Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Hurr bin Yazid Al-Riyahi

Rate this item
(0 votes)
Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Hurr bin Yazid Al-Riyahi

 

Kebebasan berada pada saat manusia menghormati dan memuliakan dirinya serta tidak menyerahkan dirinya kehinaan dan kenistaan jiwanya dalam tawanan dunia. Dalam kerumitan kehidupan terkadang muncul satu peristiwa yang membuat manusia rela menjadi hina dan nista demi meraih tujuan-tujuan dunia. Namun ada manusia bebas yang tidak akan pernah membiarkan dirinya terhina dengan tebusan apapun. Satu dari contoh manusia semacam ini adalah Imam Husein as. Dalam salah satu ucapannya Imam Husein as berkata, “Kematian dengan kemuliaan lebih mulia daripada kehidupan penuh kehinaan.” (Bihar al-Anwar, jilid 44, hal 196)

Kebangkitan Asyura merupakan manifestasi kebebasan Imam Husein as dan para sahabatnya. Dalam Islam kebebasan merupakan nilai. Kebebasan dan berkehendak berkelindan erat dengan wujud manusia. Masalah ini menjadi sarana paling baik bagi pertumbuhan dan kesempurnaan sehingga mencapai derajat spiritual yang tinggi. Imam Ali as dalam wasiatnya kepada anaknya mengatakan, “Wahai anakku, Setiap apa yang engkau berikan dan jual dapat diberi harga, tapi ada satu yang tidak dapati dinilai dengan materi. Bila engkau menjual jiwamu, maka tidak akan dapat dihargai dengan seluruh dunia.”

Dalam al-Quran, kebebasan berarti terbebasnya penghambaan manusia dari selain Allah. Banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Allah Swt dalam surat az-Zumar ayat 2 berfirman, “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” Dalam budaya Islam penghambaan kepada selain Allah dan melakukan maksiat merupakan perbudakan itu sendiri.

Syarat pertama melalui jalan kebenaran adalah melepaskan dari diri dan melepaskan segala kecenderungan duniawi. Siapa saja yang tertawan keinginan duniawi, maka ia tidak akan dapat mencapai tujuan mulia. Senantiasa ada ketakutan akan kehilangan harta yang dimilikinya. Hal ini membuatnya tidak dapat mengambil keputusan besar. Sementara ciri khas orang yang bebas adalah tidak tertawan oleh kecenderungan hawa nafsunya. Betapa banyak ketamakan dan keinginan yang menggilas manusia. Begitu juga betapa banyak orang yang tidak tertawan kecenderungan hawa nafsu yang membawanya ke puncak kesempurnaan. Hal ini dapat disaksikan pada para pahlawan Karbala.

Imam Husein as menuntut orang-orang yang menyertainya melepaskan dirinya dari simpul-simpul kecenderungan duniawi. Bila itu dapat dilakukan maka mereka mampu menciptakan peristiwa heroik dalam membela nilai-nilai ilahi yang akan terus dikenang oleh sejarah. Satu dari pahlawan Karbala yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan adalah Hurr bin Yazid al-Riyahi. Hurr saat bergabung dengan pasukan Umar bin Saad memiliki posisi yang cukup tinggi. Namun tiba-tiba semua itu ditinggalkannya dan dengan bebas ia bergabung dengan Imam Husein as.

Hurr bin Yazid al-Riyahi melewati gurun pasir dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada dasarnya Hurr tidak satu hati untuk melakukan tugas ini. Hurr tahu benar siapa Yazid bin Muawiyah. Ia seorang fasik, namun tidak ada pilihan baginya, selain membaiatnya demi melindungi jiwa ayah dan keluarganya. Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah menyerahkan ribuan pasukan menjadi anak buahnya. Pelimpahan ini sangat mengganggu batin Hurr. Karena ia bersama pasukannya ditugaskan mencegah perjalanan karavan Imam Husein as dan menggiring mereka ke Dar al-Imarah, istana gubernur Kufah.

