کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 21 Desember 2021 15:57

Kenapa Kita Harus Memuliakan Anak Yatim?

 

Dalam satu wilayah, keberadaan anak-anak yang kehilangan ayahnya atau kedua orang tuanya adalah satu hal yang tidak bisa dihindari. Anak-anak ini menjadi perhatian penting bukan hanya agama Islam tapi seluruh agama ataupun bangsa sekalipun dan mereka yang menghormati, menyayangi dan memberikan simpatinya kepada anak-anak ini memiliki tempat istimewa di hadapan masyarakat.

Islam memandang bahwa memperhatikan urusan materi dan non materi serta kebahagian dan keamanan yatim merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Banyak riwayat yang berkaitan denganya dan ayat2 al Quran pun mesejajarkan perbuatan baik terhadap anak yatim dengan perbuatan baik terhadap orang tua, kerabat dekat serta orang miskin dan menjadikannya tugas yang penting bagi orang-orang beriman.

Rasulullah saw. yang sudah menjadi yatim saat lahir kedunia merupakan ayah bagi para yatim piatu semasa hidupnya, begitu pula Imam Ali as. yang sebagian besar umurnya dihabiskan bersama Rasulullah saw.

Mereka selalu menampakkan kasih sayang yang luar biasa terhadap para yatim dan memperilakukannya dengan istimewa, sehingga para sahabat yang melihatnya berharap menjadi anak yatim karena ingin mendapat ksih sayang dan perlakuan yang istimewa dari Rasulullah saw. ataupun Imam Ali as.

Rasul pun memerintahkan kita untuk menjadi ayah bagi para yatim dengan sabdanya : “Jadilah seperti ayah yang penyayang bagi para yatim, dan ketahuilah apa yang kamu tanam itulah yg akan kamu petik.”

Yaitu kebaikanmu pada anak yatim balasannya adalah kebaikan yang lebih besar kelak di akherat yang telah Allah swt. siapkan.

Dan sabdanya : “Barang siapa yang mengurus anak yatim dan menjamin nafkah dan urusan materinya, maka aku dan dia kelak akan bersama disurga seperti dua jari ini (isyarat).”

Anak yatim memiliki hak khusus dari kita dimana hal ini menjadi landasan dan parameter setiap individu yang memenuhi haknya dalam meniti jalan kesempurnaan. Mereka yang mendzolimi hak anak yatim disebut sebagai pendusta agama. Berlaku buruk terhadap mereka, memakan harta yg dititipkan untuk mereka diibaratkan dengan memakan api pada hakikatnya dan hal ini sangat dilarang keras oleh Islam, mereka yang melakukannya dijamin dengan balasan api neraka. Begitu gamblangnya risalah Islam dalam menasihati kita agar kita jangan sampai menyakiti anak yatim. Disebutkan bahwa tangisan anak yatim yg kita dzolimi, sesungguhnya hal itu menyebabkan bergoncangnya Arsy. Seperti sabda Nabi saw : “Ketika seorang anak yatim menangis, maka Arsy akan bergetar karena tangisannya”

Sesungguhnya kita memiliki teladan yaitu Rasululloh saw., keluarga dan Sahabat2nya yang mulia bagaimana mereka memperlakukan dan mnunjukkan kasih sayangnya pada anak yatim. Itulah yang perlu kita contoh dalam kehidupan kita.

Sebagaimana terdapat di dalam hadits bahwa “salah satu amal yg paling utama adalah memberikan kebahagiaan pada hati setiap mukmin.” maka membahagiakan hati anak yatim sungguh termasuk keutamaan yg besar di sisi Tuhan.

Mudah2an kita mampu membahagiakan anak2 yatim dengan apa yang kita miliki…

Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang dinamakan ‘pintu kebahagiaan’, tidak akan memasukinya kecuali mereka yang memuliakan dan membahagiakan anak-anak yatim.”

Selasa, 21 Desember 2021 15:55

Pelajaran Kemuliaan Hidup dari Imam Husein

 

Pada tanggal 3 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah kebahagiaan terpancar dari rumah keluarga Rasulullah Saw. Asma membawa bayi yang terbungkus kain putih dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakan azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian  bayi itu ditidurkan di pangkuannya. Ketika itu, Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw, dan berkata, "Allah swt menyampaikan salam bagimu dan berfirman, 'Kedudukan Ali disampingmu seperti Harun bagi Musa, maka namailah anak ini dengan nama putra Harun yaitu 'Syabir', yang dalam bahasa Arab  berarti 'Husein'." Maka Rasulullah saw menamainya dengan Husein. 

Imam Husein dibesarkan di lingkungan keluarga suci. Para pendidik beliau adalah orang-orang yang paling mulia moralnya dan paling menjulang kemanusiaannya. Imam Husein dibesarkan di tengah orang-orang yang mengemban tugas membimbing dan memimpin umat manusia. Beliau tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang dipenuhi dengan kesempurnaan dan keutamaan akhlak. Beliau selama beberapa tahun mendapat didikan langsung dari Rasulullah Saw. Selain itu, kedua orang tuanya, yaitu Imam Ali dan Sayidah Fatimah merupakan dua manusia agung hasil didikan langsung Nabi Muhammad Saw. Pembinaan Rasulullah Saw, kasih sayang dan keadilan Ali, serta keutamaan Fatimah membentuk keindahan dan kesempurnaan Husein.

Suatu hari, Rasulullah terlihat keluar dari rumahnya, saat itu Hasan berdiri di salah satu bahu beliau, dan Husein berdiri di bahu lainnya. Rasulullah mencium mereka berdua. Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, Anda mencintai kedua anak ini?" Beliau bersabda, "Barang siapa yang mencintai keduanya, ia mencintaiku dan barang siapa yang memusuhinya, maka ia memusuhiku". Abu Hurairah berkata, "Aku melihat dengan mata sendiri langkah Husein kecil di atas kaki Rasulullah. Beliau memegang kedua tangan Husein dan mengangkatnya. Anak itu diangkat hingga melangkah di dada Rasulullah. Ketika itu beliau mencium anak itu seraya berdoa, "Ya Allah, Cintailah ia, sebagaimana aku mencintainya".

Imam Shadiq menyebut Imam Husein sebagai manifestasi Nafs al-Mutmainah, jiwa yang tenang, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Perkataan dan sikap Imam Husein menunjukan bahwa dalam hidupnya senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyebarkan agama Tuhan. Husein senantiasa menegakkan jalan Rasulullah Saw dan para Nabi sebelumnya. Tampaknya, inilah maksud dari ziarah warits yang disampaikan kepada beliau, pada saat kita membaca, "Assalamu Alaika ya Waritsa Adama shifwatillah, Assalamu Alaika Ya waritsa Nuhi Nabiyillah... Assalamu Alaika ya Waritsa Muhammad Rasulillah. Salam atasmu wahai pewaris Adam as, Salam atasmu wahai pewaris nuh... salam atasmu wahai pewaris Rasulullah…

Perjuangan Husein bin Ali melawan kezaliman telah menjadi contoh dari figur manusia pembela nilai-nilai luhur meskipun harus ditebus dengan nyawanya sendiri. Aktivitas Bani Umayyah membuat ajaran akhlak Rasulullah di tengah umat Islam mulai pudar. Kerusakan moral di tengah masyarakat semakin tinggi dan semakin transparannya kezaliman penguasa lalim. Ketika itu Imam Husein berkata, "Wahai umat manusia, hiduplah kalian dengan nilai-nilai moral yang luhur dan berlomba-lombalah kalian untuk memperoleh bekal kebahagiaan. Jika kalian berbuat baik kepada orang lain, meski ia tak membalas kebaikanmu, janganlah khawatir. Sebab Allah swt akan memberimu ganjaran yang terbaik. Ketahuilah, kebutuhan masyarakat kepada kalian merupakan karunia ilahi. Maka, jangan kalian lewatkan karunia itu supaya kalian bisa terhindar dari azab ilahi."

