Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 34

Rate this item
(8 votes)

Ayat ke 34

Artinya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.  (4: 34)

Kaum lelaki merupakan  pemimpin kaum perempuan. Allah melebihkan posisi kaum lelaki dengan alasan mereka menafkahi perempuan dengan hartanya sendiri. Dengan demikian, wajar bila perempuan menaati suaminya. Selain itu, bila suaminya telah meninggal, hendaknya ia menjaga rahasia suaminya. Karena Allah Swt adalah pemelihara rahasia.

Setelah menjelaskan posisi suami dan isteri dalam rumah tangga, Allah kemudian menjelaskan cara seorang suami dalam menghadapi isterinya yang dikhawatirkan melanggar atau tidak taat. Langkah pertama yang harus dilakukan seorang suami adalah menasihati isterinya. Bila cara ini tidak mempan, seorang suami dapat menerapkan langkah kedua dengan pisah ranjang dengan isteri. Bila masih tetap melakukan pelanggaran, maka suami dapat menjatuhkan hukuman kepada isterinya. Tapi ketika terjadi perubahan dalam sikapnya dan mereka sudah menaati suaminya, maka suami tidak boleh menyakitinya. Karena sesungguhnya Allah Maha Besar dan Tinggi.

Ayat  ini boleh disebut sebagai kunci al-Quran dalam memberikan solusi bila muncul masalah dalam sebuah keluarga. Tapi sayangnya ayat ini pula yang sering disalahtafsirkan oleh sekelompok orang baik yang beragama atau punya kepentingan tertentu. Dengan bersandar pada ayat ini mereka menganggap dirinya tuan dan isteri sebagai budak. Sebagaimana seorang budak harus menaati tuannya, maka isterinya harus menaati mutlak perintahnya. Padahal ayat ingin memberikan penjelasan lain terkait masalah lain.

Seorang suami yang ingin berlaku semena-mena menjadikan ayat ini sebagai justifikasi atas segala perbuatannya terhadap isterinya. Ia menganggap perintahnya sama seperti perintah Allah. Bila isterinya menentang, maka ia berhak memberikan hukuman yang paling berat. Pandangan yang salah terhadap ayat ini membuat sebagian orang jahil lalu mengolok-olok Islam dan menyebut Islam menentang hak-hak perempuan.  Padahal,  yang mereka saksikan adalah penerapan yang buruk yang bersumber dari ketidakmengertian mereka akan tafsir ayat tersebut. Penjelasan masalah ini akan dibagi menjadi dua agar dapat dipahami dengan lebih baik.

Pertama, ayat ini memperkenalkan bahwa suami menjadi pelaksana urusan isteri. Ketika melihat keluarga sebagai institusi paling mendasar bagi pembentukan masyarakat, maka sudah barang tentu keluarga punya peran yang sangat penting. Sebuah keluarga dibentuk lewat sebuah perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan yang berujung pada lahirnya anak-anak mereka. Tentu saja sebuah keluarga memerlukan seorang penanggung jawab untuk mengurusi urusan mereka. Bila tidak ada seorang pengelola yang bertanggung jawab, maka institusi keluarga akan kacau balau.

Oleh karenanya, penentuan seorang sebagai pemimpin keluarga  merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari. Wajar bila anak kecil bukan pemimpin keluarga, adalah perkara yang lazim dan tidak dapat dihindari.  Wajar bila pemimpin keluarga adalah suami. Al-Quran memperkenalkan suami sebagai pemimpin rumah tangga dengan dua alasan. Pertama, lelaki dari segi fisik lebih kuat dari perempuan. Dengan karakter semacam ini, seorang suami yang berkewajiban mencari penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya, perempuan menurut Islam tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah, bahkan bila ia memiliki mata pencaharian sendiri. Isteri tidak wajib untuk mengeluarkan hartanya untuk membelanjai keluarganya.