Pasukan yang bersama Hurr seluruhnya menunggang kuda. Oleh karenanya, dengan cepat mereka mencapai karavan Imam Husein as. Ketika berhadap-hadapan dengan kafilah Imam Husein as, Hurr sejenak tertegun dan kembali keraguan membakar dirinya. Saat itu Imam Husein as melihat bahwa pasukan Hurr kehausan setelah melewati jarak yang jauh tanpa henti, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Berikan air kepada mereka dan kuda-kudanya.” Pada waktu Imam melihat satu dari pasukan Hurr tidak dapat minum sendiri, saking lemasnya, beliau sendiri bangkit dan memberinya dan kudanya minum langsung dari tangan penuh berkahnya. Setelah itu beliau memerintahkan sahabatnya untuk mendinginkan tengkuk kuda-kuda itu.

Waktu shalat telah tiba. Hurr bersama pasukannya ikut shalat berjamaah yang dipimpin oleh Imam Husein as. Usai melakukan shalat, Imam Husein as bangkit dan memberikan ceramah singkat dan berkata, “Wahai umat Islam, takutlah kalian kepada Allah. Bila kalian tidak mengetahui kebenaran kami dan pandangan kalian berbeda dengan apa yang kalian tuliskan dalam surat-surat yang dikirimkan kepada kami, maka saya memilih kembali.” Hurr mengatakan, “Surat seperti apa yang engkau bicarakan?” Seorang dari sahabat Imam Husein menunjukkan satu bungkusan penuh surat dari warga Kufah. Hurr berkata, “Saya tidak tahu menahu soal surat-surat ini. Saya ditugaskan untuk membawa kalian menghadap Ubaidillah di Kufah.”

Imam Husein as mulai memahami bahwa pembicaraannya dengan Hurr dan pasukannya tidak menghasilkan apa-apa, beliau lalu memerintahkan anggota karavannya untuk melanjutkan perjalanan. Namun pasukan Hurr menutup ruang gerak Imam. Sikap pasukan Hurr membuat kafilah Imam Husein tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Kufah dan akhirnya mereka terpaksa memilih arah lain dan sampai ke Karbala.

Hari kesepuluh bulan Muharram yang dikenal dengan Asyura, sekitar 30 ribu tentara mengepung Imam Husein as dan 72 sahabatnya. Menyaksikan keadaan itu, Hurr bin Yazid al-Riyahi merasa yakin Bani Umayyah serius membunuh Imam Husein bin Ali as. Seketika ia berbicara pada dirinya, “Ya ilahi, kini aku berdiri menghadap anak Fathimah, sebagian dari tubuh Rasulullah Saw. Ilahi, aku telah menutupi jalan bagi anak Nabi-Mu.” Dialog batinnya ini semakin membuatnya ragu untuk tetap berada di pasukan Umar bin Saad.

Hurr melemparkan pandangannya ke dua arah; kesesatan dan kebahagiaan. Kembali ia berdialog dengan batinnya, “Ya Allah, Jangan sampai pintu-pintu dunia yang Engkau bukakan kepadaku menjadi sebab tertutupnya pintu-pintu surga. Aku telah hidup lebih dari setengah abad. Seberapa lama lagi aku ingin hidup? Seandainya mereka memberikan istana Syam kepadaku, tapi pada akhirnya kematian bakal menghampiriku. Pada waktu itu apa yang harus aku lakukan?”

Hurr terus berdialog dengan dirinya sendiri, “Ketika tanganku berlumuran darah anak Nabi, bukankah hanya laknat yang sampai kepadaku?Alangkah baiknya ketika aku menutupi jalannya, aku katakan kepadanya bahwa aku tidak punya niat berperang dengannya. Ya Allah, ia dengan sikap ksatria memberi minum aku dan pasukanku. Aku telah menutup jalannya dan anak-anaknya. Ya Allah, aku telah membuat takut anak-anak Imam Husein as. Saya yang bersalah telah menyeret mereka ke lembah ini. Sungguh celaka diriku.”

