Islam dan Gaya Hidup (41)

Rate this item
(0 votes)
Islam dan Gaya Hidup (41)

 

Semua pasangan suami-istri ingin memulai kehidupan baru dengan bahagia dan langgeng. Sebagian pasangan merasakan indahnya hidup satu atap hanya sebentar saja, namun sebagian yang lain hanya bisa dipisahkan oleh maut dan mereka selalu merayakan ulang tahun pernikahannya dengan penuh bahagia dan suka cita.

Mengapa bisa demikian?

Ini adalah pertanyaan yang menyita perhatian para pakar keluarga dan psikolog dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu kesimpulan mereka tentang pasangan bahagia adalah memiliki pikiran positif dan prasangka baik antar sesama serta punya kesepahaman dan keterlibatan kolektif dalam semua urusan.

Menurut para psikolog, salah satu kriteria utama keluarga yang seimbang adalah kemampuan untuk bersikap positif dan konstruktif dengan lingkungan sekitar atau dengan kata lain, memiliki tendensi positif dan pandangan positif. Keluarga positive thinking ketika menghadapi masalah dan kendala di sekitarnya, mereka tetap mencari sisi positif, inspiratif, dan nilai-nilai edukatif dan bahkan sebisa mungkin menutup mata dari sudut negatifnya. Tendensi positif bisa disebut sebagai seni memandang baik sesuatu. Kondisi seperti ini terpengaruh oleh kualitas jiwa dan mental manusia.

Para pemeluk agama biasanya memiliki pikiran positif dan selalu optimis. Karena, agama mengajarkan manusia untuk berbaik sangka kepada sesama dan menghindari rasa curiga serta memiliki asumsi positif terhadap perkataan dan perilaku sesama. Panduan akhlak Islami meminta umatnya untuk berbaik sangka di lingkungan keluarga.

Sikap husnuzan dan positive thinking tentang suami-istri memainkan peran besar dalam memperkuat pondasi rumah tangga. Jelas bahwa upaya para anggota keluarga untuk menghapus asumsi negatif di antara mereka, akan membuka ruang untuk hubungan yang lebih baik dan lebih akrab.

Para psikolog – demi memperkuat pandangan positif dalam kehidupan bersama – mengusulkan agar suami-istri merekam kapasitas dan kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya dalam memorinya dan memperhatikan hal itu sebagai sebuah dasar dalam kehidupan. Dalam interaksi dengan pasangan, khususnya komunikasi dua arah, ia harus memuji kelebihan pasangannya dan berusaha agar suasana dialog penuh dengan optimisme sehingga meninggalkan pengaruh positif.

Jika kita ingin menyaksikan sifat tertentu pada diri pasangan kita dan untuk saat ini ia belum memilikinya, maka kita – daripada mencela atau membuat sindiran – dapat menggunakan metode lain untuk menumbuhkan sifat tersebut.

Dalam kondisi ini, doktrinisasi nilai-nilai positif tampaknya dapat menjadi sebuah solusi yang tepat. Sifat-sifat terpuji akan tampak dalam diri pasangan kita dengan cara menanamkan nilai-nilai positif. Sebagai contoh, jika kita merasa pasangan kita lemah dalam menghadapi masalah dan cobaan, maka kita dapat berbisik kepadanya, “Aku memuji kepribadianmu yang penuh kesabaran dan kekuatan dalam mengatasi masalah.” Atau mengucapkan kalimat ini, “Aku yakin engkau tidak akan membiarkan masalah itu mengalahkan dirimu.”

Secara umum dapat dikatakan bahwa di tengah keluarga yang seimbang dan sehat, suami-istri berusaha untuk selalu berpikir positif dan tidak mencari-cari kekurangan pasangannya dan dalam interaksinya, mereka harus berpijak pada penguatan-penguatan sisi positif antar sesama.

Kesepahaman dan keterlibatan kolektif juga dapat ditemukan di semua sendi kehidupan keluarga yang seimbang dan bahagia. Kondisi ini tercipta karena kekompakan suami-istri. Para psikolog mengatakan, “Jika kita mampu melihat masalah dari sudut pandang pasangan kita, sehingga kita memahami pola pikir dan pandangannya dalam berbagai masalah, maka kita telah mencapai kesepahaman dengan pasangan kita. Dalam situasi seperti ini, hubungan baik secara utuh telah tercipta dalam hidup kita. Suami-istri harus dapat menikmati saat-saat yang jauh dari segala hiruk-pikuk kehidupan. Kesepahaman dan saling menghormati dalam suasana yang hangat dan akrab tentu sangat bermakna. Lalu, bagaimana kita bisa menciptakan jalan kesepahaman dalam hidup ini?”

