کمالوندی

کمالوندی

Tanya Jawab Fikih bersama Ustaz Abdullah Beik.

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya membagikan daging kurban kepada non-Muslim?

Jawaban : 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Dalam fikih Ahlulbait, kurban itu ada dua. Pertama kurban wajib, yaitu bagi orang yang melaksanakan ibadah haji tamattu’ pada tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya Iduladha, dia wajib berkurban. Pada kurban ini persyaratannya agak ketat, baik dalam pemilihan hewan kurbannya maupun ritualnya.

Yang kedua, kurban sunah, untuk orang yang tidak melakukan ibadah haji. Orang yang tidak melakukan ibadah haji pun disunahkan berkurban. Untuk yang kedua ini aturan pembagiannya lebih ringan. Bahkan disebutkan boleh dibagikan kepada fakir-miskin, sebagian boleh dibagikan kepada teman atau tetangga yang tidak miskin, selain itu juga boleh dimakan sendiri.

Karena itu untuk kurban yang sunah ini boleh saja dibagikan misalnya kepada non-Muslim sekalipun. Apalagi itu tetangga dekatnya, boleh itu diberikan lewat kurban yang sunah ini. Untuk kurban yang wajib saya rasa tidak boleh.

Bagaimana dengan daging kurban yang dibagikan dalam bentuk kornet (dalam kemasan kaleng), dan daging itu dibagikan bukan tepat pada hari raya kurban melainkan hari-hari selanjutnya?

Hal semacam itu tidak masalah. Mungkin dalam rangka agar bisa dimanfaatkan lebih banyak orang, diawetkan atau dimasukkan dalam kaleng seperti itu dan dibagikan ke tempat-tempat lain yang memang membutuhkan, walau waktunya berbeda, itu boleh saja. Yang wajib dan menjadi ukuran adalah penyembelihannya pada hari itu. Pembagiannya kalau bisa hari itu, kalau tidak bisa ya hari-hari berikutnya. Apalagi yang sunah. Maka sunah itu kan bisa sampai dua – tiga hari berikutnya menurut sebagian pandangan.

Itupun, ritual yang ditekankan oleh agama itu kan penyembelihannya, pada hari itu. Maka dari itu kita tidak bisa membeli daging untuk dibagi-bagikan (tanpa menyembelih). Karena penyembelihannya itu punya nilai syiar tersendiri. Tapi untuk membaginya, jika tidak bisa hari itu, tidak masalah.

Sabtu, 30 April 2016 07:17

Perihal Salat Istisqa’

Tanya Jawab fikih dengan Ustaz Abdullah Beik

Pertanyaan :

Salat Istisqa’ dalam mazhab Ahlulbait bagaimana penerapannya?

Jawaban :

Bismillahirrahmaanirrahim…

Salat Istisqa’ itu diawali dengan puasa. Puasa selama tiga hari lalu di hari ke tiga melaksanakan salat Istisqa’. Salat tersebut dianjurkan di lapangan terbuka. Kemudian setelah itu ada khotbah, sebagaimana salat Idulfitri. Salat dulu dua rakaat kemudian ada khotbah yang para jemaah dimohon banyak beristighfar, Intinya di situ.

Puasa itu pun dalam rangka untuk menumbuhkan semangat kembali kepada Tuhan, semangat beristighfar, dan semangat taubat kepada Tuhan.

Kenapa diskursus mengenai Syiah akhir-akhir ini makin menguak ke permukaan, meski sebenarnya Syiah sudah ada sejak awal mula sejarah Islam itu sendiri? Apakah ini murni soal ideologi dan sektarianisme atau berkaitan erat dengan kepentingan geopolitik?

Hal ini yang coba ditemukan jawabannya dalam Diskusi dan Peluncuran Jurnal Ma’arif dengan tema Syiah, Sektarianisme, dan Geopolitik di kantor pusat Muhammadiyah Jakarta, Rabu (17/2).

Hikmawan Saefullah, MA, pembicara dari Hubungan Internasional Universitas Pajajaran dalam paparannya menyebutkan bahwa isu Sunni-Syiah sebenarnya muncul lebih karena persoalan politik ketimbang persoalan ideologis. (Baca juga: Dr. Umar Shahab: Syiah Indonesia Moderat dan Pancasilais)

“Revolusi Islam Iran itu dulu berhasil karena ada cross alliance antara kelompok Syiah, Sunni dan Komunis. Inilah yang berhasil menumbangkan rezim Syah Pahlevi waktu itu. Ini membuat ketakutan monarki di Timteng, kalau oposisi bersatu mereka bisa jatuh,” terang Hikmawan.