Hurr bin Yazid al-Riyahi mengetahui benar kemazluman Imam  Husein as. Ia juga mendengar panggilan Imam Husein as yang meminta siapa saja yang siap menolongnya. Pada waktu itu, Hurr memutuskan untuk memenuhi panggilan Imam Husein as. Kepada pasukan Yazid ia beralasan bahwa kudanya kehausan. Untuk itu perlahan-lahan ia mulai meninggalkan pasukan Yazid dan mulai mendekati Imam Husein as dan rombongan.

Ketika Hurr sampai ke tenda Imam Husein as, ia berkata, “Wahai Husein! Saya adalah orang yang menyakiti hati Zainab as dan membawamu ke lembah ini. Aku telah membuatmu menjadi tamu yang kehausan, terblokade dan ditemani 33 ribu pasukan dengan pedang terhunus.” Imam Husein as berkata kepadanya, “Hurr, mengapa engkau tidak turun dari kudamu? Hurr menjawab, “Aku tidak akan turun sampai anak-anakmu memaafkanku, sehingga Zainab memaafkan dosaku dan tangan cintamu menuntun tanganku. Imam berkata, “Hurr, turunlah, kami akan menjamu engkau.”

Pada saat itu Hurr berkata dengan nada putus asa, “Apakah Allah menerima taubatku?” Imam Husein menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu dan memaafkan dosamu.” Hurr masih terus berkata, “Aku adalah orang pertama yang menutup jalanmu. Aku tidak akan turun dari kudaku sampai engkau memberiku izin menjadi orang pertama yang syahid dalam jalan dan cita-citamu. Dengan perbuatan ini, semoga aku bisa berada satu tempat dengan Nabi Muhammad Saw.”

Dengan sigap dan segera, Hurr menggerakkan kudanya menuju medan pertempuran. Pada awalnya, Hurr menasihati pasukan musuh. Namun anak panah berseliweran di sekitarnya meminta nyawanya. Ia kemudian berteriak, “Aku adalah Hurr. Aku adalah penjaga pria terbaik kota Mekah. Aku berperang, mengayunkan pedang dan tidak kenal takut.”

Keberanian Hurr membuat takut pasukan musuh. Tapi banyaknya anak panah yang menancap di tubuh kudanya, membuat kudanya tidak dapat bangkit lagi. Hurr akhirnya turun dari kudanya dan melesat ke tengah-tengah pasukan Yazid. Hal itu dilakukannya hingga sebuah panah menembus dadanya. Hurr terjatuh ke atas tanah. Ia masih memaksakan dirinya untuk berteriak, “Wahai anak Nabi, lihatlah aku!” Hurr tidak sabar membawa dirinya menghadap Imam Husein as.

Waktu sejenak berlalu. Hurr merasakan panasnya tangan Imam Husein as yang diletakkan di atas dahinya. Kepadanya Imam Husein as berkata, “Tenanglah. Biarkan tanganku membalut dahimu. Bukankah engkau sendiri yang mengatakan agar di akhir hidupmu, aku berada di sampingmu? Bukalah matamu dan saksikan bahwa engkau bebas. Engkau menjadi manusia bebas di dunia dan di akhirat.” Imam kemudian membalut dahi Hurr. Saat itu Hurr berkata, “Apakah engkau memaafkanku? Apakah Allah memaafkan dosaku yang lalu? Wahai tuanku, tersenyumlah untukku agar aku mendapat ketenangan dan menuju Allah dengan tenang. Sambil membersihkan darah dan tanah yang menutupi wajah Hurr, Imam Husein berkata, “Betapa indahnya seorang pria yang bebas mendengar seruan pertolongan Husein dan mengorbankan dirinya. Ya Allah, terimalah ia di surga-Mu.” (IRIB Indonesia/SL/NA)

 

Read 1137 times