Imam Husein terkenal sebagai sosok manusia yang amat pengasih dan pemaaf. Lembaran sejarah Islam menjelaskan suatu ketika seorang dari Syam bernama Isham datang ke kota Madinah. Setibanya di sana, ia melihat seorang pribadi yang terlihat amat berbeda dengan khalayak lainnya. Ia pun bertanya kepada orang-orang, siapakah gerangan sosok istimewa yang dilihatnya itu. Mereka menjawab, ia adalah Husein bin Ali. Isham yang saat itu terpengaruh oleh fitnah dan propaganda Bani Umayyah segera pergi mendekati beliau dan mencercanya dengan segala hinaan dan makian.

Menanggapi perilaku Isham, Imam Husein tidak marah, sebaliknya beliau justru menatapnya dengan penuh keramahan dan kasih sayang. Sejenak kemudian, beliau pun membacakan ayat suci al-Quran mengenai sikap maaf dan mengabaikan kekhilafan orang lain, lalu berkata, "Wahai lelaki, aku siap melayani dan membantu apapun yang engkau perlukan". Kemudian Imam Husein bertanya, "Apakah engkau berasal dari Syam?" Lelaki itupun menjawabnya, "Iya". Imam lantas berkata, "Aku tahu mengapa engkau bersikap demikian. Tapi kini engkau sekarang berada di kota kami dan terasing di sini. Jika engkau memerlukan sesuatu, aku siap membantu dan menyambutmu di rumahku".

Melihat sikap Imam Husein yang di luar dugaan dan begitu ramah itu, Isham pun heran dan terkesima. Ia pun berkata, "Di saat itu, aku berharap bumi terbelah dan aku tergelincir di dalamnya daripada bersikap begitu keras kepala dan ceroboh semacam itu. Bayangkah saja, hingga saat itu aku masih menyimpan kebencian yang sangat mendalam terhadap Husein dan ayahnya. Namun sikap penuh welas asih Husein bin Ali membuat diriku malu dan menyesal. Dan kini tak ada siapapun yang lebih aku cintai kecuali dia dan ayahnya".

Selain itu, salah satu karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Imam Husein adalah pandangannya mengenai dunia. Menurut Imam Husein, manusia tidak boleh menggantungkan diri kepada keindahan dunia yang bersifat semu. Imam Husein berkata: "Apa yang disinari oleh matahari di atas bumi ini, mulai dari timur hingga barat, dari laut hingga padang pasir, dari gunung hingga lembah, semua itu di mata seorang wali Allah adalah ibarat sebuah bayangan yang cepat berlalu dan tidak layak dicintai. Wahai manusia! Janganlah menjual diri kalian kepada dunia yang fana ini. Sadarlah bahwa tidak ada yang berharga bagi kalian selain surga dan barang siapa yang mencintai dunia dan puas atasnya, maka ia telah puas terhadap sesuatu yang hina."

Rekan setia di penghujung acara, kami segenap kru Radio Melayu Suara Republik Islam Iran menyampaikan selamat atas kelahiran Imam Husein. Imam Husein berkata, "Ayahku Imam Ali pernah mengatakan barang siapa yang berpuasa di bulan Syaban demi mendekatkan diri kepada Allah dan kecintaan kepada Rasulullah Saw,… maka surga wajib baginya"

 

Sejak kecil kita sering diajarkan doa Nabi Musa as dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي – وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي – وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي – يَفْقَهُوا قَوْلِي

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhan-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS.Thaha:25-28)

Doa yang sangat indah, khususnya disaat kita harus berbicara dan menghadapi sesuatu. Namun ada satu pertanyaan, tahukah kita apa arti lapang dada? Apakah kita selama ini berdoa tanpa tau maksud dari doa kita sendiri?

Pada awalnya, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun, Raja yang terkenal sangat kejam. Tapi anehnya, Nabi Musa tidak meminta bekal senjata, pasukan ataupun bantuan disaat itu. Beliau hanya berdoa dan meminta agar Allah Melapangkan dadanya, Mempermudah urusannya dan Melancarkan bicaranya.

Dari semua doa itu, yang pertama diminta adalah lapang dada. Karena ini adalah bekal yang paling penting untuk memikul tanggung jawab dan menghadapi segala rintangan. Khususnya ketika menyampaikan kebenaran.

Lapang dada adalah perpaduan antara ikhlas, sabar dan tawakal. Apapun yang terjadi tidak akan membuat hatinya sempit dan menyesal.

Jika kita perhatikan, Nabi Musa meminta kepada Allah untuk dilapangkan dadanya. Sementara Baginda Nabi Muhammad saw telah diberi kelapangan dada sebelum beliau meminta. Itulah kemuliaan Rasulullah diatas nabi-nabi yang lain.

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah Kami telah Melapangkan dadamu (Muhammad)?” (QS.as-Syarh:1)

Karena itu, kehidupan Rasulullah saw selalu dipenuhi kesabaran ketika dihadapkan dengan berbagai rintangan dan masalah. Bahkan dengan lapang dada Rasulullah saw mendoakan umat yang memusuhi dan memerangi beliau,

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka belum mengetahui”

 

Gambaran lapang dada yang dimiliki Rasulullah juga terlihat ketika Fathu Mekah. Disaat Rasulullah telah menguasai mekah, beliau berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi bahkan berusaha membunuh beliau selama bertahun-tahun.

Namun beliau tidak membalas perbuatan keji mereka, dengan lapang dada Rasulullah saw melepaskan dan membebaskan musuh-musuhnya. Beliau bersabda,

“Pergilah, sungguh kalian adalah orang-orang yang dibebaskan !”

 

Kemudian beliau membaca ayat yang dibaca oleh Nabi Yusuf as ketika memaafkan saudara-saudaranya,

قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Dia (Yusuf ) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah Mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS.Yusuf:92)

Semoga kita mendapatkan taufik untuk memiliki hati yang lapang dalam menghadapi segala masalah dalam hidup.

Selasa, 21 Desember 2021 15:51

Konsep insan kamil menurut Islam

 

Rumi mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan memiliki tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengembangkan bunga melati. Ia dalam pembicaraan Rumi adalah sosok insan kamil atau manusia sempurna yang telah menca

Rumi mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan memiliki tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengembangkan bunga melati.

Ia dalam pembicaraan Rumi adalah sosok insan kamil atau manusia sempurna yang telah mencapai derajat yang paling tinggi dari kemanusiaan dan kesempurnaan dirinya dari seluruh makhluk dan mengatasi makhluk lainnya. Ia adalah insan kamil.

Pembicaraan mengenai insan kamil adalah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam pembicaaraan tentang ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf dan filsafat Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah irfan adalah sisi batin dari manusia.

Ada dua karya besar yang berbicara mengenai insan kamil. Pertama, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1366-1430 M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.

Dalam dunia tasawuf, eksistensi selain Allah adalah eksistensi yang relatif atau nisbi. Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt adalah pancaran dari diri Allah Swt. Disebutkan juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau segala yang berkaitan yang diciptakan oleh Allah Swt, tidak lain adalah menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la mahbuban illallah dan la maqshudan illallah.

Allah mengambarkan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya seperti dikatakan dalam ayat, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, (QS 41:53)

Mengapa Allah mengatakan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya? Bukanlah hal ini adalah riil-Nya. Namun, ia hanyalah dapat mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain adalah Allah Azza wa Jalla.

Karena itu, dalam keyakinan para arif dan sufi, apa yang muncul dari alam ini adalah wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah isyarat saja. Bahkan diri dan eksistensi kita bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain itu. Dari sinilah pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.

Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama, orang hanya dapat mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap insan kamil. Yang sebelumnya mungkin manusia mengenai Allah melalui bentuk dari tanda-tanda-Nya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang diisyaratkan-Nya. Hal ini disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.

Para sufi pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan mengatakan bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin, bagaimana mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda akan memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin? Anda harus membuka jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang sesungguhnya. Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari akal ini dan membuka pintu hati Anda. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as, ”Bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan?” Imam Ali berkata, ”Bagaimana mungkin aku menyembah Dia sementara aku belum menyaksikan-Nya?”

Dalam hal ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan kita ditentukan oleh kedekatan kita dalam mengenal-Nya.

Yang kedua adalah kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Ke mana kita akan berjalan atau kita memiliki tujuan dalam perjalanan hidup kita? Tujuan yang paling mendasar dari hidup kita adalah Allah Swt. Bagaimana kita mampu berjalan menuju Allah?

