Kapan haji mulai diwajibkan?

Rate this item
(0 votes)
Kapan haji mulai diwajibkan?

 

kapan haji mulai diwajibkan? Jawaban Global Berdasarkan riwayat, haji memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampai pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As. Disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelumm

kapan haji mulai diwajibkan?
Jawaban Global
Berdasarkan riwayat, haji memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampai pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As.
Disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelummu.”
Adapun tata cara dan urutan pelaksanaan haji kaum Muslimin dengan manasik-manasik seperti tawaf, sa’i, memotong hewan qurban, melempar jumrah, semuanya kembali pada masa-masa Nabi Ibrahim As. Karena secara pasti, peletak batu pertama haji secara resmi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk mengumumkan haji dan menyeru orang-orang untuk datang berhaji ke rumah Ka’bah.
 
Jawaban Detil
Berdasarkan riwayat haji, memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampa pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As seperti apa yang diungkap oleh Imam Shadiq As yang bersabda, “Setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelummu.”[1]
Demikian juga Imam Shadiq As bersabda, “Setelah Nabi Adam kembali dari Mina (dan hajinya berakhir), para malaikat bertemu dengannya dan berkata kepadanya, “Wahai Adam! Hajimu berjalan baik! Kami menunaikan ibadah haji di rumah ini dua ribu tahun sebelummu.”[2]
Seseorang datang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali As, “Siapakah penghuni langit yang pertama kali menunaikan haji?” Imam Ali As menjawab, “Jibril adalah malaikat penghuni langit yang pertama menunaikan ibadah haji.”[3]
Adapun tata cara dan urutan pelaksanaan haji kaum Muslimin dengan manasik-manasik seperti tawaf, sa’i, memotong hewan qurban, melempar jumrah, semuanya kembali pada masa-masa Nabi Ibrahim As. Karena secara pasti, peletak batu pertama haji secara resmi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk mengumumkan haji dan menyeru orang-orang untuk datang berhaji ke rumah Ka’bah. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan:
«وَ أَذِّنْ فِی النَّاسِ بِالْحَجِّ یَأْتُوکَ رِجالاً وَ عَلى‌ کُلِّ ضامِرٍ یَأْتینَ مِنْ کُلِّ فَجٍّ عَمیق»
“Dan serulah seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Qs. Hajj [23]:27)
Akan tetapi sepanjang zaman – khususnya pada masa jahiliyah – haji Ibrahimi juga sebagaiman hukum-hukum lainnya mengalami penyimpangan. Berikut ini kami akan melampirkan sebagian amalan haji dan sebagian yang telah mengalami penyimpangan:

    “Kemudian bertolaklah kamu (menuju Mina) dari tempat orang-orang banyak bertolak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

 Ayat ini menyoroti tentang salah satu tradisi orang-orang musyrik Mekkah pada masa jahiliyah dimana wukuf di Arafah hanyalah terkhusus bagi orang-orang yang datang dari luar kota Mekkah yang ingin menunaikan ibadah haji, namun Quraisy dan suku-suku di sekeliling kota Mekkah serta kerabat-kerabat Quraisy tidak termasuk dari perintah ini. Hal ini diungkap oleh Imam Shadiq tatkala menjelaskan ayat ini, “Orang-orang Quraisy berkata, “Kami lebih unggul atas Kabah ketimbang orang lain. Karena itu (untuk pelaksanaan haji) kalian mulai dari Muzdalifah (Masy’ar) dan tidak perlu pergi ke Arafah! Allah Swt memerintahkan kepada mereka untuk memulai dari Arafah sebagaiman orang lain.”[5]

    “Sesungguhnya nasî’ (mengubah-ubah dan mengundur-undurkan bulan-bulan haram itu) adalah menambah kekafiran yang dengan tindakan ini orang-orang yang kafir disesatkan. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan (dengan tujuan supaya mereka dapat menyempurnakan jumlah bilangan empat bulan haram itu). Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Perbuatan mereka yang buruk itu dijadikan indah dalam pandangan mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[6]

Ayat mulia ini menyinggung tentang sebuah tradisi sesat masyarakat jahiliyah yang disebut sebagai nasi yang bermakna mengubah-ubah bulan-bulan haram itu dimana perbuatan ini setiap tahunnya dilakukan melalui sebuah perayaan khusus di Mina yang menunjukkan sikap pragmatis mereka; karena dengan mengubah dan mengganti tahun-tahun haram ini, mereka ingin penyelenggaran haji dilakukan sesuai dengan kepentingan dagang dan propaganda mereka. Karena itu, mereka berusaha supaya haji dilakukan pada hari-hari yang menyenangkan dan waktu-waktu mudah namun mengingat haji dilakukan pada hari-hari Dzulhijjah dan terkadang bulan Dzulhijjah panas matahari di Mekkah sangat terik dan menyengat sehingga membuat susah orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan buntutnya dapat merubah kalkulasi perdagangan mereka. Oleh itu, dengan nasi mereka ingin musim haji dilakukan pada musim yang lebih sesuai dan cocok dengan kondisi mereka. Perbuatan ini berlanjut sampai tahun sepuluh Hijriah hingga Rasulullah Saw pada Hajjatul Widâ melarang perbuatan ini.[7] Dengan turunnya ayat ini, nasi dipandang sebagai perbuatan kufur sehingga pelaksanaan haji tidak menjadi alat permainan orang-orang pragmatis yang ingin mencari keuntungan.

