buku “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan,” metode fikih (Fiqih al-Riwa'i) yang diperkenalkan oleh Muqaddas Ardabili mulai dikenal luas dan para fukaha lainnya juga mengikuti dia. Inovasi ini sangat penting dan berpengaruh dalam fikih sehingga para ulama menganggap Muqaddas Ardabili sebagai peletak metode baru di bidang fikih.
Muqaddas Ardabili memandang fikih sebagai ilmu bagi kehidupan. Dalam fatwa dan penjelasan hukum fikih, ia mengadopsi sikap yang seimbang dan ‘urf (adat kebiasaan) yang sesuai dengan kebutuhan saat itu dan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
Ulama besar ini memberikan perhatian khusus pada prinsip mempermudah pelaksanaan perintah-perintah agama. Ia percaya bahwa dalam menjalankan hukum syar’i mulai dari ibadah, jual-beli, hingga persoalan fikih lainnya, orang tidak boleh mendapatkan masalah dan kesulitan tanpa sebab.
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan, “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” Demikian juga dalam surat al-Hajj ayat 78, “…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”
Ada banyak ayat dan riwayat lain dengan kandungan yang sama yang menunjukkan bahwa hukum dan perintah agama itu mudah dan tidak sulit untuk dijalankan. Tentu saja, kita membutuhkan petunjuk ulama yang menguasai ayat dan riwayat untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut dan menentukan batas-batas penyederhanaan ini (prinsip kemudahan ini).
Tidak diragukan lagi, Muqaddas Ardabili adalah salah satu ulama yang paling ahli dalam menentukan batasan-batasan ini. Dengan penguasaannya pada al-Quran dan hadis, ia menjelaskan hukum-hukum agama kepada masyarakat sesuai dengan prinsip kemudahan.
Salah satu sifat dominan Muqaddas Ardabili adalah menghormati orang-orang yang menentangnya. Dalam banyak kasus, ia menolak pendapat umum yang berlaku di antara para ulama dan memberikan pendapat dan fatwa baru yang berbeda dengan pandangan orang lain, tentunya berdasarkan penelitian dan kajian yang cermat.
Namun, Muqaddas Ardabili tidak pernah bersikap kasar dengan para ulama senior lain yang tidak sependapat dengannya. Ia mengutarakan pendapatnya dengan cara yang tidak menimbulkan kontroversi dan emosi pihak lain. Misalnya, setelah menolak pandangan umum di kalangan ulama dengan argumentasi ilmiah dan membuktikan pendapatnya, ia menulis, “Apa yang dikatakan oleh para ulama senior (pandangan yang kemudian dikenal sebagai pendapat jumhur ulama), mungkin saya tidak mengerti bahwa (pendapat) itu sesuai dengan pemahaman dan ijtihad saya.”
Atau menulis demikian, “Mungkin para jumhur ulama punya argumen atau memahami sesuatu dari argumen yang ada yang belum saya pahami.” Model pendekatan Muqaddas Ardabili ini telah memelihara iklim sejuk di kancah intelektual dan mencegah masuknya perdebatan yang tidak perlu dan sikap yang tidak rasional dalam masalah fikih.
Ia juga mengadopsi sikap yang rasional dan terpuji dalam bergaul dengan para ulama Sunni. Perbedaan akidah tidak membuatnya meninggalkan sikap adil dan ia tidak pernah membuka lisannya untuk mengucapkan kata-kata kasar. Pada masanya, segelintir orang percaya bahwa menyimpan kitab-kitab Sunni itu pun perbuatan yang salah, tetapi Muqaddas Ardabili yakin bahwa hal yang benar dan salah terdapat dalam kitab-kitab Sunni dan tidak semuanya dapat dianggap sebagai kitab yang menyesatkan.
Sebaliknya, kandungannya yang benar harus dimanfaatkan dan hadis-hadis palsu harus dibuang. Ia percaya bahwa hal yang sahih dapat dipisahkan dari yang batil dengan menunjukkan dalil-dalil.
Dengan pandangan yang terbuka ini, Muqaddas Ardabili mempelajari banyak kitab-kitab Sunni dan dalam beberapa topik, ia menelaah dan mengkritik pandangan para ulama mereka. Ulama Syiah ini juga menekankan perlunya hubungan sosial dengan Sunni, sementara riwayat yang mencela berhubungan dengan para penentang, hanya ditujukan kepada mereka yang membenci dan memusuhi Ahlul Bait, bukan semua penentang.
Semua ini menunjukkan kebijaksanaan dan keterbukaan Muqaddas Ardabili. Meskipun waktu itu sebagian berpikiran ekstrem, ia telah menunjukkan jalan yang benar kapada para siswa di hauzah ilmiah dan mendorong mereka untuk bersikap toleran dan memegang prinsip moral dalam menghadapi lawan serta menutup jalan bagi para oportunis.
Meskipun Muqaddas Ardabili menunjukkan rasa hormat dan ketertarikan yang besar kepada para ulama senior pada masanya, namun ketertarikan ini tidak membuatnya menerima pendapat mereka tanpa argumen yang kuat. Prinsipnya adalah mendalami kembali dan meninjau ulang semua persoalan fikih yang kecil dan besar, bahkan perkara yang sudah diterima dan disepakati. Sehingga ada yang berkata bahwa dia tetap mengkaji perkara yang sudah jelas dan tidak menerimanya tanpa argumentasi.
Sebelum masanya, perdebatan dalam masalah fikih tidak begitu umum. Tetapi karena pemikiran dinamis dan kritis serta pemahaman luas yang dimiliki Muqaddas Ardabili, membuatnya tidak mudah menerima persoalan ilmiah begitu saja dan tidak puas dengan pendapat orang lain. Ia akan membuka penelitian yang serius dan dengan berani mengumumkan pendapatnya kepada publik meskipun bertentangan dengan pandangan jumhur ulama.
Keberanian ulama besar ini dalam mengkritisi pandangan para pendahulunya telah membuka jalan baru dalam fikih serta melahirkan inovasi dan kemajuan di fikih Syiah. Karena itulah, Muqaddas Ardabili – sebagai fakih yang berpikiran terbuka – telah membuka jalan bagi diskusi ilmiah dan adu argumen di bidang fikih.
Ahmad bin Mohammad Ardabili (Moghaddas Ardabili)
Pada dua bagian sebelumnya dibahas tentang ulama besar Abad ke-10 Ahmad bin Mohammad Ardabili yang lebih dikenal dengan Moghaddas Ardabili, dan pelayanan luar biasa yang diberikannya dalam menghidupkan Hauzah Ilmiah Najaf, dan memperkuat ajaran Syiah di Iran.
