کمالوندی
Hadis Tsaqalain
“Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis Tsaqalain (حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut.
Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Matan Hadis
Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
«...إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی...».
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.” [1]
Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah, meriwayatkan”
«... کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض...».
“Ajalku sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga al-Haudh.” [2]
Sumber dan Sanad Hadis
Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.
Sumber dari Literatur Ahlusunnah
Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
*Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
*Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
*Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
*Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14].
*Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16].
*Imam Ali As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazāz [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
*Abudzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
*Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
*Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
*Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]
Dan sejumlah dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām juga menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab Ahlusunnah.
Jadi sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari Literatur Syiah
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]
Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:
Kitab berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi, Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.
Kitab berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahuzi.
Waktu dan Tempat Keluarnya Hadis
Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:
*Pada hari Arafah, disaat menunggangi unta [28], pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
*Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji terpisah satu sama lain. [30].
*Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
*Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]
*Di atas mimbar. [34]
*Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
*Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
*Di ranjang, saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]
Sunnah atau Itrah?
Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam pembahasan ikhtilaf antar mazhab.
Siapakah yang Dimaksud Itrah?
Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’ [39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan pesannya. [41]
Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan Hadis
Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.
Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:
Kewajiban Mengikuti Ahlulbait
Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.
Kemaksuman Ahlulbait
Ada dua poin yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
*Menegaskan jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
*Ketidakterpisahan Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya.
Sebagian dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]
Keharusan Adanya Imam
Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.
*Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini, al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
*Nabi Saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.
*Nabi Saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya.
Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44] menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi.” [45]
Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan.
Sayid Abdul -Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Sulaim Busyra –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Sulaim Busyra dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Sumber: http://id.wikishia.net
Catatan Kaki
[1] Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
[2] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[3] Atsar Ahmad Mahauzi.
[4] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[5] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
[6] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
[7] Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
[8] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
[10] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
[11] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
[12] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
[13] Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
[14] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
[16] Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
[17] Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhār, hlm. 88, hadis 864.
[18] Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
[19] Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
[20] Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
[21] Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
[22] Al-Bani, Dzhalāl al-Jannah, hadis 1465.
[23] Teks lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1, hlm. 106-107 dan al-Ashābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.
[24] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.
[25] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
[26] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[27] Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.
[28] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
[29] Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
[30] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.
[31] Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.
[32] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
[33] Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
[34] Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
[35] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
[36] Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
[37] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[38] Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
[39] Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.[40] Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.
[41] Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
[42] Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.
[43] Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
[44] Jilid 8, hlm. 7.
[45] Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
[46] Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
[47] Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
Mengapa Peristiwa Al-Ghadir Disebut ‘Id?
الحمد لله الذى جعلنا من المتمسكين بولاية اميرالمؤمنين علي ابن ابى طالب عليه السلام
Tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 H. tercatat dalam sejarah sebagai hari dimana Rasulullah saw diperintahkan Allah swt melalui Jibril as untuk menyampaikan kabar bahwa agama islam telah disempurnakan oleh-Nya dan Imam Ali bin Abi Thalib as telah ditunjuk sebagai pengganti Nabi saw.
Perintah Allah ini sangatlah penting. Sampai-sampai jika Rasulullah saw tak menyampaikan hal ini (pengangkatan Imam Ali as sebagai pengganti Rasulullah saw), maka seakan-akan Rasulullah saw tidak menyampaikan apa-apa selama 23 tahun berdakwah. Sebagaimana yang termaktub dalam al-qur’an:
يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari (bahaya) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al-Maidah:67)
Peristiwa ini masyhur dengan sebutan Idul Ghadir. Pertanyaannya, mengapa peristiwa ini disebut hari raya (‘id)?
Pertama-tama kita harus tahu apa makna dari kata ‘id. Kata ‘id (عید), dalam bahasa Arab, menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata al-‘aud (العود) yang berarti kembali dan berulang.
Dinamakan ‘id karena pada hari tersebut Allah memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hamba-Nya. Kebaikan ini berupa boleh makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya. Terkadang juga berupa zakat fitri, penyempurnaan haji dengan thawaf, penyembelihan daging kurban, dan sebagainya.
Begitu pula, terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul Iedain, Syekh Ali bin Hasan)
Yang membuat peristiwa al-Ghadir menjadi hari raya, bukan hanya karena banyak orang yang bahagia, bersuka cita, dan gembira pada itu, namun juga karena momen yang telah disiapkan oleh Allah swt setelah peristiwa itu sangatlah istimewa.
