کمالوندی

کمالوندی

KHOTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN
"Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh 
keberkatan. Allah telah mewajibkan kepadamu puasa-Nya. Didalam bulan 
Ramadhan dibuka segala pintu syurga dan dikunci segala pintu neraka dan 
dibelenggu seluruh syaithan. Padanya ada suatu malam yang terlebih baik 
dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam 
itu, maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan." 
 

"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan penghulu segala bulan, maka "Selamat datanglah" kepadanya." 
 

Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkatan, bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan qiam dimalam harinya suatu tatawwu'.

Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan didalamnya samalah dia dengan orang yang menunaikan sesuatu fardhu didalam bulan yang lainnya. Barangsiapa menunaikan sesuatu fardhu dalam bulan Ramadhan samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu dibulan lainnya. Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga. Ramadhan itu adalah bulan memberikan pertulungan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada mukmin didalamnya.

Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, yang demikian itu adalah pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa. Allah memberikan pahala itu kepada orang yang memberikan walaupun sebutir korma, atau seteguk air, atau sehirup susu. Dialah bulan yang permulaannya Rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kemerdekaan dari neraka. Barangsiapa yang meringankan beban seseorang (yang membantunya) niscaya Allah mengampuni dosanya. Oleh itu banyakkanlah yang empat perkara dibulan Ramadhan.

Dua perkara untuk mendatangkan keredhaan Tuhanmu dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya tiada tuhan melainkan Allah dan mohon ampun kepada-Nya.

Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan 
perlindungan dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang yang 
berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolamku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk kedalam surga."

(H.R.Ibnu Khuzaimah)

Rabu, 13 Juni 2018 11:25

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

Pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil.

Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa,  yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antara asma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.

Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.

Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).

Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).

Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).

Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).

Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).

Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).

Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).

Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).

Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.

Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.

Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ahdibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”

Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a, “Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.

Untuk tidak membuat tulisan ini terlalu panjang, insya Allah nanti kita lanjutkan.

Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…

“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”

 (Qs. At-Taubah: 72)

Wallahu’alam bishshawwab

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.

Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

 

Bukan tasybih dan ta’thil

Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.

Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3] (Qs. al- An’am: 100). “Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4](Qs. al-Hajj: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.

Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.

Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.

Sifat Tuhan dalam Hadis

Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]

Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan  bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.

Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.

[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5

[3].  Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.

[4].  Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.

[5].  Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.

Rabu, 13 Juni 2018 11:13

Melatih Anak Berpuasa Sejak Dini

Memang, tak ada acuan di usia berapa anak sanggup berpuasa karena kondisi tubuh setiap anak berbeda. Bagaimana mengetahui kemampuan berpuasa pada anak? Sebetulnya mudah saja; anak yang sudah merasa lemas pasti akan mengeluh lapar. Jangan tunda sampai lemasnya memunculkan keringat dingin, apalagi muntahmuntah. Boleh jadi itu salah satu pertanda kadar gula darahnya menurun atau anak mengalami dehidrasi karena umumnya anakanak tetap aktif bermain dan mengeluarkan banyak keringat. Segera batalkan puasanya. Jangan lupa untuk tetap memuji usahanya.