Selain itu juga sudah dibahas tentang metode fikih khusus Mujtahid Besar Syiah ini, serta jalan yang dirintisnya untuk semakin mengukuhkan fikih Syiah. Sementara pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik kepribadian Mohaghegh Ardabili sehingga sampai dikenal sebagai Moghaddas yang artinya “Orang Suci”.
Mohaghegh Ardabili dengan mengukuhkan fikih pada sandaran riwayat dan interaksi serta penelahaan ulang seluruh pintu fikih, secara berani mengemukakan pendapat barunya, dan karena sikap adil dan rendah hatinya, ia berhasil meyakinkan para penentang.
Mohaghegh Ardabili dengan bersandar pada prinsip kemudahan dalam Islam, percaya bahwa sebagian aturan ketat tanpa argumen yang mempersulit seseorang tidak memiliki landasan agama. Dengan demikian menurut pandangan Ardabili, fikih adalah pengetahuan untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. Pada bagian ini akan diulas kepribadian Moghaddas Ardabili yang bisa menjadi teladan praktis bagi kita dalam akhlak dan kesucian jiwa.
Dikarenakan ketakwaannya yang tinggi dan memiliki segudang kemuliaan yang disaksikan masyarakat, ulama besar Syiah ini dikenal sebagai Moghaddas atau orang suci. Diceritakan bahwa selama 40 tahun Ardabili bukan hanya tidak melakukan dosa, bahkan tidak melakukan hal-hal yang makruh dan mubah. Artinya, ia hanyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahab dan wajib saja.
Suatu hari seorang pria bersikeras bertanya kepada Moghaddas Ardabili, apakah Anda benar-benar tidak melakukan dosa ? Ardabili menjawab, “Memangnya Anda makan sesuatu yang najis atau bahkan bersedia untuk sekadar melihatnya ? Pandangan kita terhadap dosa juga seperti ini.”
Benar berdasarkan kesaksian para ulama dan pemuka agama, Ardabili dalam zuhud, takwa dan ibadah telah sampai pada derajat terakhir, dan tidak ada ulama lain yang menyamainya. Selama hidupnya, ia adalah ulama yang paling menjaga diri, paling taat beribadah, dan paling bertakwa, sampai masyarakat biasa pun mengumpamakan dirinya sebagai perwujudan takwa dan kesucian.
Moghaddas Ardabili selain merupakan penjelmaan dari kesucian, bagi masyarakat kebanyakaan bahkan bagi ulama, adalah teladan dalam akhlak yang baik dan pemberani. Banyak kisah yang menceritakan tentang sifat rendah hati, kesabaran, kedermawanan, keberanian, dan kedekatan dengan masyarakat yang dimiliki Ardabili. Mendengar kisah-kisah tersebut dapat membantu manusia mengenal tangga-tangga kemanusiaan.
Di antara kisah itu, ulama besar Syiah ini diceritakan selalu menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya mulai dari yang tidak terlalu berharga sampai yang sangat berharga. Terkadang ia menerima hadiah kain yang sangat bernilai setara emas, dan biasanya Syeikh Ardabili akan mengenakan kain semacam itu sebagai serban, lalu pergi keluar rumah dengannya, di perjalanan ia akan memberikan sepotong kain berharga itu kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya sehingga ketika tiba di rumah tidak ada lagi yang tersisa selembar pun di kepalanya.
Kedermawanan dan keberanian Moghaddas Ardabili sedemikian tingginya sampai sebagian orang membandingkannya dengan cincin emas. Di masa paceklik, Ardabili membagikan semua yang ada di rumahnya kepada fakir miskin, dan menyisakan untuk keluarganya setara dengan jatah untuk seorang fakir. Suatu kali istri Mohaghegh Ardabili protes, dan mengkhawatirkan anak-anaknya yang kelaparan. Ardabili langsung keluar rumah tanpa menjawab protes istrinya untuk beritikaf di Masjid Kufah.
Dua hari berlalu, seorang pria tak dikenal membawa sejumlah banyak gandum dan tepung ke rumah Ardabili. Pria tersebut mengaku membawakan semua itu atas perintah Ardabili yang sedang beritikaf di masjid. Sekembalinya Ardabili ke rumah, istri beliau mengaku senang dengan kualitas gandum yang dikirimnya, sementara Ardabili sendiri bingung karena merasa tidak pernah menyuruh orang untuk mengirim gandum tersebut, kemudian ia sadar itu merupakan hadiah dari Ilahi dan langsung bersyukur kepada Allah Swt.
Ketawadhuan dan rendah hati merupakan sifat menonjol lain yang dimiliki Moghaddas Ardabili. Diceritakan suatu hari sebuah rombongan melewati kota Najaf, dan bermaksud untuk beristirahat sejenak di sana. Salah satu anggota rombongan yang tampak lelah, dan mukanya penuh debu melihat Moghaddas Ardabili tapi tidak mengenalnya. Ia pun meminta Ardabili untuk mencucikan bajunya yang kotor dan berjanji akan membayarnya.
Moghaddas Ardabili menerima tawaran orang itu dan mencucikan bajunya. Orang-orang yang mengenal Moghaddas Ardabili mencaci pemilik baju sampai ia malu dan meminta maaf, tapi Moghaddas Ardabili dengan tenang berkata, “Hak seorang Mukmin dari saudaranya lebih dari sekadar mencucikan baju, lalu mengapa harus meminta maaf.”
Seluruh usia dan kemampuan Moghaddas Ardabili digunakan untuk berkhidmat kepada ajaran Ahlul Bait as, sehingga ia diberi kesempatan bertemu dengan Imam Mahdi af.
Salah seorang murid Ardabili bernama Mir Feizollah Tafreshi menceritakan, “Suatu malam selepas belajar, saya duduk di kamar saya yang berhadapan dengan Makam Imam Ali as. Saya melihat seseorang melangkah ke Makam Imam Ali as di tengah malam. Saya berpikir mungkin ia seorang pencuri, maka saya pun mengikutinya. Setelah melihatnya dari dekat saya baru menyadari bahwa orang itu adalah Moghaddas Ardabili. Ketika sampai ke dekat Pusara Suci Imam Ali as, pintu-pintu Makam tiba-tiba terbuka. Perasaan ingin tahu saya muncul dan saya terus mengikutinya. Syeikh Ardabili berdiri di depan Pusara Suci Imam Ali dan saya mendengar ia berbicara dengan seseorang. Kemudian ia keluar dan melangkah ke Masjid Kufah. Di dalam masjid dekat mihrab ia berbicara lama dengan seseorang, lalu ia pun pulang.”
