کمالوندی
Wakil Iran dan Menlu Perancis Bahas Masalah Perubahan Iklim
Wakil Presiden dan Kepala Badan Pelestarian Lingkungan Hidup Iran, Masoumeh Ebtekar menekankan pentingnya mencapai kesepakatan komprehensif dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP-21) di Paris.
Dia menyampaikan hal itu, Sabtu (12/12/2015) malam, dalam pembicaraan telepon dengan Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius, selaku ketua konferensi tersebut. Demikian dikutip IRNA.
“Kami berharap COP-21 mempertimbangkan kondisi di negara-negara seperti Iran, di mana mengalami banyak kerugian akibat perubahan iklim dan dampak-dampak yang ditinggalkan oleh perang di kawasan,” kata Ebtekar.
Menyinggung tentang perundingan yang panjang dan rumit dalam penyusunan draft kesepakatan untuk perubahan iklim, Ebtekar menyatakan harapan bahwa dokumen itu semaksimal mungkin mengakomodasi tuntutan negara-negara berkembang.
“Dokumen tersebut juga harus melindungi bumi dari peningkatan suhu lebih dari dua derajat Celsius, di mana memiliki dampak buruk bagi kelangsungan hidup di planet ini,” tegasnya.
Dia juga menekankan agar kesepakatan perubahan iklim bisa bersifat adil dan komprehensif. Ia menganggap partisipasi perwakilan dari mayoritas negara-negara dunia sebagai hal penting dan kemenangan signifikan bagi sistem multilateralisme terhadap unilateralisme.
Sementara itu, Laurent Fabius mengatakan bahwa Perancis selaku tuan rumah telah berusaha untuk mempertimbangkan keprihatinan negara-negara berkembang dan mendekatkan pandangan semua pihak sehingga tercipta kesepakatan.
Dia juga mengapresiasi dukungan dan partisipasi aktif delegasi Iran selama pertemuan tersebut.
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-21 (COP-21) di Paris, dimulai pada 30 November dan berakhir pada 12 Desember 2015.
Ayatullah Rafsanjani : Pernyataan Trump Rugikan AS
Ketua Dewan Penentu Kebijakan Negara Republik Islam Iran mengatakan, pernyataan Donald Trump, kandidat calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik akan merugikan para negarawan Amerika.
"Pernyataan Trump untuk tidak mengizinkan umat Islam masuk ke Amerika tidak logis dan tidak rasional," kata Ayatullah Akbar Hashemi Rafsanjani pada Minggu (13/12/2015) ketika mengecam statemen anti-Islam kandidat capres AS itu.
Ia menyinggung kehadiran umat Kristen di lebih dari 60 negara Islam dan kehidupan damai di antara para pemeluk agama.
Sayangnya, kata Ayatullah Rafsanjani, pernyataan kontroversial muncul dari prasangka dan kebodohan dalam Islam dan tampak di sejumlah kelompok ekstrem seperti Taliban, ISIS adan al-Qaeda.
Ketua Dewan Penentu Kebijakan Negara Iran lebih lanjut mengungkapkan penyesalan atas dampak negatif dari pemikiran ekstrem di kalangan pemuda.
Menurutnya, jauhnya orang-orang khususnya para pemuda dari ajaran Islam menjadi faktor yang menyebabkan mereka terjebak ke dalam berbagai penyimpangan.
Ayatullah Rafsanjani menuturkan, rasa hampa merupakan kondisi yang paling berbahaya yang muncul karena jauh dari moral dan ajaran ilahi dalam diri manusia. Jika di sebuah negara para pemuda dalam kondisi tersebut maka akan semakin dekat dengan kehancuran nilai-nilai masyarakat.
Sebelumnya, Donald Trump melontarkan pernyataan anti-Islam dengan mengusulkan kepada pemerintah AS untuk mencegah masuknya Muslim ke negara ini.
Iran Menyerukan Nigeria Hormati Tokoh Agama
Republik Islam Iran sangat menyayangkan bentrokan berdarah di Nigeria dan menekankan pentingnya menghormati syiar-syiar agama, tempat suci dan para tokoh agama.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Hossein Jaberi Ansari, menyatakan kesedihan atas bentrokan berdarah baru-baru ini yang pecah antara Muslim dan pasukan pemerintah Nigeria.