“Karena itulah, strategi pihak monarki khususnya Saudi dan Bahrain memecah belah oposisi agar menghindarkan kolaborasi oposisi Sunni dan Syiah, dengan mempertajam perbedaan Sunni dan Syiah,” ujar Hikmawan.

“Jadi wacana ‘ancaman Syiah’ memang sengaja dibuat sebagai strategi kontra-revolusi yang sebenarnya merugikan kelompok oposisi,” tandasnya.

Pragmatisme Politik

Pembicara dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dicky Sofjan, Ph. D, juga menegaskan maraknya isu sektarian Sunni-Syiah akhir-akhir ini lebih karena masalah politik.

“Isu Sunni-Syiah ini tidak natural. Karena mestinya kalau dia itu nature, ia bersikap intrinsik, dan mestinya berlaku konstan sampai sekarang. Pertanyaannya adalah kenapa letupannya sekarang?” tanya Dicky.

Celakanya lagi, menurut Dicky politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini.

“Politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini. Banyak kelompok-kelompok yang kemudian mengkapitalisasi isu ini. Seperti kemarin beredar video tentang salah satu gubernur kita (Ahmad Heryawan/Aher) yang bicara dengan Syeikh dari Arab Saudi itu.”

“Dia mengatakan ada 3.000 orang Indonesia dikirim tiap tahun ke Iran. Ini jelas bukan sebuah fakta. Tapi kenapa seorang yang seterhormat beliau sebagai gubernur mau terlibat dan terseret dalam permainan-permainan primordial, ashabiyyah seperti ini?” kritik Dicky.

Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, Fajar Riza ul Haq, juga menegaskan bahwa isu-isu sektarian ini sangat kontraproduktif bagi kemajuan Islam.

“Kalau kita masih terkotak-kotak dalam persoalan seperti ini, sibuk di masalah sektarian, umat Islam akan kesulitan menghadapi masalah-masalah global dan peradaban. Bagaimana umat Islam menjawab tantangan kemiskinan, keterbelakangan, dan bagaimana Muslim Indonesia menjawab persoalan-persolan keumatan yang demikian membatasi kemajuan umat Islam?” tanya Fajar.

Fajar berharap isu-isu sektarian yang kontraproduktif dan memecah-belah persatuan ini bisa diminimalisir agar energi umat fokus pada kemajuan dan kebangkitan Islam. Perlu terus diadakan dialog-dialog yang mengklarifikasi fitnah dan menepis dusta antar umat Islam agar umat Islam bersatu dalam semangat ukhuwah islamiyah.

Sabtu, 30 April 2016 07:12

Islam Nusantara, Buah Proses Panjang

Dr. Zainul Milal Bizawie, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara menjelaskan bahwa Islam Nusantara yang ada sekarang ini bukanlah simsalabim terjadi. Tapi merupakan hasil dari proses panjang keberislaman orang Indonesia.

“Islam di Indonesia itu perjalanan panjang, proses panjang yang luar biasa sekali,” ujar Milal.

“Indonesia berdiri bukan atas nama ideologi apapun, bukan demokrasi, bukan Komunis, Ia berdiri sendiri, dengan kaki sendiri, dengan prosesnya yang khas karena rahmat Allah SWT,” lanjut Milal.

“Karena itu (corak) Islam di Nusantara menjadi berbeda dengan Islam yang lain, seperti yang ada di Timteng,” terang Milal.

Meski memiliki kekhasan tersendiri, berbeda dari Islam di Timteng, bukan berarti tak ada hubungan. Justru ada hubungan erat antara Islam Nusantara dengan Timteng sebagai tanah asal Islam.

“Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah tokoh internasional. Anak Mesir dan Palestina. Jadi ada kaitan erat Nusantara ini dengan Timteng. Begitu juga banyak ulama Timteng bersanad kepada ulama-ulama Nusantara. Ulama Nusantara yang menjadi Imam besar di Timteng juga ada,” tambahnya.

Milal juga menerangkan peran penting Islam Nusantara bagi dunia Islam Timteng, yaitu ketika kelompok Wahabi ingin menghancurkan makam Nabi Muhammad saw, Ulama-ulama Nusantaralah yang menjaga makam Nabi agar tidak dihancurkan.