Tafreshi menambahkan, “Saat melangkah pulang, akhirnya Moghaddas Ardabili menyadari dirinya sedang diikuti. Saya pun berusaha menjelaskan kepadanya. Setelah meminta saya berjanji untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selama beliau masih hidup, Syeikh berkata, ‘Saya menemukan permasalahan dalam pembahasan agama. Saya mendatangi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as, dan saya bertanya kepada beliau. Imam Ali as berkata, hari ini Imam Mahdi af akan datang ke Masjid Kufah, pergilah ke sana dan bertanyalah kepadanya. Lalu saya pun pergi ke Masjid Kufah dekat mihrab, dan menanyakan masalah tersebut kepada Imam Zaman af, dan saya menerima jawabannya.' Berarti orang yang saya lihat di Masjid Kufah itu adalah Imam Mahdi af.”
Ya, di dunia yang bagi kebanyakan orang dipenuhi oleh kegelapan ini, ada sejumlah pembesar yang karena ketakwaan dan kesucian membawa dirinya sampai ke sumber cahaya dan meraih kebahagiaan.
Fakih dan ulama besar Moghaddas Ardabili akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab 993 Hijriah Qamariyah. Cahaya fikih yang menerangi Dunia Syiah dari Kota Ardabil itu redup setelah menjalani seluruh hidupnya dengan kerja keras tak kenal lelah di jalan agama dan syariat abadi Islam.
Ia meninggal dunia di kota suci Najaf, Irak. Syeikh Ardabili meninggalkan banyak karya berharga layaknya cahaya yang menyinari Islam dan Syiah. Tubuh mulia beliau dikebumikan di kompleks Makam Suci Imam Ali as, dengan harapan sebagaimana di dunia ia mencintai Ahlul Bait as, di akhirat pun bisa bersama mereka.
Qazi Noorullah Shoushtari (Syahid Tsalis)
Salah satu ulama besar dunia Syiah di abad ke-16 adalah Qazi Noorullah Shoushtari yang juga dikelola sebagai Syahid Tsalis.
Budaya dan peradaban manusia berhutang kepada pengorbanan para ulama yang menjaga cahaya kesadaran dan kesalehan masyarakat. Membaca kembali sejarah ulama Syiah menunjukkan dengan baik bagaimana iman yang tulus dan tekad baja mereka, bahkan dalam keadaan yang paling putus asa sekalipun, mampu mengusung panji kebangkitan dan menyerahkannya kepada generasi selanjutnya.
Qazi Noorullah Shoushtari lahir di Shushtar pada tahun 956 H dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan keyakinannya. Ayahnya disebut Sayyid Syarif, seorang ulama terkenal, sedangkan kakek, dan saudara-saudaranya merupakan para sarjana dalam ilmu-ilmu intelektual dan sastra. Lima putra Qazi adalah penulis dan ulama terkemuka di masanya.
Setelah mempelajari pendidikan dasar di Shushtar, Qazi Noorullah melakukan perjalanan ke Mashhad untuk berguru kepada para ulama terkemuka seperti Mawla Abdul Wahed Shoushtari dan Mawla Abdul Rashid Shoushtari.
Kemudian Qazi Noorullah Shushtari bermigrasi ke India pada tahun 993 H dan menetap di kota Agra. Saat itu, Akbar Shah memerintah India. Akbar Shah telah menaklukkan kerajaan besar dengan menaklukkan tanah yang berdekatan. Meskipun dia tertarik pada ilmuwan, tapi dia tidak memiliki keyakinan yang kuat pada agama tertentu. Oleh karena ini ateisme meningkat di India, dan agama-agama ilahi berada dalam kelemahan dan kepunahan. Ketika Qazi Noorullah datang ke India, ia diberi perhatian khusus oleh Akbarshah karena ilmu dan kemampuannya yang luar biasa, dan pada usia 35 tahun ia diangkat sebagai hakim.
Shoushtari memberikan syarakat Akbar Shah bahwa dia akan menerima jabatan sebagai hakim hanya jika dia memilih dan bertindak sesuai dengan ijtihadnya dalam pekerjaan, dan tidak meninggalkan lingkaran empat agama Hanafi, Hanbali, Syafi'i dan Maliki. Akbar Shah menerima persyaratan tersebut.
Penguasaan Hakim Noorullah terhadap masalah yurisprudensi Islam yang luas dan matang, sedemikian rupa sehingga fatwa dan penilaiannya diterima oleh ulama Sunni dan membangkitkan kekaguman mereka.
Qazi Noorullah sangat adil dan sangat menentang para penyuap dan penasehat dalam pekerjaannya mengadili, dan dia menghakimi hanya atas dasar keadilan. Beberapa percaya bahwa Qazi Noorullah pertama-tama menyembunyikan keyakinan mazhab yang dianutnya karena Taqiyah. Tapi kelompok sejarawan lain percaya bahwa menurut beberapa bukti sejarah seperti perdebatan, tulisan dan komentar para ulama pada waktu itu, menunjukkan tentang keyakinannya sebagai penganut Syi'ahnya yang dikenal oleh orang-orang sezamannya. Bahkan beliau dikenal sebagai salah satu ulama yang menjelaskan dan mempromosikan Syiah dan cinta Ahl al-Bayt di India.
Qazi Noorullah Shoushtari adalah seorang penulis yang cakap, produktif dan penyair berbakat yang melakukan yang terbaik untuk menyebarkan agama Syiah. Karya terpenting ulama syahid ini adalah buku-buku terkenal "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" dan "Majalis al-Mu'minin".
Ketika itu, salah seorang ulama Syafi'i dari Iran telah menulis sebuah buku berjudul "Ibtal Nahj al-Batil" yang menolak kepercayaan Syi'ah yang isinya telah menyebabkan penganiayaan terhadap Syi'ah.
Qazi Noorullah menulis kitab "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" yang abadi dalam sejarah. Beberapa orang percaya bahwa penulisan buku inilah yang menyebabkan kesyahidan Qazi Noorullah.
Buku Majalis al-Mu'minin adalah karya abadi lain Qazi Noorullah Shoushtari, yang merupakan buku terkenal yang ditulis dalam bahasa Persia. Qazi Noorullah juga menulis buku ini untuk membela Syiah. Ketika itu ada pihak yang menyebut kemunculan Syi'ah bukan awal dari Islam tetapi era Safavi di Iran abad ke-14.
Dalam buku ini, penulis memperkenalkan sejarah Syiah dan para tokohnya. Buku ini, yang dianggap semacam ensiklopedia, ditulis empat ratus tahun yang lalu dalam situasi di mana tidak ada alat penelitian modern dan tidak ada kondisi politik dan sosial untuk penelitian bebas para sarjana Syiah. Namun iman yang kuat dan kemauan yang tinggi, menyebabkan Qazi Noorullah Shoushtari menyelesaikan penulisan buku ini. Meskipun dia tidak mengharapkan penghargaan, dan ketenaran, tetapi demi kecintaannya pada ajaran Islam Syiah.
