کمالوندی
Tata Keamanan Asia Barat dalam Perspektif Ayatullah Khamenei
Pemikiran Ayatullah Khamenei di bidang kebijakan luar negeri didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu: martabat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Martabat bermakna tidak menyerah kepada musuh, sedangkan kebijaksanaan adalah berperilaku bijaksana, dan kemasalahan mempertimbangkan kepentingan nasional dalam kebijakan luar negerinya.
Prinsip pertama, tidak menyerah terhadap musuh di berbagai bidang, terutama di bidang pertahanan. Oleh karena itu, Rahbar selalu menekankan masalah penguatan pertahanan nasional. Meskipun demikian, beliau menganggap kekuatan pertahanan memiliki dimensi defensif dan menyatakan bahwa Republik Islam Iran tidak akan pernah memulai perang, tetapi dengan tegas akan mempertahankan diri terhadap segala bentuk agresi.
Contoh jelas dari pernyataan ini adalah aksi pemerintah teroris AS membunuh Letjen Qassem Soleimani pada 3 Januari 2020, yang memicu reaksi keras dari Iran dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer Ain al-Assad pada 8 Januari 2020. Pasca Perang Dunia II, tidak ada negara yang berani mengambil tindakan militer terhadap Amerika Serikat. Langkah yang disebut oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam sebagai "Pembalasan Keras" ini menunjukkan bahwa Republik Islam Iran tidak akan menyerah kepada musuh, bahkan di bawah sanksi berat AS.
Memperkuat Sumbu Perlawanan di kawasan Asia Barat adalah pandangan penting lain dari Ayatullah Khamenei dalam masalah regional. Selama ini Iran selalu menjadi salah satu pembela Sumbu Perlawanan di kawasan, dan memainkan peran penting dalam memperkuat poros ini dalam dimensi operasionalnya.
Pada awal krisis Suriah meletus, beberapa anggota Hamas keliru memahami perkembangan di Suriah dan mengadopsi pendekatan yang bertentangan dengan kepentingan Damaskus. Tapi sebagian besar tetap memusatkan dukungan Hamas terhadap pendekatan Iran. Dalam kondisi demikian, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menekankan dukungannya terhadap gerakan perlawanan Palestina, termasuk Hamas, dan menilai kesalahan beberapa orang tidak bisa menjadikan Hamas sebagai pihak yang keliru secara keseluruhan. Hasil dari pendekatan itu, gerakan Hamas hingga kini memiliki hubungan erat dengan Republik Islam Iran.
Di sisi lain, ketika beberapa pihak di dalam dan di luar Iran mengklaim dukungan Tehran terhadap Damaskus dalam memerangi kelompok-kelompok teroris di Suriah dan pendukungnya bukan kepentingan Iran; Rahbar dengan tegas menekankan urgensi mendukung Suriah dalam memerangi kelompok-kelompok teroris. Dampaknya, tidak hanya pemerintah berdaulat Suriah yang tetap berdiri, integritas teritorialnya juga tetap terjaga. Bahkan para penentang Republik Islam Iran menuding Tehran menggunakan krisis Suriah sebagai peluang untuk membuktikan kekuatannya di Asia Barat.
Mitra Iran di Lebanon, Irak, dan Yaman tampil unggul. Kini, Hizbullah di Lebanon menjadi aktor berpengaruh tidak hanya di negaranya saja, tetapi juga di kawasan Asia Barat. Kelompok-kelompok perlawanan Irak telah memainkan peran penting dalam pembangunan negaranya, termasuk dengan memaksa pemerintah teroris AS menutup beberapa pangkalan militer kecilnya di Irak, dan hari ini slogan pengusiran pasukan AS telah menjadi tuntutan nasional di Irak.
Kelompok-kelompok perlawanan di Yaman bukan hanya tidak menyerah menghadapi koalisi agresor yang dipimpin Saudi, bahkan hari ini Pemerintah Penyelamat Nasional Yaman memegang kendali dalam perang tersebut. Sementara itu, koalisi agresor pimpinan rezim Al Saud berada dalam posisi yang semakin melemah.
Pada Juni tahun lalu, delegasi Yaman dipimpin oleh Juru Bicara Ansarullah Yaman, Mohammad Abdul Salam melakukan perjalanan ke Tehran dan menyerahkan surat Abdul Malik al-Houthi, pemimpin gerakan Ansarullah kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Ayatullah Khamenei membuka dan membaca surat ini langsung di hadapan delegasi Yaman, padahal beliau bisa membuka dan membacanya setelah pertemuan tersebut. Langkah simbolis ini diambil Rahbar, yang berbeda dengan peristiwa dua bulan setelahnya ketika Perdana Menteri Jepang, Abe Shinzo mengirim pesan dari Presiden AS Donald Trump kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, yang ditolak oleh beliau.
Pada 3 Juni 2019, Ayatullah Khamenei mengatakan, "Hari ini di kawasan kita, Asia Barat, kalimat bersama bangsanya adalah perlawanan; Semua orang menerima kehadiran gerakan perlawanan ... Kegagalan yang sama yang dialami Amerika di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan lainnya selama beberapa tahun terakhir adalah hasil dari aksi kelompok-kelompok perlawanan. Front Perlawanan adalah gerakan yang kuat hari ini,".
Salah satu landasan teoretis terpenting dari pemikiran Ayatullah Khamenei adalah perlawanan terhadap imperialisme dan Zionisme. Sebagaimana pandangan Imam Khomeini, pendiri Revolusi Islam Iran yang menekankan dua masalah penting ini, Ayatullah Khamenei menyatakan berlanjutnya perlawanan menghadapi imperialisme global dan Zionisme, sekaligus melumpuhkan proyek-proyek destruktif kekuatan Barat di kawasan Asia Barat.