“Harapan dunia sekarang ini adalah Islam yang ada di Indonesia. Kita juga harus hati-hati terhadap kelompok-kelompok yang ingin menjadikan negara ini terkena konflik seperti di Timteng,” pesan Milal.

Menyikat gigi merupakan salah satu aktivitas rutin manusia. Tapi sudahkah Anda mengetahui manfaat dari menyikat gigi? Ataukah Anda sudah paham bagaimana Nabi saw dan para Maksumin as menyikat gigi?

Artikel singkat ini hadir untuk sedikit mengulas hal itu.

Menyikat gigi  merupakan salah satu amalan yang dinasihatkan Nabi saw dan para Maksumin as. Bahkan Nabi saw bersabda seandainya menyikat gigi ini tidak menyusahkan umatnya, maka beliau akan mewajibkannya.

Menilik adanya penekanan tentang pentingnya menyikat gigi dalam hadis ini maka seyogyanya kita mengetahui lebih jauh tentang masalah itu.

Imam Ali as juga pernah menyampaikan bahwa menyikat gigi adalah sebab mendapatkan keridhaan Allah SWT, merupakan Sunah Nabi saw, dan membuat mulut kita menjadi harum dan bersih.

Bahkan ada yang sangat menarik dan mengundang perhatian penulis bahwa menyikat gigi adalah salah satu ciri insan. Bagaimana bisa??

Suatu ketika Imam Shadiq as ditanya,  “Apakah kamu melihat semua orang di sini sebagai manusia?” Imam as menjawab, “Kecuali orang yang tidak menggosok gigi.”[1]

Artinya, Imam Shadiq as melihat semua orang pada waktu itu sebagai manusia kecuali orang yang tidak menyikat gigi; mereka tidak termasuk sebagai manusia.

Hadis yang sangat menarik dari Imam Shadiq as kembali menguatkan bukti bahwa menyikat gigi itu amat penting.

Dalam buku Ghanjineh Adab-e Islami disebutkan 12 manfaat menyikat gigi;
1. Menjalankan Sunah Nabi saw.
2. Membersihkan mulut.
3. Mencerahkan cahaya mata.
4. Membuat Tuhan ridha terhadap kita.
5. Memutihkan gigi.
6. Menghilangkan plak-plak gigi.
7. Menguatkan gusi.
8. Membangkitkan selera makan.
9. Membersihkan dahak.
10. Menguatkan daya hapal.
11. Menggandakan pahala kebaikan dan
12.  Menyenangkan para malaikat.

Adapun adab (tata cara) menyikat gigi yang dicontohkan oleh para Imam Maksumin as yaitu;

1. Menjaga kebersihan sikat gigi.
2. Berkumur-kumur setelah menyikat gigi.
Imam Ali as selalu berkumur-kumur sebanyak tiga kali setelah menyikat gigi[2]
3. Menyikat gigi secara horizontal[3]
4. Jangan menyikat gigi di kamar mandi.
Imam Baqir as berkata, “Jangan menyikat gigi di kamar mandi karena itu merupakan sesuatu yang makruh dan merusak gigi.”[4]
5. Tiga kali sehari.
Imam Baqir as berkata, “Sikatlah gigi kalian sebanyak tiga kali dan minimalnya satu kali dalam sehari.”[5]
6. Berdoa setelah menyikat gigi.

Dengan pemaparan di atas, sepatutnya akan hilanglah alasan kenapa kita enggan menggosok gigi karena hal ini sudah jelas-jelas ditekankan oleh Islam.

Islam adalah salah satu agama yang mengajak para pemeluknya senantiasa menjaga kebersihan badan dan ruh, selain menganjurkan pentingnya perhatian pada aspek sosial.

Ketika kita tidak menggosok gigi maka mulut akan mengeluarkan bau tak sedap sehingga orang yang berada di sekitar menjadi terganggu. Hal inilah sebagian wujud pengabaian pada aspek sosial dari mereka yang tidak menggosok gigi.