Qazi Noorullah Shoushtari selama hidupnya aktif membimbing masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai hakim yang berusaha adil dan mengajar di India sampai kematian Akbar Shah wafat. Kemudian, pada masa pemerintahan putra Akbar Shah, Jahangir Shah, kebencian terhadap Qazi Noorullah meningkat dan musuh-musuhnya berusaha keras untuk mengubah pandangan Jahangir Shah tentang beliau.
Setelah Qazi Noorullah menulis buku Majalis al-Mu'minin, musuh-musuhnya memutuskan untuk melenyapkannya, dan akhirnya, dengan fitnah yang ditujukan kepadanya, mereka membujuk raja untuk menjatuhkan hukuman kepada Qazi Noorullah dan mencambuknya berulang kali hingga beliau gugur.
Ketika itu Qazi Noorullah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan alasan ini, ia disebut martir ketiga. Jenazah Qazi Noorullah Shushtari yang berdarah dimakamkan di Akbarabad, India. Makam ulama alim ini kini menjadi tempat ziarah para pecinta mazhab Ahl al-Bayt. Qazi Noorullah mengakhiri hidupnya sebagaimana uacapan mulia Imam Ali bin Abi Thalib, “Allah telah menetapkan kematian bagi satu golongan dan kematian bagi golongan yang lain, dan masing-masing akan mencapai waktu yang telah ditentukan sebagaimana ketetapan-Nya. Maka berbahagialah para mujahidin karena terbunuh di jalan ketaatan kepada Allah,”.
Syeikh Mohammed bin Hussein bin Abdul Samad Haritsi (Syeikh Bahai)
Syeikh Mohammed bin Hussein bin Abdul Samad Haritsi yang dikenal dengan Bahauddin dan Syeikh Bahai, adalah salah seorang ulama dan cendekiawan besar Syiah dan Islam. Ia dilahirkan pada tahun 953 Hijriyah (kemungkinan 17 Dzulhijjah) di kota Baalbek, Lebanon.
Ayahnya, Izzuddin al-Amili adalah seorang ulama terkenal di Lebanon dan murid dari Syahid Thani. Garis keturunannya berujung pada Harits Hamdani, salah seorang sahabat besar Imam Ali as. Harits Hamdani adalah salah satu penolong setia Imam Ali as dalam Perang Shiffin dan Jamal.
Syeikh Bahai menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Syiah Jabal Amil dan kemudian hijrah ke Iran bersama keluarganya pada usia 13 tahun. Pada masa itu, Dinasti Seljuk (Turki Seljuk) sedang berkuasa di Lebanon dan menekan para pecinta Ahlul Bait. Sebaliknya, di Iran yang dikuasai oleh Dinasti Safawi yang berhaluan Syiah, kondisi untuk menyebarkan mazhab Syiah terbuka lebar.
Saat itu, Iran telah menjadi pusat perkumpulan para ulama Syiah. Ayah Syeikh Bahai diangkat oleh Raja Mohammad Khodabandeh sebagai “Syeikh Islam Herat” karena keluasan ilmu dan keutamaannya. Posisi ini kemudian diteruskan ke Syeikh Bahai.
Selain ilmu-ilmu agama, Syeikh Bahai juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang berkembang pada masa itu, termasuk matematika, arsitektur, geografi, dan astronomi. Karya arsitekturnya yang luar biasa masih dikagumi oleh para pakar di bidang ini setelah berabad-abad.
Beberapa karya arsitektur Syeikh Bahai terkenal di dunia, seperti Menara Jonban di kota Isfahan. Uniknya, jika salah satu menara diguncang, menara lainnya akan ikut bergoyang. Kubah Masjid Imam di Isfahan yang bisa memantulkan suara sampai tujuh kali, desain halaman dan aula di Kompleks Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, dan desain dinding di Kompleks Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak yang bisa menjadi petunjuk waktu shalat zuhur di sepanjang tahun.
Berkat kecerdasan Syeikh Bahai, banyak masjid, bangunan, jembatan, jalan raya dan taman dibangun di Isfahan, ibu kota Shah Abbas. Era keemasan arsitektur Dinasti Safawi dimulai dari sini dan warisan Syeikh Bahai menjadi salah satu seni yang paling ikonik di Iran.
Arsitektur era Safawi punya pengaruh yang luar biasa pada periode selanjutnya dan mampu memengaruhi gaya arsitektur di India, Irak, Kaukasus, Uzbekistan, Dinasti Ottoman, Lahore, dan Florence, Italia. Untuk itu, hari kelahiran Syeikh Bahai ditetapkan sebagai Hari Arsitektur di Iran.
Meskipun Syeikh Bahai unggul di bidang sains pada zamannya, namun posisi ilmuwan besar ini di dunia Syiah melampaui keahliannya di bidang arsitektur, astronomi, dan matematika.
Dalam hal ini, ia berkata, “Di antara hal terpenting yang menuntut kerja keras dan waktu siang-malam sangat pantas dihabiskan untuk itu adalah (mencari) ilmu-ilmu agama yang menjadi landasan Islam dan banyak makrifat yang diserukan oleh para nabi, terutama ilmu hadis… dan menyingkap rahasia dan mutiara di dalamnya, karena ilmu hadis – setelah ilmu tafsir (al-Quran) – merupakan sumber ilmu agama dan landasan hukum utama dan sekunder.”
Syeikh Bahai adalah ulama besar yang menguasai ilmu-ilmu Islam, termasuk yurisprudensi, ilmu al-Quran dan tafsir, ushuluddin, doa dan munajat, hikmah dan filsafat, dan menjadi salah satu ulama yang paling produktif di Dunia Islam dalam hal karya tulis.
Jumlah kitab, risalah, dan catatan pinggir (anotasi) yang dibuat oleh Syeikh Bahai berjumlah 123 judul. Kitab Jami' Abbasi adalah buku fikih yang paling terkenal yang ditulis oleh ulama besar ini. Kitab yang ditulis dalam bahasa Persia ini merupakan sebuah inisiatif baru dalam penulisan buku-buku fikih untuk masyarakat umum. Sebagian ulama menganggapnya sebagai buku fikih pertama dalam bahasa Persia dalam bentuk fikih praktis.
Sebagai ulama besar Syiah, Syeikh Bahai menaruh perhatian serius pada dua sumber utama fikih yaitu, kitab suci al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Metodenya dalam menjelaskan hukum fikih adalah bahwa pertama-tama ia merujuk pada ayat-ayat al-Quran dan tafsir yang terkait dengan topik yang sedang dibahas, kemudian ia memanfaatkan riwayat dan hadis untuk mempelajari aspek-aspek masalah.