Pada pertemuan dengan para pejabat Republik Islam dan duta besar negara-negara Muslim yang berlangsung Juni 2018, Rahbar mengatakan, "Hari ini, kebijakan kekuatan arogan global adalah menciptakan keretakan antara negara-negara Muslim, bahkan di dalam bangsa-bangsanya sendiri, antarindividu masyarakat dari negara-negara ini; Itulah kebijakan mereka saat ini. Inilah plot yang dirancang oleh konspirator kriminal Amerika dan Zionis Amerika untuk kawasan kami, yang merupakan salah satu kawasan Islam yang paling penting, dan Anda dapat melihat tanda-tandanya seperti peristiwa tragedi Yaman, peristiwa di Suriah, Irak dan negara-negara Muslim lainnya. Kini jalan keluarnya adalah negara-negara Muslim harus menemukan titik utamanya. Masalah utamanya, perlawanan masyarakat Muslim dan umat Islam terhadap kekuatan arogan. Berdiri melawan kebijakan arogan menjadi tugas pemerintah, itu adalah tugas para pejabat politik, juga para pemimpin agama, budaya dan politik di seluruh dunia Islam. Dan poin mendasar lainnya adalah masalah rezim Zionis, yang pada dasarnya diciptakan di jantung dunia Islam untuk menyulut perselisihan, penjinakkan, menciptakan masalah."
Kini, Iran bukan hanya tidak bergantung pada kekuatan asing di berbagai bidang, terutama di bidang pertahanan, bahkan menjadi kekuatan kompetitor penting, bahkan Amerika Serikat berpikir ribuan kali untuk melancarkan agresi militer terhadap Republik Islam Iran.
Donald Trump mengklaim akan melancarkan pembalasan dendam setelah jatuhnya pesawat tak berawak AS pada Juni 2019, tetapi mengurungkan niatnya setelah menyadari kekuatan militer Iran. Bahkan selanjunta pemerintah AS tidak berkutik ketika Iran mengirim kapal tanker minyaknya ke Venezuela yang berada di bawah sanksi ketat Washington.
Pemikiran Ayatullah Khamenei tentang tatanan keamanan di Asia Barat menjadikan Republik Islam Iran sebagai kekuatan regional yang paling penting di Asia Barat, yang berani menantang tatanan yang diciptakan oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat.
Rahbar dalam sebuah pernyataan mengenai langkah kedua Revolusi Islam yang disampaikan pada Februari 2019, menyatakan, "Iran yang berdaulat hari ini, sebagaimana awal Revolusi menjadi tantangan bagi Amerika Serikat, tapi memiliki perbedaan signifikan. Jika tantangan saat itu dengan AS mengenai pemutusan tangan agen asing, atau penutupan kedutaan Israel di Tehran, maupun terbongkarnya sarang mata-mata [di kedutaan AS], tapi kini tantangan mereka mengenai kehadiran Iran yang kuat di perbatasan rezim Zionis, dan melemahnya pengaruh ilegal AS di Asia Barat. Dukungan Republik Islam terhadap gerakan perjuangan Mujahidin Palestina di jantung wilayah yang diduduki rezim Zionis, dan pembelaan terhadap bendera yang diusung Hizbullah dan gerakan perlawanan di seluruh kawasan."(
Dimensi Baru Rasisme dan Kekerasan terhadap Warga Kulit Hitam di Amerika Serikat (Bag-2, habis)
Diskriminasi rasial dan kekerasan terhadap orang kulit berwarna, terutama orang kulit hitam di Amerika Serikat, setua sejarah Amerika dan selalu menjadi karakteristik yang dibenci masyarakat Amerika. Meskipun perjuangan orang kulit hitam sudah luas untuk menggunakan hak-hak mereka, tetapi mereka terus menjadi korban segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Masalah yang menjadi sangat berwarna dalam beberapa tahun terakhir adalah kekerasan berlebihan dan kebrutalan polisi Amerika terhadap orang kulit hitam, yang telah menciptakan adegan tragis. Kasus terakhir adalah pembunuhan brutal terhadap George Floyd oleh Derek Chevin, seorang polisi pada 25 Mei di Minneapolis, negara bagian Minnesota, yang memicu protes luas dan belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh Amerika Serikat dalam kecaman terhadap rasisme yang dilembagakan dalam masyarakat.
Situasi di tempat aksi demo anti rasis di AS
Pada Senin malam, Floyd dihadang oleh kebrutalan polisi, yang memborgolnya dan membuatnya tertidur di lantai. Petugas polisi dengan tenang menekan lututnya ke leher Floyd, menyebabkan kematiannya secara bertahap dan memilukan. Chevin dibebaskan dari pembunuhan tingkat tiga pada 29 Mei dan kemudian dibebaskan dengan jaminan $ 500.000. Kepolisian Minneapolis mengklaim bahwa Floyd meninggal setelah dibawa ke rumah sakit karena skandal yang terjadi. Namun, dalam klip yang dirilis oleh mereka yang menyaksikan adegan ini, yang juga tercermin secara luas di jejaring sosial, pria kulit hitam itu dihadapkan dengan tekanan lutut seorang polisi di Minya Police dan terus berteriak, "Saya tidak bisa bernapas."
"Menjadi hitam di Amerika Serikat seharusnya tidak menjadi alasan untuk dihukum mati. Selama lima menit kami melihat petugas kulit putih itu menekan lututnya ke leher seorang pria kulit hitam." kata kepala polisi Minneapolis Jacob Frey, yang menggambarkan insiden itu sebagai "memalukan".
Dalam sebuah laporan, Washington Post menggambarkan pernyataan polisi itu dengan "kematian seorang pria akibat kecelakaan medis saat berinteraksi dengan polisi" sebagai lelucon. "Tidak seorang pun boleh terbangun dengan pikiran ini bahwa, apakah hari ini seorang perwira polisi akan mengakhiri hidupnya atau tidak? Orang kulit berwarna, terutama kulit hitam, tinggal di Amerika Serikat dengan kenyataan yang menyakitkan ini. Tindakan petugas kepolisian Minneapolis telah menakuti orang-orang, yang telah kehilangan banyak sejauh ini," tulis Amnesty International di laman Twitter-nya.