Sebagaimana yang kita ketahui, Idul Fitri terjadi setelah umat muslim melaksanakan dan menyempurnakan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Idul Adha terjadi setelah umat muslim yang berhaji melakukan dan menyempurnakan rukun yang paling penting dalam haji, yaitu wukuf di Arafah. Karena pentingnya wukuf, sebagian perawi meriwayatkan, “Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An-Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Tapi beda halnya dengan Idul Ghadir. Peristiwa ini terjadi bukan karena umat muslim telah melakukan haji atau ibadah yang lain. Bukan juga karena umat Muhammad saw telah tersebar di berbagai negeri. Namun ini terjadi karena Allah swt telah menyempurnakan agama islam dan Rasulullah saw menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai washi-nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah swt dalam al-qur’an
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3)
Oleh karena itu, cukuplah bagi kita, dengan dasar ini, menjadikan peristiwa Ghadir Khum sebagai hari raya (‘id). (Darut-Taqrib/Adrikna!)
Toleransi Sunni Syiah
Belajar toleransi itu tidak cukup dengan membaca buku. Menghadiri seminar-seminar bertema toleransi. Atau mendengarkan ceramah dosen di kelas. Semua cara ini tidak akan efektif jika kita enggan berinteraksi secara langsung dengan kelompok yang berbeda. Dalam ungkapan lain, kita harus lebih sering melakukan perjumpaan dengan liyan. Tidak sekadar berjumpa dan “say hello” tentunya. Tapi berusaha memahami detil jengkal perbedaan yang ada pada setiap kali kesempatan bersua.
Setidaknya itulah pengalaman saya sore kemarin ketika melakukan safari dari Jepara menuju Yogyakara bersama dengan teman-teman Gusdurian. Di tengah perjalanan, Kiai Fuad Allatifi mengingatkan kami serombongan agar mampir di masjid terdekat untuk menunaikan shalat Ashar. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 Wib. Akhirnya, juru mudi menghentikan kendaraan yang kami tumpangi di salah satu pom bensin di kawasan Secang Magelang.
Ternyata, di antara kami bertujuh, hanya 3 orang yang “asharan”. Saya, Kiai Fuad, dan Mas Ahis, santri dari pesantren Nailun Najah Kalinyamatan Jepara. Sementara empat orang lainnya hanya istrahat, sekadar melepas lelah. Karena penasaran, Kiai Fuad memberanikan diri bertanya kepada Ustad Mana Kala, “Gak shalat, tad?”
“Kami sudah shalat, tadi!” Jawab Ustad Manakala.
“Kalau saya juga sudah. Dijamak dari Jepara,” sambung Bu Nyai Ikfina Maufuriyah.
Selepas shalat berjamaah, saya bilang kepada Kiai Fuad, “Orang Syi’ah itu waktu shalatnya beda dengan kita. Makanya mereka gak shalat.”
“Maksudnya?” Kiai Fuad tampak semakin kepo.
“Nanti kamu bisa minta kepada Ustad Manakala buat menjelaskan persoalan ini secara langsung,” sahutku sambil perlahan meninggalkan area surau.
Ekspidisi pun dilanjutkan. Sembari menikmati perjalanan, Kiai Fuad mendapatkan wejangan dari Ustad Manakala mengenai pembagian waktu shalat perspektif penganut Syi’ah. Ternyata, terdapat perbedaan antara kelompok pecinta “ahlulbait” ini dengan kalangan Sunni tentang rincian waktu shalat. Jika kita sebagai mayoritas orang Indonesia yang berpaham ahlusunnah wal jamaah memiliki lima waktu shalat, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh, maka tidak dengan Syi’i. Fiqh Syi’ah menyederhanakan waktu shalat yang lima tersebut menjadi tiga saja. Pertama, waktu untuk menunaikan dua salat wajib di siang hari, yaitu Zuhur dan Ashar. Kedua, waktu untuk dua shalat wajib di malam hari, Maghrib dan Isya’. Ketiga, waktu untuk shalat Subuh.
Ketidaksamaan klasifikasi waktu ibadah shalat antara Sunni-Syi’ah ini disebabkan oleh perbedaan “fiqhiyyah” dalam menafsirkan ayat:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 78).