“Nigeria sebagai sebuah negara penting di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sekarang berurusan dengan masalah yang timbul dari ekstremisme dan terorisme Takfiri,” ujarnya pada hari Ahad (13/12/2015), seperti dikutip laman Farsnews.
“Kami berharap bahwa dalam kondisi sekarang, semua pihak dapat menjaga ketenangan dan solidaritas nasional untuk memerangi terorisme serta menghindari tindakan yang tidak konstruktif,” tegasnya.
Tentara Nigeria, kemarin menyerang rumah Syeikh Ibrahim al-Zakzaky, pemimpin Syiah negara itu, dan juga membunuh istri dan anaknya serta sejumlah pengikutnya.
Forum Internasional Petrokimia Iran Dibuka di Tehran
Forum internasional industri petrokimia Iran (IPF) ke-12 yang dihadiri oleh Wakil Pertama Presiden Iran, Menteri Perminyakan, Menteri Luar Negeri dan 97 perusahaan terkemuka dunia, dibuka secara resmi di Tehran.
IRIB News (13/12) melaporkan, dalam pertemuan dua hari itu, Eshaq Jahangiri, Wakil Pertama Presiden Iran, Menlu, Menteri Perminyakan dan Direktur Eksekutif perusahaan nasional petrokimia, Iran, menjelaskan kondisi baru Iran di bidang ekonomi dan politik, serta metode interaksi dengan investor asing di arena internasional.
Perusahaan-perusahaan dari 25 negara dunia termasuk Australia, Azerbaijan, Belgia, Kanada, Cina, Perancis, Inggris, Belanda, Rusia, Korea Selatan, Turki, India, Amerika Serikat dan Spanyol, turut hadir dalam Forum Internasional Petrokimia Iran ke-12 ini.
Peningkatan kualitas dan kuantitas perusahaan dunia yang ikut serta dalam forum kali ini dibandingkan dengan sebelumnya, menunjukkan keseriusan pihak asing untuk hadir di pasar Iran.
Seriuskah Mesir Selamatkan Rakyat Gaza?
Berbagai berita dari Mesir menunjukkan bahwa pemerintah Abdel Fattah el-Sisi menuai banyak kritikan dari berbagai partai termasuk kubu pro pemerintah. Kinerja el-Sisi yang mengamini langkah rezim Zionis Israel dalam memblokade Jalur Gaza tak urung membuat kubu di negara ini resah.
Dalam hal ini, kubu politik Mesir termasuk partai pendukung pemerintah menuntut upaya segera untuk membuka jalur penyeberangan Rafah dan menyelamatkan warga Palestina dari tragedi, khususnya yang mengancam warga Gaza. Sementara itu, tokoh Palestina di Gaza juga menyatakan bahwa di tahun 2015, jalur penyeberangan Rafah ditutup selama 321 hari dan kondisi ini sejak 2009 hingga kini belum pernah terjadi. Tentu saja hal ini membuat kondisi kemanusiaan dan sosial di Jalur Gaza semakin parah.
Rezim Zionis Israel melalui kebijakan arogan anti warga Palestina tak segan-segan menerapkan beragam strategi anti kemanusiaan terhadap warga tertindas ini, termasuk memblokade wilayah Palestina dan mengubahnya menjadi tahanan massal. Akibat eskalasi blokade Jalur Gaza yang diterapkan sejak 2007, ratusan warga Palestina kehilangan nyawa, sementara sejumlah besar lainnya, khususnya mereka yang sakit berada di ambang kematian. Hal ini menunjukkan berlanjutnya tragedi yang diciptakan Israel bagi warga Gaza. Di sisi lain, sikap Mesir yang mengamini langkah Israel memblokade Gaza secara praktis mengubah wilayah ini sebagai tahanan massal.
Pemerintah Mesir sejak berkuasanya Abdel Fattah el-Sisi, dengan kebijakannya menutup jalur penyeberangan Rafah dan merusak ratusan tunel di wilayah perbatasan dengan dalih keamanan, secara praktis menyempurnakan blokade Jalur Gaza. Disebutkan bahwa pasca penutupan Rafah, tunel Gaza merupakan satu-satunya sumber kehidupan warga Palestina dan jalur untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan dirusaknya tunel tersebut oleh Israel dan Mesir, Gaza di ambang tragedi kemanusiaan karena kelangkaan kebutuhan primer termasuk makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.