Posisi insan kamil ini adalah orang-orang yang sudah melakukan proses perjalanan itu sehingga ia mampu mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, ”Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.” Jalan siapa itu? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri kenikmatan dan mereka tidak berada dalam kesesatan.

Poin penting ketiga adalah kita mampu melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi para rasul dan kekasih Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka salah? Dikarenakan pandangan mereka (orang awam) selama ini adalah pandangan dalam bentuk fisiknya.

Berdasarkan tiga poin ini maka pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting. Pertama, adalah hakikat penciptaan manusia; kedua, tentang khalifah dan hakikat insan kamil; dan ketiga, ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil dalam perjalanan menuju Allah Swt.

Hakikat Penciptaaan Manusia

Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, ”Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.”

Allah mengisyaratkan tentang diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam ketunggalan-Nya, karena kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat manusia yang selalu bercermin terhadap dirinya disebabkan manusia mencintai dirinya atau sebagai dorongan cinta terhadap dirinya dan beragam pengetahuaan manusia tentang dirinya itu muncul. Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan keberagaman hal. Allah Swt ketika memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan tentang diri-Nya, baru dari pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka Allah mengatakan, ”Maka Aku ciptakan beragam ciptaaan”, baru fase atau proses ketiga muncul.

Setiap kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu, beragam nama di sini, setiap nama ini memanifestasikannya ke alam semesta. Setiap alam ini menunjukkan gambaran atau manifestasi nama Allah Swt.

Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi

    “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,

    pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.

    Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah

    padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.

    Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tumbuh,

    betapa pekebun itu akan menanam pohon.

    Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah

    (Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”

    (al-Mastnawi 4:30)

Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”

Pembahasan tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan “Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit.” Dengan mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.

Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 53)

Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan ma’rifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”

Maulawi Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.”

Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia ?

Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, “Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar.”Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :

“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”

Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.

Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.

Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan.

Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”

Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.”

Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.

Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.”

Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam, karena alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.

Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat, debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya.

Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?

Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.

Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.

“…Setiap individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.”

Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?

Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.

Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.

Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap.

Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.

Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :

“Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.”

Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.

Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia.

Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :

“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, “aku bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.”

Selasa, 21 Desember 2021 15:50

Kumail bin Ziyad dalam Kaca Mata Riwayat

 

Sumber :

Buku : Syarah Doa Kumail

Karya : Ayatullah Husein Ansariyan

Haj Mirza Hasyim Khorasani, dalam kitab Muntakhab Attawarikh, mengatakan bahwa orang-orang yang hidup pada masa Ali bin Abi Thalib (as) terbagi menjadi tiga golongan : hawariyun, teman, dan sahabat khusus beliau (as). Hawariyun terdiri dari empat orang, yaitu ‘Amru bin Hamaq Khaza’i, Maitsam Tamar, Muhammad bin Abu Bakar dan Uwais Qarani. Sedangkan sahabat khusus Imam Ali (as), terdiri dari banyak orang yang salah satu diantaranya adalah Kumail bin Ziyad. Kemudian Haj Mirza Hasyim Khorasani melanjutkan : “Kumail merupakan seorang tabi’in ternama yang pada tahun 83 H, di usianya yang ke 90 dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf”.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan pendapat dalam menentukan para pengikut ahlul bait, akan tetapi  Ahlusunnah dalam hal  ini mengakui keabsahan Kumail bin Ziyad. Sebagaimana Ibnu Abi-l Hadid yang termasuk ulama besar Mu’tazilah, mengenai sosok Kumail bin Ziyad menyebutkan : “Ia adalah pengikut pilihan Ali”.

Dzahabi juga menuliskan : “Kumail adalah seorang lelaki mulia, pemimpin kaumnya dan pengikut Ali”.

Ibnu Katsir Damasyqi berkata : “Ia adalah orang yang tangguh dan pemberani, orang yang zuhud serta ahli ibadah”.

Dinukil dari buku syarah doa kumail, karya Ayatullah Husein Ansariyan.

Selasa, 21 Desember 2021 15:47

Kasih Sayang, Poros Agama Tuhan

 

Islam adalah agama kasih sayang dan rahmat bagi semesta alam. Allah Swt dalam al-Quran memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi sekalian alam. Menurut perspektif Islam, kasih sayang memainkan peran dominan dalam mengatur masyarakat

Islam adalah agama kasih sayang dan rahmat bagi semesta alam. Allah Swt dalam al-Quran memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi sekalian alam. Menurut perspektif Islam, kasih sayang memainkan peran dominan dalam mengatur masyarakat ideal. Imam Ali as menilai Islam sebagai agama yang membangun pilar-pilarnya atas landasan cinta kepada Tuhan. Dalam khutbah 198 Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata, "Islam adalah agama yang dipilih oleh Allah Swt untuk dirinya dan pilar-pilarnya dibangun atas pondasi cinta."
 

Cinta yang bersumber dari lubuk hati merupakan sebuah kekuatan besar yang merekatkan umat manusia dan mengumpulkan mereka pada satu poros. Oleh karena itu, kitab suci al-Quran dan hadis dipenuhi oleh pesan-pesan cinta dan kasih sayang. Sebagai contoh, Tuhan dalam surat Ali Imran ayat 76 berfirman, "? Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." Dalam ayat 134 surat yang sama, Allah Swt berfirman, "Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." Sementara pada ayat yang lain disebutkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, "Agama adalah cinta dan cinta adalah agama."
 

Salah satu bentuk cinta yang paling utama adalah mencintai Allah Swt. Islam memberikan berbagai kiat dan amalan untuk menanamkan dan memperkuat rasa cinta kepada Sang Pencipta. Ibadah wajib dan sunnah serta doa dan munajat merupakan faktor efektif untuk memperkuat kasih sayang dan cinta kepada Allah Swt. Manusia yang secara alamiah menghargai keutamaan, keindahan, dan kesempurnaan niscaya ia akan mencintai Allah Swt. Dalam surat Ali Imran ayat 31, Allah Swt berfirman, "Katakanlah! Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengikuti Nabi Muhammad Saw merupakan bukti kecintaan seseorang kepada Allah Swt. Kecintaan ini akan dijawab oleh Tuhan dengan menjadikan manusia sebagai sosok yang dicintai oleh-Nya dan diampuni dosa-dosanya. Cinta ini lebih tinggi derajatnya dari semua jenis cinta dan juga sumber bagi semua cinta. Rasul Saw bersabda, "Kecintaan seorang mukmin kepada sesama termasuk dari tanda-tanda utama iman. Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, maka ia termasuk dari orang-orang pilihan Tuhan."

Hawa nafsu dan naluri kebinatangan dalam diri manusia memainkan peran besar dalam menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang dan masyarakat. Manusia perlu mengendalikannya dengan memanfaatkan kekuatan akal dan cinta. Akal dengan sendirinya tentu saja tidak dapat membendung gejolak hawa nafsu yang menyeret manusia ke lembah kehinaan. Oleh sebab itu, ajaran Islam menjadikan cinta kepada Allah Swt sebagai instrumen untuk mengontrol hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan duniawi.
 

Kecintaan dan keimanan hakiki kepada Allah Swt akan membentuk sebuah bendungan raksasa untuk melawan dorongan hawa nafsu dan sifat-sifat tercela dalam diri manusia. Para pecinta sejati akan tenggelam dalam keagungan dan keindahan Tuhan, seakan-akan ia telah menyatu dengannya dan tidak ada dzat lain di hatinya. Nabi Yusuf as dengan ketampanan yang luar biasa telah menjadi pusat perhatian para wanita bangsawan Mesir. Namun, dengan kecintaan dan keimanan hakiki, ia mampu melawan semua godaan mereka dan bahkan ia lebih memilih penjara daripada istana yang megah demi menjaga kesuciannya.
 

Naluri cinta diri sendiri juga termasuk modal penting yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Naluri ini merupakan salah satu landasan penting untuk pendidikan agama di tengah masyarakat. Tentu saja, kecintaan yang berlebihan terhadap diri sendiri akan melahirkan sikap sombong dan egoisme. Begitu juga dengan cinta kepada anak. Hal ini merupakan sesuatu yang baik, tapi yang lebih penting adalah cara mencintai; bagaimana dan seberapa kadarnya. Di sini, semuanya bergantung pada keahlian orang tua untuk memainkan perannya. Kasih sayang yang berlebihan tentu saja tidak benar. Orang tua tidak boleh menunjukkan kasih sayangnya kepada anak tanpa alasan yang jelas, dan begitu juga tidak boleh menghukuminya karena perkara-perkara kecil. Menunjukkan kasih sayang yang tidak pada tempatnya juga tidak benar, begitu pula dengan janji yang tidak pernah ditepati.
 