Dari ayat tersebut, ahli fiqih Syi’ah menyimpulkan bahwa waktu shalat wajib hanya terbagi menjadi tiga, bukan lima sebagaimana pendapat “fuqoha'” Sunni. Jadi, Sunni-Syi’i tetap sama-sama berkewajiban menunaikan shalat Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’, akan tetapi tata-caranya yang berlainan.
Secara teknis, shalat Zuhur, menurut Fiqh Syiah, dimulai saat matahari tergelincir. Sedangkan waktu shalat Ashar dimulai setelah dilakukan salat Zuhur hingga menjelang matahari terbenam. Dengan kata lain, salat Zuhur dan Ashar memiliki batas waktu yang khusus. Pelaksanaan shalat Maghrib dimulai setelah hari benar-benar gelap. Kamudian disambung shalat Isya’. Rentang waktunya berakhir sampai menjelang fajar, tanda Subuh tiba. Dengan demikian waktu salat wajib harian bisa dibagi menjadi tiga ufuk waktu; syuruq, zawal dan ghurub.
Kiai Fuad pun manggut-manggut mendengar ulasan singkat Ustad Manakala. Melalui perjumpaan dalam satu mobil, tumbuh sikap saling memahami. Sunni-Syi’ah bergandeng mesra dalam bingkai toleransi. Jau
Mengenal Sahabat Maksumin: Kumail bin Ziyad an-Nakhai
Setiap malam Jum’at, umat islam menghabiskan waktunya dengan berdoa. Salah satu doa yang paling disarankan untuk dibaca adalah doa Kumail. Doa Kumail adalah doa panjang yang sangat indah. Di dalamnya, terdapat permohonan-permohonan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik berupa permohonan duniawi maupun ukhrawi. Lihatlah kata-kata indah yang mengalun menyelimuti bumi di malam Jum’at itu, “ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu. Dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu. Dan dengannya menunduk segala sesuatu… Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan, dosa-dosaku yang menyebabkan petaka, dosa-dosaku yang merusak nikmat, dosa-dosaku yang menghalangi doa, dosa-dosaku yang menurunkan bencana…”
Siapakah Kumail?
Doa ini dinamakan doa Kumail. Sedangkan Kumail sendiri adalah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as yang sangat setia. Nama lengkapnya adalah Kumail bin Ziyad an-Nakhai. Ia berasal dari Yaman. Keluarganya bermukim di Kufah selama masa kekhalifahan Imam Ali as. Ia juga tercatat sebagai orang yang memimpin kelompok para pembaca al-Qur’an dalam revolusi Abdurrahman bin al-Ashath melawan al-Hajjaj, gubernur Kufah yang sangat kejam di waktu itu.
Doa Nabi Khidir
Dalam Iqbal al-A’mal, Ibn Thawus menuturkan bahwa Kumail an-Nakhai berkata, “suatu kali aku duduk bersama Imam Ali bin Abi Thalib as di masjid Bashrah bersama sekelompok sahabat beliau. Lalu, seorang di antara kelompok itu bertanya: ‘apa maksud ayat, ‘pada malam itu diuraikan segala urusan yang penuh hikmah?’ (ad-Dukhan: 4) ’
Imam Ali menjawab, ‘malam itu malam pertengahan Sya’ban. Demi Zat yang nyawa Ali berada di genggaman-Nya, baik-buruk segenap hamba dibagikan pada malam pertengahan bulan Sya’ban hingga akhir tahun. Dan barangsiapa yang menghidupkannya (dengan amalan-amalan baik) dan berdoa di waktu itu dengan doa Nabi Khidir, maka Allah akan menjawabnya.’ ”
Singkat cerita, karena penasaran, Kumail meminta imam Ali untuk mengajarinya. Maka, imam Ali lantas mendiktekan doa itu, dan dicatat oleh Kumail dengan penuh kekaguman.