Faktanya, kejahatan polisi terbaru terhadap seorang pria kulit hitam telah begitu mengejutkan sehingga menshockkan masyarakat Amerika. Kamala Harris, Senator Demokrat dan mantan kandidat presiden AS dalam mengritik pembunuhan George Floyd oleh polisi negara ini mengatakan, "Jalan-jalan di Amerika Serikat ternoda oleh darah orang kulit hitam." Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan tentang kekerasan polisi AS baru-baru ini terhadap warga kulit hitam, "Ini adalah tragedi. Ini sebuah kejahatan. Saya sangat sedih dengan keluarganya dan komunitas di sana."
Pembunuhan tragis atas George Floyd oleh polisi rasis Amerika begitu menjijikkan dan tidak dapat dibenarkan sehingga bahkan politisi Republik telah menentangnya. Senator Republik Ted Cruz dalam menanggapi kebrutalan polisi dan pembunuhan warga kulit hitam George Floyd mengatakan bahwa situasinya mengerikan. Situasi dimulai dengan kebrutalan polisi. Dalam kasus khusus ini, kita melihat salah satu petugas polisi meletakkan lututnya di leher Floyd selama delapan menit. Dia mengikat tangannya dan tidak bisa melakukan apa-apa dan memohon. Apa yang kita lihat salah. Tidak ada tujuan hukum yang telah ditetapkan bagi petugas penegak hukum untuk melakukannya.
Enam tahun lalu, Eric Garner, seorang Amerika berkulit hitam, dibunuh oleh polisi AS di New York sambil menjepit leher dan menekan dadanya, sehingga ia berkata, "Aku tidak bisa bernapas." Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar orang kulit hitam telah tewas sebagai akibat dari kekerasan polisi Amerika, termasuk Michael Brown, Walter Scott, dan Tamir Rice. Tentu saja Trump berusaha menepis tudingan pendekatan rasisnya dan pada hari Kamis (28/05/2020) dalam sebuah tweet menulis bahwa ia telah sangat sedih dengan kematian George Floyd.
No Trump
Padahal Trump, sebelumnya, telah berbicara membela kekerasan kulit putih terhadap orang kulit hitam, serta kekerasan polisi AS yang terang-terangan terhadap orang kulit hitam. Dengan demikian, Trump mencoba untuk mengambil sikap simpatik pada insiden baru-baru ini di Minneapolis. Beberapa analis telah mempertanyakan perubahan tiba-tiba Trump dalam kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam, dan menyebutnya sebagai taktik propaganda olehnya untuk memenangkan suara pada pemilihan presiden 2020.
"Beberapa hari terakhir ini menunjukkan bahwa kita adalah negara yang marah terhadap ketidakadilan. Setiap manusia dengan hati nurani dapat memahami bahaya nyata yang dilakukan terhadap orang kulit berwarna, dari penghinaan sehari-hari hingga kekerasan ekstrem," kata Joe Biden, kandidat Demokrat dalam pemilihan presiden AS 2020, pada hari Minggu, (31/05/2020) dalam menanggapi kebrutalan polisi.
Protes yang meningkat di Amerika Serikat terhadap kekerasan polisi yang meluas terhadap orang kulit hitam telah memicu reaksi keras dari Kongres AS. Dalam sebuah surat kepada Jaksa Agung William Barrel, Gerald Nadler, Ketua Komite Kehakiman DPR dan sejumlah anggota komite Demokrat lainnya, menyerukan penyelidikan terhadap perilaku ilegal polisi dan pola terkait. Surat itu merujuk pada pembunuhan George Floyd, warga kulit hitam Minneapolis, dan warga negara Amerika lainnya, Bruna Taylor, yang ditembak mati di apartemennya. Komite juga menyerukan penyelidikan atas pembunuhan seorang pemuda kulit hitam Amerika oleh seorang mantan polisi dan putranya, Ahmaud Arbery. "Kepercayaan publik terhadap implementasi tanpa diskriminatif telah secara serius dipertanyakan setelah berbagai pembunuhan terhadap Afrika-Amerika," kata Komite Kehakiman DPR dalam suratnya.
Warga Amerika Serikat yang marah sekalipun dengan adanya ancaman Trump dan peringatan para pejabat negara bagian, melakukan aksi protes rasisme dan pembunuhan Floyd dalam skala besar beberapa hari terakhir di berbagai bagian Amerika Serikat, termasuk bentrokan dengan pasukan keamanan di beberapa kota dan bahkan sebagian menerapkan keadaan darurat di 75 kota di Amerika Serikat. Dengan dimulainya gelombang protes baru di Amerika Serikat, beberapa kota telah memberlakukan larangan tersebut, dan di beberapa daerah, termasuk Minnesota, Georgia, Ohio, Colorado, Utah, Denver, Kentucky, dan Kolombia, di mana Washington adalah kota yang paling penting. Pasukan Garda Nasional telah dikirim atau diaktifkan untuk membantu pasukan lokal dalam menghadapi para demonstran.
Menyusul meningkatnya protes di berbagai kota, pasukan Garda Nasional beberapa negara aktif, serta undang-undang anti-lalu lintas, telah dibentuk. Lima orang terbunuh dalam protes tersebut. Bahkan wartawan tidak terhindar dari perilaku kekerasan polisi AS, dan sejumlah orang telah menjadi sasaran atau ditembak oleh peluru plastik. Menurut New York Times, Komite untuk Melaporkan Kebebasan Pers sejauh ini telah menerima 10 laporan serangan dan ancaman terhadap jurnalis selama protes baru-baru ini di Amerika Serikat. Masalah yang signifikan adalah simpati orang-orang di negara lain dan demonstrasi kecaman terhadap rasisme dan kekerasan terhadap orang kulit berwarna di Amerika Serikat.
Para demonstran dan pasukan Garda Nasional AS
Poin penting dan simbolik adalah ruang lingkup protes yang belum pernah terjadi ini meluas ke Gedung Putih, dan situasi memburuk ke titik di mana Trump dibawa ke tempat perlindungan bawah tanah. Dalam sebuah pesan Twitter pada hari Sabtu, 30 Mei, Trump mengatakan ia secara pribadi menyaksikan protes luas di sekitar Gedung Putih pada Jumat malam dan menekankan bahwa jika para pemrotes melewati pagar Gedung Putih, mereka akan disambut dengan senjata paling jahat. Trump di laman Twitter-nya menulis, "Kerumunan itu besar dan terorganisir secara profesional, tetapi tidak ada yang mendekati apalagi menyeberang pagar. Jika mereka melakukannya, mereka akan disambut dengan anjing-anjing paling ganas dan senjata paling mengerikan yang pernah saya lihat. Sejumlah besar agen dinas rahasia sedang menunggu tindakan." Gedung Putih ditutup sementara akibat demonstrasi para pemrotes pembunuhan George Floyd.