Namun, jangan biarkan anak balas dendam terhadap rasa laparnya dengan makan dalam porsi besar sekaligus. Tentu tindakan “balas dendam” bisa membuat sistem pencernaannya kaget dan bereaksi menimbulkan sakit. Berikan minuman pembuka yang dapat memulihkan energinya disertai makanan ringan. Setelah itu, barulah makan makanan utama dengan porsi tidak berlebihan.
Ketimbang mengatakan, “Puasa berarti tidak makan sehari penuh,” lebih baik katakan, “Puasa hanyalah mempercepat waktu makan pagi dan menunda makan siang.” Dengan demikian, anak tidak akan merasa berat melakukannya. Selanjutnya latih kekuatan berpuasa anak secara bertahap.
Di awal latihan, anak balita yang sarapan sekitar pukul 07.00 dapat berpuasa hingga pukul 09.00 atau 10.00 WIB. Setelah makan, puasa dilanjutkan kembali hingga siang lalu dibuka untuk yang kedua kali (pada pukul 15.00, misalnya), lantas dilanjutkan lagi hingga magrib. Di tahun berikutnya, puasa dapat dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, dan seterusnya sesuai kemampuan anak. 
Untuk anak usia sekolah yang relatif lebih kuat, perhatikan jam biologisnya. Biasanya hingga pukul 12.00, anak masih bisa bertahan namun setelah lewat tengah hari, katakanlah pukul 14.00, perutnya mulai keroncongan. Jika memang sudah tidak kuat, tawari anak untuk berbuka. Sebaliknya, kalau masih terlihat segar, ajak ia berkegiatan agar dapat mengabaikan rasa lapar dan hausnya seperti dengan membacakan cerita, menonton film favorit, dan lainnya.
Perlu juga dipahami, di awal-awal puasa (1-3 hari pertama) adalah masa penyesuaian tubuh terhadap “kosongnya” perut. Jangan khawatir kalau anak mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak tidur karena merasa tak bersemangat. Siasati dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang tidak menguras energi tapi mampu membuatnya merasa asyik.
Kalau anak mesti sekolah di pagi hari, ajaklah ia tidur lebih awal sehingga tubuhnya tetap bugar meski harus bangun sahur. Siang hari, ingatkan anak untuk tidur dengan porsi biasa saja, karena kebanyakan tidur justru dapat membuatnya makin lemas dan tidak bersemangat.
Setelah sahur, jangan biarkan anak beraktivitas berlebihan (jalan-jalan pagi dalam jarak jauh atau berolahraga yang menguras tenaga) karena dengan begitu ia akan cepat kehabisan energi dan akhirnya lemas dan haus. Lebih baik, ajak ia kembali tidur atau mengisinya dengan kegiatan yang tidak terlalu menghabiskan tenaga. Bermain aktif dapat dilakukan menjelang magrib dan umumnya tidak lebih dari 1 jam.


Demikian beberapa tips dan trik sehat mengajar anak berpuasa. Semoga Allah merahmati kita semua dengan anugrah anak-anak dan generasi yang saleh. amin.

Katakanlah, “Sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha Mengetahui segala yang ghaib.” (34: 48)

Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (34: 49)

Kepala Pusat Rukyat Hilal Kantor Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran mengatakan, 120 tim rukyat hari Kamis (14/6) yang bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan telah berada di sejumlah daerah Iran untuk merukyat bulan tanggal 1 Syawal.

Hujjatul Islam Ahmad Marvi, Kepala Pusat Rukyat Hilal Kantor Rahbar hari Rabu (13/6) dalam konferensi pers menyatakan, diprediksikan hari Jumat (15/6) merupakan hari pertama bulan Syawal di Iran dan bila hasilnya nanti berbeda, maka akan diumumkan oleh Pusat Rukyat Hilal Kantor Rahbar.

Merukyat hilal
Sekaitan dengan hal ini, Seyed Bagher Pishnamazi, Ketua Panitia Penyelenggara Shalat Idul Fitri mengatakan, setelah penetapan dan pengumuman hari Idul Fitri oleh Kantor Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, shalat Idul Fitri akan dilaksanakan di Mosalla Imam Khomeini, Tehran dan akan diimami oleh Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei.

Dalam budaya Islam, hari pertama bulan Syawal ditetapkan sebagai Idul Fitri dan perayaan kembali kepada fitrah. Karena umat Islam selama bulan Ramadhan melaksanakan puasa dan ibadah, sehingga dapat mensucikan badan dan jiwanya dari kotoran dosa dan benar-benar kembali pada fitrahnya.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengajak seluruh umat Islam menjadikan hari raya Idul Fitri 1439 H sebagai momentum untuk menjaga perdamaian dan mengokohkan kembali ikatan persaudaraan. "Mengokohkan hubungan antar saudara seagama, saudara sebangsa dan saudara sesama manusia," kata Ketua MUI Maruf Amin ketika ditemui di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (12/6/2018).

Apalagi Idul Fitri tahun ini dekat dengan agenda politik nasional seperti Pilkada serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019. "Perbedaan pilihan politik jangan jadi permusuhan, perbedaan politik hal biasa-biasa saja, agenda 5 tahunan," kata Maruf.