Artinya, tanggung jawab berat memenuhi kebutuhan keluarga berada di pundak suami. Ketika ia bertanggung jawab, maka wewenang seorang suami dalam keluarga juga besar, sesuai dengan tanggung jawabnya. Tapi itu tidak berarti seorang suami dapat berbuat sewenang-wenang terhadap isterinya dan memperlakukannya seperti seorang budak yang harus melakukan segala perintahnya. Oleh karenanya, bila seorang suami berbuat salah dan tidak memberi nafkah, misalnya, maka isteri dapat meminta kepada hakim syariat untuk mencampuri urusan rumah tangga mereka dan bila perlu suami harus berjanji di hadapan hakim untuk menjadi suami yang bertanggung jawab.

Satu hal lagi yang patut diperhatikan bahwa kepemimpinan suami di tengah keluarga bukan berarti laki-laki lebih mulia dari perempuan. Karena tolok ukur keutamaan seseorang terletak pada takwa dan iman.

Kedua, ayat menjelaskan tentang dua model perempuan. Ada perempuan yang salehah, taat dan memegang teguh pada sistem keluarga. Ia tidak hanya taat kepada suami ketika ada, tapi juga saat suaminya tidak ada di rumah. Bahkan lebih dari itu, ketika suaminya meninggalpun ia tetap memelihara kepribadian, rahasia dan hak suaminya.  Model  isteri yang semacam ini mendapat pujian dari Allah Swt. Sementara model yang kedua, seorang isteri yang tidak taat kepada suaminya dalam urusan rumah tangga. Sekaitan dengan isteri yang seperti ini, al-Quran mengingatkan mereka sebaga isteri yang dikhawatirkan menyeleweng.

Bila seorang suami mulai mengkhawatirkan penyelewengan isterinya, maka metode pertama yang harus diterapkan adalah dengan menasihatinya. Bila tidak mempan, maka langkah kedua yang harus diambil adalah pisah ranjang agar isterinya mengetahui bahwa peringatan yang diberikan semakin serius. Tapi bila isteri tetap tidak patuh dengan cara ini, maka suami punya izin untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, tapi diberi catatan bahwa hukuman tidak boleh terlampau berat agar isterinya menyadari akan kesalahannya.

Pelanggaran atau penyelewengan isteri dalam al-Quran disebut dengan istilah  Nusyuz. Al-Quran memberikan solusi sesuai tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh isteri. Artinya, bila penyelewengan atau ketidakpatuhan isteri terhadap suami hanya pada tingkat lisan saja, maka cukup dinasehati dengan lisan. Tapi tidak jarang penentangan isteri sudah sampai pada tingkat perbuatan, maka suami harus meningkatkan cara nasihatnya dengan pisah ranjang. Tapi ketika penentangan isteri sudah mencapai tingkat yang berat, maka di sini ia harus diberi hukum badan.

Ketika seorang suami melakukan pelanggaran, maka yang akan mengadili kesalahannya adalah hakim syariat. Bila pelanggaran seorang suami sudah berat, maka hakim harus menjatuhkan hukuman terhadapnya. Sebagai contoh, ketika suami tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka isterinya dapat mengadukan perbuatan suaminya ke pengadilan. Namun mengingat masalah keluarga itu sifatnya sangat privasi, maka al-Quran menghimbau pasangan suami-isteri hendaknya dapat menyelesaikan masalahnya lewat cara kekeluargaan, sehingga tidak diketahui orang luar.

Dari ayat tadi terdapat  lima  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Dalam sebuah komunitas yang terdiri dari dua orang, maka salah satunya harus dipilih sebagai ketua yang bertanggung jawab pada komunitasnya.

2.  Amal saleh  tidak terbatas pada shalat dan puasa, tapi juga melaksanakan tanggung jawaab keluarga.

3.  Kepatuhan  isteri  terhadap suaminya bukan kelemahan, tapi  penghormatan kepada  institusi  keluarga.

4. Suami senantiasa memiliki niat baik dalam usahanya memperbaiki isterinya, bukan niat balas dendam atau lainnya.

5. Suami harus tahu bahwa Allah mengawasi mereka sebagai kepala rumah tangga dan meminta pertanggungjawabannya di Hari Kiamat.

Read 22997 times