Surat Al-Fatihah; Ayat 2-5 (Part 2)

Rate this item
(11 votes)

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)

Segala puji hanya bagi Allah Tuhan seluruh Alam (1:2)

Setelah menyebut nama Allah, maka kalimat pertama yang kita ucapkan ialah syukur kepadanya. Allah Tuhan sumber segala kehidupan di jagad raya. Alam semeta bersumber dari-Nya, baik benda mati maupun benda hidup, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Dia-lah yang mengajarkan kepada lebah madu dari mana mencari makanan dan bagaimana cara membuat sarang. Dia juga mengajarkan kepada semut bagaimana menyimpan makanannya untuk musim dingin. Dia pulalah yang menumbuhkan batang-batang gandum yang penuh dengan biji-biji hanya dari sebutir gandum, juga menumbuhkan sebatang pohon apel dari sebutir biji apel.

Dia-lah yang menciptakan langit dengan kehebatan yang amat besar ini dan menetapkan garis peredaran setiap bintang dan setiap galaksinya. Dia-lah yang menciptakan kita dari setetes air yang memancar dan menumbuhkan kita di dalam perut ibu selama kurang lebih 6 hingga 9 bulan. Lalu setelah kita lahir ke dunia Dia pun menyediakan segala keperluan untuk perkembangan kita. Dia membentuk badan kita sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan diri dari kuman-kuman penyebab penyakit dan jika salah satu tulang tubuh kita patah atau retak, maka tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Kemudian jika tubuh memerlukan darah, maka secara alami ia memproduksinya untuk memenuhi keperluan tersebut.

Meski demikian, yang berada di tangan Allah bukan hanya perkembangan dan pemeliharan tubuh kita saja, karena Dia juga menciptakan akal dan perasaan untuk kita lalu mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab samawi untuk membina kita.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

‎1. Ketergantungan kita dan seluruh alam semesta ini kepada Allah. Bukan ‎hanya pada saat perciptaan, akan tetapi perkembangan dan keterpeliharaan ‎kita juga datang dari-Nya. Oleh karena itu, hubungan Allah dengan segala ‎yang maujud ini bersifat selamanya dan kekal.

2. ‎Atas dasar ini pula kita harus mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Bukan hanya ‎di dunia, di hari akhiratpun ucapan para penghuni surga ialah alhamdulillahi ‎rabbil alamiin.‎

 

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3)

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (1:3)

Allah yang kita imani ialah Wujud yang penuh kasih sayang, cinta, maaf dan ampunan. Contoh-contoh rahmat dan cinta-Nya terdapat di dalam kebesaran nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga untuk kita. Bunga-bunga yang indah berbau harum, buah-buahan yang manis dan lezat rasanya, berbagai bahan makanan yang lezat dan bergizi, bahan-bahan pakaian yang beraneka warna, dan lain sebagainya adalah anugerah yang diberikan Allah kepada kita.

Kecinta seorang ibu kepada anaknya Dia tanamkan di dalam sanubari ibu kita, sedangkan Allah sendiri memiliki cinta yang jauh lebih besar daripada kecintaan ibu kepada anaknya. Kemurkaan dan siksaannya pun datang dari tindakan Allah yang bertujuan memperingatkan dan adanya perhatian Allah terhadap kita. Bukannya karena sifat dendam atau niat menuntut balas.

Oleh karena itu, jika kita bertaubat dan menutupi kesalahan yang kita lakukan maka Allah pasti akan mengampuni dan menghapus kesalahan.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Allah selalu mendidik dan memelihara segala yang maujud ini dengan rahmat dan cinta. Karena di samping sifat-Nya sebagai Rabbul Alamin, pemeliharaan semesta alam, Dia juga menyebut diri-Nya sebagai Arrahman dan Arrahim, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

2. Jika para pengajar dan pendidik ingin mendapatkan sukses, maka mereka harus bekerja berdasarkan mahabbah dan kasih sayang.

 

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)

Pemilik hari pembalasan (1:4)

Kata-kata 'Din' berarti mazhab atau agama, tapi juga bisa berarti pembalasan. Adapun yang dimaksudkan dengan Yaumiddin ialah Hari Kiamat yang merupakan hari perhitungan pemberian pahala dan pembalasan.