Menanggapi protes, Donald Trump, bukannya menunjuk pada eskalasi konflik dan kerusakan besar yang menyertainya, justru telah menekankan penindasan dan perlakuan kekerasan terhadap demonstran. Dalam hal ini, Presiden Amerika Serikat, yang dituduh memiliki kecenderungan rasis dan anti kulit berwarna, meminta para walikota dan gubernur negara bagian untuk bersikap lebih keras terhadap para pemmrotes dan menyerukan pasukan Garda Nasional untuk menekan protes. Trump juga menyebut para demonstran sebagai pelaku kerusuhan yang menyerang individu dan properti pemerintah, dan menyerukan hukuman yang lebih keras dan hukuman penjara jangka panjang untuk elemen yang katanya menyerang individu, properti pemerintah dan publik.
Trump, sementara itu, telah mengancam untuk mengambil tindakan jika gubernur negara bagian gagal melakukan tugasnya. Sebelumnya, presiden AS mengancam akan menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa di Minneapolis dalam beberapa pesan Twitter, sementara mendukung kekerasan pasukan Garda Nasional AS terhadap pengunjuk rasa di kota-kota Minneapolis. "Selamat kepada pasukan Garda Nasional atas apa yang mereka lakukan tepat setelah mereka tiba di Minneapolis, Minnesota. Para perusuh gerakan kiri gerakan AntiFa dan yang lainnya dengan cepat ditekan. Ini harus dilakukan oleh walikota pada malam pertama sehingga tidak ada masalah akan muncul," tulis Trump. Dengan demikian, Trump telah memberikan lampu hijau kepada pasukan polisi dan keamanan untuk menumpas para pemrotes yang tentu saja hal ini justru menciptakan eskalasi konflik dan kemungkinan bertambahnya korban.
Direktur penelitian bagian Amerika Amnesty International, Rachel Ward, telah memperingatkan presiden terkait penggunaan retorika yang diskriminatif dan keras sambil mengutuk perilaku buruk polisi yang melakukan pelanggaran dan membahayakan kehidupan warga. Tentu saja, Trump tidak hanya menangani masalah ini, tetapi juga mengancam akan mengakui gerakan AntiFa, yang mengorganisir protes baru-baru ini, sebagai organisasi teroris. Dia juga mengkritik media arus utama karena meliput tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa, dengan mengatakan mereka "menggunakan semua kekuatan mereka untuk menyalakan api kebencian dan kekacauan."
Trump and Floyd
Klaim Trump datang ketika ia menolak untuk mengutuk dalam menanggapi peristiwa seperti insiden Charlottesville pada 2017, yang menyebabkan kekerasan dan pembunuhan oleh rasis kulit putih. Menanggapi protes yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana lebih dari 4.100 orang Amerika telah ditangkap sejauh ini, Trump alih-alih mengambil pendekatan yang lebih simpatik terhadap kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam atau tindakan eksplisit untuk mencegahnya, justru memberikan dukungan atas tindakan brutal polisi AS terhadap warga kulit berwarna dan berjanji untuk menumpas para pengunjuk rasa. Pendekatan Trump ini jelas telah menuai kritik keras.
Mengkritik pendekatan presiden terhadap protes rasis, Nancy Pelosi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS mengatakan, "Donald Trump seharusnya tidak menyalakan api protes dengan tindakannya. Presiden harus menjadi agen persatuan di antara suara-suara yang berbeda, bukan penyebab perpecahan."
Pendekatan pemerintahan Trump untuk menindas pemrotes terhadap rasisme tidak mungkin berubah, dan ruang lingkup konflik diperkirakan akan meluas di berbagai kota. Bukti menunjukkan bahwa karena pelembagaan rasisme dan diskriminasi rasial di Amerika Serikat, praktis tidak ada keputusan atau tindakan yang efektif diambil untuk mengakhiri kekerasan terhadap orang kulit hitam atau untuk memberi mereka hak istimewa sosial.
Secara alami, ini menimbulkan kemarahan di kalangan orang kulit hitam dan ledakan dalam bentuk protes dan kerusuhan, seperti yang sekarang terjadi di Minneapolis dan puluhan kota AS lainnya. Namun, respons pemerintah federal, yang jelas terlihat dalam pernyataan Trump yang mengancam dengan menyebut para pengunjuk rasa sebagai perusuh dan mengancam akan menembak mereka. Protes, yang sekarang berlumuran darah, sebenarnya adalah reaksi orang Amerika kulit hitam terhadap diskriminasi, ketidakadilan, dan, yang paling penting, kebrutalan polisi Amerika terhadap mereka.
Dimensi Baru Rasisme dan Kekerasan terhadap Warga Kulit Hitam di Amerika Serikat (Bag-1)
Diskriminasi rasial dan rasisme, khususnya terhadap orang Indian dan kulit hitam, selalu menjadi ciri utama masyarakat Amerika.
Sepanjang tiga abad sejarah Amerika, orang kulit berwarna selalu menjadi target perbudakan, pelecehan yang meluas, pembunuhan, dan kekerasan yang tak terkendali. Meskipun gerakan hak-hak sipil kulit hitam pada 1950-an memicu gelombang pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi, realitas masyarakat Amerika saat ini adalah masih adanya diskriminasi rasial di berbagai bidang. Selama masa kepresidenan Donald Trump, pendekatan rasisnya telah meningkatkan serangan rasis dan kulit putih terhadap orang kulit berwarna.