Sambil mengkritik dan mengkaji pendapat para fakih lain dalam topik yang sama, Syeikh Bahai kemudian mengumumkan pendapatnya. Metode ini dapat ditemukan dalam buku Mashriq al-Shamsin.
Dalam fikih Syeikh Bahai, ilmu hadis menjadi salah satu rujukan utama. Oleh karena itu, ia memberikan perhatian khusus untuk memastikan hadis yang sahih dan hadis palsu. Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan dan segala seluk-beluk sebuah hadis disebut Ilmu Dirayah.
Syeikh Bahai menaruh perhatian besar pada Ilmu Dirayah dan menuliskan catatan tentang dirayah hadis pada dua buku pentingnya yaitu, Mashriq al-Shamsin dan Habl al-Matin. Fikih yang berbasis metode riwayat dapat ditemukan dalam buku-buku fikih yang ditulis oleh Syeikh Bahai.
Dalam buku Habl al-Matin, misalnya, setiap tema kajian akan diawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan itu dan sanadnya. Kemudian diikuti dengan penjelasan teks riwayat dan selanjutnya Syeikh Bahai akan mengeluarkan pendapatnya yang disertai dengan dalil-dalil yang kuat.
Di samping fikih, Syeikh Bahai juga punya ketertarikan khusus pada irfan dan bahkan Allamah Majlisi menganggap ia sebagai orang yang zuhud dan suka berkhalwat. Oleh sebab itu, sebagian orang memandang Syeikh Bahai sebagai ahli tasawuf, tetapi referensi yang ada menunjukkan bahwa ia mengkritik keras sebagian metode dan keyakinan para sufi serta mencelanya karena telah menyimpang dari pokok ajaran agama.
Aspek penting lain dari kepribadian Syeikh Bahai adalah peran politik dan sosialnya di Iran saat itu. Para ulama Syiah biasanya tidak memiliki hubungan dekat dengan istana raja, karena mereka menganggapnya berdosa membantu para penindas dan penguasa lalim.
Namun, dalam beberapa periode termasuk periode Safawi di Iran, beberapa ulama Syiah memiliki hubungan dekat dengan istana raja, hubungan ini tidak pernah untuk mencari kekuasaan dan keduniawian, tetapi sebaliknya, kubu ulama dengan pemahaman yang tepat akan kondisi saat itu, memilih berkomunikasi dengan istana dengan tujuan menyebarluaskan agama dan memperbaiki kondisi masyarakat Muslim.
Syeikh Bahai hidup di salah satu periode terpenting dalam sejarah Iran yaitu, era Safawi. Ia hidup sezaman dengan empat raja Dinasti Safawi, tetapi kegiatan politik dan sosialnya lebih sering dilakukan pada masa pemerintahan Shah Abbas Safawi.
Pada tahun 996 H, Syeikh Bahai diangkat oleh Shah Abbas Kabir menjadi Syeikh al-Islam Isfahan (ibukota baru Shah Abbas) dan memegang posisi ini sampai akhir hayatnya. Ia menjadi otoritas tertinggi agama yang bertugas untuk memerangi kezaliman terhadap kaum lemah, menegakkan amar makruf dan nahi munkar, menjelaskan persoalan fikih kepada masyarakat, dan menerapkan hukum agama di tengah masyarakat.
Hubungan Syeikh Bahai dengan istana bertujuan untuk memberikan pengarahan dan membimbing masyarakat. Ia menggunakan pengaruh para raja untuk memperkuat agama dan melindungi orang-orang yang tertindas.
Syeikh Bahai Amili wafat pada tahun 1031 H setelah menghabiskan 78 tahun dari usianya untuk menyebarluaskan mazhab Ahlul Bait. Dikisahkan bahwa beberapa hari sebelum wafat, ia dan sekelompok pengikut dan muridnya pergi berziarah ke makam salah satu orang arif. Di tengah ziarah, ia mendengar sebuah suara yang mengajaknya bersiap untuk menyambut kematian.
Sekembali dari tempat itu, Syeikh Bahai memilih berkhalwat dan meninggal dunia setelah sakit selama tujuh hari. Sesuai dengan wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Mashad dan dikebumikan di madrasahnya yang berada di pelataran Kompleks Makam Imam Ridha as. Ia telah pergi untuk selamanya, tetapi cahaya ilmu yang bersumber dari Ahlul Bait, tetap menerangi jalan umat manusia.
Abad ke-11 Hijriah Qamariyah, konfrontasi terserius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat
Salah satu karakteristik Abad ke-11 Hijriah Qamariyah adalah konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat.
Oleh karena itu beberapa ulama besar Syiah terjun menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat ini, dan berhasil membangun fondasi pemikiran filsafat Syiah dengan metode, dan sumber-sumbernya yang khas. Dalam hal ini Mir Damad memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun pemikiran filsafat Syiah dan Dunia Islam.
Sejarah Syiah dan kehidupan para ulamanya di masa keghaiban Imam Mahdi af, merupakan sejarah yang sarat dengan pasang surut, namun dalam sejarah yang penuh peristiwa itu, ajaran Syiah berhasil mempertahankan keasliannya sebagai ajaran yang independen dan hidup di hadapan serbuan berbagai pemikiran. Kemampuan ini bagi sebuah ajaran yang selama berabad-abad dimusuhi oleh para penguasa Muslim, dan non-Muslim, lahir berkat tiang-tiang pemikiran Syiah yaitu Imamah dan Wilayah.
Mir Damad adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Mir Damad merupakan ahli di bidang ilmu-ilmu Islam terutama fikih, tafsir Al Quran, dan hadis, dan ia memiliki pandangan mandiri dalam ilmu-ilmu ini. Akan tetapi keahlian yang lebih menonjol dalam dirinya sebagai ilmuwan adalah hikmah dan filsafat.
Ia adalah hakim terbesar di era Safavi yang kemunculannya di bidang pemikiran Isfahan, berhasil “mengguncang” filsafat. Oleh karena itu ia dikenal sebagai Guru Ketiga. Sebelumnya Aristoteles disebut sebagai Guru Pertama, kemudian Al Farabi, sebagai Guru Kedua. Mir Damad percaya aliran-aliran pemikiran terdahulu sangat sederhana dan pemula sekali, oleh karena itu ia berusaha menggabungkan sumber filsafat Yunani dengan visi Irfani, dan dengan menggunakan ajaran akidah Syiah, ia menyuguhkan sistem filsafat Islam yang dinamainya sendiri sebagai “Hikmah Yamani”.