Meskipun Allah Swt adalah pemilik dan penguasa dunia sekaligus pemilik akhirat, namun kepemilikan dan kekuasaan-Nya di Hari Kiamat memiliki bentuk yang berbeda. Di hari itu tak ada siapapun yang menguasai sesuatu. Harta kekayaan dan anak sama sekali tidak memiliki peran. Sahabat dan kerabat tak memiliki kekuasaan apapun. Bahkan seseorang tidak memiliki kekuasaan terhadap anggota tubuhnya sendiri. Lidah tak diizinkan untuk mengucapkan permohonan ampun. Tidak pula pikiran memiliki kesempatan untuk berpikir. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh di hari itu.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Di samping harapan akan rahmat Allah yang tak terbatas sebagaimana yang dipaparkan dalam ayat sebelumnya, kita juga harus merasa takut kepada perhitungan dan pembalasan Hari Kiamat.

2. Dengan beriman kepada hari kiamat kita tidak perlu cemas bahwa perbuatan-perbuatan baik kita tidak akan memperoleh balasan atau pahala.

3. Allah Swt Maha Mengetahui segala perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan dan Dia Maha Mampu untuk memberikan balasan dan pahala.

 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu-lah kami meminta pertolongan (1:5)

Di dalam ayat-ayat yang lalu Allah telah kita kenal bahwa Dia itu Rahman dan Rahim serta Rabbul `Alamin juga Maliki Yaumiddin. Sementara oleh karena kehebatan ciptaan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung yang Dia curahkan kepada kita, maka kita mengucapkan syukur dan pujian kepadanya dengan mengatakan Alhamdulillahi rabbil `alamin.

Sudah sepatutnyalah jika sekiranya kita menghadapkan diri kita kepada-Nya, seraya mengakui ketidakmampuan dan kelemahan kita, maka kita juga mengatakan bahwa kita adalah hamba-hamba-Nya yang tulus. Kita ucapkan, Ya Allah, hanya dihadapan perintah-Mu-lah kami menundukkan kepala, bukan dihadapan perintah selain-Mu. Kami bukanlah hamba-hamba emas dan kekayaan duniawi juga bukan budak-budaknya kekuatan dan kekuasaan imperialis.

Oleh karena shalat yang merupakan manifestasi ibadah dan penyembahan Tuhan ditunaikan secara berjamaah maka umat Islam satu suara di dalam satu barisan secara kompak menyatakan "iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin", yaitu bukan hanya aku melainkan kami semua adalah hamba-hamba-Mu dan kepada-Mulah kami memohon pertolongan. Ya Allah bahkan ibadah yang kami tunaikan ini pun adalah berkat pertolongan-Mu. Jika Engkau tidak menolong kami, niscaya kami akan menjadi hamba dan budak selain-Mu.

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Meskipun undang-undang yang menguasai alam materi dan formula-formula fisika dan kimia kita yakini, namun semua itu berada di bawah kekuasaan Allah dan di bawah kehendak-Nya. Karenanya, kita harus berserah diri kepada Allah, bukan kepada alam. Hanya kepada Allah kita memohon bantuan, termasuk dalam urusan materi.

2. Jika dalam setiap shalat dengan sepenuh hati dan khusyuk kita nyatakan bahwa kita hanya menghambakan diri kepada Allah, maka kita tidak akan menjadi orang yang congkak dan takabur.

 

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (1:6)

Dalam al-Quran ada dua bentuk hidayah; hidayah cipta (takwini) seperti hidayah ‎lebah madu untuk menghisap sari bunga dan bagaimana ia membuat sarangnya ‎atau hidayah burung-burung saat berpindah dari satu daerah ke daerah lain di ‎musim dingin. Dan yang kedua adalah hidayah tinta (tasyri'i). Hidayah tinta inilah ‎yang terwujudkan dalam pengutusan para nabi ilahi dan kitab-kitab langit untuk ‎menghidayahi manusia.‎