Bangkit melawan al-Hallaj
Sejarah mencatat bahwa al-Hajjaj adalah orang yang sangat keji. Ia juga amat membenci keluarga Nabi saw. Rakyat Kufah hidup menderita di bawah kediktatorannya. Pada tahun 81 H, Abdurrahman bin al-Ashath memberontak kepada atasannya itu, al-Hajjaf bin Yusuf. Pasukannya berjumlah lebih daari seratus orang. Termasuk kelompok pembaca al-Qur’an yang dipimpin oleh Kumail bin Ziyad. Pertempuran sengit terjadi antara dua kubu. Akhirnya, para pejuang berhasil mengalahkan tentara al-Hajjaj. Mereka membebaskan beberapa kota seperti Sajestan dan Kirman (di Iran), serta Basrah dan Kufah (di Irak). Tidak terima dengan kekalahannya, Abdul Malik mengirim pasukan tambahan kepada al-Hajjaj. Kedua pasukan kembali bertempur di Dir al-Jumajum. Setelah pertempuran sengit, pasukan Abdurrahman kalah. Pasukan mereka kocar-kacir. Ada yang terbunuh, melarikan diri dan bersembunyi. Kumail bin Ziyad beberapa pejuang lainnya menghilang. Al-Hajjaj mulai mencari mereka. Al-hajjaj mencari Kumail kemana-mana, tapi mata-mata al-Hajjaj tak mampu menangkap Kumail. Hingga akhirnya, al-Hajjaj menggunakan cara licik; menyiksa dan mengganggu para pengikut Kumail. Mendengar peristiwa itu, Kumail akhirnya menyerah. Orang-orang lantas membawa kumail menghadap al-Hallaj.
Di hadapan al-Hajjaj
Wajah Kumail bersinar. Janggutnya telah memutih. Hatinya teguh. Kumail memasuki istana al-Hajjaj dengan gagah. Ia menatap semua hadirin dengan tatapan mata tajam. Tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya. Ia tahu bahwa ia akan dibunuh oleh al-Hallaj. Karena kekasihnya, Ali bin Abi Thalib, telah memberitahunya. Tanpa menghiraukan al-Hajjaj, Kumail berkata, “pemimpinku, Imam Ali, telah mengatakan kepadaku bahwa kau akan membunuhku. Wahai musuh Allah, lakukan apa yang ingin kau inginkan! Ketahuilah bahwa hari pembalasan akan muncul setelah pembunuhan ini.”
Al-Hajjaj berkata, “ingkari Ali, bila ingin selamat.”
Kumail menjawab, “Tunjukkan padaku agama yang lebih baik dari agama Ali.”
Al-Hajjaj pun langsung memerintah algojonya untuk memenggal kepala Kumail bin Ziyad an-Nakhai, seorang sahabat besar imam Ali as yang memegang rahasia beliau as. Makam beliau sekarang berada di atas bukit Wadi as-Salam di kota suci Najaf. Kumail boleh mati, tapi namanya selalu abadi dalam hati umat islam.
Janganlah Fanatik Buta
Senang bertemu kembali dengan kalian semua, terimaksih teruntuk waktunya. Telah berbagi kebersamaan dengan cara membaca kalimat tahlil, maulidan dan bersenda gurau bersama.
Sebuah makna dari pengantar yang mana kata ini sering terlupakan teruntuk saat-saat ini. Pengantar yang memiliki makna dalam ialah
“ Membicarakan orang lain tapi (bukan dengan orang lain) dengan sendiri ”
Artinya kita harus memperbanyak silaturahmi, sering bertatap muka dan berdiskusi bersama tanpa memandang bulu, agar tidak terjadi salah paham. Baik dalam berbeda pilihan atau pun dalam berkeyakinan sekalipun .
Kedua, “Janganlah Berfanatik Buta” yang artinya dalam urusan apa pun hendaknya kita tetap rendah hati, menghargai pendapat orang lain, dan jangan sesekali merasa bahwa kita yang paling benar dan menyifati orang lain itu salah. Sebab yang benar hanya berada pada Allah SWT. itulah dua pengantar dari ustaz Ali.
Seperti biasanya dalam seminggu sekali kita mengadakan rutinitas idharah bersama, dalam artian silaturrahmi saling mengunjungi rumah kita masing masing. Walau pun idharah kali ini jauh berbeda, karena terpaksa harus bertempat dirumah kedua saya. Agenda semacam ini tak lain ingin mempererat tali persahabatan, persaudaraan antara sesama muslim dan juga mempererat tali keimanan kita bersama.
Terkait dengan idharah atau silaturrahim ini sebagai mana juga kita ketahui dalam sebuah riwayat dikatakan,” Silaturrahmi merupakan salah satu cara untuk memanjangkan usia”.
Artinya sesiapa yang ingin mencapai usia panjang, maka perbanyaklah silaturrahmi antar sesama saudara, setetangga, seiman dan juga sesama bangsa. Jika hal semacam ini diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari niscaya usia kita akan panjang, ego-ego kesombongan akan binasa dan juga memperoleh kebahagian di dunia wal akhirah.