Imam Shadiq as berkata, “Ketika kamu bangun malam untuk melaksanakan salat tahajud maka gosoklah gigimu. Karena malaikat mendatangimu dan mereka menaruh mulut mereka di mulutmu dan mereka membawa  munajat dan bacaan Alquranmu ke langit. Maka dari itu harumilah mulut mu.[6]

Dengan rajin menyikat gigi secara rutin dan sesuai tuntunan Nabi saw dan para Maksumin as, insya Allah kita akan mendapatkan manfaat-manfaat sebagaimana telah disebutkan di atas sekaligus terhindar dari perbuatan menggangu orang lain yang ada di sekitar kita. (Sutia/Yudhi)

[1] Ghanjineh Adab-e Islami, hal 248. Dikutip dari Bihar al-Anwar, jild 76.
[2] Ghanjineh Adab-e Islemi, hal 250, dikutip dari al-Mahasin Barqyy, hal 541
[3] Ibid, hal 251, dikutip dari Nahj al-Fashahah, hal 34
[4] Ibid, dikutip dari Makarim al-Akhlaq, hal 46
[5] Ibid, dikutip dari Bihar al-Anwar, Jild 2, hal 314
[6] Ibid. dikutip dari  Wasail Syiah, jild 1, hal 357

Ketapang adalah nama salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Terletak di bagian selatan Kalbar, Ketapang berjarak 562,3 km dari Kota Pontianak.

Terdapat tiga jalur yang dapat ditempuh untuk sampai ke salah satu pusat peradaban tua di Kalbar ini, yakni jalur air (sungai), udara dan darat.
Menggunakan jalur sungai, perjalanan ke Ketapang naik kapal cepat dari Pelabuhan Tua Senghie di Kota Pontianak dengan menyisir perairan Kalbar ini akan memakan waktu ± 6 jam. Sepanjang perjalanan akan kita lihat barisan tanaman bakau laksana benteng alami daratan menghadapi gelombang air yang mencegahnya dari abrasi.
  
Menuju Ketapang dengan kendaraan pribadi juga dapat dilakukan karena angkutan feri pun tersedia dengan waktu tempuh ± 12 jam perjalanan.

Jika memilih jalur udara, dari Bandar Udara Supadio menuju Bandar Udara Rahadi Osman Ketapang akan memakan waktu ± 40 menit. Lain halnya dengan jalur darat yang butuh waktu ± 13 jam untuk sampai ke Ketapang melewati Jalan Trans Kalimantan.

Hingga saat ini, belum seluruh jalan menuju Ketapang dalam kondisi baik. Sekitar 40 km perjalanan, akan Anda tempuh dengan kondisi jalan tidak laik –untuk tak mengatakannya rusak parah. Belum lagi di sepanjang jalur yang rusak ini kita akan berjumpa dengan 20-an miting –istilah yang digunakan untuk warga lokal yang “menambal” jalan yang rusak parah dengan kayu atau batang pohon agar bisa dilalui pengendara roda 2 dan roda 4. Pengendara yang melalui miting pun harus membayar dua sampai dengan lima ribu rupiah. Persediaan uang kontan dengan nominal tersebut “wajib” disiapkan demi “kelancaran” perjalanan.

Entah mengapa jalan rusak itu terkesan dibiarkan, padahal Ketapang merupakan salah satu pusat industri ekstraktif di Kalbar yang dengannya mengharuskan infrastruktur turut dibenahi sebagai pendukung distribusi hasil industri.

Ada dua industri ekstraktif primadona di Ketapang; bauksit dan sawit, sehingga tak mengherankan jika pemandangan yang kita saksikan di kiri-kanan jalan adalah areal perkebunan sawit, baik berupa bibit maupun pepohonan yang telah beberapa kali dipanen.

Terkait pertambangan bauksit, menurut riset yang dilakukan Swandiri Institute, jumlah unit tambang di Ketapang merupakan yang terbesar di Kalbar, mencapai 156 unit dengan luasan 1.331.231,50 ha. Koordinator Swandiri Institute, Hermawansyah menuturkan, Ketapang menjadi penyuplai bauksit terbesar ke China.

Terlepas dari itu semua, Ketapang menyimpan banyak kisah masa lalu, yang peninggalannya menjadi saksi perkembangan Bumi Tanjungpura.

Salah satu yang populer adalah situs Makam Keramat Tujuh yang berlokasi di Kelurahan Mulia Kerta, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang. Hanya lima menit perjalanan dari Istana Kerajaan Matan dengan kendaraan. Melihat komplek pemakaman ini, penat dan suntuk karena beratnya perjalanan pun bakal terobati.

Makam ini cukup populer di kalangan peziarah, baik lokal maupun mancanegara, terutama ketika Hari Raya Islam. Sayangnya, belum diketahui pasti sosok yang dikebumikan di situ, meski beberapa penelitian pernah dilakukan.