Donald Trump, Presiden AS
"Trump bukan pembawa perdamaian dan persahabatan, dan jelas bahwa kekerasan di Amerika Serikat telah meningkat di bawah Presiden Trump," kata Bernard Vinot, pakar politik Prancis. Menurut pendapat saya, peristiwa kekerasan dan rasis Charlottesville pada Agustus 2017 adalah simbol kekerasan di negara ini. Trump pada saat itu tidak secara terbuka menyangkal kekerasan, sebaliknya mengatakan bahwa ada kebencian dan kekerasan di semua sisi. Dengan kata-kata seperti itu, ia mendukung pelaku kekerasan.
Informasi yang diberikan oleh Biro Investigasi Federal AS (FBI) menunjukkan bahwa sejak naiknya kekuasaan Donald Trump, kekerasan terhadap minoritas dan kejahatan rasial telah meningkat. Di satu sisi, kepresidenan Trump telah menciptakan gelombang kedua kejahatan rasial dalam masyarakat Amerika sejak 11 September 2001.
Sekarang setelah epidemi Corona di Amerika Serikat dan menjadikannya negara nomor satu di dunia dalam hal jumlah orang yang terinfeksi dan jumlah korban dalam penyakit Covid-19, situasi orang-orang kulit berwarna semakin memburuk. Terutama karena sebagian besar korban penyakit mematikan ini adalah orang kulit hitam. Sebenarnya, pandemi ini mencerminkan pengabaian pemerintah Trump sepenuhnya atas nasib ras kulit hitam di Amerika Serikat.
Diskriminasi rasial dan perlakuan kekerasan terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat, yang dimulai dengan sistem perbudakan pada abad ke-17, terus berlanjut hingga hari ini dan selalu menjadi masalah penting dalam masyarakat Amerika. Orang kulit hitam Amerika, yang disebut dalam pidato resmi sebagai orang Amerika keturunan Afrika, adalah minoritas ras kedua di negara itu setelah orang Amerika Latin. Dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Gedung Putih, kondisi kulit hitam diharapkan membaik, tetapi dalam praktiknya situasi ekonomi dan sosial orang kulit hitam justru semakin memburuk.
Protes yang semakin intensif dalam beberapa tahun terakhir termasuk kekerasan oleh rasis Amerika, serta kebrutalan polisi yang berlebihan terhadap orang kulit hitam. Undang-undang AS yang diskriminatif terhadap orang kulit hitam juga telah berulang kali ditentang oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia. Secara umum, meskipun sekitar 13 persen populasi Amerika berkulit hitam, mereka tidak mendapatkan banyak manfaat dari kekayaan, pendidikan, dan kesejahteraan di masyarakat Amerika. Sebaliknya, bagian mereka dari masalah negara sangat tinggi.
Sejumlah besar tahanan Amerika berkulit hitam, dan kondisi kehidupan mereka sangat mengerikan di pinggiran kota-kota besar. Yang paling penting, korban utama kekerasan polisi di Amerika Serikat adalah orang kulit berwarna, terutama orang kulit hitam, dan ini adalah salah satu alasan utama protes dan kerusuhan yang kadang-kadang terjadi di salah satu kota di Amerika. Bukti menunjukkan bahwa diskriminasi ras, pendidikan, pekerjaan, dan sosial, serta kekerasan terhadap orang kulit hitam di negara yang mengklaim menyebarkan demokrasi dan hak asasi manusia di seluruh dunia, telah menjadi hal biasa. Liputan media di Amerika Serikat juga tidak memadai atau menyimpangkan berita tentang kekhawatiran dan masalah Afrika-Amerika.
Aksi demo di Amerika Serikat
Terlepas dari kekurangan ini terhadap kulit hitam, kita masih melihat intensifikasi tekanan pada mereka di masyarakat Amerika. Faktanya, eskalasi kekerasan terhadap orang kulit hitam dalam berbagai bentuk mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap minoritas ras ini, yang harus menanggung ketidaksetaraan, diskriminasi, dan penghinaan setiap hari dari waktu ke waktu untuk menyaksikan tindakan kekerasan terhadap diri mereka sendiri. Namun, tidak ada prospek yang menjanjikan untuk perubahan dalam situasi abnormal ini di masyarakat Amerika; Suatu masalah yang secara ironis disebut oleh mantan Presiden AS Obama sebagai adanya ras diskriminasi rasial dalam darah Amerika.
Mengacu pada semua bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap orang kulit hitam pada Juni 2015, Obama mengatakan, "Meskipun ada peningkatan pandangan tentang berbagai ras di Amerika Serikat, warisan perbudakan telah memberikan bayangan yang panjang terhadap masyarakat Amerika, dan itu masih merupakan bagian dari DNA orang Amerika."
Bukti menunjukkan bahwa kebrutalan polisi terhadap pria dan wanita berkulit hitam di seluruh Amerika Serikat telah menyebar luas. Aktivis hak asasi manusia mengatakan polisi lebih mungkin mendiskriminasi orang kulit hitam, dan mereka dua kali lebih mungkin dihukum di pengadilan. Juga, menurut beberapa penelitian, orang Amerika kulit hitam 30 persen lebih mungkin daripada orang kulit putih yang terkena senjata api. Menurut angka-angka yang diterbitkan di Washington Post, orang kulit hitam Amerika telah menjadi sasaran dan dibunuh oleh polisi lebih dari sebelumnya, dan penyelidikan oleh organisasi non-pemerintah terhadap kekerasan polisi menunjukkan bahwa orang Amerika tiga kali lebih mungkin dibunuh oleh polisi kulit putih.
Masalah kekerasan polisi AS terhadap orang kulit hitam, terutama selama kepresidenan Presiden Barack Obama, dua kali lipat penting karena banyak yang berpikir bahwa Obama akan mengambil tindakan hukum untuk mencegah penyebaran kekerasan polisi, tetapi dalam praktiknya dia tidak melakukannya. Itu tidak berhasil. Perlakuan yang tidak pantas dan tidak profesional terhadap orang kulit hitam oleh polisi Amerika, yang dalam beberapa kasus menyebabkan kematian mereka, memiliki sejarah panjang dan telah menyebabkan munculnya gerakan, salah satunya adalah Gerakan Black Lives Matter. Namun, banyak yang telah dilakukan untuk mendiskreditkan gerakan tersebut, seperti yang dicontohkan oleh mantan walikota New York Rudolf Giuliani. Menurut Giuliani, gerakan ini mengarah pada apa yang oleh orang lain disebut "pengaruh Ferguson." Ini berarti bahwa protes telah meningkatkan pengawasan dan tindakan keras terhadap kinerja polisi dan, sebagai akibatnya, meningkatkan tingkat pembunuhan di kota-kota besar.