Menurut para psikolog, menjadi pendengar yang baik adalah sebuah seni dan memainkan peran penting dalam mewujudkan kesepahaman. Ketika sedang bercengkrama dengan pasangan, kita harus mendengarnya dengan baik dan memusatkan perhatian pada apa yang ia ucapkan. Sebuah sikap yang memperlihatkan jika kita menghargai dia dan mendengarkan isi pembicaraannya. Kita juga perlu memperhatikan kondisi emosional dan seleranya serta berusaha untuk membuka diskusi dengan tema-tema yang disukainya

Jangan pernah membanding-bandingkan pasangan kita dengan orang lain. Sikap ini secara serius akan merusak hubungan baik kita dengan pasangan. Ketahuilah bahwa pasangan kita adalah sosok spesial dan memiliki sekumpulan karakter positif dan negatif. Oleh karena itu dalam kondisi darurat, kita bisa membandingkan pasangan kita dengan dirinya sendiri, yakni dengan sifat-sifat baiknya di masa lalu. Kita perlu memberi apresiasi atas kemajuannya di bidang akhlak dan spiritualitas. Sikap ini berpengaruh dalam menciptakan kesepahaman di antara suami-istri.

Gaya dan bahasa komunikasi juga termasuk faktor yang memainkan peran penentu dalam mewujudkan kesepahaman. Setiap kata dan kalimat memiliki bobot psikologis dan emosional. Komunikasi sukses adalah sebuah hubungan di mana kedua pihak sama sekali tidak memakai kata-kata yang menyinggung perasaan atau bersifat melecehkan.

Berkenaan dengan cara-cara lain untuk membangun kesepahaman, para pakar keluarga mengatakan, suami-istri masing-masing harus mempertimbangkan pasangannya dalam proses pengambilan keputusan dan pemilihan sebuah solusi agar tercipta kesepahaman. Pasangan kita tidak boleh dijauhkan dari meja pengambilan keputusan dan kita juga harus menghargai pendapat masing-masing dan tidak bersikap egois. Akan tetapi, kesepahaman adalah sebuah perkara relatif dan mustahil untuk mencapai kata sepakat dalam semua masalah. Maksud dari kesepahaman di sini adalah bahwa suami-istri dalam banyak urusan mengambil langkah yang selaras dan sejalan.

Kesepahaman dan keselarasan memiliki hubungan langsung dengan pengenalan suami dan istri terhadap sesama. Tingkat pengenalan ini akan meningkat setelah keduanya menjalani kehidupan bersama selama bertahun-tahun. Untuk itu, pasangan yang baru menikah tidak boleh berharap akan tercipta kesepahaman dan keselarasan sempurna di permulaan kehidupan bersama.

Keluarga yang seimbang juga memiliki kriteria lain yaitu saling membantu dan membangun kemitraan dalam perkara-perkara positif. Setelah ijab kabul, pria dan wanita bersama-sama menginvestasikan sesuatu yang sangat bernilai. Kemitraan ini tidak membicarakan masalah harta dan kekayaan, tapi mereka menanamkan modal kemanusiaan yang paling bernilai yaitu, hati, jiwa, perasaan, dan impian-impian. Dalam kemitraan seperi ini, mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi kesuksesan atau kegagalan dan sama-sama memikul tanggung jawab sesuai dengan porsi masing-masing.

Hal penting di sini bukan hanya saling membantu, tapi tujuan utama dalam kemitraan ini adalah mempertahankan eksistensi keluarga. Setiap anggota harus memikirkan kepentingan semua individu dan menghadirkan ketenangan bagi keluarga. Dalam ajaran Islam, gotong royong dan saling membantu memiliki tempat khusus, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Tidak hanya dalam al-Quran, tapi sirah para tokoh agama juga menekankan pentingnya gotong royong dan kerjasama.

Para pemuka agama mendorong suami-istri untuk saling membantu dan mereka menyampaikan beberapa poin penting untuk menumbuhkan semangat gotong royong. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah Saw terjun langsung untuk membantu pekerjaan rumah meski beliau adalah sosok yang agung dan mulia. Keteladanan ini merupakan bukti dari perhatian besar Islam untuk mempertahankan eksistensi keluarga. Jika para anggota keluarga tahu tentang dampak-dampak baik gotong royong, mereka akan menunjukkan perhatian besar untuk membantu tugas-tugas di rumah.

Sirah dan keteladanan Rasulullah Saw merupakan model terindah dari gotong royong dan kerjasama ini. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."

Read 572 times