    “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar (dan tanda-tanda kebesaran) Allah. Maka barang siapa yang melakukan ibadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa (baca: larangan) baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati (di samping kewajiban itu), sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”[8]

Salah satu amalan haji pada masa jahiliyyah, sai antara gunung-gunung Shafa dan Marwah namun di tas gunung ini, diletakkan dua berhala yang bernama Asaf dan Nailah sehingga kaum musyrik dapat memberi penghormatan pada dua berhala ini tatkala melakukan sai. Akibatnya, kaum Muslimin disebabkan oleh latar belakang tercela seperti ini enggan melakukan sai antara Shafa dan Marwah pada musim haji. Mereka mengira perbutan ini adalah perbuatan jahiliyah. Allah Swt dengan mewahyukan ayat ini, gambaran dan anggapan ini ditolak dan menyatakan bahwa sai antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu syiar dalam agama, sebagaimana Muawiyah bin Ammar meriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Kaum Muslimin beranggapan bahwa sai antara Shafa dan Marwah merupakan ciptaan orang-orang musyrik dan akibatnya Allah Swt menurunkan ayat mulia ini...”[9]

    Salah satu tradisi jahiliyah lainnya pada pelaksanaan haji adalah melakukan thawaf dalam kondisi telanjang. Mereka meyakini bahwa penyediaan pakaian ihram berada di tangan Quraisy dan apabila ada seseorang tidak memiliki pakaian ihram maka ia harus melakukan thawaf dalam kondisi telanjang dan memandang batal mengenakana pakaian dan kain yang berasal dari luar haram. Imam Shadiq As bersabda, “Rasulullah Saw setelah menaklukkan kota Mekkah tidak menghalangi orang-orang musyrik melakukan ziarah baitullah dan salah satu kebiasaan ziarah orang-orang musyrik adalah bahwa apabila mereka mengenakan pakian memasuki Mekkah dan melakukan thawaf di sekeliling baitullah dengan pakaian yang sama, maka pakaian itu harus ditanggalkan dan sedekah pakaian itu menjadi wajib baginy. Karena itu supaya mereka tidak menanggalkan pakaian-pakaian mereka maka sebelum thawaf mereka menyewa dan meminjam pakaian dari orang lain dan mengembalikan pakaian itu kepada pemiliknya setelah menunaikan thawaf. Apabila seseorang tidak menemukan pakaian untuk dipinjam dan disewa dan ia hanya memiliki satu pakaian, supaya ia tidak kehilangan baju maka ia terpaksa harus melaksanakan thawaf dalam keadaan telanjang.”[10]

Dengan datang dan berkuasanya Islam, Rasulullah Saw bangkit melawan penyimpangan-penyimpangan kaum jahiliyah. Sembari memurnikan pelaksanaan haji dari penyimpangan-penyimpangan kaum jahiliyah, beliau menghidupkan kembali tradisi Nabi Ibrahim As; karena itu haji yang diterima dan dianjurkan Islam adalah haji yang sesuai dengan tradisi Nabi Ibrahim As dan syariat suci Islam juga, dengan bentuk yang sama, mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan hal yang sama, dan mengajarkan kepada kita manasik haji, syarat-syarat dan rukun-rukunnya. [iQuest]
 
 
 
[1]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 2, hal. 407, Kitabpurusyi Dawari, Cetakan Pertama, Qum, 1385 S.  
[2]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 230, Daftar Nasyr Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H.  
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 10, hal. 78, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1403 H.  
[4]. (Qs. al-Baqarah [2]:199)
«ثُمَّ أَفیضُوا مِنْ حَیْثُ أَفاضَ النَّاسُ وَ اسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحیم»
[5]. Abdu ‘Ali bin Jum’ah ‘Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 195, Ismailiyan, Qum, Cetakan Keempat, 1415 H.  
[6]. (Qs. Taubah [9]:37)
«إِنَّمَا النَّسی‌ءُ زِیادَةٌ فِی الْکُفْرِ یُضَلُّ بِهِ الَّذینَ کَفَرُوا یُحِلُّونَهُ عاماً وَ یُحَرِّمُونَهُ عاماً لِیُواطِؤُوْا عِدَّةَ ما حَرَّمَ اللهُ فَیُحِلُّوا ما حَرَّمَ اللهُ زُیِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمالِهِمْ وَ اللهُ لا یَهْدِی الْقَوْمَ الْکافِرینَ»
[7]. Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 2, hal. 217.  
[8]. (Qs. al-Baqarah [2]:158)  
«إِنَّ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَیْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَیْهِ أَنْ یَطَّوَّفَ بِهِمَا وَ مَن تَطَوَّعَ خَیْرًا فَإِنَّ اللهَ شَاکِرٌ عَلِیْمٌ»
[9]. Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 146 & 148.  
[10]. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, Riset oleh Husain A’lami, jil. 2, hal. 192, al-Shadr, Tehran, Cetakan Kedua

Read 494 times