Langkah pemerintah Mesir yang menyertai Israel memblokade wilayah Paelstina terjadi di saat beberapa pekan lalu jumlah syuhada Palestina akibat eskalasi kekerasan Israel bertambah menjadi 120 orang. Selama itu, korban luka dan mereka yang ditangkap mencapai ribuan orang.
Kerjasama pemerintah Mesir dan Israel, khususnya pengetatan blokade Gaza dilakukan ketika warga Mesir berulang kali menggelar aksi demo selain mengutuk kebijakan Kairo mengamini langkah Tel Aviv memblokade Gaza, juga mendesak pembatalan perjanjian yang ditandatangani negaranya dengan rezim penjajah al-Quds.
Pergerakan anti Palestina oleh pemerintah Mesir yang bertentangan dengan keinginan rakyat negara ini muncul ketika masyarakat dunia menekankan solidaritas terhadap bangsa Palestina. Selama beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan global mendukung bangsa tertindas Palestina.
Dalam hal ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang kali mendesak Mesir dan Israel membuka seluruh jalur penyeberangan di Gaza dan mencabut pembatasan di jalur penyeberangan sesuai dengan resolusi 1860 Dewan Keamanan. Di resolusi yang dirilis tahun 2009 dan menyusul perang 22 hari Israel di Gaza oleh Dewan Keamanan ditekankan penghentian segera serangan Israel dan peningkatan upaya untuk merealisasikan gencatan senjata permanen serta jaminan bagi pembukaan permanen seluruh jalur penyeberangan.
Generasi Baru Intifada Al-Quds
Bersamaan dengan masuknya 78 zionis ekstrim ke halaman dan sekitar Masjid al-Aqsa dengan dukungan militer Israel pada hari Ahad, Ro'i Sheetrit, salah satu komandan tertinggi militer Israel mengakui ketidakmampuan rezim ini menumpas intifada al-Quds. Ia menandaskan bahwa generasi muda Palestina yang memimpin intifada baru al-Quds lebih berani dan tak mengenal takut di banding dengan generasi sebelumnya.
Komandan Brigade Ephraim ini seraya mengisyaratkan meluasnya intifada al-Quds, juga mengkonfirmasikan sidang di antara petinggi militer Israel dan dinas intelijen nasional (Shin Bet) serta unit penjaga perbatasan militer Israel dengan petinggi keamanan rezim ilegal Tel Aviv untuk mengendalikan intifada al-Quds.
Petinggi Israel ini seraya menjelaskan bahwa intifada al-Quds tidak mudah untuk dikendalikan menandaskan, kondisi keamanan tidak akan pulih seperti sebelumnya dan Israel akan terus dililit instabilitas keamanan. Intifada al-Quds yang meletus sejak awal Oktober tahun ini dipicu oleh aksi arogan pemukim Zionis radikal yang didukung militer Israel menyerbu al-Quds serta menistakan kesucian Masjid al-Aqsa. Meski Israel menerapkan strategi keras dan penumpasan terhadap warga Palestina, intifada ini tetap berlanjut dan malah semakin meluas.
Departemen Kesehatan Palestina mengumumkan jumlah syuhada sejak meletusnya intifada al-Quds hingga kini mencapai 121 orang dan jumlah syuhada tersebut selama dua bulan mengindikasikan betapa besar tekanan Israel terhadap bangsa Palestina. 22 syuhada adalah anak-anak usia 5-12 tahun yang meregang nyawa akibat terjangan peluru militer Israel.
Selain itu, sejak awal intifada, militer Israel melukai ribuan warga Palestina dengan tembakan dan gas air mata atau bom suara. Hasil dari 67 penjajahan Palestina adalah enam juta warga dipaksa mengungsi dan ratusan ribu gugur syahid atau terluka. Hingga kini tidak ada tanda-tanda penderitaan warga Palestina akan berakhir. Meski dunia di tahun 1991 melaui propaganda Amerika meyakini bahwa penderitaan bangsa Palestina akan berakhir dengan dimulainya perundingan bersejarah Arab-Israel serta perundingan damai Israel-Palestina, namun pelanggaran dan sabotase Tel Aviv membuat perundingan yang telah berjalan selama 20 tahun kembali ke titik nol dan kondisi Palestina semakin parah.