Dengan peningkatan populasi orang kulit berwarna dalam masyarakat Amerika, yang diproyeksikan mencapai lebih dari 50 persen populasi pada tahun 2050, masalah meningkatnya kekerasan polisi terhadap mereka menjadi semakin penting karena dengan peningkatan populasi ini, kasus-kasus kekerasan pelecehan polisi terhadap mereka juga akan meningkat. Kekerasan meningkat di tengah epidemi Corona.
Komunitas kulit hitam di Amerika Serikat, di satu sisi, telah dipengaruhi oleh virus corona dan telah menderita banyak korban, dan di sisi lain, telah menjadi sasaran tindakan polisi yang brutal dan kejam. Polisi dengan dengan pasukan anti huru-hara menyerbu sebuah demonstrasi pada hari Jumat, memindahkan ratusan demonstran dengan truk. Akhirnya, meskipun para pengunjuk rasa kembali ke rumah, pembunuhan brutal terhadap pria kulit hitam lain oleh polisi mendorong mereka untuk sekali lagi melancarkan protes jalanan yang meluas.
George Floyd yang mati akibat lehernya ditindih kaki polisi kulit putih
Meskipun protes berulang kali, pemerintah federal atau Kongres AS belum mengambil tindakan konkret dan efektif untuk mencegah terulangnya kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam, dan proses peradilan untuk kejahatan ini sering diadakan dengan pembebasan petugas polisi. Kejahatan terhadap orang kulit hitam dianggap telah berakhir. Ini telah memicu frustrasi di kalangan orang Amerika kulit hitam dan menyebabkan protes yang lebih luas. Contoh terakhir dari hal ini adalah protes dan kerusuhan yang meluas di Minneapolis, Minnesota, sebagai protes atas pembunuhan brutal terhadap pria kulit hitam bernama George Floyd, yang telah banyak dilaporkan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.
Kebohongan Baru Netanyahu soal Program Nuklir Damai Iran
Rezim Zionis Israel sebagai satu-satunya pemilik senjata nuklir di wilayah Asia Barat, kembali mengeluarkan klaim palsu mengenai kepatuhan Iran kepada perjanjian nuklir JCPOA.
Perdana Menteri Zionis, Benjamin Netanyahu pada Ahad (7/6/2020) dalam sebuah seruan yang menggelikan, meminta masyarakat internasional untuk bergabung bersama Amerika Serikat dan menerapkan sanksi yang melumpuhkan terhadap Iran.
Setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengeluarkan laporan tentang komitmen Iran dalam melaksanakan Protokol Tambahan, Netanyahu mengklaim Tehran secara sistematis melanggar komitmennya dengan menyembunyikan situs nuklir.
Netanyahu terus membual tentang kegiatan nuklir damai Iran. Padahal, situs Global Research dalam sebuah laporan baru-baru ini menulis, “Israel yang dilengkapi dengan senjata nuklir dan berbahaya merupakan sebuah ancaman global dan ini sebuah fakta yang tak terbantahkan.”
Masyarakat internasional dan media-media memilih diam dalam menyikapi ancaman itu, sementara program nuklir sah Iran berada di bawah pengawasan yang paling ketat di dunia.
Netanyahu dan para pejabat Washington sudah bertahun-tahun berbohong mengenai aktivitas nuklir Tehran. Netanyahu dalam pidatonya pada Sidang Majelis Umum PBB pada 2012 mengklaim Iran sedang berusaha memperoleh senjata nuklir.
Pabrik senjata nuklir Israel di Gurun Negev, Palestina pendudukan.
Pada Mei 2018, bersamaan dengan keluarnya AS dari perjanjian nuklir JCPOA, Netanyahu kembali mengklaim bahwa Iran mengembangkan sebuah program senjata nuklir rahasia. Dia sebelum ini juga berbohong tentang keberadaan sebuah situs nuklir rahasia di Iran untuk memproduksi dan menguji coba sistem ledakan. Namun, sama sekali tidak ada dokumen untuk membuktikan klaim tak berdasar Netanyahu tentang Iran baik di masa lalu atau pun sekarang.
Israel berdasarkan sejumlah laporan kredibel, memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir dan untuk mengalihkan perhatian publik, mereka tidak punya cara lain kecuali terus mengangkat isu nuklir Iran.
Duta Besar Iran untuk Organisasi-organisasi Internasional di Wina, mengatakan laporan baru IAEA mengenai perjanjian nuklir JCPOA merupakan indikasi dari berlanjutnya kegiatan verifikasi atas program nuklir Tehran.
Kazem Gharibabadi pada Jumat lalu, menuturkan laporan IAEA juga menggambarkan tindakan Iran dalam menjalankan keputusannya terkait penangguhan pelaksanaan JCPOA.
Berdasarkan Pasal 26 dan 36 JCPOA, jika salah satu pihak tidak memenuji kewajiban perjanjian, maka Iran berhak menghentikan pemenuhan kewajibannya secara menyeluruh atau sebagian.
Namun, pemerintah Iran berulang kali mengumumkan bahwa pihaknya siap untuk memenuhi kembali komitmennya berdasarkan kesepakatan nuklir jika sanksi-sanksi dicabut dan dapat memperoleh manfaat dari JCPOA.
Dalam pandangan Republik Islam, dunia yang aman akan tercipta dengan memusnahkan semua senjata nuklir. Dalam konferensi tentang perlucutan senjata di Tehran pada April 2011, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei menegaskan, “Kami menganggap penggunaan senjata jenis ini haram dan upaya untuk melindungi umat manusia dari musibah besar ini sebagai tugas kolektif.” (
Johnson dan Protes Anti-Rasisme di Eropa
Pembunuhan brutal warga kulit hitam Amerika George Floyd oleh seorang polisi kulit putih pada tanggal 25 Mei di Minneapolis, memicu banjir protes anti-rasisme di Amerika Serikat yang menjalar hingga Eropa.