Makam Keramat Tujuh merupakan salah satu makam tua di Ketapang yang terbuat dari batu berukir kaligrafi Arab dan huruf Jawa pada kaki makam. Hal ini merupakan bukti akulturasi budaya Islam dan Hindu di Ketapang.

Tempat ini dinamakan Keramat Tujuh karena ketika pertama kali ditemukan hanya terdapat tujuh makam. Seiring waktu, Makam Keramat Tujuh menjadi kompleks pemakaman kerabat Kesultanan Matan yang mangkat.

Terdapat salah satu nisan di Makam Keramat Tujuh yang bertahun 1363 Saka atau 1441 Masehi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam sudah masuk ke Ketapang sebelum era itu. Ini juga menjadi bukti sejarah penyebaran Islam di Kalbar.

Banyak sekali kepercayaan masyarakat lokal terkait Makam Keramat Tujuh, hingga tak heran jika ada saja peziarah yang datang untuk mencari berkah dan sebagainya.

Selain Makam Keramat Tujuh, ada juga Makam Keramat Sembilan dan Makam Raja-raja Matan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Menziarahi jejak-jejak sejarah ini merupakan upaya mengkoneksikan diri kita yang hidup di era modern ini dengan peradaban masa lalu, setidaknya untuk mengenang dan mengetahui kisah mereka dalam memulai peradaban baru yang Islami di Nusantara.

Langit mendung musim semi di Iran, memacu semangat beraktivitas lebih dari biasanya. Berbeda dengan di Indonesia yang ketika mendung justru  menambah malas. Mungkin karena di Iran, khususnya kota Qum tempat saya belajar, lebih sering panas terik kalau bukan dingin menusuk. Jarang sekali ketemu cuaca mendung.

Mumpung lagi semangat, bersama beberapa teman kami pergi ke Masjid Jamkaran. Mungkin, bagi mereka yang sudah pernah berkunjung dan berziarah ke Iran, khususnya kota Qum, telah familiar dengan masjid yang dinisbatkan kepada Imam Mahdi afs ini.

Dua minggu sekali, setiap Selasa, kampus kami mengadakan acara ziarah ke masjid ini. Merasa sudah lama tak datang dan berziarah ke sana,  diajak kawan asal Pakistan saya pun bersiap berangkat.

Ke masjid Jamkaran dari kampus hanya butuh sepuluh menit perjalanan. Tapi dari Haram Sayidah Maksumah as dengan taksi, cukup 5 menit saja.

Sampai di sana, tak langsung masuk masjid, saya antar teman saya ke tempat wudhu. Sambil menunggunya, saya pandangi beberapa menara yang ada di sana. Sekejap, serasa sedang berada di masjid Nabawi. Mungkin karena menaranya dibuat mirip masjid Nabi, siapa pun yang datang kesini akan merasakan suasana kota suci Madinah.

Seperti biasa, banyak peziarah yang datang ke masjid Jamkaran. Terlintas di benak, kenapa kami datang dan berada di sini?

“Kalau sekadar untuk beribadah, bukankah kami bisa melakukannya di rumah saja, tak perlu datang ke sini?” bisik hati saya.

“Mungkin karena berbeda dengan tempat suci, rumah adalah tempat bercampurnya dosa dan pahala, kebaikan dan kejahatan. Sedangkan tempat seperti Jamkaran, di dalamnya selalu diagungkan nama-nama Tuhan. Tempat dilantunkannya ayat-ayat suci. Tempat orang menjerit dan menangisi dosa-dosanya, berharap belas kasih Tuhannya. Hal ini serupa ungkapan: membaca dan belajar bisa dimana saja, tapi perpustakaan dan sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar dan membaca,” jawab benak saya.

Setelah menyampaikan salam, mengambil tasbih dan beranjak masuk, tampak lampu-lampu hijau besar menggelantung seperti buah anggur di dahan, menambah pesona ruang dalam masjid ini. Banyak jemaah tengah sibuk dengan ritual ibadah masing-masing. Ada yang salat, bermunajat, membaca Alquran, dan berzikir. Memancarkan aura spiritual yang saya rasa berbeda dari biasanya.