Generasi intifada al-Quds menyaksikan dengan mata kepala mereka blokade Jalur Gaza selama delapan tahun dan mereka merasakan pendudukan bangsa Palestina dan perluasan pembangunan distrik Zionis. Namun rezim Zionis selain menerapkan strategi blokade, penumpasan dan pembantaian, tidak mengenal metode lain serta memaksa dunia untuk melontarkan protes.
Sementara itu, Amerika Serikat baru-baru ini berbicara mengenai ketidakmampuannya membela Israel di ranah internasional dan Presiden Barack Obama secara transparan berbicara soal represi internasional serta keterkucilan Israel.
Sepertinya intifada al-Quds merupakan solusi tunggal rakyat Palestina untuk menyampaikan gugatan beberapa generasi Palestina kepada dunia.
Israel, Terorisme Negara
Menteri Perang Israel kembali menuding Iran sebagai ancaman keamanan kawasan Timur Tengah dan dunia. Selain itu, Moshe Ya'alon dalam statemen terbarunya menyebut Islam garis keras sebagai ancaman keamanan global. Menurut pejabat rezim Zionis ini, ideologi tersebut menciptakan gelombang baru teror yang bertujuan untuk menyerang Israel.
Ya'alon mengklaim para teroris didukung oleh gerakan perlawanan Islam Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, dan juga aktivitas kelompok ekstrem di kawasan dan dunia seperti ISIS maupun Alqaeda, dan Israel berada front depan dalam menghadapi terorisme.
Tujuan Ya'alon melemparkan tudingan teroris terhadap Muslim setidaknya memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk meningkatkan kampanye islamofobia di seluruh penjuru dunia, terutama di negara-negara Barat, sehingga perhatian publik dunia terfokus terhadap masalah tersebut dan Israel memiliki peluang lebih besar dari sebelumnya untuk menguasai wilayah Palestina.
Kedua, dengan mengklaim Israel berada di garda depan dalam pemberantasan terorisme, Ya'alon ingin menjustifikasi sebagian dari kejahatan rezim Zionis terhadap bangsa Palestina. Dengan cara tersebut, menteri perang Israel ini mengatakan bahwa perang saat ini adalah perang budaya. Di satu sisi, kebudayaan yang dimaksud Ya’alon adalah pembunuhan, penyiksaan, penyerangan terhadap warga Palestina tak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak. Di sisi lain, kebudayaan yang dimaksud Ya’alon adalah kebudayaan Barat yang mengklaim sebagai pengusung bendera HAM di dunia dengan standar gandanya.
Untuk melengkapi klaimnya itu, Ya’alon menyinggung kesepakatan nuklir antara Iran dan kelompok 5+1. Menurutnya, kesepakatan tersebut tidak akan mengurangi ancaman Iran terhadap dunia. Padahal, faktanya Israel justru menjadi pemilik tunggal senjata nuklir di kawasan Timur Tengah yang terbukti mengancam keamanan regional. Rezim Zionis menjadi ancaman besar bagi kawasan, bahkan dunia Barat sendiri. Tapi dengan berlindung kepada AS sebagai sekutu utamanya, rezim Zionis menyulut kekacauan di kawasan yang mendorong peningkatan ancaman terorisme.
Sejatinya, ekstremisme dan terorisme adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari wajah rezim Zionis. Israel sendiri adalah minefestasi dari terorisme negara. Kejahatan yang dilakukan kelompok teroris ISIS memiliki kesamaan dengan sepak terjang sadis Israel terhadap Palestina.
Statemen Moshe Ya'alon mengenai Israel sebagai penjaga demokrasi dan penumpas terorisme hanya isapan jempol belaka ketika faktanya Mossad adalah operator teroris dan ISIS sendiri bukan ancaman bagi Israel. Penyataan Ya’alon dilemparkan untuk menutupi kedok terorisme negara yang dijalankan Israel selama bertahun-tahun.
Membuka rekam jejak kelam rezim Zionis sejak pendiriannya hingga kini; seperti pembantaian kamp Sabra dan Shatila, pemboman Gaza yang menelan korban jiwa dari warga sipil Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan, serta penggunaan senjata pemusnah massal, penghancuran rumah, sekolah dan rumah sakit, dan blokade selama lebih dari tujuh tahun, menunjukkan sebagian dari deretan kejahatan dan aksi terorisme negara oleh Israel.