Gelombang protes menentang rasisme di negara-negara Eropa menyulut reaksi dari para pemimpinnya. Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson yang memiliki pendekatan mirip dengan Trump menyikapi aksi unjuk rasa tersebut dengan cara pandang yang tidak jauh berbeda dengan presiden AS.
Ketika puluhan ribu pengunjuk rasa memprotes kematian George Floyd di berbagai kota di Inggris dan berteriak menuntut keadilan, Boris Johnson di lawan Twitternya Senin pagi menyebut pengunjuk rasa sebagai pengkhianat yang mengubah protes menjadi kerusuhan. Menurut Johnson, demonstrasi solidaritas terhadap warga kulit hitam Amerika telah menyimpang dari jalurnya, oleh karena itu para pelakunya harus ditindak.
Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di depan kedutaan AS di London selama dua hari terakhir untuk memprotes tindakan keras AS terhadap kebijakan rasismenya, dan sikap pasif pemerintah Inggris yang tidak mengutuk langkah mitranya itu.
Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan anti-rasisme di depan kantor Perdana Menteri Inggris dan Kedutaan Besar AS di London. Pasukan anti huru-hara bentrok dengan para pengunjuk rasa selama dua hari terakhir yang melukai sejumlah orang dari kedua pihak. Johnson mengatakan, orang-orang berhak untuk berdemonstrasi secara damai, tetapi tidak memiliki hak untuk menyerang polisi.
Di kota Bristol, para pengunjuk rasa hari Minggu merobohkan patung penjual budak abad 17, Edward Colston dan melemparkannya ke dalam air. Menteri dalam negeri Inggris dan polisi setempat mengecam langkah itu, dan mengatakan akan menuntut pelaku tindakan tersebut yang dinilai melanggar hukum.
Protes yang meluas di Eropa, termasuk Inggris terhadap rasisme dan diskriminasi kepada orang kulit hitam menunjukkan bahwa orang-orang Eropa sangat prihatin dengan proses politik dan sosial yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, termasuk dukungan langsung pemerintah mereka terhadap Trump.
Selama masa kepresidenan Trump, tekanan rasis telah meningkat karena pendekatan rasialismenya. Sikap Trump telah meningkatkan dukungan kepada kelompok sayap kanan di Eropa untuk menekan minoritas, termasuk imigran legal dan pencari suaka, serta warga negara non-Eropa. Masalah ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang Eropa, termasuk Inggris, terutama karena menerima jutaan orang Asia dan Afrika.
Sikap Perdana Menteri Konservatif Boris Johnson dalam mengutuk pengunjuk rasa dan menyebut mereka sebagai perusuh seirama dengan pandangan Trump terhadap pengunjuk rasa di Amerika Serikat. Faktanya, Boris Johnson tidak hanya mendapat manfaat dari dukungan Trump dalam urusan politiknya. Lebih dari itu, ia juga memiliki kemiripan yang kuat dengan Trump dalam hal pandangan dan posisinya terhadap minoritas ras dan agama, termasuk orang kulit hitam di Inggris.
Dalam hal ini, beberapa tokoh terkemuka partai oposisi Inggris telah mendukung para pengunjuk rasa dan menyerukan perang melawan rasisme. Wali Kota London, Sadiq Khan dalam pernyataannya yang dimuat Daily Mail mengungkapkan, "Pemerintah dapat dan harus mengambil langkah lebih lanjut untuk mengatasi ketidaksetaraan rasial dalam masyarakat Inggris,". Munculnya kecenderungan rasisme di Inggris saat ini menjadi masalah sosial dan budaya di negara tersebut.(PH)
AS Kerahkan Pasukan untuk Padamkan Gerakan Protes
Gedung Putih dilaporkan akan mengerahkan sekitar 10.000 tentara di jalan-jalan Washington DC dan kota lain di Amerika Serikat untuk memadamkan gerakan demonstrasi anti-rasisme dan solidaritas terhadap George Floyd yang kerap berujung rusuh selama beberapa hari terakhir.
Menurut CBS News, rencana itu diungkap oleh seorang pejabat senior pertahanan yang berbicara dalam secara anonim. Namun berdasarkan sumber ini, Menteri Pertahanan AS Mark Esper dan Kepala Staf Gabungan Militer AS Mark Milley menolak usulan tersebut.
Esper sebelumnya telah mengerahkan sekitar 1.600 pasukan tugas aktif untuk berada di wilayah Washington DC dengan mandat merespons demo, hanya jika diperlukan. Tetapi, sekitar 5.000 pasukan Garda Nasional (pasukan militer cadangan negara bagian AS) yang sudah ada di sana tidak pernah membutuhkan bantuan dan pasukan militer aktif mulai pergi dari pos mereka pada Kamis 4 Juni 2020.
Berdasarkan sumber lain dari pejabat pertahanan AS, Milley menilai bahwa situasi belum di ujung tanduk untuk memanggil pasukan militer aktif, sehinga rencana itu tidak dapat dipenuhi.
Milley menambahkan bahwa tindakan pengerahan pasukan ke jalan pada saat kondisi belum di ambang batas krusial bisa berpotensi melanggar hukum.
Pengerahan pasukan ini berlangsung setelah Presiden Donald Trump mengancam akan mengerahkan unsur militer demi menegakkan ketertiban di AS. Alih-alih tenangkan Pendemo, Trump justru meneriakkan sumpahnya. Pada Senin, 1 Juni 2020, Trump bersumpah akan menggunakan pasukan militer AS untuk menghentikan para pendemo.
Kota-kota di Amerika dilanda rangkaian demonstrasi bertajuk anti-rasisme dan solidaritas kepada George Floyd, pria Afrika-Amerika yang tewas di tangan polisi kulit putih AS. Kematiannya membangkitkan sentimen rasisme yang telah mengakar di AS dan protes keras terhadap kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam.
George Floyd tewas pada 25 Mei 2020 setelah kehabisan napas usai lehernya ditekan oleh lutut seorang petugas kepolisian yang tengah menangkapnya.