Di masjid ini ada amalan-amalan khusus yang bisa dikerjakan. Di antaranya, salat Tahiyyatul Masjid dua rakaat dengan membaca satu kali Fatihah, 7 kali surah Tauhid, 7 kali bacaan rukuk, dan 7 kali bacaan sujud dalam setiap rakaat. Setelah itu barulah mengerjakan salat Imam Zaman, yang ketika sampai pada bacaan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dibaca 100 kali, lalu dilanjutkan sampai ayat terakhir. Kemudian membaca surah Tauhid 1 kali, 7 kali bacaan rukuk, dan 7 kali bacaan sujud dalam dua rakaat. Usai salat tinggal dilanjutkan tasbih az-Zahra dan 100 kali bacaan salawat.

Oh ya, sebenarnya masjid Jamkaran tak terlalu besar, tapi berandanya luas dan bisa menampung ribuan jemaah. Selain itu ada juga kubah biru mudanya yang menambah pesona.

Waktu salat Maghrib pun tiba. Ratusan orang ikut serta. Mengagumkan, sebab sangat jarang salat serupa dipenuhi jemaah seperti ini selain di haram Imam Ridha as.

Alhamdulillah, terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikan taufik kepada kami dapat berziarah dan salat di Masjid Jamkaran yang indah dan penuh aura spiritual ini.

Masyarakat sering bertanya tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita mati, dan bagaimana kita hidup untuk menyambut kematian?

Hal ini diungkapkan Ayatullah Khunsary dalam peringatan Haul Sayidah Fathimah as di Shabestan Imam Khomeini, Haram Sayidah Maksumah as, Qum, Sabtu (12/3).

Dijelaskannya juga bahwa semua pertanyaan ini akan mampu dijawab apabila kita melihat dan memahami kehidupan para Maksumin as.

“Kita tidak akan dapat hidup seperti mereka kalau kita tidak mempelajari dan memahami kehidupan para Maksumin as,” tegasnya.

Ayatullah Khunshary lalu memberikan contoh dasar menjalani hidup dari pertanyaan yang diajukan kepada Imam Shadiq as.

Suatu hari Imam Shadiq as ditanya salah seorang muridnya, “Wahai Imam, berdasarkan apa Anda melalui kehidupan ini?”

Imam Menjawab, “Aku menjalani kehidupan ini berdasarkan empat asas. Pertama, kalau ada pekerjaan yang ditugaskan kepadaku, aku sendiri yang akan mengerjakannya. Kedua, kalau kamu ingin mencari kebenaran maka datangilah Alquran dan yang mempunyai Alquran (Ahlulbait as). Ketiga, aku mengetahui bahwa orang lain tidak akan memakan rezekiku. Keempat, aku sampai pada hakikat keyakinan bahwa kematian sedang memburuku.”

“Seni dari Imam Shadiq as adalah beliau hidup sedemikian rupa sehingga tatkala kematian menjemput maka beliau berkata, selamat datang wahai kematian,” tutur Ayatullah Khunsary seraya mengajak para hadirin yang hadir agar juga mengambil suri teladan dari Sayidah Fathimah as dalam menjalani hidup.

“Ketika Sayidah Fathimah as sedang melaksanakan salat malam, Imam Hasan as mendengarkan doa-doa beliau. Pertama beliau berdoa untuk umat, tetangga, dan baru kemudian keluarga beliau,” kisahnya.

“Imam Hasan as pun bertanya kepada ibundanya, ‘Wahai Ibu, dari tadi aku mendengar engkau berdoa untuk orang lain, lalu kapan untuk keluarga dan dirimu sendiri?’”

“Sayidah Fathimah as menjawab, ‘Wahai anakku, orang lain terlebih dahulu, barulah kita.’”

“Inilah yang namanya hidup. Seperti yang Sayidah Fathimah as katakan, awalnya orang lain dulu dan setelah itu barulah kita,” tutup Ayatullah Khunsary.

“Urdu Sozandeghi Imam Musa Shadr adalah salah satu agenda kami yang bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa khidmat kepada mustadafhin adalah sesuatu yang dinasihatkan oleh agama dan para Imam as. Selain itu kami juga berharap bahwa agenda Urdu ini nantinya bisa diaplikasikan di negara-negara mereka sesuai kebutuhan,” ujar Mahdi Kumail, Ketua Panitia Urdu Sozandeghi Imam Musa Shadr, Khuzestan, Selatan Iran, Senin (21/3).

Selain itu ia mengungkapkan bahwa agenda ini adalah sebuah acara dakwah dengan cara bekerja dan berkhidmat kepada masyarakat sehingga mereka mengenal wajah asli Islam.