Mir Mohammad Bagher Astarabadi yang lebih dikenal dengan Mir Damad termasuk tokoh penting dalam aliran filsafat Isfahan. Karya monumentalnya di bidang filsafat adalah Al Qabasat, dan murid terbaiknya adalah Mulla Sadra. Mir Mohammad lahir pada tahun 969 Hijriah Qamariyah. Ayahnya Sayid Mohamad Hossein Astarabadi, dan ibunya adalah putri dari Mohaghegh Karaki atau yang lebih dikenal sebagai Mohaghegh Sani.
Oleh karena itu sejak kanak-kanak Mir Damad sudah mendapatkan pendidikan dari ayah dan ibu yang unggul serta bertakwa, di sebuah keluarga berilmu. Mir Mohammad setelah menempuh pendidikan dasar berangkat ke kota Mashhad, dan di sana ia belajar kepada sejumlah guru terkemuka di Hauzah Ilmiah. Kemudian dengan maksud meraih cita-cita lebih tinggi dalam ilmu dan penelitian, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di kota Qazvin, Herat dan Isfahan yang kala itu ketiganya merupakan pusat ilmu penting di Iran.
Guru-guru terpenting Mir Damad di antaranya adalah Sayid Ali Mousavi Amoli, Abdolali Amoli yang merupakan pamannya, dan Syeikh Ezzoddin Hossein Amoli, ayah dari Syeikh Bahai. Sepertinya perjalanan Mir Damad ke Qazvin, Herat dan Mashhad mengikuti gurunya Syeikh Ezzoddin yang karena faktor politik dan sosial, beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal.
Syeikh Bahai putra Syeikh Ezzoddin merupakan teman dekat Mir Damad, banyak cerita yang mengisahkan kedekatan mereka berdua. Di antara cerita itu, dalam sebuah perjalanan kedua ulama besar ini pergi bersama Syah Abbas. Syeikh Bahai bertubuh langsing, dan menunggangi sebuah kuda ramping, dan berada paling depan dari semuanya. Sebaliknya Mir Damad memiliki tubuh tinggi besar, yang meski berusaha keras, namun kudanya tidak bisa berjalan lebih cepat. Syah Abbas yang menyaksikan hal ini kemudian ingin menguji kedekatan atau kecemburuan dua sahabat tersebut.
Setelah itu ia mendekati Mir Damad, dan dengan tersenyum menunjuk kepada Syeikh Bahai dan berkata, “Mir, lihatlah Syeikh Bahai tidak punya sopan santun, tanpa memperhatikan kita, pergi lebih cepat.” Mir Damad menjawab, “Bukan begitu, Syeikh Bahai adalah ilmuwan besar, dan kudanya karena mengetahui ditunggangi oleh orang semacam itu, bergairah dan bergerak lebih cepat.”
Lalu Syah Abbas memacu kudanya sampai mendekati Syeikh Bahai dan berkata kepadanya, “Sejauh yang saya lihat, para pemikir tidak terlalu banyak makan, tapi Mir Damad karena begitu rakus pada makanan, sampai badanya gemuk seperti itu.” Syeikh Bahai menjawab, “Bukan begitu, Mir Damad hanya rakus melahap ilmu, dan badannya yang gemuk itu tidak ada hubungannya dengan rakus makan. Kuda Mir Damad lelah dan berjalan lambat karena ditunggangi oleh orang mulia yang bahkan gunung pun tak sanggup menahan beratnya ilmu pengetahuan yang dimiliki orang itu.”
Masa-masa menempuh ilmu yang dijalani Mir Damad di Herat di bawah pengajaran Syeikh Ezzoddin Hossein adalah masa-masa yang kaya ilmu pengetahuan. Di akhir masa pembelajaran itu, Mir Damad kemudian dikenal sebagai seorang ulama unggul, dan ahli di bidang filsafat, fikih dan hadis. Setelah Syah Tahmaseb meninggal dunia, dan Syah Esmail Kedua naik tahta, kondisi bagi para ulama Syiah bertambah sulit, dan di masa ini para ulama berusaha menjauh dari pusat kekuasaan yaitu Qazvin.
Oleh karena itu Mir Damad dan Syeikh Bahai berpindah tempat dari Qzvin ke Isfahan, dan sibuk mengajar di sana. Hingga ketika kekuasaan sampai ke tangan Syah Abbas, dan menjadikan Isfahan sebagai pusat kekuasaan. Karena Syah Abbas sangat menyukai ilmu pengetahuan, para ulama Syiah kembali merasakan kebebasan dan keamanan, selain itu ilmu pengetahuan juga mengalami pertumbuhan cepat di masa ini. Isfahan di masa Syah Esmail memiliki banyak sekolah bagus, dan pelajar agama bekerja keras menuntut ilmu, dan ajaran Islam. Mir Damad mengajar filsafat di Madrasah Khoja Isfahan, dan Syeikh Bahai mengajar tafsir, fikih dan hadis di madrasah yang sama.
Mir Damad di masa hidupnya mendidik banyak murid, di antaranya yang kelak menjadi orang besar adalah Mulla Sadra, Abdolrazaq Lahiji, Mulla Mohammad Feiz Kashani, dan Mohaghegh Khansari. Mir Damad sendiri yang memilih murid, dan sebelum menerima mereka sebagai murid, Mir Damad akan menguji dan mewawancarai mereka. Orang-orang yang dianggap layak belajar hikmah akan diterimanya menjadi murid. Hakim bijaksana ini percaya bahwa hikmah jika berada di tangan orang-orang yang tidak bisa memahami dengan benar, maka akan menyebabkan kesesatan pada mereka, dan orang lain.
Salah satu murid terhebat Mir Damad adalah Sadr Al Motaalihin yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, filsuf paling berpengaruh di era Safavi dan pencetus Hikmah Mutaaliyah. Hakim besar ini menganggap akal saja tidak akan cukup menjadi alat untuk mencapai hakikat hikmah, ia percaya wahyu Ilahi dan penyingkapan-penyingkapan Irfani harus menjadi sumber asli dan terpercaya bagi filsafat. Hikmah Mutaaliyah dalam tiga abad terakhir merupakan ajaran filsafat paling menonjol di Dunia Islam, dan menjadi perhatian para filsuf Barat.
Mir Damad menghasilkan lebih dari 50 karya besar dan berharga, yang kebanyakan ditulis tangan oleh dirinya sendiri. Karya terbesar Mir Damad di antaranya adalah Al Qabasat, Taqdisaat, Jazwaat, dan Sadruhul Muntaha. Buku Al Qabasat membahas tentang penciptaan alam semesta, buku Taqdisaat membahas Hikmah Ilahi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan serta kerancuan tentang Tauhid, dan Keesaan Tuhan.
Jazwaat mencakup pendapat Mir Damad tentang filsafat, dan buku Sadruhul Muntaha adalah kitab tafsir Al Quran. Mir Damad juga menulis buku lain yang diberi judul “Al Rawasyih Al Samawiah” yang menjelaskan hadis, riwayat dan perkataan Imam Maksum as. Hakim besar ini juga menulis syair dengan tema-tema Irfani dan falsafi.