Demonstrasi pertama kali pecah di Minneapolis sehari setelah kematian Floyd hingga akhirnya menyebar ke seluruh penjuru AS, bahkan dunia. Semula protes berlangsung damai, namun meluas dan berakhir dengan kerusuhan.
Abdollahian: Krisis Libya Diciptakan oleh Poros Amerika-Zionis
Asisten Khusus Ketua Parlemen Republik Islam Iran untuk Urusan Internasional menilai krisis Libya diciptakan oleh poros Amerika-Zionis.
"Selama hampir satu dekade, Libya terbakar dalam api krisis yang diciptakan oleh poros Amerika-Zionis, tulis Asisten Khusus Ketua Parlemen Republik Islam Iran untuk Urusan Internasional Hossein Amir-Abdollahian hari Senin (08/06/2020) di laman Twitter-nya.
Peta Libya
Amir-Abdollahian menekankan, "Kembalinya otoritas historis Libya dengan melestarikan persatuan dan mempertahankan integritas teritorial serta kembalinya kedamaian dan ketenangan ke negara Islam dan Arab ini adalah demi kepentingan dunia Islam dan kawasan."
Mengikuti perkembangan 2011 dan intervensi negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Libya terjebak dalam dualisme kekuasaan; selain Pemerintah Konsensus nasional di Tripoli, yang diakui oleh masyarakat internasional, pemerintah lain Tentara Nasional Libya telah dibentuk di Libya timur di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Khalifa Haftar.
Salami: Muqawama Tidak Akan Lupakan Cita-cita Luhur Ramadan Shalah
Komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Mayjen Hossein Salami seraya mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya mantan sekjen Jihad Islam Palestina, Ramadan Abdullah Shalah mengatakan, muqawama tidak akan pernah melupakan cita-cita luhur Shalah.
Seperti ditulis laman Sepah News Senin (8/6/2020), Mayjen Salami di pesan dukanya kepada Ziyad al-Nakhalah, sekjen Jihad Islam Palestina bertepatan dengan meninggalnya Ramadhan Abdullah Salah menulis, meninggalnya pejuang besar tan tak kenal lelah intifada Palestina ini membuat Saya dan seluruh anggota Sepah Pasdaran Iran sedih.
"Tak diragukan lagi geografi muqawama dan intifada Palestina tidak akan pernah melupakan nama dan cita-cita tinggi pejuang mulia yang mengingatkan tekad serta resistensi tak kenal lelah rakyat Palestina serta memberi secercah harapan bagi pembebasan al-Quds dan masa depan yang gemilang," kata Salami.
Menurutnya nama Ramadan Abdullah Shalah akan selalu dikenang di sejarah bangsa Palestina bersama Syahid Qassem Soleimani dan Syahid Fathi Shaqaqi.
Ramadan Abdullah Shalah, mantan sekjen Gerakan Jihad Islam Palestina setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit yang dideritanya, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada hari Sabtu (6/6/2020).
Rahbar Kirim Pesan Duka atas Meninggalnya Sekjen Jihad Islam Palestina
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengirim ucapan belasungkawa atas meninggalnya mantan sekjen Jihad Islam Palestina, Ramadan Abdullah Shalah.
Ayatullah Khamenei Senin (8/6/2020) di pesan dukanya kepada bangsa Palestina , seluruh pejuang dan Jihad Islam Palestina atas meninggalnya Ramadan Shalah mengingatkan, gerakan muqawama Palestina telah kehilangan sosok yang sangat jujur dan penting.
Rahbar juga berharap melalui hidayah dan bantuan Ilahi, upaya jihad para pengganti yang layak dan penerus jalan pejuang seperti Fathi Shaqaqi dan Ramadan Shalah akan mampu menutupi kerugian ini.
Ramadan Shalah, mantan sekjen Jihad Islam Palestina setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya akhirnya pada hari Sabtu (6/6/2020) menghembuskan nafas terakhirnya.
Sejumlah petinggi Republik Islam Iran, termasuk Presiden Hassan Rouhani, Menlu Mohammad Javad Zarif, Penasihat Rahbar Ali Akbar Velayati dan Sekjen Forum Dunia Kebangkitan Islam, Hamid Shahriari, Sekjen Forum Internasional Pendekatan antar-Mazhab Islam, Komandan IRGC Mayjen. Hossein Salami serta Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Ghalibaf di pesan terpisahnya juga mengucapkan belasungkawa kepada rakyat Palestina atas meninggalnya Ramadan Shalah.
Intelijen Israel: Pemimpin Hamas, Musuh yang Cerdas
Mantan Wakil Direktur Agen Kontraspionase rezim Zionis Israel, Shin Bet menyebut Kepala Biro Politik Hamas di Gaza, Yahya Sinwar sebagai musuh yang cerdas, dan mampu membuat Israel kewalahan dengan alat-alat sederhana.
Fars News (6/6/2020) melaporkan, Yitzhak Ilan menuturkan, Yahya Sinwar berhasil meraih banyak prestasi bagi rakyat Palestina di Jalur Gaza, meski hanya dengan menggunakan alat-alat yang sederhana.
Dalam wawancara dengan surat kabar Maariv, Yitzhak Ilan menjelaskan, saya mengenal baik Yahya Sinwar setelah bertemu dengannya di penjara, ketika itu ia bertanya kepada saya, Anda berbicara dengan bahasa apa, Arab atau Ibrani. Yahya Sinwar adalah orang yang cerdas dan memiliki permusuhan yang besar terhadap Israel.
Ia menambahkan, sejak Yahya Sinwar menjadi pemimpin Hamas di Gaza, Hamas mulai menggunakan metode-metode baru untuk melawan Israel.
Menurut mantan wakil direktur Shin Bet itu, Yahya Sinwar mengenal Israel dengan baik. Sinwar, katanya, mengenal dengan baik masyarakat Israel, karena ia menguasai bahasa Ibrani, dan setiap hari mengikuti pemberitaan media Israel, Yedioth Ahronoth, koran Maariv, dan media berbahasa Ibrani lainnya. (



























