Sayid Ali Tabatabai

Rate this item
(0 votes)
Sayid Ali Tabatabai

 

Sayid Ali Tabataba'i ulama dan faqih terkenal di abad 13 Hijriah. Ia dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal 1161 H di kota Kadhimiya, Irak.

Kakeknya adalah Abu al-Ma'ali Kabir dari Sadat (Sayid) Hasani Isfahan yang berhijrah ke Karbala dan memiliki jasa besar terhadap komunitas Syiah. Ibunya adalah saudari Allamah Vahid Behbahani dan mendapat didikan di keluarga yang terkenal keilmuan dan akhlaknya.

Di masa mudanya, Sayid Ali memulai pelajaran agamanya dan dalam waktu singkat kecerdasannya menarik perhatian Allamah Vahid Behbahani. Allamah yang termasuk paman dari Sayid Ali meminta anaknya Mohammad Ali Behbahani yang menjadi salah salah satu guru Hauzah untuk bertanggung jawab mendidik Sayid Ali dan mengajarinya pelajaran fiqih. Setelah beberapa waktu, pemuda yang rajin dan bertakwa ini menjadi yang terbaik dari teman-teman sekelasnya dan menghadiri pelajaran Allamah Vahid Behbahani, dan dalam waktu singkat, ia mencapai tingkat ijtihad.

Sayid Ali mengalami banyak kesulitan dan kepahitan dalam menuntut ilmu, tetapi dia tidak menyerah dan diriwayatkan bahwa dia sangat tertarik untuk memperoleh pengetahuan sehingga dia terus-menerus berdoa kepada Tuhan untuk kesuksesan dalam pendidikan. Para sesepuh percaya bahwa banyak kesuksesan Sayid Ali adalah hasil dari doanya yang tulus kepada Tuhan, karena ternyata masa studinya tidak cukup lama untuk mencapai peringkat setinggi itu dalam waktu yang singkat. Namun dengan segala kendala dan hambatan tersebut, beliau mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu pengetahuan dan menjadi terkenal pada umumnya dan khususnya, dan ini adalah buah dari jerih payah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Sayid Ali Tabatabai memiliki keahlian yang cukup dalam bidang fiqih, usul fiqih dan hadits, tetapi ia lebih mahir dalam ilmu usul daripada ilmu-ilmu lainnya. Namun, karena penulis buku Riyad, yang memiliki konten yurisprudensi, ia dikenal sebagai "Sahib Riyad" dan dengan demikian menjadi lebih dikenal sebagai ahli hukum (Faqih).

Sayid Ali Tabatabai, seperti ulama besar Islam lainnya, melakukan upaya besar untuk menjelaskan dan menyebarkan agama Islam dan memperkuatnya. Dia mempromosikan agama dengan sekuat tenaga dan menggunakan semua cara yang diperlukan dengan cara ini. Kegiatan terpentingnya di bidang ini adalah mendidik para ulama besar Islam. Di bawah komando gurunya, Vahid Behbahani, ia mengajar di Karbala dan mendidik para siswa secara ilmiah dan akhlak. Di hadapan ulama Syi'ah ini, dibesarkan banyak ilmuwan dan sesepuh yang terkenal dengan ilmu, kesempurnaan dan keutamaannya.

Di antara murid-muridnya adalah Syekh Abu Ali, penulis buku "Muntaha al-Maqal", Syekh Assadollah Dezfuli, penulis buku "Miqbas al-Anwar", Hojjatul Islam Rashti, Pendiri Masjid Sayid Isfahan, Javad bin Mohammad Hosseini Ameli, penulis buku “Miftah al-Karamah fi Sharh-i Qawaid al-Allamah” dan Mohammad Taqi Shahid Barghani Qazvini penulis buku “Al-Majalis”.