Mir Damad selain keunggulannya dalam teori, dalam akhlak dan sifat baik termasuk yang terdepan. Ia menganggap upaya manusia menjalankan perintah agama, dan mematuhi adab perjalanan spiritual atau suluk, sebagai penjamin kebahagiaan dan kesempurnaan manusia, dan ia sangat menaruh perhatian besar padanya. Ia sangat cinta membaca Al Quran, setiap malam ia membaca setengah Al Quran.
Ia juga sangat menekankan hal-hal mustahab termasuk shalat nafilah, tidak meninggalkan munajat kepada Allah Swt di malam hari, dan ia banyak berzikir, menyucikan diri. Ia makan dan tidur secukupnya, hanya sebagai upaya memulihkan tenaga untuk kembali menjalankan ibadah, meneliti, dan mengajar, tidak pernah menjadikan tidur dan makan untuk bersenang-senang dan mencari kenikmatan.
Kita sering menemukan nama tokoh-tokoh semacam Al Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra dan yang lainnya di buku-buku sejarah filsafat, namun kita tidak pernah melihat nama Mir Damad. Kita akan terkejut karena orang yang telah mendidik murid semacam Mulla Sadra, dan menulis ratusan buku serta makalah ilmiah, namun sangat sedikit ditulis tentang pemikirannya.
Salah satu alasan mengapa sedikit sekali yang menulis tentang pemikiran Mir Damad adalah karena tingkat kedalaman dan kerumitan pemikirannya tentang filsafat yang tinggi, sehingga sulit untuk mengulasnya. Mir Damad percaya pemikiran luhur filsafat tidak boleh diberikan kepada orang bodoh yang tidak memiliki batin yang bersih, perasaan yang lurus, tekad yang kuat, dan kecerdasan yang memadai, karena orang-orang semacam ini ketika belajar hikmah yang melampaui pemahamannya, tidak diragukan akan menuju kesesatan, dan membawa orang lain ke dalam kesesatan.
Filsuf terkemuka Prancis, Henry Corbin menyebut alasan sulitnya penulisan karya-karya Mir Damad adalah upayanya menghindari pengkafiran dan pengejaran musuh yang di kemudian hari menyebabkan muridnya Mulla Sadra diasingkan.
Mir Mohammad Bagher Astarabadi
Mir Damad (Mir Mohammad Bagher Astarabadi) adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Ia juga dikenal sebagai Guru Ketiga.
Pada abad ke-11, filsafat Islam mengambil lompatan yang signifikan, dan beberapa pemikir besar Syiah memfokuskan aktivitas mereka pada kebijaksanaan dan filsafat. Ada beberapa alasan mengapa para cendekiawan Muslim masuk ke Lembah Filsafat. Salah satu alasan ini tergantung pada sifat ilmu filsafat. Filsafat berarti berpikir tentang masalah paling umum dan mendasar yang kita hadapi dalam hidup dan di dunia.
Filsafat muncul ketika kita mengajukan pertanyaan mendasar tentang diri kita sendiri dan dunia. Pertanyaan seperti: Di mana kita sebelum lahir dan apa yang terjadi pada kita setelah kematian? Apa itu kecantikan? Apakah hidup kita dijalankan oleh orang atau kekuatan lain? Apakah dunia membutuhkan pencipta? Apa itu Tuhan? Apakah tujuan hidup? Apa itu kebahagiaan sejati? Dan puluhan pertanyaan seperti ini. Para filsuf mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengandalkan akal. Tetapi dengan sedikit perhatian kita melihat bahwa inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang juga coba dijawab oleh agama-agama ilahi.
Di antara berbagai agama, agama Islam, khususnya mazhab Syi'ah, lebih sejalan dengan ilmu filsafat karena pandangannya yang besar mengenai akal. Sifat pemikiran Islam, khususnya pemikiran Syi'ah, sesuai dengan rasionalitas, dan teks-teks agama penting Islam, termasuk Al-Qur'an dan hadits para maksumin, menekankan penggunaan akal yang benar dan ketaatan pada aturan rasional.
Dalam ajaran Islam, akal beserta wahyu merupakan otoritas dan petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia untuk menemukan jalan petunjuk. Nahj al-Balaghah penuh dengan khutbah mistik dan filosofis Amirulmukminin Ali as dan riwayat para Imam lainnya, terutama Imam Baqir as, Imam Sadiq as dan perdebatan Imam Ridha as juga sarat dengan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan demikian, hakikat pemikiran Syi'ah tidak pernah sepi dari pemikiran filosofis.
Dari sisi lain, saat itu ulama Syah juga menghadapi fenomena baru yang lain, menghadapi budaya Barat. Di era Safawi, bangsa Eropa banyak tinggal di Iran dengan berbagai alasan mulai dari pialang, wisatawan, pedagang dan bahkan dokter untuk menyebarkan agama Kristen. Sejarah mencatat bahwa pemerintah Eropa mengirim misionaris ke Iran untuk mengubah agama rakyat negara ini. Mereka berupaya mengubah keyakinan masyarakat dan mencitrakan bahwa Islam tidak benar dengan menyebarkan keraguan dan syubhat melalui buku-buku dan acara tabligh.
Di kondisi seperti ini, tugas ulama adalah membela agama secara rasional. Pembelaan dan penjelasan akan keyakinan agama sebelumnya diemban oleh para ulama dalam bentuk Ilmu Teologi. Ilmu Teologi menggunakan dua sumber, akal dan nakli (al-Quran dan hadis), dan memiliki metode khusus. Namun seperti yang disadari para filosof Syiah, metode falsafi lebih baik dari teologi untuk menjawab syubhat ini dan membela agama. Dengan demikian mereka semakin cenderung untuk menggali ilmu ini.
Di kalangan filosof Muslim, ulama seperti Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khajeh Nasir al-Din Tusi, Shahab al-Din Suhrawardi, Mir Damad, dan Mullah Sadra memiliki gaya dan sistem filsafatnya sendiri. Sementara itu, ada banyak kesamaan antara sistem filsafat Ibnu Sina, Mir Damad dan Mulla Sadra. Tampaknya Mir Damad melanjutkan gerakan yang dimulai oleh Ibnu Sina dan diakhiri oleh Sadr al-Muta'allehin. Masing-masing orang bijak besar ini telah menciptakan titik balik dalam proses pemikiran Muslim.
Ibnu Sina adalah pengikut kuat Aristoteles dan filsafatnya, "filsafat Mashaa". Aristoteles, filsuf terbesar dari sekolah Yunani, percaya bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, manusia cukup menggunakan kecerdasannya dengan benar. Dengan mencoba merumuskan hukum-hukum berpikir yang benar (logika), ia berusaha mencegah manusia dari membuat kesalahan dalam berpikir, sehingga cahaya akal dapat memperjelas kebenaran.