Orang tua mampu menciptakan perubahan dalam fisik dan jiwa anak. Mereka juga bisa membangun karakter sang anak. Pendidikan merupakan proses yang tidak pernah berhenti dan orang tua dituntut untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi pribadi yang baik. Orang tua dapat menjauhkan anaknya dari segala keburukan, kemunafikan, dan sifat buruk lainnya dan menggantikannya dengan cinta, kesenangan, kebaikan, dan sifat baik lainnya. Mereka punya peran penting dalam pembentukan kepribadian anak dalam segala kondisi.
 

Dalam pandangan Islam, mengajarkan pengertian-pengertian agama kepada anak-anak merupakan masalah yang penting. Berdasarkan bimbingan Nabi Saw dan Ahlul Bait as, pengajaran pengertian-pengertian agama telah dimulai sejak bayi lahir dan pendidikan di masa kanak-kanak menjadi dasar bagi pendidikan di masa depan. Imam Ali as menyebut alasan terpenting dimulainya pendidikan di masa kanak-kanak dikarenakan hati dan jiwa mereka masih suci dan polos. Hal itu dikarenakan hati mereka belum terpolusi oleh dosa dan keburukan. Imam Ali as berkeyakinan bahwa dalam hati anak-anak yang masih suci ini dengan mudah menanam benih iman dan kejujuran, begitu juga benih kekufuran, kebohongan dan riya.
 

Kecintaan kepada ayah dan ibu juga memiliki pengaruh penting dalam perkembangan moral dan spiritual manusia. Agama mengajarkan manusia untuk menghormati kedua orang tua dan taat kepada mereka. Berbakti kepada ayah dan ibu akan mendatangkan banyak kebaikan dalam kehidupan dunia dan akhirat.  Rasulullah Saw bersabda, "Jika seseorang melewati malam sampai pagi dalam keadaan diridhai oleh ayah dan ibunya, maka Allah akan membukakan dua pintu surga baginya. Namun jika ia melewatkan malam sementara ia mendapat keridhaan dari satu di antara ayah dan ibunya, maka Allah akan membukakan baginya satu pintu surga."
 

Anak dituntut untuk mencintai kedua orang tuanya dengan setulus hati dan menunjukkan cinta itu kepada mereka. Allah Swt sangat mengagungkan kedudukan orang tua dan memerintahkan anak supaya merendah di hadapan mereka, berbuat baik kepada mereka dan membuat mereka ridha kepadanya. Di dalam al-Quran surat al-Isra ayat 24, Allah Swt berfirman, "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ?Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." Nabi Isa as tatkala hendak mengenalkan dirinya, juga menyinggung tentang pentingnya ketaatan kepada sang ibu. Hal itu diabadikan oleh Allah Swt dalam surat Maryam ayat 32.
 

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw menghubungkan antara keridhaan dan kemurkaan Allah Swt dengan keridhaan dan kemurkaan kedua orang tua. Beliau bersabda, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua. Dan kemarahan Allah ada pada kemarahan orang tua." Begitulah Allah Swt dan Rasul-Nya memberikan kedudukan yang sangat istimewa terhadap orang tua sehingga berbuat baik kepada keduanya merupakan suatu kewajiban dan kemuliaan. Sedangkan durhaka kepada keduanya adalah sebuah kemaksiatan dan dosa besar yang sangat hina.

Rasulullah Saw bersabda, "Memberi sedekah pada tempatnya, berbuat baik kepada orang tua, dan silaturahmi akan mengubah kesengsaraan menjadi kebahagiaan, memanjangkan umur, dan mencegah kematian yang buruk."

Selasa, 21 Desember 2021 15:46

Nabi Muhammad SAW, Manusia Sempurna. sesi 1

 

Bangsa Quraisy

Bangsa Quraisy dipandang sebagai salah satu bangsa yang dihormati dan disegani di antara bangsa-bangsa yang ada di semenanjung Arabia. Quraisy sendiri terbagi ke dalam berbagai suku. Bani Hasyim adalah salah satu suku terhormat di antara suku-suku yang ada. Qushai bin Kilab adalah nenek moyang mereka yang bertugas sebagai penjaga Ka'bah.

Di tengah warga Makkah, Hasyim dikenal sebagai orang yang mulia, bijaksana, dan terhormat. Ia banyak membantu mereka, memulai perniagaan pada musim dingin dan musim panas supaya mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Atas jasa-jasanya, warga kota memberinya julukan "sayid" (tuan). Julukan ini secara turun-temurun disandang oleh anak keturunan Hasyim.

Setelah Hasyim, kepemimpinan bangsa Quraisy dipercayakan kepada anaknya yang bernama Muthalib, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib adalah seorang yang berwibawa. Pada masanya, Abrahah Al-Habasyi menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka'bah, namun berkat pertolongan Allah SWT, Abrahah dan pasukan gajahnya mengalami kekalahan. Tahun penyerbuan itu kemudian dikenal dengan nama Tahun Gajah. Dan sejak peristiwa itu, nama Abdul Muthalib pun semakin terpandang di kalangan kabilah Arab.

Abdul Muthalib mempunyai beberapa anak. Di antara mereka, Abdullah-lah anak yang paling saleh dan paling dicintainya. Pada usia 24 tahun, Abdullah menikah dengan perempuan mulia bernama Aminah.

Dua bulan setelah Tahun Gajah, Aminah melahirkan seorang anak. Ia memberinya nama Muhammad. Sebelum kelahiran Muhammad, ayahnya Abdullah meninggal dunia. Tak lama setelah melahirkan, sang ibu pun menyusul suaminya kembali ke alam baka. Maka, sejak awal kelahirannya, Muhammad sudah menjalani hidupnya sebagai anak yatim.

Setelah ditinggalkan oleh kedua orang tua yang dicintainya, Muhammad diasuh oleh sang kakek, Abdul Muthalib. Berkat anugerah dan rahmat dari Allah SWT, Muhammad tumbuh menjadi dewasa dengan kesucian jiwa yang terpelihara.

Warga kota Makkah begitu mencintainya, bahkan merelakan barang-barang mereka berada di bawah pengawasan Muhammad. Atas kejujuran dan sifat amanah yang ditunjukkannya, mereka memberinya gelar "Al-Amin", yakni orang yang tepercaya.

Dengan bekal iman yang teguh, Muhammad membantu orang-orang fakir, membela orang-orang yang tertindas, membagikan makanan kepada mereka yang lapar, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, dan berusaha memberikan jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Ketika beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" (Hilful Fudhul), segera Muhammad pun bergabung bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan tujuan-tujuannya.

Pada suatu waktu, Abu Thalib, paman Muhammad, menasehatinya untuk ikut berniaga dengan kafilah dagang Khadijah, seorang wanita Makkah yang kaya dan terhormat. Kemudian, Muhammad pun ditunjuk untuk memimpin kafilah dagang tersebut.

Selama bergabung dalam kafilah dagangnya, Khadijah menyaksikan dari dekat kejujuran, keteguhan, dan keutamaan perilaku Muhammad. Tak segan lagi Khadijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran itu. Dan tak lama kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan.

Dari perhikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Fatimah, yang dari keturunannya lahirlah manusia-manusia suci.
Hajar Aswad (Batu Hitam)

Sepuluh tahun setelah pernikahan itu, banjir besar melanda kota Makkah yang merusak sebagian besar bangunan Ka'bah. Warga kota bermaksud untuk memperbaikinya.

Untuk mencegah perseturuan yang bakal terjadi, perbaikan itu dilakukan oleh berbagai suku yang ada di kota secara gotong royong. Namun, tatkala perbaikan telah selesai, tibalah saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad. Ketika itu, masing-masing bangsa mengaku paling berhak untuk meletakkan batu itu.