“Orang-orang di luar sana berpikiran negatif kepada kita kaum Muslimin. Mereka menyangka bahwa agama Islam adalah agama yang tidak mempunyai kasih-sayang dan tak mempunyai peradaban. Maka dari itu, kita ingin menunjukkan wajah asli dari Islam yakni mencintai dan saling membantu satu sama lain.”

Urdu Sozandeghi ini telah empat kali diselenggarakan sejak enam tahun yang lalu. Anggota perkumpulan ini berasal dari sekitar 20 negara.
Adapun program dari acara ini adalah membantu membangun sarana ibadah, rumah yatim, mengajar, berolahraga dan bermain bersama.

“Di pagi hari kita datang untuk membantu membangun masjid atau rumah yatim dan di sore hari kami menjalankan program kebudayaan. Salah satunya adalah mengajarkan fikih, Alquran, berolahraga dan bermain bersama, mengunjungi rumah kaum dhuafa dengan membawa bingkisan seperti Alquran, Mafatih al-Jinan, dan buku bacaan lainnya,” terang Mahdi.

“Kita berkeyakinan bahwa Islam adalah agama insani dan cinta. Nasihat dari para nabi, para Imam, dan para pembesar kita adalah mencintai dan membantu satu sama lain. Membantu dan mencintai bukan hanya antara kita sesama Muslim saja namun terhadap non-Muslim juga. Apabila hal ini dapat terealisasi, maka kampanye negatif yang sekarang dinisbatkan kepada Muslim, insya Allah perlahan akan musnah,” tambahnya.

Mahdi berasumsi bahwa mungkin saja saat ini wajah Islam yang ada di benak masyarakat adalah DAESH atau ISIS karena mereka mampu dengan cermat menyampaikan propaganda mereka. Padahal kita yakin bahwa mereka bukanlah wajah asli Islam. Wajah asli Islam adalah saling mencintai satu sama lain dan saling berkhidmat di antara sesama manusia.

Di akhir pembicaraan Mahdi pun mengajak kaum Muslimin di seluruh dunia untuk menyebarkan Islam dengan cinta dan khidmat.

“Mari kita beramal dan bukan hanya bicara. Karena dengan hanya bicara kadang masyarakat tidak puas. Saat kalian membantu orang lain maka hati mereka akan bersama kalian. Kalau kalian hanya berbicara maka mereka akan melihat kalian tak lebih sebagai penceramah saja dan setelah itu pergi. Namun ketika kalian membantu dan berkhidmat kepada mereka maka nama kalian akan bersemayam di hati mereka dan mereka akan menyiapkan diri mereka untuk mendengarkan apa-apa yang akan kalian sampaikan.”

Sabtu, 30 April 2016 07:02

Mengenal Ali Bin Abi Thalib

“Di sepanjang sejarah, tidak pernah kita saksikan seseorang–kecuali Ali bin Abi Thalib, yang lahir di dalam Kakbah dan syahid di mihrab ibadah,” jelas Ayatullah Sayid Ridha Akrami saat merayakan hari lahir Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib as di Sabeshtan Imam Khomeini, Haram Sayidah Maksumah, Qum (20/4).

Ia menjelaskan bahwa Kakbah terbelah ketika Fathimah binti Asad akan melahirkan Imam Ali as.

Waktu itu Fathimah binti Asad sedang beribadah di sekitar Kakbah dan merasakan bahwa dirinya akan melahirkan. Ia pun berdoa kepada Allah untuk memudahkan proses kelahirannya. Seketika Kakbah pun terbelah, Fathimah masuk ke dalam dan tinggal di sana selama 3 hari lalu keluar dari Kakbah dengan menggendong seorang bayi bernama Ali bin Abi Thalib.

“Kita juga harus belajar kesabaran dari Ali bin Abi Thalib as yang bersabar selama 25 tahun untuk menjaga persatuan Islam dan kaum Muslimin yang baru masuk Islam supaya tidak kembali menjadi musyrik lagi,” tuturnya.
Sayid Akrami dalam khotbahnya juga menyebutkan hadis tentang Imam Ali as.

“Mengingat Ali adalah ibadah dan apabila kita ingin mengenal Ali maka perhatikanlah hadis ini, yaitu Ali maal Quran wa Quran maa Ali (Ali bersama Alquran dan Alquran bersama Ali),” pungkasnya.