Sayid Ali Tabatabai selain mendidik para mubaligh, ahli hadis dan ahli fiqih, juga meninggalkan banyak karya tulis. Kitab karya terkenal Sayid Ali adalah Riyad al-Masail fi Bayan al-Ahkam bi al-Dalail, yang ringkasnya disebut Riyad al-Masail. Karya besar dan penting ini ditulis untuk menjelaskan kitab Mukhtasar al-Nafi', karya Muhaqqiq Awal. Kitab ini dalam bentuk buku lengkap fiqih argumentatif (Fiqih Istidlali) dan mencakup pendapat paraulama besar seperti Sheikh Tusi, Sheikh Saduq, Allamah Hilli, Syahid Awal, Syahid Tsani, Qadi Saiduddin, Kulaini, Mohammad Baqir Sabzewari, Tabarsi, Rawandi, Fadhil Meghdad, Fakh al-Muhaqqiqin, Moghadas Ardabeli dan ulama besar lainnya.

Sayid Ali di kitabnya ini pertama-tama mengajukan pertanyaan berkaitan hukum (fiqih) dan menjelaskan maksud dari materi dengan menyebutkan berbagai pendapat dan argumentasi. Ia dengan penjelasan yang natural dan sederhana tapi argumentatif dan kuat, mulai mengkritiknya dan kemudian untuk membuktikan fatwanya, ia bersandar pada argemuntasi syar'i. Gaya dan urutan penulisan kitab ini membuat pembaca tidak akan mudah lelah atau bosan. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun, kitab ini menjadi kurikulum utama Hauzah Ilmuah dan saat ini termasuk kitab rujukan dan banyak diteliti oleh para ulama dan faqih. Urgensi kitab ini membuat Sayid Ali diberi gelar Sahib Riyad.

Karya penting lain Sayid Ali adalah kitab al-Risalah al-Bahiyyah. Buku ini ditulis untuk menolak ideologi dan pandangan Akhbari. Sayid Ali berjuang melawan ideologi radikal dan menyimpang yang muncul di tengah masyarakat Islam seperti Akhbari dengan ucapan, pelajaran dan karya tulisnya. Terkadang Sayid Ali juga tak segan-segan berdialog dan berdebat dengan pemilik berbagai ideologi dan menyadarkan mereka akan kesalahan pemikiran mereka.

Kitab al-Risalah al-Bahiyyah yang ditulis Sayid Ali untuk menghadapi ideologi semacam ini. Kaum Akhbari meyakini hanya dengan merujuk al-Quran dan Hadis dalam mempelajari hukum dan meyakini tafsir dan pemahaman al-Quran hanya dapat diraih melalui penjelasan para Imam Maksum. Oleh karena itu, sumber hukum menurut mereka hanya al-Quran dan Hadis. Berlebihan di pemikiran ini, dikenal dengan anti-akal yang kemudian membangkitkan penentangan dari ulama ushuli.

Ulama Ushuli meyakini bahwa di masa ghaib Imam Maksum as, upaya untuk mengupas dan memahami hukum agama harus melalui sumber lain termasuk akal yang sehat, dan dengan bantuan ushul dan kaidah, maka hukum agama dapat dikeluarkan dan dipahami. Proses ini disebut ijtihad yang ditentang oleh kelompok Akhbari. Sejumlah ulama besar Syiah seperti Allamah Majlisi, Shekh Hurr Amili dan Faiz Kashani termasuk ulama Akhbari moderat, di mana sisi moderatnya membuat mereka tidak masuk ke dalam kelompok yang berlebihan, bahkan mereka memberi jasa besar bagi dunia Syiah.

Sahib Riyad memiliki jasa besar di bidang sosial dan kemasyarakatan. Ia pada tahun 1217 H membangun tembok besar di sekeliling kota Karbala untuk bertahan menghadapi serbuan kaum Wahabi. Ia juga membentuk pasukan dan menempatkan kabilah Syiah yang memiliki fisik kuat dan spirit bertempur, di kota Karbala sehingga memiliki kemampuan untuk membela kota dari para penyerbu Wahabi.

Wahabi yang dikenal sebagai sebuah kelompok sesat dan menyimpang di antara umat Islam, menyebut kafir kelompok Muslim lainnya baik itu Syiah maupun Sunni. Mereka juga menganggap selain mereka sebagai kelompok di luar agama. Dengan pemikiran dan ideologi keliru dan di luar kemanusiaan ini, Wahabi melakukan kejahatan besar terhadap Muslimin. Contoh dari ideologi ini kini dapat disaksikan di teroris Daesh (ISIS).

