Mengejar Berkah Ramadhan (5)

Rate this item
(0 votes)
Mengejar Berkah Ramadhan (5)

Ramadhan adalah bulan penyucian diri, pembersih jiwa dan batin, bulan untuk melepas diri dari belenggu syaitan dan hawa nafsu, bulan untuk bertasbih, dan bulan untuk kembali ke jalan Allah Swt.

Bulan ini merupakan kombinasi dari kemudahan dan kesulitan. Di satu sisi, manusia harus berjuang menahan rasa lapar dan haus, memerangi hawa nafsu, menjaga tutur kata, dan menghindari banyak makan. Di sisi lain, mereka merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta, menghirup aroma wangi pengampunan, dan menyirami diri dengan pancaran rahmat Tuhan.

Salah satu ciri khas Ramadhan adalah adanya kewajiban puasa bagi umat Islam di sepanjang bulan ini. Puasa adalah sebuah kewajiban bagi seorang Muslim dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan cara meninggalkan makan dan minum mulai dari terbit fajar sampai adzan magrib selama satu bulan penuh, kadang berjumlah 29 hari dan kadang bisa sampai 30 hari.

Allah menjelaskan tentang kewajiban berpuasa dalam al-Quran ayat 183 dan 184 surat al-Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Di ayat tersebut Allah Swt menyeru kaum Muslim dengan kalimat yang indah dan lembut. Nada bicara seperti ini memberi angin sejuk bagi orang-orang yang berpuasa dan membuat mereka mudah menjalaninya.

Ayat tersebut mengingatkan bahwa ibadah puasa tidak hanya diwajibkan untuk umat ini, tapi juga sudah dijalankan oleh umat-umat terdahulu. Meski kewajiban berpuasa memiliki waktu khusus, namun dalam kondisi tertentu kewajiban ini masih bersifat fleksibel yaitu, orang-orang karena dalam perjalanan, jatuh sakit, atau tidak mampu menjalaninya di waktu khusus tersebut, mereka bisa menggantikannya di hari lain atau membayar kafarah.


Salah satu anjuran para pemuka agama kepada orang-orang yang berpuasa adalah meminta mereka untuk menjaga penglihatan, lisan, pendengaran, dan anggota lainnya dari perbuatan dosa.

Imam Ali Ridha as berkata, “Wahai manusia yang berpuasa semoga Tuhan merahmati kalian! Sesungguhnya puasa adalah hijab di mana Allah menjadikannya untuk menjaga lisan, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota badan…. Sungguh Allah telah menetapkan hak puasa untuk seluruh anggota badan, karena itu barang siapa menunaikan hak-hak tersebut dalam puasanya, maka ia sungguh telah berpuasa dan melaksanakan hak puasanya. Dan barang siapa yang mengabaikan hak-hak tersebut, mereka telah kehilangan keberkahan dan pahala puasa sesuai dengan kelalaiannya itu.” (Mizan al-Hikmah, jilid 5)

Orang yang benar-benar berpuasa, mencegah lisannya dari melakukan dosa-dosa yang melibatkan lisan seperti, berdusta, ghibah (membicarakan keburukan orang lain), dan mencela. Ia juga mengontrol pendengarannya dari mendengar suara-suara yang menyimpang dan rayuan syaitan. Penglihatan orang yang berpuasa juga tidak dibenarkan untuk melihat setiap pemandangan. Pemandangan yang bisa menyeret manusia ke lembah dosa haram hukumnnya untuk dilihat dan orang yang berpuasa harus menutup penglihatannya.

Individu yang berpuasa harus meninggalkan semua dosa dan sifat-sifat tercela seperti rasa dengki, iri hati, marah atau menebarkan permusuhan dan lain-lain. Sebab, puasa merupakan sebuah ibadah untuk melatih manusia mengontrol diri dan memupuk semangat takwa.

Kesuksesan seseorang meninggalkan dosa, akan membuatnya meraih keuntungan yang lebih besar dalam urusan ibadah dan jika ia terjebak dalam banyak dosa meskipun tidak membatalkan puasa, tapi pahala dan ganjarannya telah berkurang. Kaum Muslim harus berusaha maksimal agar bisa mempersembahkan amal ibadah yang sempurna dan tanpa cacat ke pangkuan Allah. Amalan yang ikhlas dan bersih ini diterima dengan lapang dan membuat pelakunya memperoleh keridhaan Tuhan.

Derajat tertinggi dari puasa adalah puasa yang sangat khusus. Orang yang berpuasa tidak hanya meninggalkan makan dan minum, tetapi juga menjaga pikiran dan niatnya sehingga tidak terlintas pikiran maksiat dan dosa dalam benaknya serta tidak mengotori niat tulusnya.

Persiapan untuk acara buka puasa bersama di Kompleks Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, Iran. (dok)
Kajian atas sejumlah ayat dan riwayat menunjukkan bahwa Ramadhan adalah bulan untuk memperbaiki diri atau dengan kata lain momen untuk membersihkan diri. Al-Quran telah menjelaskan bentuk yang paling indah dan sempurna dari perbaikan diri itu yakni mengganti keburukan dengan kebaikan, dan menghapus dosa dengan taubat.

Dalam surat al-Maidah ayat 39, Allah Swt berfirman, “Maka barang siapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  

Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ketika hamba-Ku yang mukmin melakukan dosa, dan kemudian ia bertaubat dari dosa itu dan ketika mengingat maksiat tersebut, ia merasa malu di hadapan Rububiyah-Ku, maka Aku tidak hanya mengampuni dosanya – di mana Aku menghapus dosanya dari ingatan Malaikat yang mencatatnya – tapi lebih dari itu Aku mengganti dosanya dengan kebaikan.”

Manusia sesuai dengan tuntutan kondisi tertentu dan di berbagai rentang usianya, terjebak dalam banyak dosa dan kesalahan. Mereka kadang melupakan hubungan penghambaannya dengan Tuhan, dan sesekali lalai dalam menunaikan kewajiban dan amal ibadahnya. Mereka adakalanya juga meremehkan tugas melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perkara haram.

Taubat dan kembali ke jalan Allah Swt adalah cara untuk mengganti ibadah-ibadah yang telah lewat dan melunasi utang-utang yang menjadi kewajiban mereka.

Sebagian dosa berbentuk kezaliman dan penindasan terhadap orang lain. Kadang hak-hak orang lain terkait harta, nyawa, dan harga diri diabaikan begitu saja. Dalam kasus seperti ini, maka wajib bagi manusia setelah taubat dan penyesalan, mengembalikan hak-hak orang lain yang telah dirampas dan meminta kerelaan mereka. Secara umum taubat dari segala dosa harus dilakukan sesuai dengan kadar kesalahan dan menutupi dosa tersebut.

Bulan Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk menjaga hak-hak orang lain dan menghindari perilaku yang bisa merampas ketenangan individu dan masyarakat. Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniyah bersabda, “Barang siapa menahan keburukannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.” 

Read 918 times