Inti dari sekian acara tadi, selaku tuan rumah ponpes Darut Taqrib yang diwakili Ustaz Muhammad Alie, beliau menjelaskan sedikit tentang konsep Syiah. Apa itu Syiah ? Sejak kapan syiah muncul ? Syiah dalam sejarah dan macam-macam kelompok yang ada di Syiah ?
Kesimpulannya, bahwasannya kata Syiah memiliki makna pengikut, sebagaimana kata Syiah juga bukan hal baru karena ada di dalam ayat Alquran. Syiah arti katanya pengikut. yaitu mengikuti sunah-sunah Nabi Muhammad Saw dan para keluarganya, seperti Imam Ali, sayyidah Fatimah dan para keturunannya. Umumnya mayoritas kaum Syiah di dunia menamakan diri Syiah Jakfariyah atau Syiah Imamiyah Istna Asyariyah. yaitu Syiah yang meyakini dua belah imam atau pengganti Nabi hingga hari kiamat tiba.
Dan sebenarnya jika kita bandingkan Syiah dengan Ahli Sunah Waljamaah, antara keduanya tidak ada perbedaan, keduanya memiliki makna yang sama yang mana juga memiliki makna “mengikuti”, yakni sama-sama pengikut dan mengamalkan sunah-sunah Nabi, Ahlulbait Nabi dan juga para sahabatnya. lanjut ustaz Ali.
Ada pun awal kemunculan kata Syiah, bahwa kata Syiah jauh muncul sebelum Nabi Muhammad saw dilahirkan di muka bumi ini. yaitu ketika Alquran menyebuhkan kata Syiah untuk pengikut para Nabi sebelumnya. dan diperkuat oleh dalil Al-Qur’an dan dalam buku-buku tafsir, baik tafsir Sunni maupun Syiah.
Terkait pembagian Syiah dalam sejarah, bahwa Syiah sendiri terbagi dalam beberapa kelompok. Diantaranya Syiah Zaidiyah, Ismailiyah dan Syiah Imamiyah Istna Asyariyah yang banyak pengikutnya saat ini di Indonesia. sebagaimana Ahli Sunnah Wal jamah juga terbagi dalam beberapa kelompok.
Ada juga Syiah ekstrim yang berbeda dengan mayoritas Syiah umumnya. yaitu Syiah sempalan yang ajarannya lebih banyak menyulut perpecahan di kalangan kaum muslimin. Kata ust Ali.
Syiah ekstrim ini tidak diakui oleh syiah mayoritas umumnya, karena membahayakan umat Islam yang membutuhkan persatuan dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Justru Syiah ekstrim ini adalah ciptaan musuh Islam untuk menghancurkan Syiah dari dalam, sebagaimana juga ada Sunni esktrim seperti Wahabi Jihadi dan ISIS yang sama-sama ciptaan musuh.
Oleh karenanya kita sebagai pemuda melenial harus memiliki jiwa-jiwa satria akan kebenaran dan juga harus menjunjung tinggi harkat martabat persatuan yang berada di Indonesia. mudahnya dengan cara mengadakan agenda diskusi, bersilaturahmi dan lain sebagainnya.
Teruntuk sahabat-sahabat NU sahabat kuliyah PAI AI terimaksih atas kedatangan kalian semua. Setelah kalian mengetahui sedikit tentang Syiah tidak harus dari kalian menjadi Syiah, tetaplah kalian berpegang teguh pada keyakinan kalian masing-masing.
Jazakumullah Khairan untuk antum semua.