Perang hampir saja terjadi. Tiba-tiba Muhammad muncul memberi sebuah usulan, dengan menanggalkan jubahnya dan meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengahnya, lalu setiap kepala suku memegang tepi jubah itu, lantas membawanya bersama-sama ke tempat asalnya.
Wahyu Pertama

Menginjak usia 40 tahun, Muhammad diangkat sebagai nabi. Suatu hari, ketika beliau sedang melakukan ibadah di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril as membawa wahyu dari Allah dan menyapanya, "Iqra! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Mahamulia. Dialah yang mengajarkan ilmu dengan pena. Dialah yang telah mengajarkan kepada manusia akan segala yang tidak diketahuinya."

Sejak itu, Muhammad terpilih untuk mengemban risalah Allah sebagai Rasulullah saw di tengah umat manusia di seluruh dunia.

Di awal-awal kenabian, Rasulullah saw berdakwah secara rahasia. Pada saat itu, hanya beberapa orang saja yang mau menerima Islam. Orang pertama yang mengakui Muhammad sebagai Rasulullah saw ialah istri beliau, Khadijah, kemudian disusul oleh sepupunya, Ali bin Abi Thalib.

Tiga tahun lamanya Islam terus menyebar di kalangan rakyat miskin kota Makkah. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, mengajak manusia menyembah Tuhan Yang Esa dan memulai perang suci melawan para penyembah berhala.

Tugas dakwah merupakan tugas yang penuh resiko dan bahaya. Sebab, para pemimpin kabilah telah sekian lama larut dalam kenikmatan berupa kedudukan dan menjadikan orang-orang sebagai budaknya.

Mereka khawatir bahwa dakwah Rasulullah saw akan merongrong kekuasaan mereka. Selain itu, tugas dakwah akan menjumpai kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya, karena berhala-berhala itu telah lama dijadikan sesembahan oleh mereka.

Rasulullah saw tidak mengenal toleransi. Ia memilih untuk memikul tugas ini untuk mengesakan Tuhan dan menegakkan undang-undang Tauhid di muka bumi.

Masyarakat yang sebelumnya menghormati dan santun terhadap Nabi saw, kini berbalik membenci dan memusuhi dakwah beliau dengan harta. Namun usaha mereka gagal.

Kemudian, permusuhan mereka berlanjut dengan menyiksa dan menjarah harta-harta milik Nabi saw. Namun, usaha mereka ini pun tidak berhasil untuk menahan laju dakwah suci beliau.

Kaum kafir Makkah tidak pernah lelah untuk mengubah pendirian Rasulullah saw. Mereka meningkatkan permusuhannya dan mengusir beliau beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya keluar dari Makkah, lalu mengurungnya di ladang Abu Thalib hingga sebagian mereka yang bersama Rasul di dalamnya mati kelaparan.

Mereka bahkan memperketat pengurungan ladang itu sehingga makanan dan minuman tidak dapat ditemui oleh Nabi beserta pengikutnya yang setia. Beberapa penduduk yang ikut Nabi mempertaruhkan hidupnya untuk menyelundupkan makanan dari kota di kegelapan malam.

Waktu berlalu begitu cepat. Kaum kafir menyerah pada tekad dan kegigihan yang ditunjukkan oleh kaum muslimin. Mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw.

Untuk itu, mereka memilih pemuda-pemuda terkuat dari kalangan keluarga dan suku mereka dengan memberikan upah yang tinggi kepada siapa yang berhasil membunuh beliau. Mereka menetapkan untuk menyergap kediaman Nabi saw pada malam hari.
Hijrah ke Madinah

Rencana keji itu diketahui oleh Rasulullah saw melalui wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril as. Beliau memilih sepupunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di atas ranjang beliau dengan mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan beliau.

Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah di kegelapan malam. Kaum musyrikin telah berkumpul untuk membunuh Nabi saw. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mendapati Ali di atas ranjang Rasul saw. Mereka segera mengejar beliau. Namun pengejaran itu gagal. Mereka pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Nabi saw tiba di Quba, sebuah tempat di dekat kota Madinah. Penduduk desa menyambut kedatangan beliau. Dengan suka cita beliau berencana membangun tempat salat dan menyusun tugas-tugas dakwah.

Pembangunan masjid Quba berjalan lancar. Nabi saw turun tangan langsung dalam menyelesaikan pembangunannya. Sesudah itu, beliau melakukan salat Jumat dan berdiri sebagai khatib. Inilah salat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh beliau.

Rasulullah saw menetap di Quba untuk beberapa saat sambil menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Di sana pula beliau menantikan kedatangan Ali yang ditinggalkannya di kota Makkah untuk menunaikan titipan dan amanat kepada pemiliknya masing-masing. Hingga akhirnya Ali pun datang ke Quba bersama kaum wanita keluarga Bani Hasyim.

Rasulullah saw memasuki kota Yatsrib, dan sejak saat itu pula nama kota itu berubah menjadi Madinatur-Rasul atau Madinah Al-Munawarah. Penduduk kota menyambut beliau dan sebagian kaum Muhajirin yang menyertainya dengan begitu hangat dan meriah. Setiap penduduk berlomba meminta beliau untuk duduk di rumah mereka. Kepada mereka semua, beliau berkata, "Berilah jalan kepada untaku ini. Aku akan menjadi tamu orang yang di depan pintunya unta ini berhenti."

Si unta berjalan dan melintasi jalan-jalan kota Madinah, hingga ia menghentikan langkahnya dan bersila di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di rumah itulah Rasulullah saw dijamu.

Sesampainya di Madinah, pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw ialah pembangunan masjid sebagai pusat dakwah dan pengajaran. Nabi juga segera menyerukan perdamaian serta persaudaraan antara dua bangsa; Aus dan Khazraj, yang telah berperang selama bertahun-tahun akibat hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah.

Dalam rangka mengikis habis akar-akar pembeda antara kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan mereka satu persatu, sehingga kaum Muhajirin tidak menjadi beban kaum Anshar di kemudian hari dan mereka dapat hidup bersama dengan rukun dan damai.

Orang-orang Yahudi Madinah memandang persaudaraan itu dengan penih kedengkian. Mereka selalu berusaha menyulut semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sementara Rasulullah saw memadamkan api pertikaian, mereka malah giat mengobarkannya.

Selasa, 21 Desember 2021 15:39

Abdullah bin Saba: Antara Mitos dan Fakta

 

Abdullah bin Saba didaulat sebagai tokoh pendiri madzhab syi'ah yang menurut sebagian buku seperti Tarikh Milal wa Nihal madzhab syiah didirikan olehnya pada masa khalifah Utsman bin Affan.[1] Namun demikian, klaim ini tentunya bisa kita pertanyakan dan tinjau kembali sejauh mana kebenarannya. Karena sebagaimana yang akan dibahas nanti bahwa sumber primer yang dijadikan rujukan dalam menukil tokoh ini berasal dari satu sumber. Dan sumber inipun oleh beberapa sejarawan serta muhaditsin tidak diterima keabsahannya.

Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang mesti diajukan, apakah Abdullah bin Saba merupakah tokoh nyata dalam sejarah islam ataukah sekedar tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencoba meninjau kembali kebenaran tokoh Abdullah bin Saba tersebut.

Sekilas Tentang Abdullah bin Saba dan Pemikirannya

 Lebih dari seribu tahun lamanya para sejarawan (lama maupun kontemporer)  dalam kitabnya telah mencatat riwayat-riwayat mencengangkan mengenai Abdullah bin Saba dan Sabaiyun (pengikut Abdullah bin Saba). Lantas siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba? Bagaimanakah pemikirannya serta apa yang telah dilakukannya?

Dibawah ini beberapa riwayat ringkas dari para sejarawan mengenai Abdullah bin Saba:

Seorang Yahudi dari  Shan'a di Yaman yang pada zaman khalifah ketiga pura-pura masuk Islam dan secara sembunyi-sembunyi membuat sebuah gerakan untuk memecah belah ummat Islam. Ia melakukan berbagai perjalanan ke kota-kota  besar islam seperti Kufah, Basrah, Damsyik, dan Mesir sambil menyebarkan suatu kepercayaan akan kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagaimana akan kembalinya Nabi Isa As. Dan sebagaimana para nabi sebelumnya memiliki washi (pengganti), Ali adalah washi dari Nabi Muhammad SAW. Dia penutup para washi sebagaimana Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, dan menuduh Utsman dengan zalim telah merampas hak washi ini darinya, serta mengajak masyarakat untuk bangkit mengembalikan kedudukan washi tersebut pada yang berhak.2

 Sejarahwan menyebut tokoh utama dari cerita tersebut di atas adalah Abdullah bin Saba dengan laqab "Ibn Ummat Sauda" –Anaknya budak hitam- mereka mengatakan Abdullah bin Saba mengirimkan para muballighnya ke berbagai kota dan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar memerintahkan pada mereka untuk melumpuhkan para pemimpin di kota-kota tersebut. Kaum muslimin pun banyak yang mengikutinya dan membantu mensukseskan rencananya.