Ibnu Sina sepenuhnya berkomitmen pada prinsip-prinsip filsafat Aristoteles, tetapi dia percaya bahwa akal dan agama tidak bertentangan satu sama lain, dan apa pun yang dihukumi akal, agama akan menerimanya. Dan di sisi lain, semua aturan agama, jika dipahami dengan benar, pasti disetujui oleh akal. Oleh karena itu, ia mencoba menerapkan filosofi Aristoteles pada prinsip dan keyakinan agama. Namun terlepas dari upaya Ibnu Sina untuk menyelaraskan filsafat dan agama, ia tidak terlalu berhasil di mata para kritikus.
Gagasan dan pemikiran Ibnu Sina sangat suci bagi para filosof setelahnya, dan untuk waktu yang lama tidak ada orang bijak yang berani mengkritik atau menolak gagasannya. Shahab al-Din Suhrawardi, yang dikenal sebagai Syekh Ishraq, salah satu orang bijak abad keenam Hijriah, adalah orang bijak Muslim pertama yang secara serius mengkritik teori-teori Ibnu Sina. Meskipun Syeikh Ishraq telah menerima banyak prinsip filsafat rasionalis Mashaa, dia percaya bahwa akal saja tidak cukup untuk menemukan seluruh kebenaran. Dia percaya bahwa manusia memiliki cara lain untuk mengetahui dan itu adalah pengalaman mistik. Dengan cara ini, ia mendirikan sistem filsafat Islam lain yang disebut "Filsafat Pencerahan" di mana mistisisme memiliki tempat khusus dalam menjawab masalah utama filsafat.
Mir Damad percaya bahwa Ibn Sina dan Suhrawardi, meskipun telah melakukan upaya yang terpuji, tidak berhasil menyesuaikan sistem filosofi mereka dengan Islam dan Syi'ah. Alasan untuk ini adalah kurangnya penguasaan yang memadai atas sumber-sumber agama dan metode mereka sesuai dengan akal dan syariah. Sebaliknya, Mir Damad telah menggunakan kehadiran para ahli hadits dan narasi terbesar selama bertahun-tahun, dan hidupnya dipenuhi dengan angin inspirasi dari kata-kata Maksum.
Orang bijak yang bijaksana ini, ketika masih remaja, diizinkan untuk meriwayatkan dari banyak ulama pada waktu itu dan mendominasi dan mengelilingi banyak sumber penting dari narasi Syi'ah. Ia juga sangat ahli dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Keunggulan ini membuat Mirdamad cukup berhasil dalam penerapan agama dan filsafat di atas para pendahulunya.
Mir Damad sebenarnya adalah pendiri filsafat mazhab Isfahan. Para pemikir besar yang telah terdidik dalam bidang pemikiran ini, selain sangat menyukai Al-Qur'an dan tafsirnya, juga sangat mengenal riwayat-riwayat para Imam (as). Mir Damad memainkan peran yang sangat penting dalam membangun filsafat Syi'ah berdasarkan hadits dan ajaran Islam. Dia menyelaraskan kosmologi Ibnu Sinai dengan Imamologi Syi'ah dan mendasarkan dasar ontologisnya pada keberadaan suci empat belas maksum.
Mir Damad mengkritik keras suasana intelektual seminari Isfahan dan mempersiapkan para pemikir untuk menerima sistem filosofis baru dan, lebih lengkapnya, sebuah revolusi filosofis. Dengan keyakinan yang tak tertandingi, ia menyebut ide-ide filosofis di hadapannya sebagai "kebodohan filosofis" dan menganggap kebijaksanaan dan filosofinya sebagai langkah besar dalam mereformasi dan mempromosikan filsafat Islam.
Tentu saja, orang bijak yang bijaksana ini, terlepas dari sikapnya terhadap masa lalu, tidak memasuki lembah ekstremisme fanatik, dan setelah mengkritik sekolah-sekolah sebelum dia, baik Islam maupun Yunani, dia menggunakan beberapa elemen dan metode yang berguna. Karena itu, ia sama sekali tidak menolak filsafat Yunani dan bahkan menganggap beberapa unsurnya berasal dari kebijaksanaan para nabi. Terlepas dari kritiknya terhadap jalan pemikiran filosofis sebelumnya, Mir Damad telah berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain mengenalinya sebagai kritikus yang adil dan brilian.
Mir Damad percaya bahwa kebijaksanaan sejati adalah kebijaksanaan yang diturunkan kepada umat manusia oleh Pencipta manusia dan melalui para nabi. Filsuf besar ini menyebut judul aliran filsafatnya "Kebijaksanaan Yamani" dan menyatakan dalam tulisannya bahwa "Kebijaksanaan Yamani" adalah kebijaksanaan dan rasionalitas yang sama yang telah terbentuk sepanjang sejarah di dunia Islam. Yuman adalah alegori dari bagian kanan atau timur lembah dari mana Nabi Musa mendengar pesan Tuhan.
Dalam pengertian ini, timur adalah sumber cahaya ilahi dan titik yang berlawanan dengan barat. Dia percaya bahwa kebijaksanaan (filsafat) ini mencakup metode dan teori benar dan salah yang perlu dikritik dan ditambah untuk mendekati kebijaksanaan Yuman yang dibawa oleh para nabi. Mir Damad menganggap dirinya sebagai kritikus dan pembaharu yang sama yang mampu membebaskan kebijaksanaan Yamani dari kesalahan dan kesalahpahaman dan membawanya ke posisi yang layak. Setelah dia, muridnya yang bijak "Hakim Mullah Sadra" mampu mengambil langkah besar dalam menegakkan filsafat Islam dengan membangun kebijaksanaan transenden, sehingga setelah tiga ratus tahun, beberapa filsuf Barat terbesar, termasuk "Henry Corben" duduk mendengarkan pelajarannya.
Mir Damad jatuh sakit parah pada 1040 H ketika dia dalam perjalanan ke Karbala dan Najaf untuk mengunjungi para Imam Maksum as, dan meninggal di dekat Najaf ketika dia berusia tujuh puluh tahun. Tubuh sucinya dengan hormat dibawa ke Najaf Ashraf dan dimakamkan di ambang pintu kompleks suci makam Imam Ali (as). Dengan demikian, buku kehidupan seorang bijak terkemuka dan besar di dunia Islam ditutup dan daun emas dan bercahaya ditambahkan ke sejarah mulia ulama. Semoga arwahnya bersama para auliya Allah.



