Perbedaan politik semestinya dipandang sebagai rahmat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Bukan jadi penyebab terjadinya saling marah, salah paham, saling mencerca, mencaci-maki," ungkap Rais Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama tersebut.

Karenanya, diharapkan semangat Idul Fitri dapat mendorong terbangunnya pemilu yang damai, saling memahami, dilandasi nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesantunan dan keadaban.

"Kampanye diharapkan dilakukan dengan santun, jangan menjelekkan lawan politik. Itu yang perlu dihindari, cegah emosi menyerang kompetitor," ujarnya.

Dia menambahkan, harus bisa menerima menang atau kalah, kita harus siap dan ajak pendukungnya untuk bisa menerima. Tokoh masyarakat, para ulama ikut menjaga, jangan malah memanas-manasi.

Sebelumnya, Kementerian Agama akan menyelenggarakan sidang Isbat untuk menentukan awal bulan Syawal 1439H/2018M, atau Hari Raya Idul Fitri 1439H, di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (14/6/2018).

Proses sidang Isbat penentuan Idul Fitri 2018 dijadwalkan berlangsung selepas salat Maghrib, usai diterimanya laporan hasil rukyatul hilal dari lokasi pemantauan.

MUI sendiri berharap hari raya Idul Fitri 1439 H akan jatuh pada Jumat, (15/6/2018) mendatang.  Adapun Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah lebih dahulu menetapkan 1 Syawal 1439 H jatuh pada tanggal tersebut.

"Mudah-mudahan akan hari raya hari Idul Fitri (jatuh) pada Jumat tanggal 15 Juni 2018 dan Insya allah akan sama, tidak ada perbedaan 1 Syawal," kata Maruf.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama tersebut juga berharap momentum Idul Fitri bisa mempererat tali silaturahmi, khususnya sesama umat Islam.

"Hari raya, hari kasih sayang diantara sesama umat Islam, kita salaman, peluk-memeluk, minta maaf. Juga menghilangkan adanya kesalahpahaman. Melalui memontum hari raya kita ajak agar tidak ada kesalahpahaman demi persatuan dan kesatuan bangsa," pungkasnya.

Ketua MUI mengimbau agar para Khatib salat Idul Fitri 1439 H menjauhi tema-tema khotbah yang bernuansa politik praktis. Sebab, Maruf khawatir khotbah tersebut justru akan semakin memecah belah umat Islam di tengah tahun politik.

"Jauhi tema khotbah politik praktis, jangan jadikan khotbah Idul Fitri sebagai ajang kampanye politik praktis," tegasnya. Maruf pun mengimbau kepada para Khatib untuk menyampaikan khotbah dengan pesan-pesan yang damai. 

Dilansir dari The Middle East Monitor, Rabu (30/5/18), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Israel Emmanuel Nahshon mengatakan, kebijakan ini dibuat negaranya agar membuat Indonesia membatalkan keputusan penundaan visa bagi orang Israel.
Namun, upaya tersebut gagal dan mereka menerapkan larangan bagi para WNI.
Dalam sebuah pesan yang beredar luas, turis Indonesia yang telah dijadwalkan masuk Israel pada 9 Juni 2018 akan diperlakukan seperti biasanya dan diperkenankan masuk. Namun untuk turis Indonesia yang ingin masuk setelah tanggal tersebut, akan ditolak. Aturan ini berlaku bagi perorangan mau pun kelompok.
Kementerian Luar Negeri telah membenarkan larangan yang diterbitkan Israel tersebut. Namun belum memberikan keterangan lebih lanjut.
Aturan pelarangan masuk Israel bagi turis berpaspor Indonesia membuat biro perjalanan ziarah khawatir. Salah satu biro perjalanan ziarah, Christour, menyatakan sudah banyak tamu yang mempertanyakan hal tersebut.
“Beberapa tamu kami sudah ada yang bertanya dan khawatir tentang hal itu,” ujar petugas Christour, Franky, melalui sambungan telepon, Kamis, (31/5/18).
Franky menuturkan Christour sudah mengetahui mengenai aturan tersebut beberapa waktu lalu. Hal ini, ucap dia, membuat perjalanan beberapa tamu Christour ke Holyland (Yerusalem) kemungkinan ditunda.
“Kami beri penjelasan baik-baik kepada tamu supaya tak panik sambil menunggu info dari pemerintah,” katanya.
Franky berharap larangan turis berpaspor Indonesia masuk Israel hanya berlaku sementara. Saat ini, ucap dia, biro perjalanan ziarah masih menunggu informasi dan keputusan dari pemerintah.
“Semoga cepat sih. Kami juga menunggu update selanjutnya,” ujarnya.
Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomasi. Selama ini, turis Indonesia yang ingin berwisata rohani ke Israel umumnya melalui Mesir atau negara penghubung lain.
Meski Indonesia dan Israel tidak punya hubungan diplomatik, namun kedua negara sudah menjalin kerja sama dalam bidang ekonomi. Turis Israel bahkan bisa ke Indonesia dengan visa sementara atau visa bisnis.
Sebagai informasi, Setiap tahun tercatat, ada sekitar ribuan muslim, termasuk dari Indonesia yang mengunjungi Masjid Al-Aqsa dengan visa khusus.
Sebelumnya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyerukan agar Indonesia mau menjalin hubungan formal dengan Israel. Kementerian Luar Negeri Israel mengungkapkan, pada 2016 pejabat Israel sudah bertemu secara diam-diam dengan pejabat Indonesia untuk meningkatkan hubungan antar kedua negara.