Iran Menentang Proyek Barat Memecah Belah Irak
Duta Besar Republik Islam Iran untuk Irak menegaskan sikap Tehran menentang proyek negara-negara Barat untuk memecah belah Irak.
Hassan Danaeifar, Dubes Iran di Baghdad dalam wawancara dengan surat kabar Irak, Al Sabah Al Jadid (14/12) menyoroti sikap Iran sebagai negara tetangga Irak dalam menghadapi konspirasi beberapa negara regional dan transregional untuk memecah belah Irak.
Ia menuturkan, "Rakyat Irak sebagai penentu nasib negaranya, harus waspada menghadapi konspirasi ini."
Danaeifar juga menyinggung penentangan pejabat pemerintah dan ulama besar Irak atas konspirasi memecah belah negara itu yang bersumber dari pemikiran Barat.
"Rakyat Irak tidak menerima proyek-proyek untuk membagi negaranya dalam bentuk apapun," ujarnya.
Dubes Iran di Irak menjelaskan tentang pembentukan komite bersama segiempat antara Iran, Rusia, Irak dan Suriah untuk bertukar informasi.
Ia menerangkan, "Mengingat tidak adanya keseriusan koalisi Barat dalam memerangi terorisme, tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat, komite segiempat ini akan berubah menjadi koalisi."
Terkait dukungan Iran atas reformasi yang dilakukan Haider Al Abadi, Perdana Menteri Irak, Danaeifar mengatakan, "Di tengah berlanjutnya krisis di negara ini, reformasi-reformasi saat ini akan menyebabkan kemajuan dan memulihkan situasi sulit Irak."
Menurut Dubes Iran di Baghdad, Iran menjalin hubungan baik dengan seluruh pihak di Irak, termasuk Syiah, Sunni, Arab maupun Kurdi.
"Dalam kerangka bantuan Iran atas Irak untuk memerangi terorisme, Tehran akan memenuhi kebutuhan militer Baghdad di bidang pelatihan, konsultasi dan bahkan mempersenjatai pasukan negara itu," pungkasnya.
Sebagian Pasukan Turki Ditarik dari Wilayah Irak
Satu unit pasukan Turki, Senin (14/12) ditarik dari wilayah-wilayah Utara Irak.
Reuters (14/12) melaporkan, sebuah sumber militer di Turki mengabarkan, rencananya pasukan Turki itu akan ditarik mundur dari sebuah markas militer dekat Mosul, pusat Provinsi Ninawa yang diduduki kelompok teroris Takfiri, ISIS dan bergerak ke arah ke Utara Irak.
Sumber itu mengatakan, keluarnya pasukan Turki dari Utara Irak dilakukan dalam kerangka program dan kebijakan baru.
Langkah tersebut dilakukan setelah pemerintah Irak mengumumkan akan meminta bantuan Dewan Keamanan PBB untuk mengusir pasukan Turki dari Utara Irak.
Puluhan tentara Turki, 4 Desember 2015 dengan dalih melatih pasukan Peshmerga Kurdi, memasuki wilayah Bashiqa, Mosul, Utara Irak.
Langkah itu menuai protes keras rakyat dan pemerintah Baghdad.
Kementerian Urusan Pengungsi Afghanistan Puji Iran dan Pakistan
Juru Bicara Kementerian urusan Pengungsi Afghanistan berterimaksih atas perlakuan baik Iran dan Pakistan terhadap para pengungsi dari negaranya.
Islamuddin Jorat, Jubir Kementerian urusan Pengungsi Afghanistan kepada IRNA (14/12) mengatakan, "27 negara Eropa yang menerima sekitar 800 ribu pengungsi mengaku terancam krisis, padahal Iran dan Pakistan selama bertahun-tahun menampung sekitar enam juta warga Afghanistan dan tidak pernah menghadapi masalah ini."
Ia menambahkan, "Afghanistan berharap negara-negara Eropa, memperlakukan para imigran berdasarkan konvensi internasional dan menjamin fasilitas serta memenuhi kebutuhan mereka."
Jubir Kementerian urusan Pengungsi Afghanistan menilai perang dan bentrokan, meningkatnya instabilitas, pengangguran dan tidak adanya masa depan yang jelas, merupakan sebagian alasan masyarakat terutama para pemuda Afghanistan mengungsi ke Eropa atau negara-negara lain.



