Mereka mengatakan Sabaiyun (sebutan untuk para pengikut Abdullah bin Saba) dimana saja berada dalam rangka memuluskan rencananya, mereka memprovokasi serta menghasut masyarakat untuk melawan pemerintah dan menulis surat kritikan terhadap pemerintah, tidak hanya itu,  surat inipun dikirimkan ke berbagai daerah lain. Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok sabaiyun ini akhirnya membuahkan hasil yaitu dengan berdatangannya sebagian dari kaum muslimin ke madinah untuk memblokade serta mengepung rumah khalifah ketiga (Ustman bin Affan) dan berakhir pada terbunuhnya khalifah di tangan mereka. Yang kesemuanya ini berada dibawah kepemimpinan kelompok sabaiyun.

Setelah kaum muslimin menyatakan bai'atnya pada Ali , Aisyah (ummul mukminin) beserta Talhah dan Zubair untuk menuntut terbunuhnya Utsman bergerak menuju Bashrah. Di luar kota Bashrah antara Ali dengan Talhah dan Zubair sebagai pemimpin pasukan Aisyah dalam perang Jamal melakukan perundingan. Hal ini diketahui oleh kelompok Sabaiyun bagi mereka jika perundingan dan kesepahaman ini sampai terjadi penyebab asli dari terbunuhnya khalifah ketiga yang tiada lain adalah mereka sendiri akan berdampak negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, malam hari mereka memutuskan untuk menggunakan cara apapun yang bisa dilakukan agar perang tetap terjadi. Akhirnya mereka menyusup masuk pada kedua kelompok yang berbeda. Pada malam hari ditengah kedua pasukan dalam kondisi tertidur dan penuh harap agar perang tidak terjadi, kelompok sabaiyun yang berada di pasukan Ali melakukan penyerangan dengan memanah pasukan Talhah dan Zubair, dan sebaliknya akhirnya perangpun antara kedua belah pihak tidak bisa terhindarkan lagi.3

 

 

Sumber Riwayat Abdullah bin Saba

 

Untuk lebih mengetahui siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba, alangkah baiknya jika kita melihat sebagian pendapat para sejarawan dalam menceritakan sosok Abdullah bin Saba dan sumber yang digunakannya, yang pada akhirnya kita akan bermuara pada sumber asli penukilan dari cerita Abdullah bin Saba tersebut.

 

1. Sayyid Rasyid Ridha

Sayyid Rasyid Ridho dalam bukunya (Syi’ah wa Sunni, hal. 4-6) mengatakan bahwa pengikut syiah memulai perpecahan antara dien dan politik di tengah ummat Muhammad Saw, dan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar syiah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang berpura-pura masuk Islam, dia mengajak masyarakat untuk membesar-besarkan Ali, sehingga terciptalah perpecahan dikalangan ummat, dan telah merusak dien dan dunia mereka.

Cerita ini pun terus berlanjut sampai halaman enam kemudian dia mengatakan apabila seseorang ingin mengetahui  peristiwa perang Jamal, lihatlah kitab Tarikh Ibnu Atsir, Jilid 3, hal.95-103, maka akan ditemukan sejauhmana peran Sabaiyun dalam memecah belah ummat, dan secara mahir memainkan perannya serta tidak mengizinkan terjadinya perdamaian diantara keduanya (kelompok Ali dan Aisyah).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Rasyid Ridlo mengutip cerita ini dari kitab Tarikh Ibnu Atsir.

 

2. Ibnu Atsir (w. 732 H)

Ibnu Atsir (w. 630 H.Q) menuliskan secara sempurna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar tahun 30-36 H tanpa menyebutkan  sumber-suber yang dijadikan rujukannya, namun dalam prakata bukunya Tarikh al-Kamil ia mengatakan "Saya telah mendapatkan riwayat-riwayat ini dari kitab Tarikhul Umam wa Al-Muluk yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Thabari.

 

 

3. Ibnu Katsir (w. 747 H)

Ibnu Katsir (w.774 H.Q) dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah wa Al-Nihayah meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba dengan menukil dari Thabari dan pada halaman 167  dia mengatakan:

"Saif bin Umar mengatakan: sebab dari penyerangan terhadap Utsman adalah karena seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba yang mengaku islam dan dia pergi menuju Mesir kemudian membentuk para muballig dan ..." Kemudian cerita Abdullah bin Saba dengan seluruh karakteristiknya terus berlanjut sampai halaman 246 kemudian dia mengatakan :

"Demikianlah ringkasan yang dinukil oleh Abu Ja'far Thabari"

 

4. Ibnu Khaldun

Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun dalam bukunya yang berjudul Al-Mubtada' wa Al-Khabar sebagaimana Ibnu Atsir dan Ibnu katsir dalam menceritikan Abdullah bin saba telah mengutip dari Thabari. Dia setelah menukil peristiwa perang jamal (jilid 2, hal 425) mengatakan:

"Demikianlah peristiwa perang jamal yang diambil secara ringkas dari kitabnya Abu Ja'far Thabari..."

 

5. Thabari (w. 310 H)

Tarikh Thabari adalah kitab sejarah yang paling lama yang menjelaskan cerita Abdulah bin Saba disertai dengan para perawi dari cerita tersebut. Semua kitab sejarah yang ada setelahnya dalam menjelaskan cerita Abdulah bin Saba menukil dari Tarikh Thabari. Oleh karenanya kita harus melihat dari manakah dia menukil cerita tersebut serta bagaimanakah sanadnya?

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Thabari Amuli (w. 310 H) cerita sabaiyun dalam kitabnya Tarikh Al-Imam wa Al-Muluk hanya menukil dari Saif bin Umar Tamimi Kufi. Ia merujuk hanya sebagian dari peristiwa-peristiwa itu, sebagai berikut :

Pada tahun yang sama (yakni 30 H) peristiwa mengenai Abu Dzar dan Muawiyah, dan pengiriman Abu Dzar oleh muawiyah dari Syam ke Madinah. Banyak hal yang dikatakan tentang peristiwa itu, tetapi saya tidak mau menuliskannya, sebagaimana Sari bin Yahya telah menuliskannya buat saya demikian:

"Syu'aib bin Ibrahim telah meriwayatkan dari Saif bin Umar:"...Karena Ibnu Sauda sampai ke Syam (Damsyik) dia bertemu dengan Abu Dzar dan berkata: Wahai Abu Dzar! Apakah kamu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Muawiyah?.. Kemudian Thabari cerita Ibnu Saba hanya menukilnya dari Saif dan dia mengakhiri penjelasannya mengenai keadaan Abu Dzar dengan mengatakan :"Orang-orang lain telah berbicara banyak riwayat pembuangan Abu Dzar, tetapi saya segan menceritakannya kembali"

 Mengenai peristiwa-peristiwa dalam tahun-tahun 30-36 H, Thabari mencatat riwayat bin Saba dan kaum sabaiyah, pembunuhan Utsman serta peperangan jamal dari Saif. Dan Saif adalah satu-satunya orang yang dapat dikutipnya.

 

Thabari meriwayatkan kisahnya dari Saif melalui dua orang:

 

1. 'Ubaidillah bin Sa'id  Zuhri dari pamannya Ya'qub bin Ibrahim dari Saif.

Dari jalur-jalur ini riwayat-riwayat tersebut dia mendengar dari 'Ubaidillah dan menggunakan lafadz "Haddatsani atau Haddatsana" yaitu diceritakan kepada saya atau diceritakan kepada kami.