Dilansir dari Sky News Arabia, untuk pertama kalinya Israel menerbangkan pesawat-pesawat tempurnya untuk mencegah penggunaan layang-layang api Palestina untuk menyerang Israel.

Militer Israel dalam sebuah pernyataan resminya mengumumkan pihaknya telah menemukan sekelompok warga Palestina yang berusaha membuat balon-balon yang dilengkapi dengan bahan-bahan pemicu kebakaran. Setelah itu pihaknya telah menyerang sekeliling tempat berkumpulnya mereka dengan pesawat tempur.

Selanjutnya dalam pernyataan tersebut disebutkan, “Salah satu pesawat tempur Israel telah menembakkan pelurunya ke arah mereka sebagai peringatan atas apa yang sedang mereka lakukan.”

Beberapa waktu yang lalu sekelompok warga Palestina di Jalur Gaza membuat layang-layang dan balon yang kemudian dilengkapi dengan bahan-bahan peledak. Alat tersebut digunakan untuk menghadapi tentara dan warga Israel.

Belum lama ini rakyat Gaza melakukan aksi demo damai yang mereka sebut dengan Great Return untuk menentang rezim Israel. Setidaknya ada 129 warga yang tewas dalam aksi tersebut.

Avigdor Lieberman, Menteri Pertahanan Israel mengklaim, sejak dimulainya aksi demo rakyat Palestina tersebut meraka telah berhasil menjatuhkan sebanyak 400 dari 600 layang-layang maupun balon yang telah berhasil diterbangkan ke pemukiman-pemukiman Israel.

Warga Palestina di Jalur Gaza menggelar unjuk rasa untuk menuntut Otorita Ramallah menghentikan kebijakan hukuman terhadap penduduk Gaza.

Penduduk Palestina pada hari Senin (11/6/2018) menggelar demonstrasi di pusat kota Gaza dan menuntut Otorita Ramallah untuk membayar gaji para pegawai di wilayah ini.

Mereka juga menuntut Otorita Ramallah melaksanakan tanggung jawabnya untuk mencegah terjadinya tragedi kemanusiaan di Gaza yang diblokade.

Sejak bulan April lalu, Pemimpin Otorita Ramallah Mahmoud Abbas telah memberlakukan serangkaian "hukuman" finansial dan hukum terhadap Gaza yang meliputi pengurangan gaji para pegawai di Gaza, pemutusan hubungan kerja pegawai dan pengurangan pasokan listrik serta penghentian pengiriman obat-obatan.

Anggota Front Demokratik untuk Biro Politik Pembebasan Palestina, Talal Abu Zarifa mengatakan, kemiskinan dan krisis pengangguran telah menyebabkan penduduk Gaza menderita, dan warga Palestina menuntut Otorita Ramallah melaksanakan keputusan Dewan Nasional Palestina mengenai keharusan menghentikan langkah-langkah hukuman terhadap Gaza.