(Puisi) Maula Ali
Penyair Ammar Abdillah
Maula Ali, Maula Ali
Maula Ali, Maula Ali
Maula Ali, Maula Ali
Maula Ali, Maula Ali
Diri Nabi, jiwa Nabi
Maula Ali, Maula Ali
Sang sejoli putri Nabi
Maula Ali, Maula Ali
Slama tiga puluh tahun
Tiada lagi wahyu turun
Hanya satu sang penuntun
Maula Ali, Maula Ali
Pasar fitnah makin marak
Iman, takwa juga wara’
Tlah terganti emas perak
Maula Ali, Maula Ali
Seiring sunyi malam Qadar
Dari sore hingga fajar
Kau menyambut Qadha Qadar
Maula Ali, Maula Ali
Jangan pergi wahai ayah
Pinta Zainab namun pasrah
Garis takdir tak terbantah
Maula Ali, Maula Ali
Selaksa Kufah berkabung
Tangis Hasan tak terbendung
Serentak angsa berkidung
Maula Ali, Maula Ali
Deru tangis yatim-yatim
Bagai hujan tanpa musim
Makan malam tak terkirim
Maula Ali, Maula Ali
Melambai-lambai Fathimah
Haru hati Rasulullah
Haydar merengkuh syahadah
Maula Ali, Maula Ali
(DarutTaqrib/Adrikna)
Perbaiki Diri Anda Sebelum Anda Perbaiki Orang lain
Terkait cara untuk hidup lebih baik almarhum Ayatollah Bahjat mengatakan: “Begitu seseorang merencanakan sesuatu, maka dia harus terlebih dahulu berkomitmen untuk melakukan apa yang direncanakan tersebut untuk dirinya sendiri sehingga dia merasa tenang di akhirat kelak. Dan setelah dia memperbaiki dirinya dengan program yang direncanakan tersebut, barulah dia bisa memperbaiki orang lain dengan menyatakan ini pendapat saya dan ini alasan saya.”
Jangan Sampai Kehilangan Hal Besar Karena Terkecoh Dengan Hal-hal yang Kecil
Seorang anak laki-laki asyik bermain dengan vas kecil yang mahal di rumahnya. Tiba-tiba tanganya masuk ke dalam vas dan dia berusaha untuk mengeluarkannya namun tidak berhasil. Meskipun dia tahu ibu dan bapaknya akan memarahinya jika tahu, namun terpaksa dia memanggil mereka supaya membantunya. Namun mereka juga tidak berhasil mengeluarkan tangan putranya dari vas tersebut walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Sebelum akhirnya sang ayah merelakan vas mahal kesayangannya untuk dipecah, dia pun berkata kepada putranya: “Rapatkanlah jari-jarimu seperti yang ayah lakukan dan keluarkanlah tanganmu dari vas pelan-pelan.” Putranya berkata: “Tidak bisa ayah.” Mendengar jawaban putranya sang ayah marah dan bertanya: “Kenapa?” Putranya menjawab: “Karena aku tak mau coklatku tertinggal didalam vas.”
Mungkin kejadian ini sering ada pada kita semua dimana kita terlalu mencintai sesuatu yang kecil nilainya atau bahkan tak bernilai yang menyebabkan kita lupa pada sesuatu yang nilainya jauh lebih besar.
Mengapa Ilmu Lebih Baik daripada Harta?
Sayyidina Ali (ra) menarik Tangan Kumail bin Ziyad dan membawanya ke pemakaman, dan ketika sampai di padang pasir, Beliau menghela nafas panjang dan berkata kepadanya:
Wahai Kumail! Ilmu lebih baik daripada harta karena ilmu akan menjagamu, sebaliknya kamu perlu menjaga hartamu, harta akan berkurang saat dibelanjakan, tapi ilmu akan semakin bertambah dengan amal. Demikian pula budi yang ditimbulkan dengan harta akan lenyap dengan lenyapnya harta -begitu juga kehormatan dan status sosialnya.
Nahjul Balaghah: al-Hikmah 147.
Lepaskan Ikatan Anda Tuk Arungi Samudra Kehidupan Ini!
Pada suatu malam beberapa orang melakukan perjalanan dengan menaiki perahu dan setelah mendayung dalam waktu yang cukup lama, salah satu diantara mereka berkata, “Sudah sejauh mana kita sampai, sejak semalam kita sudah mulai mendayung perahui ini?”
Tapi mereka melihat bahwa mereka berada di tempat yang sama seperti malam sebelumnya. Ternyata mereka lupa untuk membuka tali pengikat perahu dari tepi pantai.
Dari cerita diatas dapat diambil pelajaran bahwa manusia yang hidup di dunia ini dapat diibaratkan orang yang akan menaiki perahu tuk berlayar di samudera yang tak bertepi, yang mana manusia yang belum membuka tali perahunya dari pantai, maka sebesar apapun usahanya mendayung, dia tidak akan sampai kemanapun.
Ikatan-ikatan perahu itu bisa diibaratkan seperti pikiran negatif, kekecewaan, ketakutan, kegembiraan, kebanggaan, kesombongan, masa lalu, atau yang lainnya. Yang mana selama hal-hal ini masih mengikat kita maka kita takkan bisa berlayar kemanapun menikmati indahnya samudra kehidupan nan luas ini.



