 

2. Sari bin Yahya dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Thabari dalam jalur sanad ini hadits-hadits Saif  diambil dari dua bukunya yang berjudul Al-Futuh dan Al-Jamal, dengan dimulai oleh kata Kataba ilayya (ia menulis kepada saya), Haddatsani (ia meriwayatkan kepada saya) dan Fi Kitabihi Ilayya (dalam suratnya kepada saya)4

Dengan demikian dari beberapa sumber di atas sebagai sumber rujukan dalam menceritakan Abdullah bin Saba semuanya pada akhirnya merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Thabari dalam buku masyhurnya Tarikh Thabari. Namun demikian,  ada juga beberapa sejarahwan lain yang meriwayatkan Abdullah bin Saba dan kaum Sabaiyun tidak mengutip dari Thabari, tetapi langsung mengutipnya dari Saif, mereka adalah :

 

1. Ibnu 'Asakir (w. 571 H)

Ibnu 'Asakir mencatat dari sumber lain. Dalam bukunya Tarikh Madinah Damsyik , ketika ia menulis tentang biografi Thalhah dan Abdulah bin Saba, dia telah mengutip bagian-bagaian dari cerita-cerita tentang kaum Sabaiyah melalui Abul Qasim Samarqandi dan Abul Husain Naqqur dari Abu Thaher Mukhallas dari Abu Bakar bin Saif dari Sari dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Jadi sumbernya adalah Sari, salah satu dari dua jalur yang telah dikutif Thabari.

 

2. Ibnu Abi Bakr (w. 741 H)

Bukunya At-Tamhid telah dijadikan sumber dan dinukil oleh beberapa penulis. Buku itu meriwayatkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Dalam bukunya itu disebutkan buku Al-Futuh karangan Saif.5

 

3. Dzahabi

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Islam meriwayatkan sebagaian riwayat mengenai Abdullah bin Saba. Ia memulai dengan menukil dua riwayat dari Saif  yang sebelumnya oleh Thabari tidak dinukil. Dia mengatakan:

"Berkata Saif bin Umar bahwa Athiyyah mengatakan, bahwa Yazid Al-Faq'asi mengatakan ketika Abdullah bin Saba pergi ke Mesir..."6

Dari beberapa sumber riwayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar sejarahwan pasca Thabari dalam meriwayatkan sejarah mengenai Abdullah bin Saba semuanya bersumber dari buku Tarikh Thabari. Sementara hanya sebagian kecil saja dari sejarahwan yang langsung menukil riwayat mengenai Abdulah bin Saba dan Kaum Sabaiyah ini dari Saif yaitu, Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Bakr dan Dzahabi. Dengan kata lain seluruh riwayat mengenai Abdullah bin Saba ini pada akhirnya bermuara pada Saif bin Umar yang kemudian dari dialah Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abu Bakr dan Dzahabi mengutip.

Lantas siapakah  sebenarnya Saif bin Umar, kemudian bagaimanakah dia dan riwayat-riwayat yang dikeluarkan olehnya di mata para muhaditsin. Dengan mengetahui jawaban ini kita bisa mengukur sejauh mana validitas riwayat-riwayat yang dikeluarkannya termasuk dalam hal ini riwayat mengenai Abdullah bin Saba.

 

Siapakah Saif bin Umar?

 

Menurut Thabari, namanya yang lengkap adalah Saif bin umar Tamimi Al-Usaidi. Menurut Al-Lubab Jamharat Al-Ansab dan Al-Isytiqaq, namanya Amr bin Tamimi. Karena ia keturunan Amr maka ia telah mengkontribusikan lebih banyak lagi tentang perbuatan-perbuatan heroik Bani Amr ketimbang yang lain-lainnya.

Namanya disebut sebagai usady, sebagai ganti Osayyad, dalam Al-Fihrist oleh Ibn Nadim. Dalam Tahdzib Al-Tahdzib, ia juga disebut Burjumi, Sa'adi atau Dhabi. Disebutkan pula bahwa Saif berasal dari Kufah dan tinggal di Baghdad, meninggal pada tahun 170 H pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ( 170-193 H).

 

Saif bin Umar Tamimi menulis dua buah buku yang berjudul:

1.  Al-Futuh Al-Kabir wa Al-Riddah, isinya menjelaskan tentang sejarah dari sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw hingga pada masa Utsman menjadi khalifah.

2. Al-Jamal wa Al-Masiri 'Aisyah wa Ali, mengenai sejarah sejak terbunuhnya Utsman sampai peristiwa peperangan jamal.

          Kedua buku ini lebih banyak menceritakan tentang fiksi ketimbang kebenaran. Sebagian dari cerita-ceritanya adalah cerita palsu yang dibuat olehnya. Kemudian kedua buku ini pun menjadi sumber rujukan para sejarawan seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Atsir, Dzahabi dan Ibnu Hajar ketika mereka hendak menulis dan menjelaskan perihal para sahabat Nabi Saw.

Allamah Askari menjelaskan dalam bukunya bahwa setelah diadakan penelitian terhadap buku-buku yang dikarang oleh keempat sejarahwan di atas ditemukan bahwa ada sekitar 150 sahabat nabi buatan yang dibuat oleh Saif bin Umar.7

Ahli Geografi seperti Al-Hamawi dalam bukunya Mu'jam Al-Buldan dan Al-Himyari dalam Al-Raudh yang menulis kota-kota islam juga menggunakan riwayat dari Saif dan menyebutkan nama-nama tempat yang diada-adakan oleh Saif8  Dengan demikian Saif tidak hanya membuat tokoh fiktif Abdullah bin Saba tetapi juga dia telah membuat ratusan tokoh fiktif lainnya dan juga tempat-tempat fiktif yang dalam realitasnya tidak ada. Berikut ini adalah pandangan dan penilaian para penulis biografi tentang nilai-nilai tulisan Saif :

1.    Yahya bin Mu'in (w. 233 H); "Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna".

2.    Nasa'i (w. 303 H) dalam kitab Shahih-nya mengatakan : "Riwayat-riwayatnya lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya."

3.    Abu Daud (w. 275H) mengatakan: "Tidak ada harganya, ia seorang pembohong (Al-Kadzdzab)."

4.    Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) mengatakan bahwa : "Dia telah merusak hadist-hadits shahih, oleh karena itu janganlah percaya terhadap riwayat-riwayatnya dan tinggalkanlah hadists-hadistnya."

5.    Ibnu Sakan (w. 353 H)_mengatakan : "Riwayatnya lemah."

6.    Ibnu Hiban (w. 354 H) dia mengatakan bahwa :" Hadists-hadits yang dibuat olehnya kemudian disandarkan pada orang yang terpercaya" juga dia berkata "Saif dicurigai sebagai Zindiq; dan dikatakan dia telah membuat hadits-hadits yang kemudia hadis tersebut dia sandarkan pada orang yang terpercaya."

7.    Daruqutni (w. 385 H) berkata :" Riwayatnya lemah. Tinggalkanlah hadits-haditsnya."

8.    Hakim (w. 405 H) mengatakan : "Tinggalkanlah hadits-haditsnya, dia dicurigai sebagai seorang zindiq."

9.    Ibnu 'Adi (w. 365 H) mengatakan : "Lemah, sebagian dari riwayat-riwayatnya terkenal namun sebagian besar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti."

10. Firuz Abadi (w. 817 H) penulis kamus mengatakan:" Riwayatnya lemah."

11. Muhammad bin Ahmad Dzahabi (w. 748 H) mengenainya dia mengatakan :"Para ilmuwan dan ulama semuanya sepakat bahwa riwayatnya lemah dan ditinggalkan."

12. Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan :"hadisnya lemah" dan dalam buku lain mengatakan :Walaupun banyak riwayat yang dinukil olehnya  mengenai sejarah dan penting, tapi karena dia lemah, hadits-haditsnya ditinggalkan."

13. Sayuti (w. 911 H) mengatakan :"Sangat lemah."

14. Shafiuddin (w. 923 H) mengatakan :"Menganggapnya lemah."

 

Dari beberapa pendapat di atas (baik dari kalangan syi'ah maupun ahlu sunnah) menunjukan bahwa Saif bin Umar  sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.