Kata shirat atau jalan disebutkan lebih dari 44 kali dalam al-Quran. Memilih jalan ‎dan garis pemikiran yang benar menunjukkan keistimewaan manusia. Terlebih lagi ‎manusia harus memilih jalan yang lurus dari banyak jalan yang terbentang di ‎hadapannya. Di sini, seorang mukmin akan memilih jalan Allah dan wali-wali-Nya. ‎Karena jalan ilahi pasti dan tidak akan ada perubahan dan jalan-Nya hanya satu ‎tidak lebih. Seseorang yang mengikuti jalan ilahi tidak akan pernah mengenal kata ‎kalah dan gagal.‎

Namun manusia tidak boleh lupa bahwa dalam memilih jalan lurus dan ‎melanjutkannya harus meminta bantuan Allah. Sama seperti lampu yang ‎cahayanya yang setiap saat mengambil energinya dari pembangkit listrik. Dalam ‎jalan lurus, satu-satunya keinginan setiap muslim di setiap shalat selalu diminta ‎dari Allah, bahkan Rasulullah saw dan para Imam as juga memohon kepada Allah ‎agar tetap teguh di jalan yang lurus.‎

 

Jalan lurus itulah jalan tengah yang menjadi pemecah sikap ekstrim, baik kanan ‎dan kiri dalam akidah maupun amal. Karena terkadang ada orang yang tergelincir ‎dalam akidah dan ada juga di tingkat perbuatan.‎

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

‎1.‎ Semua keberadaan di alam semesta bergerak dalam jalur dan kehendak ‎Allah.‎

‎2.‎ Permintaan akan hidayah meraih jalan yang lurus merupakan keinginan ‎paling penting orang-orang yang menyembah Allah yang Esa.‎

‎3.‎ Demi meraih jalan yang lurus, seseorang harus berdoa, "Tunjukilah kami ke ‎jalan yang lurus."‎

 

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. (1:7)

Dalam memilih jalan kehidupan, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama ialah orang-orang yang memilih jalan Allah, dan meletakkan kehidupan pribadi dan masyarakat mereka di atas dasar undang-undang dan perintah yang telah Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya. Golongan ini selalu tercakup oleh rahmat dan nikmat ilahi yang khusus.

Golongan kedua berada di dalam keadaan yang berlawanan dengan golongan pertama. Mereka ini meskipun mengetahui adanya kebenaran, namun tetap saja menolak Allah bahkan lari menuju kepada selain-Nya. Mereka ini lebih mengutamakan hawa nafsu mereka, hasrat buruk orang-orang dekat dan keluarga serta masyarakat mereka daripada keinginan dan kehendak Allah Swt.

Kelompok ini secara perlahan memperlihatkan akibat-akibat perbuatan dan perilaku mereka di dalam keberadaan mereka. Sedikit demi sedikit mereka menjauh dari shirath al-mustaqhim dan bukan menuju ke arah rahmat Allah Swt dan rahmat-Nya. Mereka terpelosok masuk ke jurang kesengsaraan dan kesusahan serta menjadi sasaran kemurkaan dan kemarahan ilahi yang disebut oleh ayat ini sebagai orang yang `maghdhuubi 'alaihim`, orang-orang yang dimurkai.

Sementara itu, kelompok ketiga ialah orang-orang yang tidak memiliki jalan yang jelas dan tertentu. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang bingung dan tidak mengetahui. Di dalam ayat ini, mereka disebut sebagai `dhallin`, atau orang-orang yang sesat.

Dalam setiap salat kita mengatakan, `ihdinash shiraathal mustaqiim`, yang artinya, "Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus". Jalan yang dilalui oleh para Nabi, auliya', orang-orang suci dan orang-orang yang lurus. Mereka yang selalu berada di bawah curahan rahmat dan nikmat-nikmat khusus-Mu. Dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang telah menyimpang dari kemanusiaan dan menjadi sasaran kemurkaan-Mu, juga dari jalan orang-orang yang kebingungan dan sesat.

Siapakah orang-orang yang sesat itu? Di dalam al-Quran banyak kelompok dan kaum yang disebut dengan sebutan di atas. Di sini kita akan menyinggung salah satu contohnya yang jelas dan nyata.

Read 6974 times