Ulama Islam dari Sunni dan Syiah sejak awal kemunculan Wahabi melawan kelompok ini dan ideologinya dengan keras, namun mengingat ideologi non-Islam ini mendapat dukungan finansial dan politik besar-besaran dari musuh Islam, khususnya penjajah Barat, maka kelompok ini mampu mempertahankan eksistensinya sepanjang zaman dan memberi pukulan keras terhadap masyarakat Muslim. Salah satu kejahatan sadis Wahabi adalah menyerang Karbala tahun 1216 H di mana ribuan orang Syiah baik perempuan, pria dan anak-anak gugur syahid.

Ketika Sahib Riyad mencapai posisi marja Syiah, khumus dan zakat kaum Syiah diserahkan kepada beliau. Khumus dan zakat adalah kewajiban finansial yang ditetapkan Islam kepada umat Muslim, sehingga dengan ini urusan Muslimin dikelola dengan lebih baik. Sahib Riyad memanfaatkan dana ini untuk kemaslahan sosial dan hal-hal umum umat Islam. Dengan dana ini Sayid Ali juga membeli banyak rumah dan kebun serta diserahkan kepada mereka yang membutuhkan. Di antara pelayanan sosial beliau adalah membangun tempat-tempat keagamaan, memberbaiki dan mengembangkannya. Contoh nyata dari jasa ini adalah membangun Masjid Jami' Karbala. Masjid ini dibangun di dekat pasar besar Karbala dan di tahun 1220 H proses pembangunannya selesai.

Sahib Riyad memiliki akhlak dan sifat terpuji dan membuatkan unggul dari yang lain. Ulama zaman itu, menyebut Sayid Ali tak ada duanya dari sisi akhlak dan spiritual. Mereka juga banyak memujinya. Salah satu karakteristik akhlak beliau adalah teliti dalam menjaga hak manusia dan mendorong masyarakat untuk berbuat serupa. Diriwayatkan bahwa suatu hari Sayid Ali menolak untuk mengerjakan shalat berjamaah. Para jamaah kemudian mendatangi beliau dan bertanya mengenai alasannya.

Sayid Ali saat menjawab pertanyaan ini berkata, "Hari ini saya ragu terkait keadilanku. Oleh karena itu, aku tidak dapat menjadi imam shalat." Kemudian masyarakat bertanya, mengapa Anda meragukan keadilanmu sendiri? Sayid Ali berkata, putri guruku Vahid (istri Sayid Ali Tabatabi) berkata kepadaku sehingga aku kehilangan kontrol diriku dan aku berkata kepadanya, apa yang kamu katakan tentangku akan kembali kepadamu. Oleh karena itu, aku meragukan keadilanku. Dengan demikian aku tidak dapat menjadi imam shalat jamaah kalian.


Sahib Riyad tidak menjadi imam jamaah untuk beberapa waktu, sampai istrinya meridhainya dan memaafkannya. Berdasarkan hukum Islam, imam shalat jamaah harus memiliki syarat seperti baligh, berakal, dan adil. Adil adalah ia menjauhkan diri dari dosa dan kemungkaran (tidak fasiq). Di kisah ini terpendam keindahan akhlak mazhab Ahlul Bait as.

Akhirnya ulama besar Syiah, Sayid Ali Tabatabai setelah hidup penuh berkah selama 70 tahun, akhirnya memenuhi panggilan sang Pencipta tahun 1231 H di Karbala. Jenazah ulama besar ini dikebumikan di dekat makam Allamah Vahid Behbahani di serambi komplek Haram Imam Husein as.

"ولَن یَهْلِکَ عالِمٌ إلّا بَقِیَ مِن بَعدِهِ مَن یَعلَمُ عِلمَهُ أو ما شاءَ اللّه ُ"

"Seorang ulama (alim) tidak akan meninggal, kecuali setelahnya ada seseorang yang mengetahui ilmunya atau apa yang Tuhan kehendaki."

Read 619 times