Wallahu ‘alam bishshawwab. []

 

*Penulis adalah salah seorang Mahasiswa Progam S1, Fikih dan Ma'arif Islami,Al-Musthafa University, Qom, IRAN

1. Ali Rabbani Gulpaygani, Faraq wa Madzahibe Kalome, Qom, Entesharote Markaze Jahone Ulume Eslome, 1383, hal. 39

2  M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.15

3  Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42

4   Keseluruh sumber riwayat ini dikutip dari Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42

5 M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.76

6 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.66

7 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.70

8 Ibid

Selasa, 21 Desember 2021 15:37

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat?

 

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”

Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  (Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3] dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.

 

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra

Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha’ nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha’ karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha’ pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih  tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra

Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6] Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.

Ta’arudh Hadits

Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ

‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …

Dari “beberapa sahabat kami” dari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).

Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.

Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)

Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah ta’arudh mustaqir?

Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.


[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29

 

Bagaimana hubungan iman dan ketenangan hati dalam pandangan Al-Quran? Sebutkanlah surah dan ayat yang berkenaan dengan hal ini?
Jawaban Global

Iman secara leksikal bermakna kepercayaan sebagai lawan dari pendustaan (pengingkaran). Dan secara teknikal, iman berarti pengakuan dengan lisan, ketetapan dan kepercayaan dalam hati, dan beramal dengan tindakan anggota badan. Namun “ketenangan hati” secara bahasa bermakna ketenangan dalam hati setelah kebimbangan dan kekhawatiran.

 

Perbedaan Iman Dan Ketenangan Hati

Terkadang manusia mungkin saja dengan perantara argumen dan demonstrasi (burhan) menyakini sesuatu, dan dengan argumen ini dapat diterima secara rasional, namun tidak memberikan ketenangan di dalam benak kita. Tetapi jika hal itu memberikan keyakinan di dalam hati maka keyakinan ini akan menyebabkan ketenangan hati dan akan menetap di hatinya.

Berkenaan dengan ini terdapat sebuah riwayat seseorang bertanya kepada Imam Ridha As, “Apakah dahulu dalam hati Ibrahim As terdapat keraguan dan kebimbangan?” Imam Ridha As menjawab, “Tidak, melainkan Ibrahim As (dalam keadaan) yakin dan meminta kepada Allah swt agar ditambah keyakinannya.”
Jawaban Detil

Iman secara leksikal adalah kepercayaan lawan dari pendustaan (pengingkaran)[1]. Dan secara teknikal, iman berarti pengakuan dengan lisan, ketetapan dan kepercayaan dalam hati, dan beramal dengan tindakan anggota badan.[2] Namun “ketenangan hati” secara bahasa bermakna ketenangan di dalam hati setelah kebimbangan dan kekhawatiran.[3]

 

Perbedaan Iman dan Ketenangan Hati

Terkadang manusia mungkin saja dengan perantara argumen dan demonstrasi (burhan) menyakini sesuatu, dan dengan argumen ini dapat diterima secara rasional, namun tidak memberikan ketenangan di dalam hati kita. Tetapi jika hal itu memberikan keyakinan di dalam hati maka keyakinan ini akan menyebabkan ketenangan di dalam hati dan akan menetap di hatinya.

Dalam kondisi seperti ini tidak akan terdapat segala bentuk waswas dan keraguan yang muncul dalam benak, misalnya: kita semua yakin bahwa orang mati tidak dapat melakukan apa-apa dan hal ini dapat kita percayai dengan argumen dan dalil, namun hal itu tidak sampai ke dalam hati kita, oleh karena itu mungkin saja seseorang takut terhadap orang mati khususnya di malam hari. Akan tetapi ada orang orang yang pekerjaan mereka berhubungan dengan orang orang mati, mereka tidak akan memiliki ketakutan seperti ini.[4]

Oleh karena itu ketika seseorang telah sampai pada kedudukan (maqam) syuhud (penyaksian hakikat) maka hatinya akan tenang. Nabi Ibrahim As juga memiliki kesempurnaan dan kemurnian iman terkait dengan menghidupkan kembali orang orang yang sudah mati, dan tidak terdapat secercah keraguan di dalam hati, akan tetapi ia berharap sampai kepada ketenangan hati.

Berkenaan dengan ini terdapat sebuah riwayat seseorang bertanya kepada Imam Ridha As, “Apakah dahulu dalam hati Ibrahim As terdapat keraguan dan kebimbangan?” Imam Ridha As menjawab, “Tidak, melainkan Ibrahim As (dalam keadaan) yakin dan meminta kepada Allah Swt agar ditambah keyakinannya.”[5]

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Ibrahim As memiliki keraguan kalau demikian adanya kita juga boleh memiliki keraguan dan apabila kita tidak memiliki iman dan keyakinan maka tidak akan ada cela dan aib yang dapat ditujukan kepada kita.

Disebutkan dalam sebuah riwayat: “Seseorang mengirim surat ke Imam Musa Al-Kazim As dan mengatakan, saya dalam keadaan keraguan, sebagaimana Ibrahim As juga berkata kepada Allah Swt, “Perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Saya juga menginginkan engkau memperlihatkan sesuatu kepadaku.” Imam As menjawab dengan menulis, “Sesungguhnya Ibrahim As adalah seorang beriman dan menginginkan kadar imannya bertambah, akan tetapi engkau dalam keadaan ragu dan tidak terdapat kebaikan keraguan pada manusia.”[6]

Oleh karena itu, manusia haruslah memiliki keimanan dan keyakinan dalam permasalahan prinsip-prinsip agama (ushuluddin), dan untuk mendapatkan keimanan dan keyakinan terdapat jalan-jalan argumentasi dan demonstrasi (burhan) yang tidak lagi menyisakan keraguan bagi manusia. Dan untuk menjawab pelbagai syubhat (kesamaran) yang dijumpainya ia dapat merujuk kepada ulama agama.

Allakulihal, dengan sedikit cermat dan pendalaman terhadap ayat Al-Quran maka hal itu akan menghantarkan kita sampai kepada hakikat ini bahwa yang dapat menghilangkan kecemasan-kecemasan ruh dan jiwa adalah penguatan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Adil, dan juga keimanan terhadap hari kiamat, surga dan neraka, amal-amal ibadah seperti shalat sehingga manusia dapat sampai kepada kedudukan ini.

Ketika seorang Mukmin telah merasakan bahwa Allah Swt telah memberikan rahmat-rahim dan melindunginya, maka tidak akan ada lagi ketakutan, kecemasan, kegelisahan di dalam hatinya, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.[7] Allah Swt pada ayat ini mengatakan: Jika kalian bersama Allah, semua kekuasaan bumi dan langit berada dalam kekuasaan ikhtiar kalian, dan Allah Swt mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan kesusahan-kesusahanmu, dan mengetahui kegigihan, ketaatan, dan penghambaanmu.

Dengan bibit-bibit keimanan kepada Ilahi seperti ini bagaimana mungkin tidak muncul ketenangan hati dalam diri manusia? Tentu saja watak dan makrifat ini akan menutup perkara-perkara yang menimbulkan kecemasan dan kebimbangan ruh pada jiwa dan hati manusia.[iQuest]

[1]. Muhammad bin Mukaram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, hal. 21, Dar Shadra, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H.

[2]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 27, Hadis 1, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1365 S, Imam Shadiq As bersabda, “Iman adalah pengakuan dengan lisan, di ikat di dalam hati, dan beramal dengan keyakinan.” Untuk telaah lebih jauh ihwal makna iman dan perbedaannya dengan Islam dan ilmu silahkan lihat indeks “ Syarat-syarat Islam dan Iman,” Pertanyaan No. 1311 (Site: 1343) dan “Perbedaan Iman dan Ilmu, Pertanyaan No. 5382 (Site: 5651)

[3]. Husain bin Muhammad, Raghib Isfahani, Tarjamah wa Tahqiq Mufradât Alfaz Qurân, Khusrawi, Gulam Reza, Intisyarat Murtadhawi, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.

.[4] Nasir Makarim Shirazi, Tafsir Nemune, jilid 2, hlm 304, terbitan Darul kitab Al Islamiyah, Tehran, cetakan pertama, 1374 HS.

[5]. Abd Ali bin Jumah Arusi Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal 330, terbitan Muasasah Al Tarikh Al Arabi, Bairut, cetakan pertama, 1412 H.

[6]. Ibid, jil.1, hal. 336.

[7]. (Qs. Ali Imran [3]: 139)